Sabtu, 23 April 2011

DIA YANG BANGKIT LEBIH BESAR DARI PADA KESULITAN KITA


 Ungkapan kebangkitan Kristus dalam kalangan tertentu sering dianggap sebagai suatu ungkapan religius yang a-historis” dibandingkan dengan pernyataan tentang kematian Kristus. Dasar pemikirannya adalah setiap orang pasti mengalami kematian. Minimal mereka telah melihat bagaimana anggota keluarga atau teman mengalami kematian dalam berbagai cara. Tetapi hampir tidak ada seorangpun yang pernah menyaksikan peristiwa kebangkitan dari kematian. 

Untuk itu beberapa kalangan tertentu menganggap kisah kebangkitan Kristus di dalam Alkitab dianggap sebagai suatu kebangkitan metafor belaka. Makna “kebangkitan Kristus yang metaforis” merupakan suatu kejadian yang hanya ada di dalam pengalaman subyektif manusia, dan sama sekali bukan realitas obyektif. Karena itu kisah kebangkitan Kristus yang disaksikan oleh Alkitab bagi kelompok ini adalah sekedar suatu kesaksian subyektif dari para murid Yesus yang frustrasi dengan kematianNya, maka para murid Yesus kemudian terdorong untuk membuat suatu kesaksian yang mengisahkan peristiwa kubur Yesus yang kosong dan penampakan-penampakanNya. 


Padahal secara obyektif, Yesus secara riel tidak pernah bangkit! Tepatnya kisah kebangkitan Kristus bukan kisah sejarah yang nyata (“a-historis”). Bilamana pola pemikiran atau logika tersebut benar, maka kisah dan pengaruh kebangkitan Kristus lebih tepat merupakan suatu omong-kosong belaka. Tentunya sebagai suatu kisah yang omong-kosong atau tidak memiliki arti apapun, maka kisah kebangkitan Kristus justru hanya menciptakan permasalahan belaka. 


Kisah kebangkitan Kristus selain tidak akan mampu menciptakan daya yang konstruktif dan transformatif dalam kehidupan atau permasalahan manusia, juga akan menciptakan suatu pikiran yang semakin irasional atau suatu logika yang sakit.  


Benarkah pola berpikir yang membuat kesimpulan bahwa kebangkitan Kristus hanyalah suatu metafor belaka? Jika kebangkitan Kristus sekedar suatu metafor, maka kesaksian Alkitab tentang kebangkitan Kristus sekedar suatu ungkapan subyektif dari orang-orang yang secara psikologis sedang sakit. 

                Padahal sejarah membuktikan bahwa umat gereja perdana mampu menghadapi kesaksian imannya dengan tulus, yaitu dengan rela menghadapi kematian yang mengerikan. gereja perdana yang sejak lahirnya menghadapi penolakan, ancaman, siksaan dan kematian. Di II Kor. 4:8-10, kita dapat melihat efek yang luar-biasa dari kebangkitan Kristus dalam kehidupan rasul Paulus yang memberi kesaksian:  “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus-asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami”. 


Dari ungkapan rasul Paulus tersebut kita dapat menangkap kejujuran, integritas dan spiritualitas imannya yang sehat. Apa yang dia saksikan tentang kebangkitan Kristus sungguh-sungguh lahir dari integritas kepribadian dan imannya yang cukup rasional serta mampu mempertanggungjawabkan secara etis-moral. Sangat berbeda bila kebangkitan Kristus hanya sekedar suatu omong-kosong atau takhayul karena lahir dari pikiran yang sakit, maka pastilah tidak akan  mampu membawa daya pembaharu yang konstruktif bagi umat yang mempercayainya.

Ketakutan Diubah Menjadi Damai-Sejahtera           
Kematian Yesus bukanlah kematian yang terhormat, ini adalah bentuk kematian yang sangat memalukan sehingga menimbulkan suatu pukulan psikologis yang dahsyat bagi para muridNya. Pada satu segi tuduhan bahwa para murid Yesus mengalami tekanan psikologis memang beralasan. Sebab guru dan Mesias mereka telah mengalami kematian yang tragis di atas kayu salib Menurut logika. seharusnya sejak saat itu para murid dan pengikutNya secara sosiologis akan membubarkan diri dan tidak lagi berniat meneruskan ajaran-ajaran Yesus. Kondisi psikologis dari para murid Yesus terlihat dari kesaksian 


Yoh. 20:19a, yang berkata: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi”.


Pernyataan “pintu-pintu yang terkunci” sangat jelas dikaitkan dengan perasaan takut kepada orang-orang Yahudi. Sehingga para murid Yesus waktu itu memilih untuk mengurung dan menyembunyikan diri dari pada keluar rumah yang akan menyebabkan mereka berjumpa dengan para pemimpin agama Yahudi. Mereka  terintimidasi oleh sikap para pemimpin agama Yahudi akan  akan menangkap dan mengadili sebab mereka  dianggap telah mengikuti ajaran sesat. 
Bukankah pengajaran Yesus dalam konteks agama Yahudi merupakan suatu ajaran yang berbahaya? Dengan pernyataan Yesus bahwa diriNya adalah Mesias dan Anak Allah sesungguhnya telah menempatkan Yesus sebagai tokoh yang akan menimbulkan sikap sinisme dan kemarahan publik. 
Apalagi di Yoh. 5:18, Yesus menegaskan bahwa Allah adalah BapaNya sendiri, sehingga semakin mendorong orang-orang Yahudi ingin membunuhNya, yaitu: “Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah”. 
Dengan demikian para murid Yesus sangat ketakutan bilamana mereka dituduh sebagai kelompok penghujat Allah. Hukum Taurat menegaskan bahwa setiap penghujat Allah harus dihukum mati (Im. 24:14-16). Jadi dapat dipahami jika para  murid Yesus memilih untuk mengunci pintu rumah sebab mereka ketakutan dituduh oleh para  pemimpin agama Yahudi sebagai orang-orang atau kelompok yang mengikuti seorang penghujat Allah. Situasi ketakutan para murid Yesus merupakan manifestasi dari krisis identitas yang menyebabkan mereka kehilangan pegangan atau pijakan hidup.


Tetapi situasi ketakutan para murid Yesus tersebut berubah secara drastis. Sebab ketakutan para murid Yesus tersebut berubah menjadi suatu pengalaman yang penuh dengan damai-sejahtera. Yang mana ketakutan para murid Yesus segera sirna karena Yesus yang telah wafat menampakkan diriNya. Mungkin para murid semula mengira bahwa penampakan diri Yesus tersebut identik dengan sosok hantu. Tetapi Yesus yang telah bangkit adalah Yesus yang tetap dapat disentuh. Para murid Yesus menyaksikan bahwa Yesus yang bangkit adalah Yesus yang tetap dapat disentuh. Di Luk. 24:39, Tuhan Yesus berkata: “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku". Bahkan di Luk. 24:42-43, Tuhan Yesus bersedia makan ikan di depan para muridNya untuk membuktikan bahwa Dia hidup: “Lalu mereka memberikan kepada-Nya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka”. Bilamana ketakutan para murid dapat  lenyap bukan karena mereka secara lihai membuat rekayasa kisah tentang kehadiran Yesus yang telah bangkit, tetapi ketakutan mereka lenyap karena Kristus hadir secara nyata. Lebih dari pada itu kehadiran Yesus yang bangkit menghadirkan suatu perasaan damai-sejahtera yang begitu menyeluruh. Di Yoh. 20:20-21 menyatakan bahwa Yesus Kristus yang telah bangkit mencurahkan damai-sejahtera yang memampukan mereka untuk menjadi utusan-utusanNya, yaitu: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus” (Yoh20:21-22).  Melalui kehadiran Kristus yang bangkit, para murid dimampukan oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi utusan-utusan Kristus yang terbukti berani menempuh setiap bahaya dan kematian. Jadi bilamana “damai-sejahtera” yang mereka terima semu, maka para murid Yesus dan umat gereja perdana mungkin akan memilih menyakiti diri sendiri dengan cara bunuh diri atau bersikap agresif dengan menganiaya dan membunuh orang lain yang dianggap tidak sepaham dengan mereka.

Dipenuhi Oleh Pengampunan
                Teologi Injil Yohanes perihal Roh Kudus berbeda dengan teologi Injil Lukas. Sebab di Injil Lukas menyatakan bahwa Roh Kudus akan datang setelah Kristus naik ke surga. Namun tidaklah demikian teologi Injil Yohanes. Menurut Injil Yohanes, Tuhan Yesus mengaruniakan Roh Kudus kepada para murid ketika Dia menyatakan kuasa kebangkitanNya. Yang mana Roh Kudus tersebut dikaitkan dengan kuasa pengampunan gereja kepada umat manusia yang bersedia untuk bertobat. Di Yoh. 20:23 menyaksikan Tuhan Yesus menghembusi para murid dengan Roh Kudus, yaitu: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada".Tindakan Tuhan Yesus menghembusi para murid dengan Roh Kudus mengingatkan kita kepada tindakan Allah yang menghembuskan nafas hidup sehingga manusia dapat menjadi mahluk hidup. Di Kej. 2:7 menyaksikan: “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup”. Makna tindakan Allah menghembuskan nafas hidup pada hakikatnya menyebabkan suatu penciptaan yang mampu mengubah suatu debu tanah menjadi mahluk yang berkepribadian. Dengan penciptaan Allah tersebut manusia bukan sekedar menjadi mahluk hidup, tetapi juga menjadikan manusia sebagai mahluk yang mampu membuat keputusan etis-moral secara bebas (Kej. 2:16). Demikian pula tindakan Kristus  yang bangkit menghembusi para murid dengan Roh Kudus juga memampukan mereka untuk membuat keputusan etis-moral secara bebas, yaitu dengan mengampuni umat manusia yang bertobat.  Namun bukankah tidak ada seorangpun di dunia ini yang mampu mengampuni dosa selain Allah? Jelas, bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang memiliki wewenang untuk mengampuni dosa selain Allah atau Kristus sendiri. Tetapi Kristus yang bangkit berkenan memberi wewenang kepada gerejaNya untuk menyatakan kasih Allah yang kaya dengan pengampunan. Dengan demikian efek dari peristiwa kebangkitan Kristus adalah tercurahnya anugerah pengampunan Allah kepada seluruh umat manusia. Anugerah pengampunan Allah tersebut tidak berlaku kepada umat yang tetap menolak dan mengeraskan hati sehingga mereka tetap berkanjang dalam dosanya. Kepada mereka yang memilih untuk berkanjang dalam dosanya, gereja sebagai bagian dari wujud tubuh Kristus memiliki wewenang untuk “menahan” atau menyatakan dosa orang tersebut belum terampuni. Kuasa kebangkitan Kristus bukanlah kuasa ilahi yang memberikan anugerah pengampunan Allah yang murah.

                Sebaliknya umat yang bersedia hidup dalam kuasa kebangkitan Kristus akan senantiasa hidup dalam spiritualitas pertobatan dan pengampunan Allah. Tepatnya semakin umat menghayati kuasa kebangkitan Kristus, maka umat akan dimampukan untuk semakin jeli melihat berbagai kekurangan dan kelemahan diri.  Seperti halnya kita semakin dekat dengan cahaya yang terang akan membuka mata kita untuk melihat berbagai hal yang buruk di dalam diri kita. Karena itu umat manusia sepanjang zaman senantiasa membutuhkan terang kebangkitan Kristus. Yang mana saat ini kebutuhan tersebut sering berupaya dipenuhi oleh ilmu psikologi. Melalui berbagai test yang dikembangkan, ilmu psikologi berupaya membantu umat  manusia untuk mengenal berbagai kemampuan (talenta), minat dan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia seperti: kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosi (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan sebagainya. Namun upaya-upaya yang mulia tersebut tidak boleh menggeser kebutuhan manusia untuk memperoleh terang kebangkitan Kristus. Karena dalam terang kebangkitanNya, Kristus hadir sebagai Tuhan dan Juru-selamat. Padahal semua bidang ilmu psikologi atau berbagai cabang ilmu pengetahuan bukanlah “Tuhan dan Juru-selamat”. Mereka hanyalah seperangkat alat atau media yang sifatnya sangat terbatas. Sebagai suatu alat bantu yang sifatnya sangat terbatas, kita tidak boleh sampai mendewa-dewakannya. Tidak setiap hal yang telah dianalisis dan disimpulkan oleh ilmu psikologi memiliki kebenaran mutlak. Untuk hal ini kita sepakat bahwa hanya Kristus saja yang memiliki kebenaran mutlak. Sehingga di dalam cahaya kebangkitanNya, kita tidak hanya menemukan berbagai kekurangan, kelemahan dan dosa kita; tetapi lebih dari pada itu kita juga menemukan kekayaan anugerah  pengampunan Allah yang tanpa batas. Melalui terang kebangkitan Kristus, Allah menyinarkan kerahiman dan anugerah kasih sayangNya yang tanpa syarat kepada setiap orang yang bertobat.

Diteguhkan Dari Keraguan Dan Kebimbangan
                Di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu spektakuler kita sering beranggapan bahwa era iman Kristen semakin terancam. Pemahaman tersebut ada benarnya jikalau iman Kristen hanya kita pahami secara doktrinal belaka tanpa mau merespon perkembangan ilmu pengetahuan secara kritis dan positif. Dengan pola pendekatan iman Kristen yang doktrinal dengan menganggap bahwa kesaksian Alkitab cukup dimengerti secara harafiah belaka tanpa mempedulikan penelitian latar-belakang sejarah yang membentuknya, maka dapat dipastikan umat percaya akan menjadi orang-orang yang picik pikirannya. Namun ketika mereka diperhadapkan dengan dunia nyata, maka umumnya orang-orang yang picik pikirannya tersebut akan menjadi gagap dan panik dalam beradu argumentasi. Akhirnya mereka akan mengalami keraguan dan kebimbangan. Untuk itu umat percaya pada satu pihak dipanggil untuk selalu menguji setiap roh dengan sikap yang kritis dan analitis, tetapi pada pihak lain umat percaya juga harus bersedia terbuka untuk diterangi oleh Roh Kudus. Namun sayangnya umat percaya sering hanya mau bersikap kritis dan analitis secara rasional belaka dan mengabaikan kesediaan diri untuk diterangi oleh Roh Kudus. Pola sikap yang demikian ditempuh oleh Tomas. Dia berkata: ”Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya" (Yoh. 20:25). Sikap Tomas tersebut harus diakui memperlihatkan suatu rasionalitas yang sehat. Tepatnya sebelum mempercayai sesuatu, Tomas membutuhkan suatu pembuktian. Tomas ingin membuktikan issue Yesus yang bangkit dengan  cara “mencucukkan tangannya ke dalam bekas luka tangan, kaki dan lambung Yesus”. Apabila nanti Tomas berhasil membuktikan secara kasat mata dan fisik, maka dia akan memutuskan untuk percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh telah bangkit. Dengan demikian sikap Tomas merupakan pengejawantahan dari para ilmiahwan dan orang-orang yang selalu kritis. Sikap kita selaku gereja tidaklah benar jikalau menolak dan memusuhi orang-orang yang rasional dan kritis. Mereka perlu didukung oleh gereja untuk memperoleh suatu penelitian atau penyelidikan yang semakin komprehensif. Tetapi pada sisi yang lain mereka juga perlu didorong dan ditumbuhkan suatu sikap yang tetap rendah hati. Lebih khusus lagi mereka perlu dibimbing untuk juga terbuka terhadap karya Roh Kudus untuk mengungkapkan kebenaran Allah dalam misteri Kristus.

                Keragu-raguan sikap Tomas yang hanya mau percaya bilamana dia mampu membuktikan sebenarnya tidak hanya pada ranah pengujian dan pembuktian ilmu pengetahuan. Bukankah kita juga sering ragu-ragu kepada kuasa dan pertolongan Allah saat kita mengalami krisis dan kegagalan? Kita sering bersikap seperti Tomas agar Tuhan terlebih dahulu mampu membuktikan kuasa dan pertolonganNya, barulah kita akan bersedia untuk percaya kepadaNya. Misalnya saat kita atau anggota keluarga yang sedang sakit keras, maka kita akan cenderung menyatakan bersedia percaya kepada Kristus, jikalau Dia terlebih dahulu membuktikan kuasaNya dengan cara menyembuhkan penyakit tersebut. Dalam hal ini kita sering berandai-andai bahwa sikap percaya atau beriman kepada Kristus akan membebaskan kita dari segala penyakit dan kegagalan. Konsep iman kepada Kristus dipahami sebagai sekedar suatu pemberian dispensasi dari kenyataan hidup yang seringkali keras dan tidak adil.  Kita melupakan satu prinsip teologis yang penting yaitu kebangkitan Kristus di mana Dia telah menang atas maut tidak pernah bertujuan membebaskan para murid atau umatNya untuk menghadapi kematian yang mengerikan. Sebaliknya kuasa kebangkitan Kristus seharusnya memampukan dan meneguhkan setiap umat percaya untuk berani menyatakan kebenaran dan sikap imannya di hadapan dunia. Walaupun untuk sikap iman mereka dan kesaksian tentang kebenaran tersebut seringkali harus dibayar dengan darah dan nyawa mereka. Jadi kuasa kebangkitan Kristus tidak pernah bertujuan mengobati keragu-raguan dan kebimbangan seseorang dengan pembuktian yang membebaskan dia dari permasalahan dan penderitaan.  

Bersikap Tegar Saat Terancam
                Umat yang mengalami kuasa kebangkitan Kristus akan semakin menemukan landasan hidupnya yang rasional dan bertanggungjawab kepada Allah walaupun mereka ditekan dan mengalami aniaya. Di Kis. 5:26-28 menyaksikan bagaimana para murid Yesus ditangkap dan dihadapkan kepada Mahkamah Agama. Para murid Yesus dilarang untuk memberitakan nama Yesus Kristus kepada orang banyak. Namun di tengah-tengah situasi yang demikian para murid Yesus tersebut tidak menghadapi ancaman dan tekanan yang terjadi dengan sikap agresif dan impulsif. Para murid Yesus terbukti mampu menjelaskan sikap iman mereka secara rasional tentang apa artinya ketaatan kepada Allah melebihi ketaatan kepada manusia. Dalam hal ini Petrus berkata: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.  Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa.  Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia" (Kis. 5:29-32). Perhatikan dengan seksama bahwa kuasa kebangkitan Kristus memampukan para murid Yesus untuk memberi penjelasan tentang fakta yang menyakitkan berupa pemaparan tentang kisah penyaliban Tuhan Yesus oleh para pemimpin agama Yahudi, tetapi tetap dilandasi oleh sikap kasih yaitu panggilan untuk bertobat dan menerima pengampunan dosa. Para murid Yesus tidak sekedar menguraikan kekejaman dan kejahatan para pemimpin agama Yahudi yang telah menyalibkan Kristus yang tidak bersalah. Tetapi lebih dari pada itu para murid Yesus menyadarkan umat Israel bahwa Kristus yang telah disalibkan justru ditentukan Allah untuk menjadi Pemimpin dan Juru-selamat, sehingga seluruh umat dipanggil untuk bertobat dan menerima pengampunan dari Allah. Dengan demikian peristiwa kebangkitan Kristus terbukti mampu menciptakan aura kasih ilahi dalam kehidupan umat percaya. Keberanian yang mereka tunjukkan dengan sikap yang sangat mengesankan merupakan keberanian yang dilandasi oleh kasih Allah yang menyala-nyala. Ketegaran yang mereka perlihatkan merupakan ketegaran yang dilandasi oleh anugerah pengampunan Allah.

                Bila umat gereja perdana telah mengalami kuasa pembaharuan hidup yang dilandasi oleh kasih dan pertobatan karena kebangkitan Kristus, maka seharusnya kita di tengah-tengah kenyataan hidup yang menyakitkan dan mengecewakan juga memiliki kekayaan kasih dan pembaharuan hidup. Namun sering kuasa kebangkitan Kristus tidak dapat bekerja secara efektif karena kita lebih banyak mengembangkan kebiasaan hidup yang buruk. Kita sering membiarkan emosi dan ketidakpuasan meletup secara impulsif. Sebab kita tidak mampu menerima beberapa hal yang tidak menyenangkan menimpa diri kita. Sehingga reaksi kita lebih cenderung mengikuti keinginan perasaan  atau kehendak yang tidak diterangi oleh akal budi dan prinsip iman. Mungkin sikap kita seperti seekor ikan Mas yang selalu ingin dilindungi, dijaga, dirawat dan diberi makan oleh orang-orang yang memelihara. Dari luar akuarium, sosok penampilan kita sangat indah. Tetapi sesungguhnya hidup kita sangat tergantung kepada sikap perhatian dan kemurahan hati orang-orang di sekitar kita. Ketika kita diberi makan, kita merasa sangat bahagia. Namun ketika kita lupa diberi makan atau kebutuhan yang diharapkan, maka kita akan bingung, gelisah dan marah. Apalagi saat akurium tersebut dipindahkan ke laut, maka kita akan panik dan habis akal karena kita tidak terbiasa menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya. Melalui sikap percaya kepada Kristus yang bangkit, kita  justru diajak untuk menghadapi kenyataan hidup dengan sikap yang tegar. Kita juga dilatih untuk dengan roh hikmat Kristus dalam menghadapi kelicikan dan kejahatan dunia, tanpa harus terjatuh dalam sikap kompromistis dengan kuasa dunia ini.

Panggilan
                Sikap mengimani Kristus yang bangkit tidaklah cukup hanya dilandasi oleh seperangkap pemahaman yang kognitif dan berbagai pembuktian ilmu pengetahuan. Iman kepada Kristus yang bangkit lebih ditentukan oleh sikap spiritualitas yang selalu terbuka untuk diperbaharui oleh Roh Kudus. Sehingga karya pembaharuan Roh Kudus tersebut memampukan kita untuk untuk menyikapi setiap permasalahan, tekanan, ancaman dan bahaya dengan sikap iman. Jika demikian, bagaimanakah sikap saudara? Apakah permasalahan berupa ketakutan, tekanan, dan penderitaan kita lebih besar dari pada kuasa kebangkitan Kristus? Jika jawabannya adalah “ya”, maka kita bukanlah umat yang mempercayai kuasa kebangkitan Kristus atas kuasa maut. Sebaliknya bilamana kita menempatkan kuasa kebangkitan Kristus melebihi setiap problem dan penderitaan kita, maka di saat itulah kita akan mengalami kuasa kebangkitan Kristus yang transformatif. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar