Sabtu, 23 April 2011

DAMAI-SEJAHTERA DALAM KEBANGKITAN KRISTUS





Kis. 4:32-35; Mzm. 133; I Yoh. 1:1 - 2:2; Yoh. 20:19-31



    Sebagai umat yang hidup di abad modern ini, sebaiknya kita makin kritis terhadap setiap hal. Kita perlu
bersikap kritis terhadap berbagai pandangan, pemikiran atau ide-ide yang beredar di sekitar kita baik dalam bentuk tulisan-tulisan maupun berita-berita  yang disampaikan dalam multi media dan percakapan-percakapan yang kita alami. Kalau kita perlu bersikap kritis terhadap setiap hal, maka kita juga perlu bersikap kritis dengan dogma-dogma dan doktrin berbagai agama serta ajaran gereja. Kita perlu menguji berbagai ajaran agama, termasuk pula semua pengajaran gereja agar seluruh pengajaran tersebut makin mendorong kesadaran iman yang lebih positif, konstruktif dan transformatif. Sikap kritis bukanlah musuh iman dan spiritualitas. Sebaliknya iman dan spiritualitas yang sehat senantiasa dilandasi oleh sikap kritis terhadap semua hal khususnya terhadap diri sendiri agar pandangan dan keyakinan yang kita hayati mampu kita pertanggungjawabkan dengan benar. Jika demikian, apakah kita boleh juga bersikap kritis terhadap kesaksian Alkitab? Kita perlu bersikap kritis terhadap kesaksian Alkitab dengan tujuan agar kita dapat memahami dengan benar setelah kita menguji kebenaran yang dinyatakan. Termasuk pula kita wajib menguji kesaksian Alkitab tentang peristiwa kebangkitan Kristus. 

    Namun apakah secara etis-iman kita layak menguji peristiwa kebangkitan Kristus? Tergantung tujuan dan motif kita. Apakah tujuan dan motif kita untuk meremehkan dan menolak peristiwa kebangkitan Kristus, ataukah kita mau terbuka untuk belajar suatu rahasia kebangkitan Kristus? Dengan perkataan lain, sikap kritis pada hakikatnya tidak pernah netral. Sikap kritis sangat ditentukan oleh motif atau tujuan yang mendasarinya. Karena itu kita juga perlu bersikap kritis terhadap motif dan tujuan yang kita miliki. Kita sering bersikap kritis terhadap setiap hal, namun ternyata kita sama sekali tidak kritis terhadap diri sendiri. Kita mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam yang membongkar bangunan argumentasi orang lain. Tetapi di sisi lain kita justru sibuk membangun tembok-tembok pembenaran diri dan tidak pernah kritis terhadap motif-motif kita yang menyimpang dari kebenaran.  Dengan sikap hidup yang demikian, kita tidak akan mampu menemukan kebenaran. Sebab kita telah dibutakan oleh “kebenaran diri sendiri”, sehingga sikap kritis kita sering dilandasi oleh kebenaran yang serba sempit dan subyektif. Hasilnya adalah sikap kritis yang sempit, subyektif dan mau menang sendiri. 

    Pengalaman para murid Yesus yang menyaksikan kebangkitan Kristus diungkapkan oleh Yoh. 20:19, yaitu: Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan  pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah 
Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!" Kalau kita membaca kesaksian Injil Yohanes tersebut dengan kritis, maka kita dapat mengajukan suatu  pertanyaan: apakah pengalaman para murid yang menyaksikan penampakan Tuhan Yesus tersebut bukan sekedar suatu halusinasi? Sebab bukankah arti dari halusinasi adalah terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata terhadap indera? Kualitas dari persepsi itu dirasakan oleh penderita halusinasi umumnya sangat jelas, substansial dan berasal dari luar ruang nyatanya. Para murid Yesus saat itu kemungkinan dapat mengalami halusinasi dengan penampakan diri Yesus yang sebenarnya telah wafat. Alasan utamanya adalah mereka saat itu telah mengalami goncangan psikologis yang hebat. 

    Goncangan psikologis tersebut terjadi karena mereka baru saja telah menyaksikan betapa mengerikan kematian yang telah dialami oleh Yesus yang semula mereka anggap sebagai sang Messias yang penuh kuasa. Para murid mengalami goncangan psikologis sebab antara harapan mereka yang terlalu tinggi dengan realita yang terjadi sangat bertentangan. Dugaan ini diperkuat dengan kesaksian Alkitab yang menyatakan bahwa para murid  saat itu berada dalam kondisi ketakutan. Para murid Yesus selain mengalami goncangan psikologis akibat menyaksikan kematian Kristus yang mengerikan, juga mengalami ketakutan dengan para pemimpin agama Yahudi. Itu sebabnya mereka mengunci semua pintu.  Mereka tidak sanggup menghadapi realita yang begitu memukul, sehingga mereka  memutuskan untuk bersembunyi dan hidup dalam ruangan yang tertutup. Di tengah-tengah kondisi yang demikian, para murid Yesus kemudian melihat kehadiran Yesus yang datang ke tengah-tengah mereka. Jika demikian, bukankah cukup kuat alasan untuk menduga bahwa sebenarnya kehadiran Yesus yang disaksikan para murid merupakan hasil halusinasi mereka belaka? Jadi para murid sebenarnya tidak pernah melihat diri Yesus yang bangkit dari kematian, tetapi mereka hanya melihat bayangan diri Yesus yang muncul dari pikiran atau imaginasi mereka yang didorong oleh goncangan psikologis dan ketakutan. Dengan kata lain kesaksian tentang peristiwa kebangkitan dan penampakan Yesus yang bangkit sebenarnya suatu kesaksian yang subyektif dan lahir dari kondisi mental para murid Yesus yang kurang sehat. Pemikiran-pemikiran kritis semacam inilah yang berkembang sehingga mereka mencurigai kesaksian Alkitab tentang kebangkitan Kristus. Akibatnya mereka tidak mampu melihat kesaksian Alkitab secara utuh dan apa adanya tentang peristiwa kebangkitan Kristus. 

Penderita Psikosis Ataukah Neurosis?
    Apabila diasumsikan para murid Yesus mengalami goncangan psikologis dan dicengkeram oleh ketakutan sehingga mereka mengalami halusinasi tentang Yesus yang datang di tengah-tengah mereka, maka mereka akan membangun kelompok yang tidak rasional dan tertutup. Kelompok tersebut akan cenderung menguatkan setiap halusinasi mereka karena kondisi mental mereka tidak stabil. Dalam ilmu psikologi telah dijelaskan bahwa ketidakstabilan mental tersebut dapat disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu menderita psikhosis atau neurosis. Penderita psikhosis (“gila”) dipakai untuk menunjuk kepada seseorang yang tidak mampu membedakan antara realita dan fantasi. Selain itu ciri dari para penderita psikosis adalah: mereka tidak sadar akan apa yang dilakukan, tidak dapat dinasihati, tidak sensitif terhadap orang lain dan tuntutan masyarakat, membahayakan diri sendiri atau orang lain, tidak dapat menolong dan mengatur diri sendiri. Tentu saja para penderita psikosis sering mengalami halusinasi (bayangan-bayangan) dan tingkah laku yang aneh (“sinting”). Sebaliknya penderita neurosis tidaklah demikian. Para penderita yang dikategorikan “neurosis” umumnya mampu membedakan realita dengan fantasi. Mereja juga mampu berorientasi dan beradaptasi kepada lingkungan sekitar, mereka lebih cenderung bersikap kuatir dan cemas, tetapi mereka mampu menolong diri sendiri. Dalam hal ini penderita neurosis tidak pernah mengalami halusinasi. Jadi dari ukuran “halusinasi” sebenarnya para murid Yesus dapat dikategorikan sebagai para penderita psikhosis, bukan sebagai para penderita neurosis. Jika asumsi ini benar, maka para murid Yesus menjadi “gila” karena mereka telah mengalami goncangan psikologis yang hebat. Mereka tidak mampu lagi membedakan antara realita dengan fantasi, sering mengalami halusinasi, tidak sadar akan apa yang dilakukan, tidak dapat dinasehati, tidak sensitif terhadap orang lain dan tuntutan masyarakat, membahayakan diri sendiri atau orang lain, tidak dapat menolong dan mengatur diri sendiri. Tetapi apakah asumsi atau dugaan tersebut terbukti kebenarannya?  

    Seandainya asumsi para murid Yesus dan jemaat perdana adalah para penderita psikosis, maka eksistensi mereka akan segera lenyap  dan tidak meninggalkanpengaruh yang berarti setelah kematian Yesus. Namun anehnya para murid Yesus dan jemaat perdana justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Mereka tidak pernah membentuk persekutuan yang tertuju kepada diri sendiri, tetapi justru persekutuan mereka senantiasa terulur kepada sesama. Ciri utama kehidupan para murid dan jemaat perdana adalah mereka mempraktekkan hidup yang saling berbagai dan saling mengasihi. Diskripsi kehidupan jemaat perdana yang telah mengalami kebangkitan Kristus dinyatakan oleh Kis. 4:32, yaitu: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama”.  Para rasul dan  jemaat perdana justru ditandai oleh kehidupan yang selalu sehati dan sejiwa serta tidak egoistis sebab mereka tidak menganggap kepunyaannya sebagai miliknya sendiri. Mereka mau saling berbagi dan memberi karena mereka telah mengalami “goncangan spiritualitas” karena kuasa kebangkitan Kristus. Sebab seandainya mereka hanya mengalami “goncangan psikologis” akibat perasaan trauma dan ngeri karena menyaksikan kematian Kristus di atas kayu salib maka mereka akan lebih cenderung untuk hidup dalam fantasi ketakutan. Para murid juga akan lebih cenderung untuk mempertahankan harta milik mereka mati-matian karena mereka telah berubah menjadi para pribadi yang egoistis dan terputus dari realita hidup.  Itu sebabnya di Kis. 4:35 menyaksikan: “lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya”. Dengan perkataan lain para murid dan jemaat perdana justru ditandai oleh suatu pola spiritualitas yang baru yaitu spiritualitas yang sangat tanggap dan peduli dengan situasi pergumulan sesamanya. Mereka bukan hanya cukup peduli terhadap lingkungan dan masyarakatnya, tetapi mereka secara riel melibatkan diri untuk membaharui kehidupan masyarakat. Sehingga mereka bersedia mengabdikan diri untuk menjadi para pelayan Tuhan yang mau mencurahkan seluruh waktu, tenaga dan harta milik mereka demi keselamatan dan kesejahteraan sesamanya.  Pertanyaan yang muncul adalah: apakah mungkin para penderita psikosis mampu melakukan berbagai tindakan yang telah dilakukan dan dibuktikan oleh para murid dan jemaat perdana setelah mereka dituduh mengalami goncangan psikologis? Bahkan seandainya para murid Yesus dituduh sebagai penderita neurosis, maka pertanyaan yang muncul adalah: “apakah ciri kehidupan para rasul dan jemaat perdana ditandai oleh ketakutan dan kecemasan yang akut sebagai gejala (symptom) utama dari penyakit neurosis?” Sangat menarik untuk disimak karena ternyata kehidupan para rasul dan jemaat perdana justru ditandai oleh pola kehidupan yang rukun, harmonis dan damai-sejahtera. Sebab persekutuan mereka sesungguhnya didasari oleh kehadiran Kristus yang bangkit, di mana Kristus yang bangkit bersabda: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh. 20:21). 

Damai-Sejahtera Bagi Kamu!
    Efek yang paling menonjol dalam peristiwa kebangkitan Kristus kepada para murid adalah hadirnya  perasaan damai-sejahatera. Makna damai-sejahtera yang diterjemahkan dari kata “eirene” (Yun.) atau “syalom” (Ibr.) pada hakikatnya untuk menunjuk suatu keadaan batiniah yang bebas dari perasaan gusar, bebas dari rasa ngeri akibat malapetaka perang. Syalom menunjuk pula keadaan damai di antara para individu dan persekutuan, perasaan aman, ketenangan, kesejahteraan, dan berlimpah dalam keselamatan. Dengan demikian perasaan “syalom” merupakan manifestasi dari keselamatan yang dilandasi oleh damai-sejahtera dan berkat Allah.  Secara ringkas, makna syalom Allah merupakan manifestasi keselamatan dan damai-sejahtera dari Allah. Sebab keselamatan Allah tidak mungkin kita alami ketika kita kehilangan damai-sejahteraNya. Sebaliknya perasaan damai-sejahtera dari Allah tidak mungkin kita alami ketika kita mengalami hukuman atau jauh dari keselamatan Allah.  

    Syalom Allah akan dialami secara eksistensial bagi setiap orang yang begitu pasti telah memperoleh keselamatan dan berkat Allah.  Karena mereka telah mengalami keselamatan Allah yang sangat pasti, maka timbullah suatu damai (peace) dan kebahagiaan besar (prosperity and felicity) yang tidak dapat diberikan  oleh kuasa dunia. Itu sebabnya makna “syalom” atau “eirene” senantiasa bersifat kekal, langgeng dan tidak pernah berubah-ubah. Makna pengalaman syalom bukan sekedar suatu ekspresi dari emosi seseorang yang “up and down” yaitu emosi yang kadang-kadang penuh sukacita, tetapi tidak lama lagi berubah menjadi depresi. Seandainya para murid dan jemaat perdana waktu itu ditandai oleh kehidupan yang “manic-depressive” yaitu sebentar merasa gembira dan sebentar lagi tenggelam dalam kesedihan, maka tidaklah mungkin mereka mampu membangun persekutuan yang berpengaruh secara transformatif dalam kehidupan masyarakat. Sebab pengalaman “syalom” atau damai-sejahtera dari para murid dan jemaat perdana terbukti dalam sejarah mampu menarik banyak orang untuk percaya kepada Kristus yang wafat dan bangkit dari kematianNya. Yang mana setiap orang percaya pada saat itu secara ikhlas menyerahkan seluruh harta milik dan kehidupan mereka agar menjadi berkat bagi banyak orang. Rahasia dari kuasa kebangkitan Kristus adalah Dia mampu mengubah atau mentransformasikan ketakutan para muridNya menjadi realitas damai-sejahtera yang ilahi.  Lebih dari pada itu  Kristus memampukan para muridNya untuk menjadi utusan Allah, yaitu para pewarta dan saksi kebangkitan yang membawa keselamatan dan damai-sejahtera. 

    Sebagaimana kita ketahui bahwa keadaan kejiwaan yang neurotis senantiasa ditandai oleh perasaan serba cemas dan kuatir. Itu sebabnya para penderita neurotis tidak pernah mengalami batin yang bahagia dan penuh damai. Tepatnya batin yang bahagia dan damai haruslah lahir dari kondisi jiwa yang sehat atau dipulihkan oleh anugerah Allah. Secara manusiawi, para murid Yesus tentu sempat terpukul dengan kematian Kristus yang tragis di kayu salib. Tetapi kehadiran dari Kristus yang bangkit ternyata memampukan mereka untuk mengalami pemulihan yang transformatif.  Mereka bukan hanya dipulihkan dari trauma suatu peristiwa, tetapi mereka juga dipulihkan oleh Kristus dari cengkeraman kuasa dosa. Sehingga hati para murid dan jemaat perdana setelah kematian Kristus dilimpahi oleh kasih-karunia Allah untuk mengampuni dan mengasihi para musuh mereka.  Dengan perkataan lain kehadiran Kristus yang bangkit pada hakikatnya mampu membawa suatu pemulihan yang menyeluruh dalam kehidupan setiap orang yang percaya kepadaNya. Yang mana para murid dan setiap orang percaya kepada Kristus yang bangkit senantiasa ditandai oleh pola spiritualitas yang penuh damai sejahtera. Itu sebabnya mereka juga tidak pernah segan menjadi para utusan Kristus yang berani berhadapan dengan bahaya maut. Sejarah telah membuktikan bahwa sebagian besar dari para murid Yesus dan jemaat Tuhan sepanjang zaman rela berhadapan dengan bahaya maut. Mereka tidak pernah mundur atau gentar untuk menyaksikan  anugerah keselamatan dan damai-sejahtera (syalom) Kristus kepada setiap orang.  Jadi darah para martir sepanjang zaman mau menyaksikan bahwa Kristus yang bangkit bukanlah sekedar hasil halusinasi dan “emosi” (keberanian) sesaat dari orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Kita dapat melihat bahwa sebagian besar dari para  martir adalah para pemikir, orang-orang yang cerdas dan bijaksana. Mereka telah memberi kesaksian, penjelasan dan argumentasi yang menguraikan rahasia terdalam dari kuasa iman kepada Kristus yang menyelamatkan.  Lebih dari pada itu para martir dan saksi iman sepanjang zaman adalah orang-orang yang hidup kudus dan benar. Itu sebabnya seluruh tulisan para martir dan para saksi iman sepanjang zaman selalu menggugah, inspiratif, reflektif-teologis namun kritis sebab didasarkan kepada kebenaran Allah yang telah dinyatakan di dalam pengorbanan dan kebangkitan Kristus. Sehingga setiap orang yang membaca kesaksian mereka selalu diteguhkan imannya, dibukakan suatu wawasan yang terus melebar dan mau bertobat.  Jika seandainya Kristus tidak pernah bangkit, maka yang dihasilkan oleh para pengikutNya hanyalah berbagai tulisan yang dangkal, sempit dan jauh dari pemaknaan hidup yang mendalam. 

Tetap Percaya Walau Tidak Melihat
    Peristiwa kebangkitan Kristus telah terbukti membawa efek yang luar biasa bagi kehidupan spiritualitas umat percaya sepanjang masa. Tetapi perlu diingat bagi para murid, peristiwa kebangkitan Kristus bukan sekedar pengalaman rohaniah belaka. Sebab berulang-ulang Alkitab menyaksikan Kristus yang bangkit menyatakan diriNya dan menyuruh para muridNya untuk menyentuh tubuhNya. Di Yoh. 20:20a, Tuhan Yesus menunjukkan tangan dan lambungNya yang terluka kepada para muridNya. Di Luk. 24:39, Kristus berkata: “Lihatlah tanganKu dan kakiKu; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu”.  Dengan perkataan lain, kisah kebangkitan Kristus bukan sekedar dibangun dari perubahan spiritualitas dari para murid yang semula mengalami ketakutan tetapi kemudian dipulihkan oleh Kristus untuk mengalami damai-sejahtera Allah. Tetapi kisah kebangkitan Kristus juga dibangun berdasarkan pengalaman riel yang eksistensial dari para murid. Mereka diperkenankan untuk bersentuhan dengan tubuh Kristus yang bangkit. Rekaman pengalaman para murid yang bersentuhan dengan tubuh kebangkitan Kristus yang mulia bukan hanya disaksikan oleh kitab Injil, tetapi juga disaksikan oleh surat-surat para rasul. Di I Yoh. 1:1, rasul Yohanes berkata: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup--itulah yang kami tuliskan kepada kamu”. Para rasul dan para saksi bukan hanya telah mendengar kisah kebangkitan Kristus, tetapi lebih dari pada itu adalah mereka dapat melihat dengan mata dan meraba dengan tangan mereka tubuh kebangkitan Kristus. Sehingga mereka kemudian dapat memberi kesaksian tentang Kristus yang bangkit. Dengan demikian kesaksian para murid dan jemaat perdana sesungguhnya dibangun berdasarkan pengalaman faktual mereka bersama Kristus yang bangkit.  Sehingga mereka dapat melihat jati diri Yesus yang sesungguhnya, yaitu inkarnasi dari sang Firman Allah yang hidup. 

    Namun ketegangan muncul ketika salah seorang murid Yesus yakni Tomas waktu itu tidak hadir. Sebab Tomas menyatakan sikapnya yang tidak akan percaya sebelum dia menyentuh lubang bekas paku di tangan dan lambung Yesus. Tokoh Tomas merupakan representasi dari anggota jemaat perdana yang sering mendengar tentang kisah kebangkitan Kristus, tetapi mereka belum pernah mengalami secara langsung dan personal kehadiran Kristus yang bangkit. Itu sebabnya muncul suatu pra-syarat dari mereka untuk mempercayai Kristus yang bangkit, yaitu: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya" (Yoh. 20:25). Problem teologis muncul ketika iman kepada Kristus yang bangkit harus dibuktikan terlebih dahulu dengan pengalaman melihat dan  meraba luka-lukaNya. Gereja perdana pada satu pihak memang membangun teologi kebangkitan Kristus berdasarkan peristiwa faktual dan pengalaman personal mereka. Tetapi gereja perdana juga menyadari bahaya dari kecenderungan orang-orang yang bersikap seperti Tomas yang mengajukan pra-syarat untuk mempercayai kepada Yesus yang bangkit. Mereka hanya mau percaya jikalau mereka telah melihat dan dapat menyentuh luka-lukaNya. 

    Bahaya teologisnya adalah ketika pengalaman melihat dan meraba tubuh Kristus yang bangkit dijadikan pra-syarat iman, maka tidak akan tersedia lagi ruang bagi misteri kebangkitan Kristus. Sebaliknya indra mata dan tangan manusia yang paling berperan untuk mengukur seluruh kebenaran atau misteri kebangkitan Kristus. Padahal ketika indra mata dan tangan yang menjadi alat ukur, maka iman akan segera tergeser. Dalam konteks ini manusia tidak lagi membutuhkan iman kepada Kristus yang bangkit. Mereka hanya butuh pengalaman melihat dan meraba tubuh Kristus yang bangkit. Jika demikian, apa maknanya Kristus yang bangkit jikalau tujuannya hanya mau membuktikan bahwa Dia tidak mati? Kristus bersedia wafat dan dibangkitkan dari kematian sama sekali bukanlah bertujuan untuk memuaskan rasa ingin tahu (curiosity) manusia.  Sebab tujuan utama kematian dan kebangkitanNya adalah agar seluruh umat manusia dapat terbebas dari belenggu kuasa dosa. Itu sebabnya I Yoh. 1:2–3 berkata: “Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.  Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus”. Sehingga dengan kebangkitan Kristus, kita kemudian dimampukan untuk hidup dalam damai-sejahtera dan pengampunan Allah. 

Panggilan
    Selaku insan yang ingin terus berkembang, kita memang perlu memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi terhadap berbagai ilmu pengetahuan dan segala kebenaran termasuk rahasia penyataan Allah. Tetapi kita harus sadar bahwa tidak setiap kebenaran dan rahasia penyataan Allah disingkapkan untuk kita ketahui. Sebab yang terpenting dalam memaknai kehidupan ini bukanlah memuaskan rasa ingin tahu kita, tetapi apakah yang kita ketahui tersebut mampu membimbing diri kita kepada kebenaran Allah dan pembaharuan hidup. Apa gunanya kita tahu banyak hal, tetapi kehidupan kita jauh dari terang Allah? Apa gunanya kita gemar menyelidiki semua hal dan membuktikan banyak hal di ruang laboratorium atau perpustakaan tetapi kita gagal untuk hidup dalam kuasa kebangkitan Kristus yaitu damai-sejahteraNya?  Kuasa kebangkitan Kristus adalah memampukan setiap orang percaya untuk menghadirkan syalom Allah, yaitu damai-sejahtera dan keselamatanNya di tengah-tengah dunia yang penuh dengan ketakutan. Jadi bagaimanakah peran saudara sebagai umat percaya? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar