Sabtu, 30 April 2011

Mengubahkan ORANG BIASA jadi LUAR BIASA

Dalam perspektif manusia: adalah kekeliruan jika melibatkan orang-orang yg miskin kecakapan untuk terlibat dalam pekerjaan besar dalam skala luas dan bernilai abadi. Sangat tidak profitable memberi kesempatan mereka yg tidak terbukti kompeten untuk dipercaya dalam pelayanan. 
Dalam perspektif Allah: justru karena Kebodohan dan Kehinaan kita, menjadi latar belakang Allah melibatkan kita berkerja dalam proyekNya. Orang-orang yg tidak punya HAK untuk merasa pantas dipakai sebagai alatNya, orang biasa, tidak diperhitungkan, lemah dan tidak berpengaruh. 
Tetapi mengapa Allah tetap memberi kepercayaan kepada kita untuk bekerja diladangNya?


Prinsip manusia: menyisihkan mereka yg lemah, bodoh dan hina..
Prinsip Allah: mengubahkan mereka yg lemah, hina, bodoh, tidak terpandang, biasa-biasa saja menjadi orang-orang yg LUAR BIASA.



Menariknya para murid Tuhan Yesus justru kebanyakan adalah para nelayan.!
Orang -orang yg dipandang sebelah mata, tidak diperhitungkan, dinilai rendah , tidak terpelajar, kolot, sulit berubah justu menjadi prioritas pilihan Tuhan Yesus untuk bekerja bersamaNya.

Apa dasar pilihan Tuhan terhadap mereka yg dijadikan ALATNYA?


I. Allah mencari mereka yg MAU MERESPON PANGGILAN (Matius 4:18-22)
Pekerjaan dan kedudukan seorang nelayan dalam kehidupan umat Israel pada zaman itu jelas bukanlah kedudukan yang terhormat. 
Mereka disebut dengan “amme ha-aretz” yang secara harafiah berarti “rakyat jelata” atau menunjuk kelompok orang-orang yang tidak terpelajar, orang-orang biasa yg tidak terpandang.
Problem yang dihadapi oleh mereka yang tidak terpelajar:

a. Secara umum hidup dalam kelembaman, enggan beradaptasi dengan situasi yg baru: sangat sulit untuk menerima perubahan, lebih menyukai suatu siklus kehidupan yang relatif  tanpa goncangan. 

b. Tidak bergairah  untuk mempelajari pengetahuan atau materi yang tertulis. 

Jika menilai dari dimensi akademis pastinya dibutuhkan cukup banyak waktu untuk melatih dan memperlengkapi mereka untuk memiliki kecakapan dalam melayani Tuhan.
Dari dimensi sosial: mereka bukanlah orang yg berpengaruh, mereka adalah type pekerja kasar, orang berkeringat dan hidup apa adanya dianggap kurang bermartabat.

Ini merupakan kendala teknis dalam pelayanan, jika seorang pekerja Kristus tidak memiliki basis akademis yg baik maka sangat berpengaruh besar dalam kompetensi intelektualnya. 
"Mau dibawa kemana gereja" jika pemimpinnya tidak profesional?
Standar kualifikasi manusia yg menuntut kesempurnaan kecakapan hidup justru dianggap berseberangan dengan jalan pikiran Allah. 
I Korintus 1 : 26- 29
"Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil:  menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak,   tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. .......... supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah"
Allah mencari orang-orang yg mau bekerja bukan mereka yg mampu, karena Allah akan MEMAMPUKAN siapa saja yg MAU bekerja bagi Tuhan.

II. Allah mencari orang yang MAU DIUBAHKAN sebagai ALATNYA (Kisah Rasul 5:26-42 )


Kebangkitan Kristus adalah momentun yg membuktikan kehadiran Allah yg sanggup mengubahkan standar kelemahan manusia biasa menjadi manusia-manusia Ilahi yg sangat berdaya, efektif bahkan berdampak mengubahkan bagi dunia. Para murid Yesus yg sudah meresponi panggilan Tuhan. Sekarang ini diperlengkapi dengan kuasa: memperoleh roh hikmat, pengetahuan dan kharisma yang begitu luar-biasa saat memulai pelayanan!. 

Kisah Rasul 5:26-42 
Mengisahkan bagaimana para rasul mampu memberi jawaban yang berhikmat dan berwibawa sehingga para Sanhedrin atau Majelis Agama Yahudi saat itu tidak mampu berbuat apa-apa. 

Kisah Rasul 9:32-35 menyaksikan bagaimana Petrus memiliki kuasa ilahi yang sedemikian besar sehingga dia mampu menyembuhkan seorang yakni Eneas yang telah sakit lumpuh selama 8 tahun. 

Kisah Rasul 9:36-41 menyaksikan bagaimana Petrus dengan kuasa kebangkitan Kristus mampu membangkitkan Tabita atau yang disebut dengan Dorkas yang telah meninggal, tetapi dapat bangkit kembali. 

Kuasa kebangkitan Kristus menyertai pelayanan Petrus sedemikian rupa, sehingga Petrus dimampukan untuk melakukan hal-hal yang melampaui kemampuan dan kapasitas manusiawinya. 

Semua karunia dan kemampuan tersebut tidaklah mungkin dicapai oleh para murid Yesus yang berlatar-belakang dari para rakyat jelata. Seandainya para rasul dan gereja perdana tidak memperoleh karunia dari Kristus, maka mereka pasti sudah tenggelam dan lenyap dari perjalanan sejarah.

Tetapi Kristus yang bangkit telah menganugerahkan kepada para muridNya suatu kuasa yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Kuasa ilahi yg tidak dapat dipelajari disekolah manapun dan diajarkan oleh siapapun. 
Kuasa itu diberikan Allah kepada hamba-hambaNya sebagai anugerah yg menjadi alat kelengkapan bukan dengan tujuan pamer tetapi untuk memenangkan jiwa bagi Kristus.

Sifat karunia dan kemampuan ilahi yang dimiliki oleh para  murid Yesus tidaklah melekat pada diri mereka sendiri. Mereka hanya menjadi alat atau media dari karya keselamatan Allah. 
Karena mereka BERSEDIA untuk dipakai oleh Kristus sebagai alat untuk menyatakan kemuliaanNya.  
Pemahaman teologia ini sangat  penting supaya kita tidak terjebak pada bahaya:

1. Memusatkan pada diri sendir (kultus individu): gereja perdana tidak pernah sampai mengkultus-individukan para rasul yang memiliki kharisma ilahi karena kesadran  akan karunia yg Allah berikan. 

2. menganggap diri paling hebat dari yg lain (superior): Juga tidak pernah berupaya untuk membangun suatu pemahaman bahwa diri mereka sangat berarti dan menentukan perjalanan gereja Tuhan di atas muka bumi ini, memiliki bobot yg lebih hebatdari yg lain. 

Prinsip spiritualitas para rasul tersebut pada masa kini ternyata tidak dipelihara dengan penuh kewaspadaan. Sehingga karunia atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang pelayan Tuhan pada masa kini  justru dipakai sebagai jembatan menuju kemuliaan diri sendiri. 

Sekarang ini tidak sedikit pemimpin gereja yg berupaya membangun suatu kecenderungan untuk dikultus-individukan oleh umat. Gereja tidak lagi dikondisikan kearah Kristus-centris tetapi dibelokkan pada ego-centris.
Akar persoalan yg faktual ditengah jemaat bukanlah gereja menerima atau menolak manifestasi  Allah yang supra-natural berupa mukjizat, tetapi sikap para pelayan Tuhan yang telah mengklaim berbagai tindakan supra-natural tersebut sebagai kesanggupan diri, kelebihan, keistimewaan, kehebatan untuk kepentingan kemuliaan diri bahkan dapat diperjual belikan. 


Ironinya banyak jemaat yg lebih suka sentuhan emosional dan hal-hal spektakuler yg ditampilkan dipanggung gereja. Sedangkan pengajaran yg sarat dengan pengajaran firman Allah dianggap tidak up to date alias ketinggalan jaman.


Allah yg seharusnya punya otoritas mengubah hidup kita supaya menampilkan Kristus melalui hidup dan kerja pelayanan sering kita rubah sendiri tatanannya menjadi pelayanan untuk merubah orang lain terpukau dengan pelayanan kita.

III. Allah mencari orang yg MAU MENDEDIKASIKAN HIDUP pada Fakta Abadi (Kis. 9:36-41)


Allah tidak memanggil hamba-hambaNya dengan tujuan supaya dapat mendemontrasikan mujizat  tanpa tujuan ditengah jemaat! Jika mujizat atau kuasa Allah dibutuhkan dalam rangka memudahkan atau membebaskan manusia dari persoalan teknis pelayanan atau melarikan diri dari tanggungjawab yg selayaknya dipikul; berarti kita sedang memaksakan Tuhan bekerja mengikuti irama kita.
Mengapa Allah memakai Petrus menjadi manusia yg luar biasa? 
Seorang awam namun dapat mengsekposisi secara komprehensih teologia Perjanjian Lama sehingga membuat 3000 orang bertobat?
Seorang nelayan yg dipakai Allah untuk menyembuhkan dan bahkan membangkitkan orang mati.
Rakyat jelata yg punya keberanian berargumentasi dihadapan pememimpin agama?
Seorang nelayan yg diubahkan menjadi RASUL YESUS KRISTUS!


a. Pengalaman ini bertujuan untuk memperteguh eksistensi jemaat yang waktu itu masih lemah. 
b. Merupakan manifestasi dari Kristus yang peduli dan mengasihi jemaatNya. 
c. Pengalaman tersebut untuk menanamkan tonggak dimulainya kekristenan


Semua manifestasi karya Allah secara supra alami dalam pelayanan bukanlah untuk SENSASIONAL, AKSI SPEKTAKULER, SPIRITUALITAS PANGGUNG dengan tujuan pamer.....
Allah tidak perlu memamerkan kuasaNya supaya harga Dirinya dianggap lebih berkuasa, hebat dan mulia. Tanpa kehadiran itu semua eksistensi Allah kita tetap tidak berbubah. Bahkan saat mulut kita terdiam tidak mengakui kemahakuasaan Allah. Dia adalah Allah yg maha kuasa yg tak akan berubah oleh pengakuan manusia.


Pengalaman adalah pengalaman yg tidak dapat dijadikan doktrin pelayanan yg baku. Pengalaman pelayanan harus ditempatkan dalam konteks kepentingan dan tujuan bukan sebagai MODEL yg diadopsi sembarangan . "Mujizat Allah pasti terjadi" kita kumandangkan dalam kerangka harapan kita yg konsisten mempercayai Allah sanggup mengerjakan segala sesuatu tetapi jangan MENDESAK ALLAH melakukan format, bentuk, pilihan sesuai dengan rancang bangun diri sendiri......gak sopan itu namanya...


Sejarah menjelaskan bahwa para murid Yesus juga harus masuk pengalaman kematian bahkan menjadi martir tanpa mujizat kebangkitan! Padahal dilihat dari sudut pengorbanan ,kasih dan kesetiaan mereka sudah mendedikasikan hidup seutuhnya bagi Tuhan. Tetapi mengapa saat mereka dianiaya secara kejam dan dibunuh dengan cara tragis, Tuhan Yesus tidak bergegas menolong dan seolah-olah Tuhan cuci tangan atas persoalan yg mereka hadapi? why.....? 


Apakah fakta tersebut dapat dijadikan suatu alasan bahwa Kristus selaku Gembala tidak peduli dan memelihara hidup umat percaya?


Mengapa kita yg bergiat melayani Tuhan dengan all out, realitanya masih mengalami hal-hal yang sangat pahit dan tragis?


Pahamilah bahwa FAKTA intervensi Allah berada dalam bingkai KEABADIAN
Fakta 1.
Kuasa dan karya Kristus dalam kehidupan sehari-hari  dialami oleh sebagian umat percaya dalam bentuk perlindungan dan pertolonganNya yang menyelamatkan mereka dari bahaya maut, kesembuhan, keberhasilan bahkan kebangkitan dari mati. 


Fakta 2.
Orang-orang yang hidup saleh dan benar tidak selalu terluput dari penyakit yang tidak tersembuhkan. Demikian pula orang-orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya dengan penuh kesetiaan kepada Kristus juga tidak terluput dari kematian yang kejam. 


Ketahuilah bahwa Kristus selaku Gembala yg baik bukanlah sekedar pelindung dan penyelamat hidup secara fisik belaka dan karyanya tidak berhenti pada masa kini saja. Kristus adalah Gembala yg baik dengan kapasitas kerja untuk kepentingan kekekalan dengan wilayah kerja jiwa dan roh manusia juga. 


Makna keselamatan secara utuh pada hakikatnya dinyatakan dalam suatu kehidupan yang dipersekutukan dengan Kristus yang telah bangkit. Sehingga seandainya semua harapan kita di dunia ini tidak terpenuhi di mana penyakit kita tidak tersembuhkan dan kematian tragis tidak dapat dielakkan, namun secara faktual kehidupan kita sepenuhnya dalam relasi dengan Kristus itu berarti kita telah menikmati berkat yg abadi


Berkat penyertaan Tuhan dalam kehidupan kita tidaklah identik dengan terpenuhinya harapan-harapan manusiawi kita seperti kesembuhan dari penyakit, melimpahnya berkat jasmani, sukses pangkat, panjangnya usia hidup kita. ini adalah fakta-fakta yg tidak abadi


Tetapi kualitas pelayanan yg dibangun Tuhan Yesus adalah pelayanan yg berorientasi keabadian, pelayanan yg mengubahkan jiwa manusia untuk kembali mengalir masuk dalam denyut nadi Allah.


Jika pelayanan yg sedang kita bangun bermodelkan pelayanan yg sukses secara material: terbangunnya gedung yg megah, jumlah jemaat yg melimpah, fasilitas yg mewah, popularitas, kenyamanan, ekonomi yg kokoh, profesional, branded (bermerek terkenal). 
Itu bukan tidak penting.....gereja butuh investasi material yg sehat
itu bukan tidak bernilai.......gereja butuh sarana pelayanan yg memadai
itu bukan sia-sia......gereja juga bekerja mencari jiwa-jiwa ......sebanyak-banyaknya


Namun jika kita mengedepankan kepentingan DIRI dan MATERI, hanya memikirkan yg KELIHATAN (masa kini) saja bukan yg TIDAK KELIHATAN (kekekalan) , dan hanya memikirkan kepentingan TUBUH bukan JIWA, berarti kita sedang pada posisi  membantah kerinduan Allah yg ingin mengubahkan arah pelayanan kita yg harus berbasiskan keabadian.


reDifine         ...definisikan lagi format panggilan pelayanan kita
re Structure......susun kembali puing-puing yg hancur atau harus disingkirkan
re Posision.      ...letakkan kembali visi pelayanan kita untuk berorientasi keabadian


God Morning All
God Bless U all


by Haris Subagiyo



Kamis, 28 April 2011

Tetap Percaya Walau Tidak Melihat


Konsep yg kita bangun dalam kekristenan sering dirajut  menurut pemahaman, selera dan kepentingan sendiri. Besarnya ekspresi kasih dan kuasa Tuhan sering kita anggap sebagai BUKTI melekatnya spiritualitas kita kepadaNya. Sehingga secara tidak sadar kita terus menerus meminta TANDA dari Tuhan untuk mempertegas bahwa kualitas iman kita memang sudah berjalan secara benar karena telah dijawab oleh Tuhan dengan turunnya secara melimpah  berkat-berkatNya.
Benarkah kualitas iman kita dapat diukur dari sejumlah besar realiasasi berkat-berkatNya secara materi?


Belajar dari pengalaman para murid menanggapi kebangkitan Kristus

Peristiwa kebangkitan Kristus telah terbukti membawa pengaruh  yang sangat luar biasa bagi kehidupan kita sepanjang masa bahkan berdampak kekekalan.


Yang menjadi catatan adalah, peristiwa kebangkitan Kristus ditujukan bukan untuk menarik kehidupan manusia supaya hanya bersentuhan dengan perkara rohaniah belaka. Kebangkitan Kristus juga harus dipahami sebagai fakta-fakta logis yg dapat kita percayai. Bahwa eksistensi Kristus yg bangkit itu dapat dipahami dengan nalar dan dicermati oleh panca indera manusia. Perhatikan bahwa Alkitab menyaksikan berulangkali Kristus yang bangkit menyatakan diriNya dan menyuruh para muridNya untuk menyentuh tubuhNya. 

Di Yoh. 20:20
Tuhan Yesus menunjukkan tangan dan lambungNya yang terluka kepada para muridNya. 
Di Luk. 24:39
Kristus berkata: “Lihatlah tanganKu dan kakiKu; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu”.  

Kisah kebangkitan Kristus  dibangun berdasarkan pengalaman nyata yang eksistensial dari mereka yg telah berjumpa Yesus. Para murid diperkenankan seara langsung untuk bersentuhan dengan tubuh Kristus yang bangkit.  

Yohanes 20:25
Namun ketegangan muncul ketika salah seorang murid Yesus yakni Tomas waktu itu tidak hadir. Sebab Tomas menyatakan sikapnya yang tidak akan percaya sebelum dia menyentuh lubang bekas paku di tangan dan lambung Yesus.


Realita JIKALAU sudah melihat  TUHAN menjadi ukuran iman


Tomas merupakan representasi tuntutan iman kita yg memaksa Tuhan supaya memberikan bukti nyata secara personal sebagai syarat bagi manusia untuk menjadi semakin percaya kepadaNya.
Perhatikan pra-syarat yg diajukan oleh Tomas sebelum turut mempercayai Kristus yang bangkit, 
"Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya" 


Problem teologis muncul ketika iman kepada Kristus yang bangkit harus dibuktikan terlebih dahulu dengan pengalaman melihat dan  meraba luka-lukaNya. (syarat material)


Pemahaman ini menyadarkan kita bahwa membangun teologi kebangkitan Kristus berdasarkan peristiwa faktual dan pengalaman personal akan berdampak pada  lahirnya iman kristen yg kecenderungan bersikap seperti Tomas: mengajukan pra-syarat untuk mempercayai kepada Yesus  JIKALAU telah melihat dan dapat menyentuh tubuhNya Tuhan Yesus.


Bahaya teologisnya adalah ketika pengalaman melihat dan meraba tubuh Kristus yang bangkit dijadikan pra-syarat iman: PERCAYA dengan kualifikasi JIKALAU bukan WALAUPUN.


a. Tidak akan tersedia lagi ruang bagi misteri kerja Ilahi (kebangkitan Kristus).
b. Panca indra: secara khusus  mata dan tangan manusia yang paling berperan untuk mengukur seluruh kebenaran atau misteri kebangkitan Kristus. Padahal ketika indra mata dan tangan yang menjadi alat ukur, maka iman akan bersadar pada fakta yg kelihatan bukan pada FAKTA YG ABADI.


Dalam konteks ini manusia tidak lagi membutuhkan iman kepada Kristus yang bangkit.
Kita hanya butuh pengalaman melihat dan meraba tubuh Kristus yang bangkit. Jika demikian, apa maknanya Kristus yang bangkit jikalau tujuannya hanya mau membuktikan bahwa Dia tidak mati?
Padahal Kristus bersedia mati dan dibangkitkan dari kematian sama sekali bukanlah bertujuan untuk memuaskan rasa ingin tahu (curiosity) manusia.
Sebab tujuan utama kematian dan kebangkitanNya adalah agar seluruh umat manusia dapat terbebas dari belenggu kuasa dosa.


I Yohanes 1:2–3


“Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami.  Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus”. 


Sehingga dengan kebangkitan Kristus, kita kemudian dimampukan untuk hidup dalam damai-sejahtera dan pengampunan Allah. 


Sebagai manusia yg berkepribadian, punya pikiran, perasaan dan kemauan, kita memang perlu memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi terhadap berbagai ilmu pengetahuan dan segala kebenaran termasuk rahasia penyataan Allah. Tetapi kita harus sadar bahwa tidak setiap kebenaran dan rahasia penyataan Allah disingkapkan HARUS kita ketahui. 


Sebab yang terpenting dalam memaknai kehidupan ini bukanlah memuaskan rasa ingin tahu kita, tetapi apakah yang kita ketahui tersebut mampu membawa diri kita kepada kebenaran Allah dan pembaharuan hidup


Apa gunanya kita tahu banyak hal tentang Allah, tetapi kehidupan kita jauh dari kebenaran Allah? 
Apa gunanya kita rajin belajar Alkitab, menggali, menyelidiki, mengeksegesa secara detail namun  terbukti gagal untuk dalam pembaharuan hidup?
Apa gunanya kita piawai berkotbah tentang kebenaran Allah namun hidup kita jauh dari realita penerapan kebenaran ? 


Dalam kekristenan tidak mengisyaratkan formula Kualitas IMAN yg berbanding lurus dengan KUANTITAS BERKAT MATERI. bahkan iman sejati selalu dapat menembus batas penglihatan. Diberkatilah mereka yg percaya kepada Tuhan WALAUPUN belum melihat.


Perjumpaan Tuhan Yesus dengan Thomas bukanlah pembenaran argumentasi kita untuk selalu meminta bukti material kepadaNya. Karena saya diberkati maka saya percaya Tuhan, dan supaya saya tetap diberkati maka saya tetap percaya Tuhan dan bukti iman saya kuat adalah saya diberkati Tuhan. 
ini adalah kualitas iman kristen yg rapuh.


Kuasa kebangkitan Kristus seharusnya memampukan setiap orang percaya untuk percaya tanpa syarat kepada Kristus dan menjadi pembawa kabar baik yg efektif bagi damai sejahtera bumi.


God Morning All
God bless U all


by Haris Subagiyo




Rabu, 27 April 2011

Menakar Kepantasan Diri dalam Melayani Tuhan

Diskusi Konsep Mengejar NILAI atau tampilkan MUTU Pelayanan

Menilai kualitas bangunan dari perspektik estetika saja (indah , megah dan modern)  akan membiaskan obyektivitas untuk berhenti menilai: seberapa KOKOH dan BERAPA LAMA DAYA TAHAN bangunan tersebut terhadap goncangan. 
Lebih dari sekedar mendapat penilaian tetapi mengedepankan aspek kualitas dalam membangun. Tuhan tidak menilai bangunan luar (interior & eksterior) yg indah dan megahnya pelayanan yg kita bangun, bahkan Tuhan seringkali harus mendesak kita untuk segera MEROBOHKAN konstruksi KEINDAHAN yg dibangun diatas PONDASI YG RAPUH.

Bagaimanakah seharusnya kita membangun kualitas pelayanan yg selaras dengan harapan Tuhan ?

Kuasa Kebangkitan Kristus merekonstruksi pengabdian pelayanan yg  sepantasnya kita berikan kepadaNya!


Yohanes 21: 15 - 19


Kata "Gembalakanlah domba-dombaku" menunjukkan pada area pelayanan yg dipercayakan kepada kita, sebagai orang-orang biasa tanpa didahului dengan syarat-syarat kompetensi teologis dan akademis  yg populer ditengah tuntutan pelayanan masa kini.
Mengapa Tuhan demikian berkeringat mengejar dan hendak menangkap Petrus untuk menginvestasikan hidupnya bagi pelayanan pekerjaan Tuhan? 
Apakah Tuhan Yesus telah menemukan syarat-syarat kelayakan hidupnya untuk dapat dipakai sebagai alatNya?
Apakah Petrus telah memenuhi kualifikasi sebagai seorang Pekerja Kristus yg Ideal?


Mari kita perhatikan perjalanan Petrus mulai saat ia dipanggil Tuhan Yesus!


1. Apakah Tuhan Yesus menemukan Kualifikasi Intelektual:  (Markus 1:16-18)


1:16 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan. 1:17 Yesus berkata kepada mereka:"Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." 1:18 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.


Jika pelayanan mensyaratkan orang untuk lebih dahulu memiliki pengalaman dan kompetensi intelektual yg tinggi maka Petrus adalah orang pertama yg seharusnya tidak punya hak untuk bekerja diarea pelayanan. Karena kita tidak menemukan latar belakang, pengalaman maupun kecakapan akademis yg cocok dengan kebutuhan pelayanan. Petrus dipanggil Tuhan saat ia bekerja sebagai nelayan: keahlian apa yg dapat direbut dari seorang pencari ikan dilaut yg kesehariannya bergulat dengan jala, perahu, ikan dan membaca iklim. 
Dia adalah orang awam yg tidak terpelajar, bukan orator, bukan theolog , ia hanya seorang yg BERSEDIA MENERIMA PANGGILAN TUHAN.


2. Apakah Tuhan Yesus menemukan Kualifikasi Moral: (Markus 14 :27-29)


  14:27 Lalu Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu. Sebab ada tertulis: Aku akan memukul gembala dan domba-domba itu akan tercerai-berai.   14:28 Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea. " 14:29 Kata Petrus kepada-Nya: "Biarpun mereka semua tergoncangimannya, aku tidak 
14:31 Tetapi dengan lebih bersungguh-sungguh Petrus berkata: "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau,   aku takkan menyangkal Engkau." Semua yang lainpun berkata demikian juga.


Pernyataan Petrus ini sama sekali tidak terbukti dalam tindakan nyata.
Ia dapat dilihat secara telanjang sebagai orang yg pengecut, tidak berani mengiring Tuhan Yesus dari dekat saat Tuhan Yesus berada pada zona penderitaan, Ia lari saat dianggap sebagai bagaian dari murid Yesus. Tidak punya loyalitas (kesetiaan), tidak punya integritas (keteguhan hati) bahkan dengan cepat berubah setia.
Seorang yg emosional, meledak ledak temperamennya, cepat bicara berpikir belakangan, mudah berjanji, pamer kekuatan tapi hanya omong kosong. 
Kualitas kebaikan apakah yg hendak kita harapkan dari seorang yg bernama Petrus?


3. Apakah Tuhan Yesus menemukan Kualifikasi Spiritual: (Markus 14 :66-72)

Alkitab mencatatnya secara eksplisit  bahkan memberinya thema secara khusus tentang peristiwa penting yg melibatkan dirinya yaitu: "Petrus menyangkal Yesus"
Petrus bukan saja menampilkan diri sebagai sosok yg berani melawan fakta yg disampaikan Gurunya bahkan ia nekat berargumentasi dengan bantahan yg bernada menyangkal, mengutuk dan bersumpah. Dan pengalaman itu tidak dilakukan secara spontan atau tidak sengaja (keprucut: salah omong) Terbukti  ia melakukan bantahan sebanyak tiga kali berturut-turut.


Semakin nyata bahwa penilaian Tuhan Yesus sangatlah kontras dengan logika kita. Sekali lagi kita tidak menemukan syarat-syarat yg memadai untuk dilibatkan dalam pekerjaan besar pelayanan. Namun Tuhan Yesus seolah-olah tetap mengincar dan mendesak Petrus mengambil peran yg sangat vital melalui hidupnya.


Kepercayaan Tuhan Yesus kepada Petrus untuk melayani Tuhan sama sekali tidak bersentuhan dengan kualifikasi moral dan kompetensi intelektual-nya. Justru pada saat itu semua yg menjadi penilaian keindahan manusia menjadi  luruh, tidak berharga, ia telah menjadi PRODUK GAGAL.


Penghargaan pelayanan yg diberikan Tuhan Yesus kepada Petrus SANGAT KONTRAS dengan realita yg mengharuskan dipenuhinya berbagai syarat dalam pelayanan yg efektif.
Memiliki kompetensi moral, kompetensi intelektual dan kompetensi manajerial.
Perjumpaan pribadi Tuhan Yesus disaat Kebangkitan kembali menjelaskan situasi yg lebih nyata, siapakah sebenarnya Petrus.

1. Kondisi imannya yg sudah berubah: (Yohanes 21:20)
"Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku   lebih dari pada mereka ini?
Bandingkan  Matius 16:18 
Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus   dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat  -Ku  dan alam maut tidak akan menguasainya  .

Tuhan Yesus pasti tidak lupa dengan pemberian nama baru kepada Simon yg diubah menjadi nama Petrus . Petrus yg berarti batu karang yg kokoh, tidak mudah goyah tahan goncangan. Namun kali ini Dia memanggilnya dengan sebutan Simon (ini panggilan lama, masa lalu): yg berarti; buluh yg lemah, mudah diterpa angin.  Singkat kata, sudah terjadi demoralisasi (penurunan) kualitas iman yg sangat dalam, Pasti panggilan ini menyentak hati Petrus untuk membuatnya sadar bahwa seharusnya SAYA tidak layak untuk membangun iman orang lain sementara imannya sendiri terbukti terkulai lemas seperti buluh.

2. Tentang potensi pelayanannya:


Petrus adalah orang yg kagum dengan potensi dirinya sendiri sehingga ia selalu mencari momentun untuk pamer kebolehan didepan orang lain.
Petrus seperti seorang yang masih muda yang cenderung selalu mengikuti kehendaknya sendiri. Dia mengikuti apa yang menjadi kemauannya sendiri. Ia menjadi pribadi yg terlalu percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya sendiri. Namun janji keberaniannya ternyata palsu belaka, ia menjadi sangat takut ketika berhadapan dengan bahaya yg akan menyeret kenyamanan dirinya. Ia bukanlah hamba Tuhan yg setia dalam pengabdiannya.


Jika memperhatikan seluruh track record (rekam jejak) Petrus pastilah kita kehabisan akal untuk melihat korelasi iman, karakter, pengalaman, kecakapan, intelektual dengan tuntutan pelayanan.


Bagaimana perspektif Tuhan dapat melihat Petrus yg hanya menonjol dimensi tampilan kulit luar, unjuk kekuatan phisik dan omong besar tetapi TETAP DIPERCAYA sebagai pekerja Kristus yg luar biasa bahkan sebagai RASUL YESUS KRISTUS!


Perjumpaan Tuhan Yesus secara pribadi dengan Petrus ini hendak menegaskan tentang cara mengkonstruksi pelayanan yg kokoh:

A. Pelayanan merupakan panggilan yg KHUSUS ( istimewa).

Sesudah peristiwa kebangkitan, Petrus adalah murid pertama yg paling dicari Tuhan Yesus. 
Petrus adalah murid yg di beri kesempatan pertama berinteraksi secara personal dengan tubuh Kebangkitan.
Diulangi lagi dalam Yohanes 21: 15 -
Tuhan menegaskan kepercayaanNya yg tidak pupus hanya karena kegagalan masa lampau. Kehormatan secara pribadi tetap diberikan kepada Petrus dengan segala keberadaannya untuk menggembalakan domba-dombaNya. Perhatikan kekuatan panggilan Allah yg tak bisa ditahan oleh kondisi apapun: kegagalan, kelemahan dan dosa Allah bersedia membereskan supaya kita tetap berada pada ZONA PANGGILANNYA.

Sekali Allah memanggil kita, godaan dapat menyeretnya kemanapun dunia mau bawa. Namun kekuatan kehendak dan kasihNya tidak pernah kehabisan cara untuk mengembalikan kita pada jalanNya. 

Kemana kita mau berlari meninggalkan panggilanNya?

Sesaat mungkin saja kita dapat silau dengan kemegahan dunia. Kita menjadi pribadi yg sangat terpukau dengan kenikmatan yg bertebarkan pesona kesenangan, kebebasan menggunakan harta, beria-ria dalam kemewahan,  menariknya jabatan politik, luar biasanya kekuasaan, betapa melambungnya jiwa saat beroleh pujian akan popularitas dan sukses material. Nyaris tidak tersimpan rasa kekaguman dalam melayani Tuhan yg serba terbatas dan penuh gelora derita. Tak ingin lagi kembali menghambakan diri untuk pengabdian yg berbayarkan kesukarelaan.

Namun, saat Tuhan Yesus kembali memanggilnya... sanggupkah kita menyisakan secercah hati untuk tetap melekatkan diri pada dunia ini dengan segala kemegahannya?
Tidak ada kekuatan besar apapun yg dapat mencegahnya, bahkan DOSA yg bertumpuk sampah kerusakan, kegagalan, kehancuran, kenistaan hidup...masih dipungutNya. Diangkatnya lagi hidup kita yg menjadi tidak berharga dan terbuang. Diberinya kepercayaan lagi. Diberinya kehormatan lagi untuk kembali menikmati Kasih dan KuasaNya dalam melayani Dia.
Sungguh hanya karena AnugerahNya saja kita boleh melayaniNya.
Tidak ada kebanggan diri yg dapat kita propagandakan dan
Tidak kelemahan diri yg boleh menggagalkan pangggilan pelayanan kepadaNya.


B. Pelayanan merupakan Ekspresi Kasih


Jika persyaratan moral, etika, intelektual, pengalaman manejerial tidak dibahas sama sekali dalam pembicaraan sebagai pra-syarat pelayanan namun topik yg satu ini dibahas panjang lebar, dianggap paling vital, karena menjadi motor dari segala dinamika pelayanan yang bernilai. tuntutan kasih dalam pelayanan

‘apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini.
‘more than these (= lebih dari ini).
Kata ‘these’ ini bisa menunjuk kepada ikan-ikan dan pekerjaan menjala ikan, atau kepada para murid yang lain.
Kata ‘these’ 
dapat diterjemahakan beragam:
a. Jenis kelamin netral, dan menunjuk kepada ‘hal-hal ini’ - perahunya, peralatan memancingnya, dan pekerjaannya; Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari engkau mengasihi benda-benda ini? Apakah engkau mau, dari kasih kepadaKu, untuk meninggalkan semua ini, dan pergi dan memberitakan InjilKu kepada bangsa-bangsa di bumi?
b. Jenis kelamin laki-laki, dan menunjuk kepada rasul-rasul. Dalam arti yang pertama artinya adalah: ‘Apakah engkau mengasihiKu lebih dari pada rasul-rasul yang lain ini mengasihiKu?’. Dalam pertanyaan ini Yesus menunjuk pada pengakuan kasih yang lebih tinggi kepadaNya yang Petrus buat sebelum kematianNya.

Kesediaan Petrus dalam mengungkapkan kasih kepada Allah walaupun sejujurnya hanya dalam kualitas PHILIA (persahabatan) bukan AGAPE namun Tuhan Yesus tetap memberikan apresiasi yg sama yaitu Gembalakanlah-domba-dombaKu.
Tuntutan kasih Agape sebanyak tiga kepada Petrus dan selalu dijawab dengan kasih Philia menunjukkan kejujuran diri kita yg sering tidak sanggup memanifestasikan kasih Agape kepada Allah. Allah menghargai kejujuran kasih kita kepadanya sebagai syarat yg memadai untuk boleh dipercayai untuk menggemsabalakan domba-dombaNya.
Tuhan Yesus dapat enerima kulaitas kasih philia Petrus karena Dia sanggup mengubah kuliatas kasih kita menjadi kasih agape. Kasih agape Petrus terbukti dalam qua vadis

Menurut sejarah gereja menceritakan bahwa: Petrus meninggalkan kota Roma, melarikan diri karena tidak- tega melihat begitu banyak siksaan, aniaya yang dilakukan bangsa Romawi terhadap jemaat Kristen. Petrus hendak lari dari pembantaian bagi para pengikutnya yang setiap hari ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri Pria maupun wanita, tua muda, maupun anak-anak yang mengaku diri pengikut Knstus harus bertarung melawan singa untuk mempertahankan hidup. Bisa dibayangkan, kita melihat singa kenyang, tidur saja takut, apalagi melihat singa lapar diberi umpan, dan umpannya adalah manusia, Rasanya hampir tidak ada yang luput dari sergapan singa lapar itu, bisa dipastikan tidak ada seorangpun yang hidup. Maka, wajar kalau Petrus tidak tahan menyaksikan hal dan mengambil keputusan meninggalkan kota Roma saja.
Tetapi apa yang terjadi? Ketika ia sudah ada diluar kota, la tiba-tiba bertemu dengan Yesus yang sedang memanggul salibNya. Dalam keterkejutannya Petrus bertanya kepada Yesus: "Quo Vadis, Domine?" artinya: "Tuhan mau kemana? " Yesus menjawab: "Aku hendak ke Roma untuk disalibkan sekali lagi disana!". Mendengar jawaban Yesus itu Petrus terkejut, merasa terpukul hatinya, maka tanpa pikir panjang kembali lagi ke Roma. Petrus meninggal dengan cara seperti Yesus disana, yaitu disalibkan. Tetapi Petrus merasa tidak sepantasnya meninggal seperti gurunya, maka ia meminta disalibkan tetapi kepalanya dibawah


C. Pelayanan Berpusat Pada Kepentingan Kristus

Kata: "gembalakanlah domba-domba - Ku"  secara khusus :"KU" harus diterjemahkan sebagai mengelola pelayanan sebagai MILIK Tuhan, bukan milik DIRI SENDIRI.

Pelayanan yg dibangun dengan konstruksi yg dipusatkan pada Kristus:


a. Berkaitan dengan HAK yg layak diberikan kepada Kristus



Status kepemimpinan kita dalam komunitas jemaat bukanlah menempatkan kita sebagai PEMILIK tetapi PENGELOLA (Stewardship) : gembala, penyedia, pemelihara, dan pemberi makan, karena domba-domba adalah milik Kristus.
Eksistensi jemaat bukan domba milik pendeta, tetapi domba milik Kristus. Jadi satire (sindiran) ‘pendeta itu mencuri domba-dombaku’ hanyalah ekspresi nilai rasa yang tidak berdasar .
Gereja didirikan bukan seperti buka warung kopi, sehingga kehadiran rekan sekerja dalam pelayanan tidak boleh dianggap sebagai rivalitas namun mitra kerja. Kalau ada pembukaan gereja dalam radius berdekatan waaaah....hatinya berkobar dengan curiga dan kekuatiran karena takut dombanya lari tetapi kalau ada gereja yg ditutup hatinya lega berbunga-bunga karena dimungkinkan bertambahnya domba-domba baru dari tetangga dekat....eh ngawur. 


Tidak ada hak dalam diri kita untuk memiliki SESUATU yg menjadi milik Allah.
pelayanan tidak dalam kapasitas merebut hak Allah untuk memiliki jiwa manusia menjadi mereka yg terpenjara dalam kuasa kita.


b. Berkaitan dengan FUNGSI



Kata ‘gembalakanlah’ dalam ay 15,17 adalah BOSKE, yang arti hurufiahnya adalah ‘feed’ = berilah makan. 
Kata "gembalakanlah" dalam ay 16 digunakan kata POIMAINE, yang secara hurufiah berarti ‘tend’ = uruslah / peliharalah / rawatlah) atau ‘shepherd’ = gembalakanlah
Tugas seorang gembala adalah untuk memberi makan, menyehatkan, melayani dan memasok seluruh kebutuhan jiwa
Pelayanan itu bukan gengsi tetapi fungsi, pelayanan itu berorientasi pada kerja, pengabdian sampai pada tingkat perhatian kepada mereka yg lemah. Pemimpin jemaat berarti adalah seorang motivator yg menguatkan, seorang dokter yg menyehatkan, seorang manejer yg mengelola, seorang gembala yg selalu dekat dengan dombanya mengenalnya satu persatu bahkan bau badannya pun seperti bau domanya......
Pelayan bukanlah usaha untuk menggemukkan diri sendiri dengan mendapatkan sebanyak mungkin dari orang yg kita layani. Pelayanan justru disetting oleh Allah untuk memberikan secara total hidup kita untuk mereka.


Kita tidak perlu malu untuk menyadari dan mengubah berbagai rekam jejak yg salah dalam pelayanan.
Tidak sepantasnya kita menjadikan wilayah pelayanan sebagai kerajaan bisnis yg hanya dengan tujuan untuk membuat mudah dan hidup enak , bahkan menggunakan nama Tuhan atau  pekerjaan Tuhan sebagai alasan pembenar sikap kita.

Pelayanan seharusnya diekspresikan sebagai kekaguman kita kepada Tuhan yg bekerja secara ajaib dalam kita bukan kekaguman kita sendiri yg sanggup bekerja untuk Tuhan. 



Spirit Kebangkitan Kristus adalah spirit perubahan! 
(The Spirit of Resurrection is The Spirit of Change)

Teruslah mentransformasi pelayanan kita semakin efektif dan bernilai dihadapanNya

God Bless U all
God Morning all...have nice day wit God

by Haris Subagiyo


Selasa, 26 April 2011

MENGALAMI PERJUMPAAN YANG MENGUBAHKAN

 
Kis. 2:36-41; Mzm. 116:1-3, 10-17; I Petr. 1:17-23; Luk. 24:13-35

 Bagi umat Israel, perenungan terhadap firman Allah yang tertuang dalam hukum Taurat wajib dilakukan di manapun mereka berada. Di Ul. 6:7 terdapat perintah Allah demikian: “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.  Itu sebabnya ketika orang-orang Yahudi melakukan perjalanan yang cukup jauh mereka umumnya menggunakan waktu selama perjalanan dengan mendiskusikan isi hukum Taurat. Dalam konteks ini makna mendiskusikan  tentang Taurat bagi umat Israel bukan sekedar untuk membuang waktu agar mereka tidak penat selama di perjalanan; tetapi secara spiritualitas mendiskusikan hukum Taurat bagi mereka dihayati dapat memberi pencerahan dan pemaknaan terhadap kehidupan ini. 
 Namun apabila pokok bahasan dari hukum Taurat tiba-tiba beralih ke topik lain secara intensif dan serius, pastilah topik tersebut bukan sembarangan materi sehingga layak untuk dijadikan bahan diskusi.  Dua orang dari murid Yesus ternyata tidak mendiskusikan Taurat selama perjalanan mereka dari Yerusalem menuju Emaus. Dalam perjalanan yang jaraknya sekitar 11  km tersebut justru diisi oleh mereka untuk mendiskusikan topik aktual tentang peristiwa penganiayaan dan eksekusi salib yang baru-baru ini dialami oleh Yesus dari Nazaret, guru mereka. Mereka mendiskusikan tentang kehidupan Yesus yang mereka anggap sebagai seorang nabi yang sangat berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan Allah, tetapi nyatanya Dia harus mengalami kematian yang sangat tragis yaitu mati disalibkan. Padahal mereka semula sangat mengharapkan Yesus dapat menjadi seorang Messias yang membebaskan umat Israel dari cengkeraman dan kekuasaan penjajahan kerajaan Romawi. Mungkin selama berjalan kea rah Emaus, mereka mendiskusikan bagaimana mungkin seorang nabi yang berkuasa seperti diri Yesus yang dipenuhi oleh mukjizat Allah dapat mengalami kematian di atas kayu salib. Mengapa Allah membiarkan dan tidak menolong Yesus sebagai MessiasNya? Mengapa Allah tidak menyelamatkan Yesus dari hukuman dan kematian di atas kayu salib?

                Pada saat mereka sibuk berdiskusi tentang peristiwa aktual yang baru saja terjadi, muncullah seorang asing yang tiba-tiba mendekati mereka dan ikut serta berdiskusi selama perjalanan ke Emaus. Kedua murid Yesus tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa orang asing yang bersama-sama dengan mereka adalah Tuhan Yesus yang bangkit. Di Luk. 24:16 disebutkan alasan mengapa kedua murid Yesus tersebut tidak mengetahui kehadiran dari Yesus di tengah-tengah mereka, yaitu: “Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”. Beberapa penafsir mengartikan “sesuatu yang menghalangi mata mereka” adalah karena pandangan mata kedua murid Yesus tersebut  terhalang oleh sinar matahari yang akan terbenam. Karena kedua orang tersebut berjalan menuju arah Barat, maka mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari sore hari. Ada pula yang mengatakan bahwa kedua murid tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang telah bangkit karena hati mereka saat itu diliputi oleh perasaan dukacita disebabkan kematian Yesus. Sehingga ketika Yesus bertanya kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka Luk. 24:17 memberi gambaran tentang keadaan hati dari kedua murid Yesus itu, yaitu: “Maka berhentilah mereka dengan muka muram”. Jadi karena mereka saat itu sedang muram sebagai cermin dari hati yang sedih dan berdukacita, maka mereka tidak mampu lagi mengenali diri Yesus yang sebelumnya telah mereka kenal. Itu sebabnya mereka bertanya kepada Yesus: “Apakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (Luk. 24:18). Kemungkinan tersebut di atas memiliki dasar yang faktual sebab mereka saat itu memang berjalan ke arah Barat dan pastilah mata mereka silau terkena oleh sinar matahari senja. Demikian pula mereka saat itu memang sedang berdukacita karena kematian seorang guru yang mereka kasihi dan dianggap berkuasa sebagai nabi Allah, sehingga harapan-harapan mereka kini menjadi pudar. Tetapi semua kemungkinan tersebut tidak dapat dijadikan alasan utama, mengapa para murid Yesus saat dalam perjalanan ke Emaus tidak lagi mengenali kehadiran dari Yesus. Bukankah mereka sebenarnya juga dapat mengenali Yesus dari jenis suaraNya atau caraNya Dia berkata-kata? Bukankah mereka sempat memandang beberapa kali wajah Yesus saat Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka?

                Kedua murid Yesus tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang bangkit, karena mereka saat itu  pangling”. Arti dari “pangling” adalah: “tidak dapat mengenal lagi” atau “mereka lupa dan tak mengenal lagi” (fail to recognize). Selain hati mereka sedang berdukacita, kedua murid Yesus itu tidak lagi mampu mengenali diri Yesus sebelum Dia wafat. Mereka kini melihat diri Yesus dalam bentuk yang sama sekali baru, sehingga mereka “gagal untuk mengenali” identitas Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid tersebut benar-benar tidak mengenali Yesus dengan tubuh  kebangkitanNya, sehingga mereka menganggap Yesus yang bangkit sebagai orang asing yang kebetulan hadir di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Emaus. Bahkan mereka juga tetap tidak mengenali Yesus saat Yesus menegur mereka dengan perkataan yang keras, yaitu: “Hai orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga  kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Messias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya?” (Luk. 24:25-26). Bukankah kita akan sedikit tersinggung ketika orang asing yang sedang berbicara dengan kita menegur kita sebagai “orang bodoh” dan “orang yang berhati lamban”?  Bukankah saat perasaan kita terusik dapat mendorong kita untuk mencermati secara lebih mendalam orang yang menjadi lawan bicara kita? Tetapi kedua murid Yesus tersebut tetap tidak menyadari orang asing yang sedang menegur dan berbicara dengan mereka adalah Yesus yang telah bangkit. Selaput yang menghalangi mata mereka sedemikian tebalnya, sehingga kedua murid  tetap buta mata dan kesadarannya pada saat Yesus menerangkan tentang Messias sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab-kitab Musa dan kitab nabi-nabi. Kini selama sisa perjalanan, kedua murid Yesus kembali mendiskusikan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tetapi kini mereka diajar oleh “orang asing” tentang makna dari ayat-ayat firman Tuhan tersebut dengan perspektif yang baru dan lebih dalam! Makna hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari karya Tuhan Yesus yang telah wafat dan bangkit. Sebaliknya nubuat yang tercantum hukum Taurat dan kitab nabi-nabi menjadi penuh makna dan aktual saat nubuat firman Tuhan tersebut ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah yang telah menentukan Yesus sebagai Messias harus menderita tetapi juga Dia akan dibangkitkan dari kematianNya.

                Ketika mereka hampir sampai di Emaus, disebutkan Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya. Tetapi kedua murid Yesus itu sangat mendesak Dia untuk tinggal bersa-sama mereka, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Luk. 24:29). Perkataan kedua murid Yesus yang mengajak Yesus tinggal bersama mereka memberi inspirasi Henry Francis Lyte pada tahun 1847 untuk menggubah suatu syair dengan judul “Abide with Me” yang kemudian oleh William Henry Monk paa tahun 1861 dijadikan suatu nyanyian.  Kini pujian tersebut dapat kita nyanyikan dari Kidung Jemaat nomor 329. Lagu ini terasa sangat menyentuh saat ditempatkan pada detik-detik terakhir kapal “Titanic” yang akan karam dalam film “Titanic”. Ungkapan permohonan dari kedua murid Yesus agar Yesus mau bersama-sama untuk tinggal dengan mereka memberi kesan bahwa mereka waktuitu sangat takjub dan terkesan dengan seluruh sikap dan perkataan Yesus saat Dia menjelaskan makna Kitab Suci selama di perjalanan. Dalam hal ini mereka bukan sekedar ingin memberi pertolongan kepada Yesus sebagai “orang asing”. Karena menurut kebiasaan dan tata-krama Yahudi, tidaklah pantas membiarkan seorang tamu berjalan dalam keadaan gelap di malam hari (bandingkan Kej. 19:1-11). Tetapi justru sebaliknya, mereka merasa memperoleh pertolongan berupa “pencerahan iman” saat Yesus menjelaskan makna firman Tuhan. Pencerahan iman terhadap kebenaran firman Tuhan tersebut sedikit banyak telah mengobati perasaan dukacita dan kesedihan hati mereka. Sebab mereka makin dapat melihat bahwa kematian Yesus pada hakikatnya telah ditentukan oleh Allah. Kematian Yesus justru dipakai oleh Allah untuk menyatakan kemuliaanNya. Dalam pengertian ini sedikit demi sedikit mereka mulai memahami berita yang tersebar tentang kemungkinan kebangkitan Yesus dari kuburNya. Tetapi saat itu hati mereka tetap belum mengenal identitas diri Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid Yesus itu masih menganggap Yesus sebagai orang asing.

                Mata rohani kedua murid Yesus baru tersingkapkan saat mereka bersama Yesus makan roti. Di Luk 24:30-31 menyaksikan: “Waktu Ia duduk makan makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka”.  Selama perjalanan yang cukup jauh, mereka tidak mampu mengenal jati-diri Yesus yang berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi saat mereka bertiga makan bersama, yaitu saat Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan roti dan memberikan roti itu kepada mereka; barulah  terbuka  mata mereka. Apakah kesadaran  dan mata rohani mereka baru dapat terbuka karena mereka diingatkan akan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan? Ataukah penyingkapan diri Yesus terjadi karena saat itu mereka tidak lagi menganggap Yesus sebagai orang asing sebab mereka telah menyambut Dia untuk makan bersama? Keberadaan Yesus yang bangkit akan dapat dialami secara eksistensial ketika umat percaya mau membuka hati dengan sikap kasih kepada sesamanya yang asing. Tuhan Yesus yang telah bangkit berjanji akan hadir di tengah-tengah persekutuan yang saling mengasihi dan percaya  dalam namaNya. Di Mat. 18:20, Tuhan Yesus berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Selama manusia memiliki sikap tidak percaya dan mengasihi Kristus maka mereka tidak mungkin dapat mengalami kehadiran Kristus yang telah bangkit. Itu sebabnya kita dapat mengerti alasan mengapa Yesus yang bangkit tidak menyatakan diriNya kepada para musuhNya, seperti para pemimpin agama Yahudi. Pada masa kini, tidak setiap orang dapat mengalami kehadiran dan kuasa Kristus yang bangkit jikalau mereka tidak mengalami perjumpaan yang personal dengan Dia. Bukankah kita sering memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai seorang asing? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak peka dengan keadaan orang asing yang berada di tengah-tengah kita. Mata hati kita sering tertutup rapat, sehingga kita tidak mampu melihat kehadiran Kristus yang tersembunyi dalam berbagai penderitaan dan kesusahan orang-orang asing di sekitar kita.

                Setelah kedua murid Yesus tersebut dapat mengenali diri Yesus yang telah bangkit dan tidak lagi sebagai orang asing, maka di Luk. 24:33 menyatakan: “Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka”.  Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit menghasilkan suatu perubahan sikap dan spiritualitas. Walaupun mereka di Emaus belum sempat beristirahat dan hari telah menjelang malam, mereka berdua  memutuskan pergi untuk kembali ke Yerusalem menemui para murid Yesus lainnya. Mereka ingin memberitakan kabar gembira tentang perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit.  Apabila semula muka mereka berwajah muram penuh kesedihan dan rasa dukacita saat mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, tetapi kini wajah mereka diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa saat mereka kembali dari Emaus ke Yerusalem. Bagi mereka berdua berita tentang kebangkitan Kristus bukan lagi merupakan kabar “burung” sebab kini mereka telah mengalami secara personal dan langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kedua murid Yesus di Emaus itu tidak lagi menganggap kebangkitan Kristus hanya sebagai kabar (“news”), tetapi dialami sebagai peristiwa nyata (“events”)  yang mencelikkan atau mentransformasikan seluruh kesadaran dan mata rohani mereka. Itu sebabnya mereka terpanggil untuk bersaksi tentang makna kematian dan kuasa kebangkitan Kristus kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi kesaksian tentang kebangkitan Kristus bukan terjadi karena kasus “cognitive dissonance”, yaitu suatu anggapan bahwa para  murid berubah menjadi pribadi yang agresif bersaksi karena kepercayaan mereka ternyata meleset. Dalam teori “cognitive dissonance” didasari oleh perasaan ragu dan tidak percaya kepada peristiwa kebangkitan Kristus.  Sebab dalam teori ini meleset atau gagalnya kepercayaan yang semula dipegang teguh oleh suatu komunitas keagamaan yaitu para murid Yesus dan jemaat perdana dalam menghadapi kematian Yesus.  Para murid Yesus dan gereja perdana mengalami tekanan psikologis karena mereka harapan utama mereka kandas. Akibat dari tekanan dan dorongan psikologis tersebut mereka justru makin termotivasi untuk lebih bersemangat dan menjadi militan karena sebenarnya mereka ingin mengurangi atau meniadakan kegagalan yang dialami sebelumnya.

                Tentunya teori “cognitive dissonance” tersebut tidaklah tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa kebangkitan Kristus. Para rasul dan jemaat perdana bersaksi tentang Kristus dengan sepenuh hati bukan didorong oleh perasaan kecewa karena harapan utama mereka menjadi kandas. Sebab inti dari pemberitaan dan kesaksian gereja perdana atau para rasul bukan sekedar memberi penghiburan dan pengharapan kosong. Isi pokok kesaksian dan pemberitaan para rasul dan gereja perdana yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit adalah: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing  memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” (Kis. 2:38). Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang bangkit senantiasa dikaitkan dengan panggilan untuk bertobat yaitu perubahan arah, nilai dan kualitas hidup. Melalui peristiwa kebangkitan Kristus, para rasul dan jemaat perdana telah mengalami apa artinya dilahirkan kembali. I Petr. 1:23 berkata: “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan yang kekal”. Yang mana panggilan pertobatan dan kelahiran kembali tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, sebab: “Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakanNya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (I Petr. 1:21). Jadi sangatlah jelas bahwa para rasul dan gereja perdana telah mengalami peristiwa kebangkitan Kristus secara faktual  dan eksistensial; sehingga peristiwa kebangkitan Kristus telah mengubah seluruh pola pikir, pandangan, nilai-nilai dan makna serta tujuan hidup mereka.

                Jika demikian, apakah kita selaku jemaat juga telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit? Apabila kehidupan kita lebih sering dibelenggu oleh perasaan duka, sedih dan berpikir menurut ukuran-ukuran/nilai-nilai duniawi; maka  kita akan bersikap seperti dua orang murid dari Emaus. Dalam situasi demikian, kita akan memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai “orang asing” yang sebenarnya sedang berjalan di tengah-tengah kehidupan kita. Sebab kita tidak lagi mampu mengenali jati-diri Kristus yang tersembunyi di tengah-tengah kehidupan bersama sesama. Ini terjadi karena hati kita lamban dan secara spiritualitas kita telah menjadi orang-orang yang “bodoh”. Akibatnya arah dan tujuan hidup kita cenderung untuk selalu berkiblat ke masa lampau dan kepada diri sendiri. Tetapi manakala hati dan mata rohani kita dicelikkan oleh Allah, maka kita akan dimampukan untuk lebih mengenal dan berjumpa  secara personal  dengan Kristus yang bangkit. Saat itulah kehidupan kita akan diubahkan secara penuh. Hidup kita mengalami pencerahan iman dan ditransformasi  oleh kuasa kebangkitanNya, sehingga dengan penuh sukacita kita menjadi saksi dari kuasa kebangkitan Kristus.  Tanda pencerahan iman sebagai saksi-saksi kebangkitan Kristus adalah pertobatan dan kelahiran baru. Jadi apakah hidup saudara saat ini  ditandai oleh pertobatan dan hidup yang baru? Amin.