Sabtu, 23 April 2011

Kristus bangkit memperbahrui hidup

KRISTUS YANG BANGKIT MEMBAHARUI KEHIDUPAN
Kis. 9:1-6, 7-20; Mzm. 30; Why. 5:11-14; Yoh. 21:1-19

Pengantar                Peristiwa kebangkitan Kristus sering diidentikkan dengan fenomena penampakan roh. Mereka berpandangan
bahwa kisah kebangkitan Yesus merupakan refleksi teologis dari pengalaman para murid yang mengalami penampakan roh Yesus. Refleksi teologis dari pengalaman tentang penampakan roh Yesus tersebut mungkin bersifat faktual, tetapi juga mungkin sebagai suatu halusinasi. Bagi mereka yang dipengaruhi oleh kepercayaan “mistis”, maka fenomena penampakan roh Yesus tersebut merupakan kisah  yang “faktual”.  Sebaliknya bagi mereka yang menganggap dirinya rasionalistis, maka fenomena penampakan roh atau yang disebut dengan kebangkitan Kristus tersebut hanya akan dianggap sebagai suatu halusinasi. Para murid Yesus dianggap mengalami halusinasi sebab mereka mengalami suatu kejutan psikis yang luar-biasa. Yang mana para murid Yesus mengalami kejutan psikis yang luar-biasa karena mereka secara mental tidak siap menghadapi kematian Yesus yang tragis di mana seluruh harapan mereka menjadi runtuh sama sekali. Bentuk kompensasi dari kejutan psikis tersebut adalah para murid Yesus tersebut kemudian berupaya mencari “pembenaran” dengan membayangkan Yesus yang telah mati dapat hidup kembali dan menampakkan diri di tengah-tengah mereka. Padahal sesungguhnya apa yang dialami oleh para murid Yesus hanyalah suatu proyeksi atau pantulan dari harapan yang telah hancur. Karena itu menurut kelompok yang berpandangan demikian, para murid Yesus mengalami “perpecahan batin” sebab antara harapan dan realita saling bertolak-belakang. Itu sebabnya para murid Yesus tidak mampu membedakan antara harapan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
                Namun sayangnya pandangan yang menyatakan bahwa para murid Yesus mengalami “perpecahan batin” sehingga mereka tidak mampu membedakan antara harapan dengan kenyataan mengabaikan satu hal yang mendasar, yaitu suatu bukti dari pembaharuan hidup yang transformatif. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana kondisi para murid Yesus yang dianggap mengalami “perpecahan batin” ternyata dapat menghasilkan suatu kehidupan yang berkualitas. Sebagaimana kita tahu, bahwa kondisi “perpecahan batin” pada hakikatnya menunjuk kepada suatu mental yang sakit, yaitu: kondisi psikis yang kehilangan orientasi, tidak mampu menghadapi kenyataan, emosi yang serba tidak stabil, tidak mampu berpikir secara logis, dan tidak mampu menjalin relasi atau komunikasi yang didasari oleh kasih. Seseorang yang mengalami “perpecahan batin” tidak akan mampu membangun suatu komunitas yang didasari oleh kasih, pengampunan dan kesediaan berkurban karena mereka selalu terjebak oleh pembenaran-pembenaran diri (rasionalisasi) yang destruktif. Jadi seandainya Kristus tidak bangkit, tetapi kisah kebangkitan Kristus hanya lahir dari ilusi atau halusinasi para murid, maka konsekuensinya gereja tidak akan mampu memberitakan dan membuktikan cinta-kasih, pengampunan dan kesediaan berkurban. Tepatnya para murid Yesus dan gereja perdana tidak akan memiliki landasan spiritualitas yang kokoh untuk berkiprah dan mempertahankan eksistensinya. Sebab untuk mampu mempertahankan eksistensi dan memiliki hidup yang berkualitas, para murid dan gereja perdana serta umat sepanjang masa harus memiliki pembaharuan hidup yang telah dikerjakan oleh Kristus yang bangkit.
Penyataan Kristus Di Tepi Pantai
Apabila kisah kebangkitan Kristus sekedar suatu penampakan roh, maka seluruh kisah penampakan diri Yesus senantiasa ditempatkan dalam “setting” waktu di malam hari dengan ruangan tertutup. Demikian juga apabila kisah 
kebangkitan Kristus sekedar suatu halusinasi, maka para murid akan menghabiskan waktu dengan duduk melamun dan bersedih hati. Tetapi tidaklah demikian kesaksian Injil Yohanes. Di Yoh. 21:1-3 menyaksikan bagaimana para murid setelah kematian Yesus kembali bekerja sebagai para nelayan. Para murid Yesus tidak menyia-nyiakan waktu dengan berpangku-tangan dan melamun tentang masa lalu saat mereka bersama Yesus. Mereka bekerja saling membantu dan berjuang mencari ikan. Namun usaha mereka ternyata tidak berhasil. Di tengah-tengah kegagalan tersebut, tiba-tiba mereka mendengar suara dari arah pantai agar mereka menebarkan jala ke sebelah kanan. Semula para murid tidak mengenali suara tersebut. Mereka baru menyadari bahwa suara tersebut adalah Yesus setelah mereka berhasil memperoleh ikan dalam jumlah yang sangat banyak. Secara spontan Petrus segera terjun ke air untuk mendekati Tuhan Yesus yang sedang duduk di pantai. Lalu para murid yang lain datang dengan perahu mereka. Saat para murid sampai di pantai, mereka melihat Kristus yang bangkit. Mereka juga melihat api arang untuk memanggang roti dan ikan.  Setelah mereka duduk di dekatNya, Tuhan Yesus mengundang mereka untuk makan bersama. Penampakan roh tidak pernah hadir dengan “hantu” yang menyalakan api unggun dan berada di tempat yang terbuka. Demikian pula halusinasi tidak pernah dialami oleh orang-orang yang sedang bekerja dengan giat dan kolektif.  Apalagi halusinasi tersebut tidak mungkin terjadi di waktu siang ketika para murid berhasil menangkap ikan dalam jumlah yang banyak. Selain itu fenomena penampakan roh atau halusinasi tidak pernah ditandai dengan makan bersama antara para murid dengan “roh” Yesus yang telah bangkit.
                Namun tentunya makna kesaksian dari Yoh. 21 tentang penyataan Kristus di pantai Tiberias bukan sekedar untuk membuktikan kebangkitanNya dari kuasa maut. Lebih dari pada itu adalah Kristus yang bangkit adalah Kristus yang senantiasa hadir dalam setiap pergumualan dan kehidupan sehari-hari mereka. Di saat para murid mengalami kegagalan dalam usaha dan pekerjaan mereka, di situlah Kristus hadir  dan memberikan solusi. Kristus yang bangkit dari kematian bukanlah suatu sosok pribadi yang menampakkan diri sekedar untuk menunjukkan kehadiran atau eksistensiNya, tetapi sebaliknya melalui kehadiranNya Kristus memberi pertolongan dan jalan keluar bagi umat yang sebenarnya mustahil dilakukan menurut ukuran manusiawi. Seringkali dalam mewartakan peristiwa kebangkitan Kristus, kita selaku gereja hanya menekankan aspek penampakan-penampakan Kristus yang bangkit. Tetapi kita melupakan bahwa penampakan-penampakan dari Kristus yang bangkit pada hakikatnya diikuti pula dengan karyaNya yang menyelamatkan. Seandainya penampakan-penampakan Kristus tersebut tidak diikuti oleh karyaNya yang menyelamatkan, pastilah spiritualitas dan iman para murid dan gereja perdana tidak akan terlalu dipengaruhi oleh kuasa kebangkitan Kristus. Dengan kata lain karya Kristus yang bangkit lebih berperan dan berpengaruh dibandingkan dengan peristiwa penampakan yang dialami oleh para murid dan gereja perdana. Karya Kristus yang bangkit adalah karya Allah yang menyelamatkan dan membaharui kehidupan mereka.
Proses Penyadaran Diri
Bilamana kita membaca Kis. 9, pemahaman karya keselamatan Kristus yang membaharui seringkali hanya dipahami sebagai suatu peristiwa yang dahsyat dan mengejutkan sebagaimana yang pernah dialami oleh Saulus di Damsyik. Tepatnya karya keselamatan yang membaharui hidup manusia dipahami sebagai suatu peristiwa pertobatan secara tiba-tiba. Melalui suatu peristiwa tertentu, Allah berhasil mengubah keseluruhan hidup seseorang. Mungkin pola pertobatan dan pembaharuan hidup yang demikian dapat terjadi kepada beberapa orang. Mereka yang mengalami dapat segera bertobat saat itu sampai akhir hayat mereka. Di Kis. 9, menyaksikan bagaimana Saulus sebagai ahli Taurat semula sangat membenci dan ingin menghancurkan jemaat Tuhan. Tetapi dalam perjalanan di Damsyik, Saulus tiba-tiba melihat cahaya terang dari langit sehingga dia terjatuh dari kudanya dan menjadi buta. Peristiwa penampakan Kristus di Damsyik tersebut kemudian menjadi titik tolak yang mampu mengubah seluruh kehidupan Saulus sehingga kelak dia menjadi seorang rasul Kristus yang luar-biasa. Kuasa kebangkitan Kristus terbukti mampu mengubah secara drastis kehidupan Saulus yang semula begitu membenci iman Kristen menjadi seseorang yang sangat mengasihi Kristus dan jemaatNya begitu total. Sehingga perubahan hidup Saulus sontak berubah secara radikal. Seperti kilat yang menyambar dirinya, demikian pula Saulus akhirnya berubah secara kilat  menjadi seorang hamba Kristus. Tetapi apakah pola pertobatan yang begitu drastis mengubah kehidupan Saulus selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Tentunya jawabannya adalah “tidak selalu”. Sebab karya keselamatan Kristus yang membaharui juga dinyatakan dalam suatu proses penyadaran yang evolutif. Kita melihat dalam kasus Petrus yang pernah menyangkal diri Kristus, ternyata Kristus yang bangkit tidak pernah menurunkan kilat yang menyambar agar Petrus segera bertobat. Dalam kasus Petrus yang telah menyangkal diriNya sampai tiga kali, Tuhan Yesus membaharui hidup Petrus dengan mengadakan suatu percakapan yang menyentuh hati sehingga Petrus tidak hanya menemukan dirinya sebagai seorang yang bersalah tetapi juga menemukan Kristus yang tetap mengasihi Dia.
                Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menuntut suatu pembaharuan hidup kepada sesama secara drastis. Tepatnya strategi “menobatkan” sesama seperti kilat yang menyambar dan mampu mengubah kehidupan Saulus sering kita gunakan dalam setiap aspek pendekatan atau relasi dengan sesama. Sehingga panggilan kita sebagai kawan sekerja Allah yang membaharui kehidupan lebih dihayati sebagai suatu tugas yang berisi tuntutan kepada sesama yang dianggap lambat dan “keras kepala” menanggapi firman Tuhan. Mungkin kasus pertobatan dan pembaharuan hidup yang telah dialami oleh rasul Paulus dapat terjadi kepada beberapa orang. Tetapi sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak orang yang membutuhkan  pembaharuan hidup melalui proses penyadaran diri yang cukup panjang. Mereka harus diajak untuk berbicara dari hati ke hati secara intensif dengan penuh kesabaran, sehingga mereka juga dapat mengenal inti permasalahan dengan utuh dan obyektif. Lebih jauh lagi mereka mampu mengenali seluruh permasalahan dan kelemahan mereka dalam terang kasih Tuhan. Dengan demikian, proses penyadaran diri pada hakikatnya merupakan proses pengenalan diri secara menyeluruh sehingga umat mampu memahami jati-diri yang sebenarnya setelah mereka menempatkan kedirian mereka di hadapan Allah.  Karena itu proses penyadaran diri yang eksistensial senantiasa berkaitan dengan relasi personal dengan sesama di mana Allah menghadirkan diriNya. Proses penyadaran diri tidak akan pernah terjadi melalui sikap dan tindakan yang mengucilkan diri dari pergaulan dan realita kehidupan. Karena tindakan yang mengucilkan diri dari pergaulan pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang ingin melarikan diri dari realita kehidupan. Padahal Allah senantiasa menghadirkan diriNya di tengah-tengah realita kehidupan. Penyataan Allah tidak pernah terjadi di luar realita kehidupan, tetapi di dalam realita kehidupan umat.
Percakapan Yang Transformatif
Proses pembaharuan hidup dari umat yang semula tidak percaya dan menolak Tuhan sangat berbeda dengan kasus umat yang sebelumnya telah percaya namun kemudian mereka menyangkal imannya. Untuk kasus umat yang semula tidak percaya dan menolak Tuhan, mereka membutuhkan suatu peristiwa yang mampu menyingkapkan dan memberi pencerahan. Pengalaman akan pencerahan tersebut melahirkan sikap iman kepada Allah, sehingga mereka bersedia berbalik dengan segenap hati meninggalkan sikap tidak percaya. Mereka kemudian mengalami peristiwa hidup yang transformatif. Tetapi untuk kasus umat yang semula percaya namun menyangkal atau berkhianat tidaklah mudah penyelesaiannya. Bagi orang-orang yang memandang remeh makna iman dengan meninggalkan Kristus, maka mereka telah mengambil langkah dan keputusan yang telah mereka sadari seluruh konsekuensinya. Namun bagaimana dengan mereka yang merasa sangat bersalah setelah menyangkal dan mengkhianati imannya? Sebab dalam hati kecil mereka masih mengasihi Kristus. Kondisi inilah yang dialami oleh Petrus setelah dia menyangkal Kristus tiga kali. Petrus tentu merasa sangat bersalah, tidak layak dan menyesal telah mengkhianati Kristus. Dalam menyikapi pergumulan Petrus yang merasa sangat bersalah kepada Kristus, Allah tidak membaharui kehidupan Petrus dengan bentuk ancaman atau hukuman. Perasaan bersalah Petrus ditanggapi oleh Tuhan Yesus dengan sikap pastoral. Di Yoh. 21:15 setelah sarapan Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?"  Tuhan Yesus tidak mengawali percakapan dengan suatu pernyataan yang sifatnya menegur atau menyudutkan Petrus, tetapi dengan suatu pertanyaan yang menyentuh hati, yaitu: “Apakah Petrus mengasihi Kristus?”. Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut sama sekali tidak menyudutkan Petrus, tetapi justru menggugah kembali kepercayaan diri Petrus untuk memahami sejauh manakah dia telah mengasihi Kristus.
                Sangat menarik pertanyaan Tuhan Yesus kepada Petrus, yaitu: Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" (Yoh. 21:15) secara khusus kata “mengasihi” di sini dipergunakan istilah “agape”. Tepatnya apakah Simon Petrus telah mengasihi Kristus dengan kasih agape, yaitu kasih ilahi yang bersedia berkurban dan tanpa syarat?  Terhadap pertanyaan Tuhan Yesus tersebut, Petrus kemudian menjawab dengan pertanyaan Tuhan Yesus tersebut, yaitu: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau". Jawaban Petrus yang menyatakan “mengasihi” Tuhan Yesus ternyata tidak menggunakan istilah “agape”, tetapi istilah “philia” yang artinya: kasih seorang sahabat. Artinya Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus, apakah dia mengasihiNya dengan kasih agape? Dan jawab Petrus adalah dia hanya mampu mengasihi Kristus dengan kasih seorang sahabat belaka. Pertanyaan Tuhan Yesus yang kedua kali juga disampaikan format pertanyaan “apakah Petrus mengasihi Dia dengan kasih agape?” Dan kembali Petrus memberi jawaban bahwa dia mengasihi Tuhan Yesus dengan kasih seorang sahabat (“philia”). Sikap Petrus tersebut menunjukkan kesadaran dan kerendahan hatinya. Sebab sebelum menyangkali Tuhan Yesus sebanyak 3 kali, Petrus pernah mengungkapan sikap percaya dirinya sebagai berikut: "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau" (Mat. 26:35). Tetapi kenyataannya Petrus menyangkal Tuhan di hadapan para wanita yang ditemui di depan pelataran ruang pengadilan Sanhedrin.  Tepatnya di hadapan Kristus yang bangkit, Petrus tidak lagi berani berkata bahwa dia mengasihi Kristus dengan kasih agape. Itu sebabnya dengan pertanyaan yang ketiga, Tuhan Yesus tidak lagi menggunakan istilah kasih agape terhadap Petrus, tetapi Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus apakah dia mengasihi dengan kasih seorang sahabat. Saat itulah Petrus memperlihatkan kesedihannya karena Tuhan Yesus bertanya yang ketiga kali kepadanya, sebab mengingatkan dia akan tindakannya yang telah menyangkal Tuhan Yesus sebanyak 3 kali. Yoh. 21:17 menyaksikan sikap Petrus terhadap pertanyaan Tuhan Yesus yang ketiga kalinya, yaitu: “Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: Apakah engkau mengasihi Aku? Dan ia berkata kepada-Nya: Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau". Kini Petrus dengan rendah-hati menyatakan bahwa Tuhan Yesus sesungguhnya mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, bahwa kadar kasihnya hanya sebatas kasih seorang sahabat (philia) dan belum memiliki kualitas kasih ilahi yang berani berkurban tanpa syarat (agape).
Kesediaan Dibentuk 
Di hadapan Kristus yang bangkit, Petrus telah mengalami proses pembaharuan hidup yang menyeluruh. Sehingga Petrus tidak lagi bersikap sombong, terlalu takabur dan percaya diri. Sebaliknya kehidupan Petrus telah berubah menjadi seorang yang lebih rendah-hati. Justru karena Petrus mau mengakui bahwa dia hanya mampu mengasihi Kristus dengan kasih seorang sahabat, dan bukan dengan kasih yang ilahi, Petrus telah mengalami perubahan rohani secara kualitatif.  Bukankah semakin seseorang menganggap atau mengklaim dirinya telah memiliki “kasih agape” justru semakin menunjuk kepada seseorang yang masih dangkal dalam kasih. Sebaliknya semakin seseorang tidak mau menggembor-gemborkan kemampuan kasih atau karunia yang dimilikinya, semakin memperlihatkan kekuatan spiritualitas dan kompetensi yang sesungguhnya. Pembaharuan hidup tersebut itulah yang dialami oleh Petrus. Itulah sebabnya Tuhan Yesus kemudian berkata kepada Petrus, yaitu:   Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki"(Yoh. 21:18). Makna perkataan Tuhan Yesus tersebut pada hakikatnya mengingatkan Petrus saat dia masih muda dan saat dia akan tua. Saat seseorang masih muda, dia cenderung akan mengikuti apa yang dia inginkan. Dia akan bertindak berdasarkan kata hati atau perasaannya tanpa terlalu mau berpikir panjang. Sebaliknya ketika seseorang telah menjadi tua, dia akan menyadari keterbatasan dan ketidakberdayaannya. Sehingga dia akan bersikap lebih rendah-hati dan mau mengulurkan tangan untuk meminta bantuan.  Demikian pula makna kedewasaan spiritualitas.
                Seseorang dengan spiritualitas yang masih muda akan cenderung untuk bersikap egoistis dan merasa diri serba superior. Dia merasa mampu melakukan apa saja dan menganggap tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu menghentikan apa yang dia inginkan. Sehingga tidak mengherankan bila seseorang dengan pola spiritualitas yang masih muda, akan terlalu mudah memberi pernyataan yang bombastis dan takabur. Namun saat mereka diperhadapkan oleh kenyataan dan tantangan hidup yang sesungguhnya, maka segala pernyataannya yang serba luar-biasa tersebut lenyap ditelan bumi. Yang tinggal hanyalah suatu sikap yang pengecut dengan lari terbirit-birit. Sebaliknya pola spiritualitas yang telah masak karena kuasa kebangkitan Kristus lebih cenderung mau menyadari keterbatasan, kekurangan dan kelemahannya. Dia tidak akan menuntut, tetapi cenderung rela mengulurkan tangan untuk menempatkan orang lain sebagai pribadi yang unik dan mampu berperan secara konstruktif sesuai dengan kompetensinya. Semakin matang spiritualitas seseorang, semakin memampukan dia untuk memiliki kepekaan  dalam memahami kondisi dan kebutuhan sesama. Bahkan saat dia harus ditempatkan di tempat yang tidak dia kehendaki, dia akan mampu menyikapi secara kualitatif dan rohani. Jadi sikap Petrus “sebelum kebangkitan Kristus” adalah Petrus yang merasa diri serba kuat dan mampu melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi sikap Petrus “setelah kebangkitan Kristus” adalah Petrus yang bersedia menyadari seluruh kelemahan dan ketidakberdayaannya. Sehingga Petrus dapat menjadi seorang pribadi yang mau ditempatkan oleh Kristus di tempat yang tidak dia kehendaki. Konkretnya, Petrus akhirnya mampu memperlihatkan kesetiaannya yang total kepada Kristus saat dia ditempatkan di tempat yang sangat mengerikan, yaitu penyaliban dengan tubuh terbalik!
Panggilan
Bagi kita sejak semula menolak dan membenci Kristus seperti yang telah dilakukan oleh Saulus, Kristus yang bangkit memanggil mereka dalam rangkulan kasihNya. Namun bagi kita yang pernah bersalah dengan meninggalkan Kristus, tetap terbuka pintu pengampunan. Kristus yang bangkit adalah Kristus yang penuh dengan rahmat. Dia memproses kita dengan pola pendekatan pastoral melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi atau melalui karyaNya yang mencelikkan mata rohani kita untuk kembali mengasihi dan melayani Kristus. Jadi apapun kondisi kita, Kristus yang bangkit mengaruniakan pembaharuan hidup yang menyeluruh. Kehidupan lama kita seperti seseorang yang berada dalam lubang kubur. Namun melalui Kristus yang bangkit, kita memperoleh pengharapan dan keselamatan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh pemazmur, yaitu: “TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku.TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur” (Mzm. 30:3-4).
                Karena itu seharusnya selaku umat yang telah mendengar berita kebangkitan Kristus, hidup kita seharusnya semakin terbuka dan terarah hanya kepada Kristus. Kita tidak lagi bersandar kepada kemampuan dan keyakinan yang berlebihan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Petrus, tetapi ternyata Petrus menyangkal Kristus. Sebaliknya semakin spiritualitas kita matang dan dewasa, maka kita akan lebih rendah-hati dengan bersandar penuh kepada kuasa Allah. Sehingga kita akan bersedia menghargai  orang lain dan mengulurkan tangan untuk dipimpin oleh orang lain. Bahkan saat kita berada di tempat yang tidak kita kehendaki seperti penderitaan karena sakit, gagal melakukan suatu rencana yang telah dipersiapkan dengan matang, dan hal-hal yang menyedihkan – kita akan tetap  setia dan mengasihi Kristus. Jika demikian, bagaimanakah kini sikap saudara? Apakah berita tentang kebangkitan Kristus telah mengubah dan membaharui hidup kita? Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar