Diutus Oleh Kristus Yang BangkitKis. 10:34-43; Mzm. 118:1-2, 14-26; Kol. 3:1-4; Yoh. 20:1-18
Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi
pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi
kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (Yoh. 20:17).
pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi
kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (Yoh. 20:17).
Berita kebangkitan bukan terjadi di ruang kosong. Gema peristiwa kebangkitan Kristus ditempatkan dalam ruang dan relasi kasih. Seandainya Maria Magdalena tidak didorong oleh kasih dengan pergi ke kubur, maka berita kebangkitan akan memiliki bentuk yang berbeda. Hanya karena kasih yang mendorong Maria Magdalena pergi ke makam Tuhan Yesus pada waktu subuh. Di situlah Maria Magdalena menjumpai batu penutup makam Kristus telah terbuka. Itu sebabnya Maria kembali ke rumah untuk menyampaikan kepada Petrus dan Yohanes tentang makam Kristus yang terbuka. Ketika Petrus dan Yohanes masuk ke dalam makam, mereka tidak menjumpai jenasah Kristus. Mereka hanya melihat kain kafan Kristus yang tergeletak di dalam makam. Karena itu mereka kembali pulang ke rumah. Namun tidaklah demikian Maria Magdalena. Dia tetap di depan makam Kristus sambil menangis dan tidak menyadari akan kehadiran Kristus. Bahkan saat disapa oleh Tuhan Yesus, Maria Magdalena juga tidak mengenalNya. Dia mengira sedang disapa oleh seorang penjaga kebun. Barulah ketika Tuhan Yesus memanggil namanya, Maria mengenaliNya dan menyahut dengan panggilan “Rabbuni”. Maria Magdalena tidak mengenali jati-diri Kristus yang telah bangkit karena matanya diselimuti oleh air mata kesedihan. Saat itu Maria mengalami kebingungan dan kesedihan karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Maria Magdalena sedih karena jenasah Kristus tidak berada di dalam makam. Mata kita juga sering tertutup oleh kesedihan dan perasaan bingung sehingga kita tidak mampu melihat realitas dengan jernih. Karena itu kita juga tidak mampu melihat kehadiran Allah yang dinyatakan melalui orang-orang di sekitar kita. Saat itu yang kita pikirkan hanyalah kesedihan hati kita sendiri.
Makna Paskah hanya dialami oleh umat yang mampu menyibak kesedihannya dan melihat dengan jernih kehadiran Kristus yang bangkit. Namun anugerah Allah melampaui keterbatasan dan kelemahan kita. Di saat Maria Magdalena larut dalam kesedihannya, Tuhan Yesus memanggil namanya sehingga dia mengenali Kristus yang bangkit. Air mata kesedihan akan sirna di saat kita mendengar Allah memanggil nama kita. Sebab panggilan terhadap nama kita membuka perspektif dan kesadaran rohani bahwa kita masih diingat dan dipedulikan Allah. Kita disadarkan bahwa kita tidak sedang sedih seorang diri. Allah sedang menangis bersama kita dan memahami kesedihan hati kita. Kehadiran Allah yang mengingat diri kita sangatlah meneguhkan. Air mata kesedihan kita berubah menjadi air mata sukacita. Demikian pula yang terjadi pada diri Maria Magdalena. Dia sangat bersukacita melihat Kristus yang bangkit, sehingga dia memelukNya. Namun betapa terkejutnya Maria Magdalena, karena Tuhan Yesus berkata: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (Yoh. 20:17). Dari sudut tata-bahasa, bentuk kalimat di Yoh. 20:17 bersifat “present-imperatif”. Karena itu ucapan Tuhan Yesus tersebut dapat diterjemahkan dengan: “Janganlah kamu terus-menerus memegang diriKu, tetapi lebih baik kamu pergi dan menyampaikan kepada para murid yang lain bahwa Aku telah bangkit”. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus mengingatkan Maria Magdalena agar sukacitanya tidak membuat dia menjadi egoistis, sehingga dia terus-menerus memegang diri Kristus. Sukacita yang dialami oleh Maria Magdalena tersebut harus dibagi dan disebarkan kepada umat percaya lainnya. Berita sukacita Paskah bukan ditujukan kepada satu kelompok tertentu saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Kemenangan Paskah menjadi harapan dan jaminan bagi seluruh umat manusia bahwa di dalam Kristus tersedia keselamatan, penghiburan dan damai-sejahtera.
Perkataan Tuhan Yesus di Yoh. 20:17, selain berarti “Jangan memegang Aku” dalam bentuk “present imperative”, juga dapat diterjemahkan menjadi: “Janganlah takut”. Karena kalimat “Jangan memegang Aku” dari “me mou aptou” dapat pula diterjemahkan menjadi: “me mou ptoou” (jangan takut). Kata “ptoou” dari kata kerja “ptiein” yang berarti: gemetar karena takut. Ungkapan “Jangan takut” tersebut dikemukakan oleh Kristus yang bangkit kepada murid-muridNya (Mat. 28:10). Dalam pengertian ini makna Yoh. 20:17 Tuhan Yesus menyatakan: “Jangan takut, Aku masih di sini sebab Aku belum pergi kepada Bapa”. Berita Paskah berkuasa mengusir ketakutan menjadi damai-sejahtera karena Kristus yang wafat telah bangkit. Dia hidup di tengah-tengah kita dan menyertai dengan kuasaNya. Iman Kristen tidak berpusat kepada peristiwa Jumat Agung saja, tetapi kepada peristiwa Paskah. Karena itu teologi iman Kristen tidak dibangun di atas dasar kesedihan dan tragedi tetapi di atas kemenangan Kristus atas maut. Realitas kematian tidak diingkari, sebaliknya realitas kematian diberi makna yang baru dengan realitas yang baru, yaitu realitas Kristus yang bangkit. Dengan demikian makna Paskah bukan sekedar pemaknaan yang baru, tetapi kesaksian tentang realitas yang baru. Yang mana realitas baru tersebut diciptakan Allah di dalam kebangkitan Kristus. Jadi di dalam kebangkitan Kristus, Allah telah menciptakan realitas yang baru dalam sejarah umat manusia. Realitas yang baru dalam kebangkitan Kristus tersebut seharusnya menjadi tonggak penentu arah perjalanan sejarah umat manusia. Semakin umat terbuka terhadap kuasa kebangkitan Kristus, umat akan dimampukan untuk mengalami kemenangan terhadap kuasa maut dan kematian yang selama ini membayang-bayangi dan mencengkeram kehidupan riel.
Kebangkitan Kristus membuka perspektif iman. Sebab kebangkitan Kristus menyadarkan umat bahwa keselamatan tidak hanya ditujukan kepada satu kelompok umat tertentu, tetapi tertuju kepada keseluruhan umat manusia. Karena itu dengan kuasa kebangkitan Kristus, para rasul ditugaskan untuk memberitakan Injil kepada seluruh bangsa. Di Kis. 10:42 menyaksikan: “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati”. Kristus yang bangkit telah membongkarkan eksklusivisme umat. Di dalam kebangkitanNya terbuka suatu pola inklusif yang tidak dapat dihalangi lagi oleh sekat-sekat pembatas. Di dalam Kristus, seluruh superioritas suku, budaya, dominasi ekonomi, politik dan agama direlatifkan. Semua aspek kehidupan diberi roh dan bentuk yang baru, yaitu kuasa kebangkitanNya yang membebaskan dan memulihkan. Namun pada saat yang sama semua bidang kehidupan yang inklusif tersebut ditarik kepada panggilan yang bersifat khusus, yaitu mengaku dan percaya kepada Kristus yang adalah Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati. Karena Kristus adalah pusat dan tujuan kehidupan umat manusia yang asasi. Dalam hal ini kedudukan Kristus bukan sebagai salah seorang pendiri agama, karena Kristus datang bukan untuk mendirikan agama. Tetapi kedatangan Kristus untuk menegaskan akan karya keselamatan Allah yang paripurna di mana seluruh umat dari berbagai suku, bahasa, budaya dan agama dipanggil untuk datang menyembahNya. Dengan spiritualitas yang mempermuliakan Kristus, maka Kristus yang bangkit akan membangkitkan kita dari kuasa maut dan memampukan kita untuk mencari perkara yang di atas di mana Kristus duduk di sebelah kanan Allah (Kol. 3:1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar