Di Yoh. 21:3 disaksikan para murid Tuhan Yesus berencana untuk menangkap ikan. Mereka sejak semula memang para nelayan. Kini setelah kematian Tuhan Yesus, mereka kembali bekerja sesuai profesi semula sebagai para nelayan. Dalam hal ini mereka tidak membiarkan diri untuk larut dalam kesedihan setelah peristiwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib, karena itu mereka kembali aktif bekerja sesuai dengan profesi yang mereka geluti selama ini. Namun ada pula yang berpendapat bahwa para murid kembali bekerja sebagai para penangkap ikan, karena para murid mengalami kesedihan yang sangat dalam sehingga mereka tidak tahu lagi apa yang harus mereka perbuat kecuali sebagai penangkap ikan. Dalam pandangan ini, para murid yang kembali memutuskan untuk pergi menangkap ikan karena mereka waktu itu kehilangan pegangan dan pijakan untuk melanjutkan misi Tuhan Yesus. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, kecuali kembali pergi berlayar mencari ikan. Bagi mereka, pekerjaan mencari ikan telah mendarah-daging dan profesi yang sangat mereka kuasai. Namun pada saat mereka berusaha mencari ikan, ternyata kali ini mereka gagal. Pada saat yang mengecewakan itu, disaksikan Tuhan Yesus yang bangkit menyuruh mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika mereka mentaati apa yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus, maka secara ajaib mereka dapat memperoleh ikan dalam jumlah yang sangat besar. Kejadian tersebut menyadarkan para murid, bahwa Kristus yang bangkit itu kini menyatakan diriNya di tengah-tengah kehidupan dan pergumulan mereka. Seorang murid yang dikasihi Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: "Itu Tuhan!" (Yoh. 21:7).
Kehadiran Kristus yang bangkit mereka alami bukan ketika mereka merasa berhasil dan kuat. Sebaliknya ketika mereka gagal dan lemah, para murid diteguhkan oleh kehadiran dan kuasa Kristus yang bangkit. Sehingga secara spontan mereka menyatakan sikap imannya: "Itu Tuhan". Saat mereka sampai di darat, para murid menemukan Kristus yang telah siap menyediakan makanan bagi mereka. Kehadiran Kristus yang bangkit bukan hanya menguatkan dan meneguhkan iman para murid yang sedang bersedih-hati, tetapi Kristus juga sangat mempedulikan kebutuhan jasmaniah mereka. Bagi para murid makna kebangkitan Kristus bukan sekedar suatu ilusi rohani, tetapi sungguh-sungguh suatu peristiwa perjumpaan personal yang nyata dan eksistensial dengan Kristus yang hidup. Karena itu peristiwa sarapan pagi di tepi pantai menjadi suatu peristiwa perjamuan yang mempersekutukan para murid bersama dengan Kristus. Kehadiran Kristus yang bangkit bukan hanya mereka alami di suatu ruang tertutup saja, tetapi juga mereka alami kehadiranNya dalam ruang terbuka di tepi pantai ketika matahari mulai cerah. Sehingga tidaklah benar anggapan atau teori yang mengatakan, bahwa kisah kebangkitan Kristus sekedar suatu kompensasi psikis dari para murid yang kecewa dan kehilangan harapan, sehingga mereka kemudian menciptakan ilusi tentang kebangkitanNya. Sebab kita tahu bahwa suatu ilusi atau halusinasi tidak pernah mampu menjadi suatu keyakinan iman yang kokoh secara kolektif dan kekuatan spiritual yang memampukan komunitas tersebut kelak bersedia mempertaruhkan nyawa demi keyakinannya.
Di tengah-tengah persekutuan mereka dengan Kristus, Dia bertanya kepada Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" (Yoh. 21:15). Pertanyaan Tuhan Yesus ini diajukan 2 kali kepada Petrus. Ternyata 2 kali pertanyaan itu Tuhan Yesus menggunakan kata "mengasihi" dengan kata "agape" (kasih ilahi yang tanpa syarat), yaitu: "Simon Iooannou, agapas me pleon toutoon" (Simon, anak Yohanes apakah engkau mengasihi aku lebih dari mereka?). Yang menarik adalah bentuk jawaban dari Petrus dalam membalas pertanyaan Tuhan Yesus tersebut. Petrus tidak membalas dengan jawaban "agape" juga, tetapi dia mengungkapkan bahwa dia mengasihi Kristus dengan kata "philia" (kasih seorang sahabat). Sebaliknya ketika Tuhan Yesus bertanya yang ketiga kali dengan mengikuti pola berpikir Petrus yaitu mengasihi dengan "philia", Petrus menjawab: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi (philia) Engkau". Sampai jawaban ketiga Petrus tetap konsisten menggunakan kata "philia". Dia tidak lagi berani menyatakan bahwa dia mampu mengasihi Kristus dengan kasih "agape" karena telah terbukti dia telah gagal dengan menyangkal Kristus sampai tiga kali. Dalam hal ini sikap Petrus menjadi lebih realistis dan jujur. Semula dia berani menyatakan bahwa dia tidak akan pernah menyangkal Kristus dan bersedia mati bersama Kristus. Pada waktu itu Petrus berkata: "Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau" (Luk. 22:33). Dalam semua pertanyaanNya, Tuhan Yesus sampai 3 kali selalu meminta Petrus melakukan tugasnya, yaitu: "Gembalakanlah domba-dombaKu".
Selaku jemaat Tuhan, kita sering bersikap seperti Petrus yang selalu yakin (over-confident) mampu setia dan mengasihi Kristus dalam segala situasi. Tetapi ketika kita diperhadapkan oleh kenyataan yang buruk dan menakutkan, betapa sering kita dengan begitu mudah menyangkal Tuhan Yesus. Kini di hadapan Kristus yang bangkit, Petrus tidak lagi berani menyatakan bahwa dia mampu mengasihi Kristus dengan kasih ilahi yang tanpa syarat dan bersedia untuk berkorban (kasih agape). Namun sangat mengharukan, pada saat Petrus bersikap rendah-hati bahwa dia hanya memiliki kasih "philia" ternyata Tuhan Yesus tetap mempercayai Petrus untuk menggembalakan umatNya. Ini berarti tindakan untuk menggembalakan sesama dalam kuasa kebangkitan Kristus hanya dapat terwujud ketika kita mau bersikap rendah-hati, mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan kita. Penggembalaan gerejawi tidak akan terwujud ketika kita merasa diri kita lebih baik, lebih rohani dan lebih berpengalaman dengan sesama yang kita gembalakan. Justru kita akan makin dipakai oleh Tuhan secara lebih efektif, ketika kita melaksanakan tugas penggembalaan tersebut lahir dari hati yang hancur dan sikap yang tidak layak di hadapanNya. Spiritualias iman yang lahir dari hati yang hancur dan tidak layak itu justru membuka pintu rohani kita untuk melihat kuasa kebangkitan Kristus yang berkenan mempercayai kita untuk menggembalakan umatNya. Kuasa kebangkitan Kristus telah membungkus kelemahan, kekurangan dan kegagalan Petrus. Demikian pula kuasa kebangkitan Kristus juga akan memampukan diri kita walaupun kita sebenarnya sangat lemah, penuh kekurangan dan kegagalan, sehingga pada akhirnya kita dapat menjadi alatNya, yaitu untuk menggembalakan umatNya.
Penggembalaan dalam kuasa kebangkitan Kristus diungkapkan Tuhan Yesus kepada Petrus, demikian: "Sesungguhnya ketika engkau masih muda, engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh. 21:18). Tugas penggembalaan dalam terang kuasa kebangkitan Kristus seharusnya memampukan kita untuk "dipimpin oleh orang lain". Sebelum bertobat, Petrus seperti seorang yang masih muda yang cenderung selalu mengikuti kehendaknya sendiri. Dia mengikuti apa yang menjadi kemauannya sendiri. Pada waktu itu dia terlalu percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya sendiri. Kini di hadapan Kristus yang bangkit, dia disadarkan bahwa untuk menggembalakan umat Tuhan, dia tidak boleh bersandar kepada kekuatan dan kemampuannya sendiri. Sebaliknya di hadapan Kristus yang bangkit, dia telah menemukan jati-dirinya yang ternyata sangat rapuh dan lemah; namun pada saat yang sama dia dipercayai untuk menggembalakan umat Tuhan. Tugas penggembalaan tersebut dapat terwujud manakala dia mau bersandar kepada kuasa kebangkitan Kristus, yang akan memampukan dia untuk "pergi ke tempat yang tidak dikehendakinya". Kuasa kebangkitan Kristus akan memampukan dia untuk menanggung berbagai kesedihan, terluka dan menderita pada saat dia melaksanakan tugas penggembalaan. Apabila sebelum bertobat dia merasa telah memiliki kasih agape, kini dalam kuasa kebangkitan Kristus dia diteguhkan karena dia diberi karunia oleh Tuhan yaitu kasihNya. Bukankah kita hanya dapat melaksanakan tugas penggembalaan kepada anggota keluarga, teman-teman di kantor atau pekerjaan dan dalam kehidupan jemaat ketika kita mau bersandar kepada karunia kasih Allah (kasih agape), dan bukan karena kita merasa telah memiliki kasih agape? Spiritualitas "kasih yang dikaruniakan" sangat berbeda dan kontradiktif dengan spiritualitas "merasa memiliki kasih". Kegagalan kita dalam menggembalakan para anggota keluarga, teman-teman di kantor dan sesama teman dalam pelayanan karena kita sering merasa memiliki kasih Allah, sehingga kita lebih cenderung berjalan menurut kehendak kita sendiri. Akibatnya kita tidak pernah peka untuk belajar mendengar dengan sabar setiap ungkapan, keluhan dan persoalan mereka. Sesama dan saudara kita sering kita paksa untuk mendengar apa yang kita pikirkan dan yang kita kehendaki.
Sikap Petrus yang merasa diri kuat, penuh tenaga dan merasa diri selalu benar ternyata juga dialami oleh Saulus sebelum dia berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Saat itu Saulus merasa bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan kehendak Allah dengan mengejar dan menganiaya jemaat Tuhan. Tetapi dalam perjalanannya ke Damsyik, dia berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Disaksikan di Kis. 9:3-9 dia jatuh dari kudanya dan menjadi buta. Namun pengalaman itu telah menyebabkan dia mengalami perubahan hidup yang total. Dia kelak menjadi hamba Kristus yang digerakkan oleh kuasa kebangkitanNya, dan bukan menjadi hamba Kristus karena dia merasa kuat dan memiliki kebenaran Allah. Dia tidak menggembalakan umat karena merasa telah berhasil "menangkap" Kristus, sebaliknya dia dapat menjadi hamba Tuhan Yesus karena dia "ditangkap" oleh kasihNya. Itu sebabnya di Fil. 3:12, rasul Paulus berkata: "Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus". Rasul Paulus dapat menjadi seorang rasul Kristus karena dia telah ditangkap oleh Kristus. Ini berarti untuk menggembalakan sesama dan orang-orang di sekitar kita secara efektif sehingga akhirnya mereka dapat berjumpa dengan Kristus, manakala kitapun telah ditangkap oleh Kristus.
Jika demikian, apakah kita telah mengalami ditangkap oleh Kristus dan kasihNya sehingga kita menjadi pribadi yang lebih rendah-hati dalam mengasihi Tuhan dan sesama? Ataukah kita seringkali menunjukkan bahwa diri kita telah berhasil "menangkap" Kristus untuk kita masukkan ke dalam belenggu pola pikir, pola kebiasaan, pola adat-kebiasaan dan kebudayaan, dan pola peraturan atau dogma yang kita buat sendiri? Pastilah kita tidak akan pernah mengalami kehadiran Kristus yang bangkit dan kuasa kasihNya. Akibatnya kita tidak akan pernah mampu menggembalakan umat Allah, tetapi yang terjadi kita hanya memberlakukan tindakan memerintah secara duniawi kepada kawanan umat Allah. Hasilnya pastilah bukan suatu persekutuan, tetapi saling tercerai-berai. Karena itu marilah kita kini saling menggembalakan dengan kuasa kebangkitan Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar