Peristiwa kematian yang dialami oleh umat manusia sebenarnya sesuatu yang sangat alamiah. Sejak awal kehidupan dan peradabannya, umat manusia telah mengenal peristiwa kematian sebagai bagian yang sangat integral dari kehidupan ini. Kita semua telah mengalami kelahiran, proses pertumbuhan dan perjuangan, lalu kita satu demi satu akan mengakhiri kehidupan ini dengan peristiwa kematian.
Karena itu semua tokoh sejarah tanpa terkecuali telah mengalami peristiwa kematian, baik penakluk dunia yang monumental seperti raja Nebukadnezar dari Babel, Aleksander Agung dari Yunani; maupun para tokoh ternama dunia seperti Albert Eistein, Michel Faraday, James Watt, Thomas Alfa Edision, Charles Dickens, dan sebagainya. Jadi mengapa kita harus selalu merayakan kematian Yesus Kristus dari Nazaret?
Karena itu semua tokoh sejarah tanpa terkecuali telah mengalami peristiwa kematian, baik penakluk dunia yang monumental seperti raja Nebukadnezar dari Babel, Aleksander Agung dari Yunani; maupun para tokoh ternama dunia seperti Albert Eistein, Michel Faraday, James Watt, Thomas Alfa Edision, Charles Dickens, dan sebagainya. Jadi mengapa kita harus selalu merayakan kematian Yesus Kristus dari Nazaret?
Bukankah dari sudut tertentu, Yesus Kristus dari Nazaret juga sebagai tokoh sejarah?
Bukankah kematian Yesus tidak berbeda jauh dengan kematian umat manusia lainnya? Sesungguhnya jutaan manusia juga pernah mengalami kematian yang tragis dengan cara yang sangat menyedihkan sebagaimana yang pernah dialami oleh Yesus Kristus dengan cara wafat di atas kayu salib.
Peristiwa kematian Kristus sangatlah unik, mengandung misteri yang tidak terpecahkan, dan membawa pengaruh serta transformasi yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia sepanjang abad. Makna kematian Kristus tidak sama dengan kematian para tokoh sejarah, para nabi, rasul-rasul atau orang-orang ternama kaliber dunia manapun.
Sebab kematian Kristus di atas kayu salib dua ribu tahun yang lalu telah membawa suatu perubahan yang radikal terhadap makna, nilai-nilai, filosofi, teologi, agama dan arah perjalanan sejarah umat manusia.
Surat Ibrani berkata: “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diriNya sendiri” (Ibr. 10:19).
Makna pengertian “oleh darah Yesus” menurut iman Kristen begitu sangat penting dan menentukan hakikat keselamatan umat manusia. Sebab tanpa melalui “darah Yesus” yaitu kematian Kristus di atas kayu salib, semua manusia tidak mungkin dapat masuk ke dalam tempat kudus yaitu takhta Allah.
Tanpa melalui “pencurahan darah Yesus”, kita semua akan tetap hidup di bawah kuasa dosa dan murka Allah. tidak dapat memperoleh keselamatan dan hidup kekal di hadapan Allah.
Tanpa kematian Kristus, umat manusia tetap dapat beragama, memiliki keyakinan yang sistematis, berbagai ritualitas yang indah dan pengajaran yang berhikmat. Tetapi tanpa darah Kristus, dengan usaha dan berbagai jasa perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, sesungguhnya kita tidak dapat berkenan di hati Allah, atau kita tidak mungkin benar di hadirat takhta Allah.
Bukankah di hadapan Allah segala kebajikan, perbuatan baik dan kesalehan kita seperti kain yang usang?
Apakah yang dapat kita banggakan dengan berbagai perbuatan baik, hikmat, pengertian atau amal-ibadah kita?
Dengan demikian alasan teologis dari surat Ibrani sangatlah jelas, yaitu melalui kematian dan korban darahNya, Kristus telah ditentukan oleh Allah untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup. Jadi kematian Kristus telah membuka jalan yang baru dan yang hidup, sehingga kita berani masuk ke tempat maha-kudus (having boldness to enter the Holiest by the blood of Jesus by a new and living way).
Teologia penebusan dosa dengan pencurahan darah telah dipraktekkan dalam kehidupan iman umat Israel sejak awal. Setiap umat yang berdosa untuk pengampunan dosanya wajiblah dia membawa korban penghapus dosa (asyam) atau korban penebus salah (hattath). Misalnya untuk korban penebus salah (hattath) dapat kita lihat di Im. 7:1-2, yaitu: “Inilah hukum tentang kurban penebus salah. Korban itu ialah persembahan maha kudus. Di tempat orang menyembelih korban bakaran, di situlah harus disembelih korban penebus salah, dan darahnya haruslah disiramkan pada mezbah itu di sekelilingnya”.
Fungsi penumpahan darah hewan korban yang disembelih dalam konteks ini dihayati sebagai suatu peristiwa pendamaian antara Allah dengan umatNya. Sebab pengertian dosa dalam teologia umat Israel dan umat Kristen bukan sekedar suatu pelanggaran manusia terhadap hukum atau ketentuan Allah belaka; tetapi makna dosa dihayati sebagai suatu perlawanan atau pemberontakan yang eksistensial terhadap diri Allah sendiri. Itu sebabnya hukuman atas dosa oleh Allah seharusnya berupa kematian. Perbuatan dosa tidak dapat dibayar dengan sekedar perbuatan baik, pahala atau amal-ibadah seseorang. Pendamaian atas perbuatan dosa hanya dapat dibayar dengan penumpahan darah.
Ibr. 9:22 berkata: “Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa pengampunan darah tidak ada pengampunan”.
Dalam hal ini hewan korban yang disembelih berfungsi sebagai “pengganti” (penebus) dosa atas umat atau orang yang berdosa, sehingga hewan korban untuk penghapus dosa (asyam) dan korban penebus salah (hattath) haruslah hewan yang tanpa cela. Walaupun ketentuan dan syarat hewan korban haruslah serba sempurna, namun bagaimana mungkin seekor atau ribuan hewan korban dan pencurahan darahnya di atas mezbah dapat “mengganti” (menebus) dosa seseorang?
Jawabnya adalah: tidaklah mungkin! Atas kesadaran demikian diperlukan penebus dosa yang benar-benar sempurna, tak bercacat, yang kudus dan berkenan di hadirat Allah. Penebus dosa itu tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali diri Kristus. Dalam kematianNya di atas kayu salib, Kristus telah ditentukan oleh Allah menjadi korban penebus dosa (asyam) dan juga menjadi korban penebus salah (hattath) bagi seluruh umat manusia.
Surat Ibrani berkata: “betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup”.
Jadi jelaslah alasan mengapa pencurahan darah Kristus mutlak diperlukan, karena hanya dengan darah Kristus sajalah yang memungkinkan umat yang percaya dapat masuk ke hadirat Allah dan berkenan kepadaNya. Darah Kristus yang ditumpahkan di atas kayu salib tersebut ditentukan oleh Allah, sehingga darah Kristus tersebut menjadi sangat efektif dan sempurna untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kehidupan seluruh umat manusia. Sehingga melalui darah salib Kristus, kita telah diperdamaikan dengan Allah.
Pada waktu Kristus tergantung dalam sekarat maut di atas kayu salib, Dia tetap menunjukkan perhatianNya yang sangat besar terhadap Maria ibuNya. Dia menitipkan ibuNya kepada murid yang dikasihi, yaitu rasul Yohanes (Yoh. 19:26-27). Sekarat maut yang dialami oleh Kristus, tetap tidak membuat Dia lupa akan kewajiban dan tanggungjawabNya sebagai seorang anak yang setia dan mengasihi ibuNya. Menjelang kematianNya, Kristus tidak pernah berfokus kepada kepentingan diriNya sendiri. Saat Tuhan Yesus disalibkan, Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar, ungkapan-ungkapan kemarahan, kebencian dan kutukan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang disalib pada zaman itu. Sebaliknya perkataan-perkataan Kristus senantiasa penuh dengan pengampunan, ucapan berkat dan penghiburan kepada orang-orang yang berada di dekat salibNya. Dalam hal ini Kristus telah membuktikan diriNya sebagai korban yang sangat sempurna di hadapan Allah dan manusia.
Bahkan saat Dia begitu haus menjelang detik-detik kematianNya, Kristus hanya menerima anggur asam untuk membasahi bibirNya yang kering. Sepanjang hidupNya Kristus sering diperlakukan secara buruk oleh dunia ini, tetapi kasih dan kesetiaanNya tidak pernah berubah atau berkurang sedikitpun. Kasih dan kesetiaanNya senantiasa total dan menyeluruh.
Saat Dia akan menghembuskan nafasNya yang terakhir, perkataan yang diucapkan oleh Tuhan Yesus adalah: “Sudah selesai” (Yoh. 19:30), lalu Dia wafat. Perkataan “sudah selesai” (“It is finished”) yang diucapkan oleh Tuhan Yesus mau menyatakan bahwa seluruh hidupNya telah menjadi korban yang sempurna di hadapan Allah.
Dia telah berhasil menyelesaikan seluruh karya Allah yang mendamaikan secara sempurna sampai pada akhirnya. Itu sebabnya karya Kristus yang “sudah selesai” di atas kayu salib pada hakikatnya menunjuk kepada tindakan yang bermakna “menyelesaikan” atau “menyempurnakan” (accomplish) secara lengkap. Sehingga kematianNya benar-benar dapat membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi umat manusia.
Makna teologis tentang kematian Kristus yang membuka suatu jalan yang baru dan yang hidup bagi manusia dapat memberikan kepada kita suatu perspektif iman yang “transformatif” saat kita menghadapi secara nyata kuasa maut berupa penderitaan, kepedihan, kegagalan dan kematian.
Betapa sering kita terjebak dalam perasaan putus-asa dan kehilangan gairah hidup pada saat kita mengalami berbagai kesedihan, kegagalan, penderitaan dan kematian dari orang-orang yang kita kasihi.
Pada saat yang demikian, kita merasa tidak sanggup lagi menjalani pergumulan kehidupan ini. Kita juga merasa tidak sanggup lagi melakukan apa yang baik seperti: berbagai ketentuan atau kewajiban agama, tanggungjawab untuk beribadah, berdoa dan melayani.
Saat itu hidup kita seperti terkurung dalam api neraka, yang begitu menyiksa dan menyakitkan. Tetapi pada saat kita berada dalam bayang-bayang maut dan kekelaman “kematian”, tiba-tiba kita dapat mendengar ucapan Tuhan Yesus saat Dia akan menghembuskan nafasNya: “Sudah selesai!”
Apa yang terjadi dalam diri kita selanjutnya?
Bukankah pada saat itu kita merasakan atau mengalami seluruh beban yang begitu berat dan menindih kita tiba-tiba dapat terangkat lepas?
Ucapan Kristus yang berkata: “Sudah selesai” memberikan kepada kita suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga kita dapat menemukan suatu jalan yang baru dan jalan yang hidup di tengah-tengah berbagai persoalan hidup yang menerpa kita. Pengalaman transformatif ini mengingatkan saya akan karya dari John Bunyan
Surat Ibrani berkata: “Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diriNya sendiri” (Ibr. 10:19).
Makna pengertian “oleh darah Yesus” menurut iman Kristen begitu sangat penting dan menentukan hakikat keselamatan umat manusia. Sebab tanpa melalui “darah Yesus” yaitu kematian Kristus di atas kayu salib, semua manusia tidak mungkin dapat masuk ke dalam tempat kudus yaitu takhta Allah.
Tanpa melalui “pencurahan darah Yesus”, kita semua akan tetap hidup di bawah kuasa dosa dan murka Allah. tidak dapat memperoleh keselamatan dan hidup kekal di hadapan Allah.
Tanpa kematian Kristus, umat manusia tetap dapat beragama, memiliki keyakinan yang sistematis, berbagai ritualitas yang indah dan pengajaran yang berhikmat. Tetapi tanpa darah Kristus, dengan usaha dan berbagai jasa perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, sesungguhnya kita tidak dapat berkenan di hati Allah, atau kita tidak mungkin benar di hadirat takhta Allah.
Bukankah di hadapan Allah segala kebajikan, perbuatan baik dan kesalehan kita seperti kain yang usang?
Apakah yang dapat kita banggakan dengan berbagai perbuatan baik, hikmat, pengertian atau amal-ibadah kita?
Dengan demikian alasan teologis dari surat Ibrani sangatlah jelas, yaitu melalui kematian dan korban darahNya, Kristus telah ditentukan oleh Allah untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup. Jadi kematian Kristus telah membuka jalan yang baru dan yang hidup, sehingga kita berani masuk ke tempat maha-kudus (having boldness to enter the Holiest by the blood of Jesus by a new and living way).
Teologia penebusan dosa dengan pencurahan darah telah dipraktekkan dalam kehidupan iman umat Israel sejak awal. Setiap umat yang berdosa untuk pengampunan dosanya wajiblah dia membawa korban penghapus dosa (asyam) atau korban penebus salah (hattath). Misalnya untuk korban penebus salah (hattath) dapat kita lihat di Im. 7:1-2, yaitu: “Inilah hukum tentang kurban penebus salah. Korban itu ialah persembahan maha kudus. Di tempat orang menyembelih korban bakaran, di situlah harus disembelih korban penebus salah, dan darahnya haruslah disiramkan pada mezbah itu di sekelilingnya”.
Fungsi penumpahan darah hewan korban yang disembelih dalam konteks ini dihayati sebagai suatu peristiwa pendamaian antara Allah dengan umatNya. Sebab pengertian dosa dalam teologia umat Israel dan umat Kristen bukan sekedar suatu pelanggaran manusia terhadap hukum atau ketentuan Allah belaka; tetapi makna dosa dihayati sebagai suatu perlawanan atau pemberontakan yang eksistensial terhadap diri Allah sendiri. Itu sebabnya hukuman atas dosa oleh Allah seharusnya berupa kematian. Perbuatan dosa tidak dapat dibayar dengan sekedar perbuatan baik, pahala atau amal-ibadah seseorang. Pendamaian atas perbuatan dosa hanya dapat dibayar dengan penumpahan darah.
Ibr. 9:22 berkata: “Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa pengampunan darah tidak ada pengampunan”.
Dalam hal ini hewan korban yang disembelih berfungsi sebagai “pengganti” (penebus) dosa atas umat atau orang yang berdosa, sehingga hewan korban untuk penghapus dosa (asyam) dan korban penebus salah (hattath) haruslah hewan yang tanpa cela. Walaupun ketentuan dan syarat hewan korban haruslah serba sempurna, namun bagaimana mungkin seekor atau ribuan hewan korban dan pencurahan darahnya di atas mezbah dapat “mengganti” (menebus) dosa seseorang?
Jawabnya adalah: tidaklah mungkin! Atas kesadaran demikian diperlukan penebus dosa yang benar-benar sempurna, tak bercacat, yang kudus dan berkenan di hadirat Allah. Penebus dosa itu tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali diri Kristus. Dalam kematianNya di atas kayu salib, Kristus telah ditentukan oleh Allah menjadi korban penebus dosa (asyam) dan juga menjadi korban penebus salah (hattath) bagi seluruh umat manusia.
Surat Ibrani berkata: “betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup”.
Jadi jelaslah alasan mengapa pencurahan darah Kristus mutlak diperlukan, karena hanya dengan darah Kristus sajalah yang memungkinkan umat yang percaya dapat masuk ke hadirat Allah dan berkenan kepadaNya. Darah Kristus yang ditumpahkan di atas kayu salib tersebut ditentukan oleh Allah, sehingga darah Kristus tersebut menjadi sangat efektif dan sempurna untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kehidupan seluruh umat manusia. Sehingga melalui darah salib Kristus, kita telah diperdamaikan dengan Allah.
Pada waktu Kristus tergantung dalam sekarat maut di atas kayu salib, Dia tetap menunjukkan perhatianNya yang sangat besar terhadap Maria ibuNya. Dia menitipkan ibuNya kepada murid yang dikasihi, yaitu rasul Yohanes (Yoh. 19:26-27). Sekarat maut yang dialami oleh Kristus, tetap tidak membuat Dia lupa akan kewajiban dan tanggungjawabNya sebagai seorang anak yang setia dan mengasihi ibuNya. Menjelang kematianNya, Kristus tidak pernah berfokus kepada kepentingan diriNya sendiri. Saat Tuhan Yesus disalibkan, Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang kasar, ungkapan-ungkapan kemarahan, kebencian dan kutukan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang disalib pada zaman itu. Sebaliknya perkataan-perkataan Kristus senantiasa penuh dengan pengampunan, ucapan berkat dan penghiburan kepada orang-orang yang berada di dekat salibNya. Dalam hal ini Kristus telah membuktikan diriNya sebagai korban yang sangat sempurna di hadapan Allah dan manusia.
Bahkan saat Dia begitu haus menjelang detik-detik kematianNya, Kristus hanya menerima anggur asam untuk membasahi bibirNya yang kering. Sepanjang hidupNya Kristus sering diperlakukan secara buruk oleh dunia ini, tetapi kasih dan kesetiaanNya tidak pernah berubah atau berkurang sedikitpun. Kasih dan kesetiaanNya senantiasa total dan menyeluruh.
Saat Dia akan menghembuskan nafasNya yang terakhir, perkataan yang diucapkan oleh Tuhan Yesus adalah: “Sudah selesai” (Yoh. 19:30), lalu Dia wafat. Perkataan “sudah selesai” (“It is finished”) yang diucapkan oleh Tuhan Yesus mau menyatakan bahwa seluruh hidupNya telah menjadi korban yang sempurna di hadapan Allah.
Dia telah berhasil menyelesaikan seluruh karya Allah yang mendamaikan secara sempurna sampai pada akhirnya. Itu sebabnya karya Kristus yang “sudah selesai” di atas kayu salib pada hakikatnya menunjuk kepada tindakan yang bermakna “menyelesaikan” atau “menyempurnakan” (accomplish) secara lengkap. Sehingga kematianNya benar-benar dapat membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi umat manusia.
Makna teologis tentang kematian Kristus yang membuka suatu jalan yang baru dan yang hidup bagi manusia dapat memberikan kepada kita suatu perspektif iman yang “transformatif” saat kita menghadapi secara nyata kuasa maut berupa penderitaan, kepedihan, kegagalan dan kematian.
Betapa sering kita terjebak dalam perasaan putus-asa dan kehilangan gairah hidup pada saat kita mengalami berbagai kesedihan, kegagalan, penderitaan dan kematian dari orang-orang yang kita kasihi.
Pada saat yang demikian, kita merasa tidak sanggup lagi menjalani pergumulan kehidupan ini. Kita juga merasa tidak sanggup lagi melakukan apa yang baik seperti: berbagai ketentuan atau kewajiban agama, tanggungjawab untuk beribadah, berdoa dan melayani.
Saat itu hidup kita seperti terkurung dalam api neraka, yang begitu menyiksa dan menyakitkan. Tetapi pada saat kita berada dalam bayang-bayang maut dan kekelaman “kematian”, tiba-tiba kita dapat mendengar ucapan Tuhan Yesus saat Dia akan menghembuskan nafasNya: “Sudah selesai!”
Apa yang terjadi dalam diri kita selanjutnya?
Bukankah pada saat itu kita merasakan atau mengalami seluruh beban yang begitu berat dan menindih kita tiba-tiba dapat terangkat lepas?
Ucapan Kristus yang berkata: “Sudah selesai” memberikan kepada kita suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga kita dapat menemukan suatu jalan yang baru dan jalan yang hidup di tengah-tengah berbagai persoalan hidup yang menerpa kita. Pengalaman transformatif ini mengingatkan saya akan karya dari John Bunyan
(1628-1688) yang menulis suatu buku berjudul “The Pilgrim’s Progress from This World to That Which Is to Come”. Buku tersebut sangat populer dan diterbitkan pada tahun 1678 (kelak diterjemahkan dengan judul: “Perjalanan Seorang Musafir”). Dalam buku John Bunyan tersebut, dikisahkan bagaimana seorang tokoh bernama Kristen, tiba-tiba punggungnya dari hari ke hari makin membesar setelah dia membaca Alkitabnya. Makin didalami isi Alkitab, si Kristen merasakan punggungnya makin menanggung beban yang sangat berat. Akhirnya dia memutuskan melakukan perjalanan sebagai seorang musafir untuk mengetahui kebenaran firman Tuhan.Dalam pengembaraannya tokoh si Kristen menemui berbagai karakter manusia; akhirnya sampailah si Kristen itu di depan kayu salib Kristus. Saat dia berlutut di bawah kaki salib Kristus, maka seluruh beban di atas punggungnya dapat terlepas. Jelas sifat tulisan dari John Bunyan bersifat alegoris untuk menggambarkan beban dosa yang harus ditanggung oleh manusia. Beban dosa tersebut tidak dapat terlepas kecuali kita menghadap salib Kristus. Bukankah gambaran dari tokoh si Kristen dan orang-orang yang dijumpai dalam pengembaraannya dalam buku John Bunyan tersebut menggambarkan kehidupan kita sehari-hari? Beban pergumulan dan dosa atau kesalahan kita hanya dapat terangkat lepas saat Kristus meneguhkan kita, bahwa kuasa maut pada hakikatnya telah dipatahkan karena Dia telah menyelesaikan karya pendamaian di atas kayu salib dengan sempurna.
Selama kita terus-menerus mencoba untuk memperoleh keselamatan dengan mengandalkan amal-ibadah, pahala dan perbuatan baik kita; maka kita akan selalu tergoda untuk berfokus kepada diri sendiri. Fokus kepada diri sendiri tersebut akan membuat mata hati kita tertutup kepada karya keselamatan dan anugerah yang telah disediakan oleh Allah. Itu sebabnya kita akan sangat giat melakukan berbagai perbuatan baik atau pahala demi kepentingan atau keselamatan diri sendiri; tetapi perbuatan baik tersebut bukanlah ditujukan untuk kemuliaan nama Allah. Dalam pemikiran “teologis” tersebut seolah-olah dalam kehidupan ini kita dapat mengendalikan keselamatan dan hidup kekal menurut kehendak dan kemauan kita sendiri. Kita lupa bahwa kita adalah umat yang telah berdosa dan telah jatuh di bawah kuasa dosa. Sehingga tidak seorangpun di antara kita dapat mengusahakan keselamatan dengan usaha atau perbuatan kita sendiri. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa tergoda untuk menyelesaikan segala persoalan, kegagalan, dan dosa-dosa yang telah membelenggu kita dengan usaha dan kekuatan kita sendiri. Dalam hal ini kita seperti seekor kera yang terjatuh dalam kubangan lumpur maut. Makin dia berusaha naik ke atas, maka kera tersebut makin tersedot ke dalam lumpur. Demikian pula dengan diri kita. Karena kita terus berusaha naik ke atas dengan kekuatan diri sendiri, maka akhirnya tubuh kita makin terbenam dan terus tersedot dalam lumpur maut tersebut sehingga kita mengalami kematian. Jadi betapa berartinya makna “oleh darah Yesus” bagi kehidupan umat manusia yang secara eksistensial telah terjatuh dalam kubangan lumpur maut yaitu kuasa dosa. Sebab melalui korban Kristus, pada hakikatnya Allah telah menyediakan diriNya menjadi korban untuk meneguhkan, mengangkat dan menyelamatkan kita dari kubangan lumpur dosa, yaitu kematian.
Selain itu makna kematian Kristus membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita tidak pernah membuat diri kita hidup secara eksklusif. Karya Kristus yang mendamaikan tidak pernah mendorong kita untuk menjadi pribadi yang “cinta diri” dengan menutup relasi yang hangat dengan sesama. Sebaliknya karya Kristus yang mendamaikan dengan membuka jalan yang baru dan yang hidup senantiasa mendorong kita untuk menghayati makna dan tujuan hidup kita yang baru dalam persekutuan jemaat.
Ibr. 10:25 berkata: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti yang dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”. Artinya “jalan yang baru dan yang hidup” dari karya pendamaian salib Kristus hanya dapat kita temukan ketika kita sungguh-sungguh mau menghayati dan mempraktekkan persekutuan di tengah-tengah kehidupan jemaat. Kita tidak mungkin dapat menemukan karya Kristus yang mendamaikan ketika kita sengaja menjauh dari persekutuan jemaat, seperti kebaktian setiap hari Minggu dan berbagai kegiatan pelayanan gerejawi. Karya Kristus yang mendamaikan di atas kayu salib bukan hanya mendamaikan diri kita dengan Allah, tetapi juga mendamaikan diri kita dengan setiap sesama kita; bahkan juga karya Kristus tersebut mendamaikan diri kita dengan diri sendiri sehingga kita dimampukan untuk menerima keberadaan orang lain.
Tujuannya agar jalan yang baru dan yang hidup dari Kristus tersebut dapat kita nyatakan dan hadirkan dalam lingkup yang lebih luas, yaitu persekutuan demi persekutuan. Sehingga dalam setiap komunitas di mana kita hadir, senantiasa akan terjadi karya keselamatan Allah yang mendamaikan. Tugas ini tidak dapat kita elakkan karena sesungguhnya Kristus telah memanggil dan menetapkan kita untuk menjadi para hambaNya; yaitu kita dipanggil untuk mengkomunikasikan jalan yang baru dan yang hidup dalam karyaNya kepada dunia di sekitar kita. Jika demikian, bagaimana respon saudara? Maukah saudara menjadi alat dari Kristus untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup di mana kita berada agar keselamatan Allah dapat terwujud? Amin.
Selama kita terus-menerus mencoba untuk memperoleh keselamatan dengan mengandalkan amal-ibadah, pahala dan perbuatan baik kita; maka kita akan selalu tergoda untuk berfokus kepada diri sendiri. Fokus kepada diri sendiri tersebut akan membuat mata hati kita tertutup kepada karya keselamatan dan anugerah yang telah disediakan oleh Allah. Itu sebabnya kita akan sangat giat melakukan berbagai perbuatan baik atau pahala demi kepentingan atau keselamatan diri sendiri; tetapi perbuatan baik tersebut bukanlah ditujukan untuk kemuliaan nama Allah. Dalam pemikiran “teologis” tersebut seolah-olah dalam kehidupan ini kita dapat mengendalikan keselamatan dan hidup kekal menurut kehendak dan kemauan kita sendiri. Kita lupa bahwa kita adalah umat yang telah berdosa dan telah jatuh di bawah kuasa dosa. Sehingga tidak seorangpun di antara kita dapat mengusahakan keselamatan dengan usaha atau perbuatan kita sendiri. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa tergoda untuk menyelesaikan segala persoalan, kegagalan, dan dosa-dosa yang telah membelenggu kita dengan usaha dan kekuatan kita sendiri. Dalam hal ini kita seperti seekor kera yang terjatuh dalam kubangan lumpur maut. Makin dia berusaha naik ke atas, maka kera tersebut makin tersedot ke dalam lumpur. Demikian pula dengan diri kita. Karena kita terus berusaha naik ke atas dengan kekuatan diri sendiri, maka akhirnya tubuh kita makin terbenam dan terus tersedot dalam lumpur maut tersebut sehingga kita mengalami kematian. Jadi betapa berartinya makna “oleh darah Yesus” bagi kehidupan umat manusia yang secara eksistensial telah terjatuh dalam kubangan lumpur maut yaitu kuasa dosa. Sebab melalui korban Kristus, pada hakikatnya Allah telah menyediakan diriNya menjadi korban untuk meneguhkan, mengangkat dan menyelamatkan kita dari kubangan lumpur dosa, yaitu kematian.
Selain itu makna kematian Kristus membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita tidak pernah membuat diri kita hidup secara eksklusif. Karya Kristus yang mendamaikan tidak pernah mendorong kita untuk menjadi pribadi yang “cinta diri” dengan menutup relasi yang hangat dengan sesama. Sebaliknya karya Kristus yang mendamaikan dengan membuka jalan yang baru dan yang hidup senantiasa mendorong kita untuk menghayati makna dan tujuan hidup kita yang baru dalam persekutuan jemaat.
Ibr. 10:25 berkata: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti yang dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”. Artinya “jalan yang baru dan yang hidup” dari karya pendamaian salib Kristus hanya dapat kita temukan ketika kita sungguh-sungguh mau menghayati dan mempraktekkan persekutuan di tengah-tengah kehidupan jemaat. Kita tidak mungkin dapat menemukan karya Kristus yang mendamaikan ketika kita sengaja menjauh dari persekutuan jemaat, seperti kebaktian setiap hari Minggu dan berbagai kegiatan pelayanan gerejawi. Karya Kristus yang mendamaikan di atas kayu salib bukan hanya mendamaikan diri kita dengan Allah, tetapi juga mendamaikan diri kita dengan setiap sesama kita; bahkan juga karya Kristus tersebut mendamaikan diri kita dengan diri sendiri sehingga kita dimampukan untuk menerima keberadaan orang lain.
Tujuannya agar jalan yang baru dan yang hidup dari Kristus tersebut dapat kita nyatakan dan hadirkan dalam lingkup yang lebih luas, yaitu persekutuan demi persekutuan. Sehingga dalam setiap komunitas di mana kita hadir, senantiasa akan terjadi karya keselamatan Allah yang mendamaikan. Tugas ini tidak dapat kita elakkan karena sesungguhnya Kristus telah memanggil dan menetapkan kita untuk menjadi para hambaNya; yaitu kita dipanggil untuk mengkomunikasikan jalan yang baru dan yang hidup dalam karyaNya kepada dunia di sekitar kita. Jika demikian, bagaimana respon saudara? Maukah saudara menjadi alat dari Kristus untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup di mana kita berada agar keselamatan Allah dapat terwujud? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar