Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghadapi berbagai bentuk tangisan. Sebenarnya tangisan bukan sekedar suatu ekspresi perasaan hati seseorang. Tangisan juga merupakan media yang mengkomunikasikan maksud hati seseorang yang paling dalam dan pribadi.
Seseorang mengeluarkan air-mata atau tangisan umumya karena dia didorong untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak mampu dikomunikasikan melalui kata-kata lisan atau tulisan. Menurut jenisnya tangisan memiliki 10 makna, yaitu tangisan sebagai: 1. Ungkapan cinta-kasih
2. Ungkapan sayang dan rindu
3. Takut dan cemas
4. Ungkapan gembira dan bahagia
5. Ungkapan sikap putus-asa
6. Kesedihan
7. Kemunafikan
8. Motif komersial
9. Penguatan persetujuan
10. Sekedar akting.
Dorongan Menangis Karena Gender?
Umumnya para wanita lebih mampu mengekspresikan perasaan hatinya melalui tangisan atau air-mata dibandingkan para pria. Mungkin karena sistem masyarakat kita cenderung ke arah sistem patriakhal. Dalam sistem patriakhal akan menempatkan sosok dan peran seorang pria sebagai pemimpin dan pelindung bagi isteri dan anggota keluarganya. Sehingga dengan sistem patriakhal tersebut akan mengakibatkan para pria sangat sulit mengeluarkan air-mata saat mereka mengalami kesedihan. Mereka menganggap tangisan atau air-mata sebagai tanda kelemahan pribadi seorang pria. Konsep kekuatan dan ketangguhan seorang pria ditandai oleh sikap yang maskulin, seperti: tidak pernah memperlihatkan perasaan sentimentil dan melankholis dan selalu mampu menahan deraian air-mata. Dalam konteks tertentu, arti maskulin tersebut memiliki nilai kebenaran. Sampai kapanpun sangatlah sulit bagi kebanyakan orang untuk melihat seorang pria yang terlalu mudah mengeluarkan air-mata atau menangis di depan publik. Tetapi seorang pria secara psikologis “perlu” mengeluarkan air-mata saat dia bergumul seorang diri dalam doa, pergumulan dan keprihatinan. Sebab air-mata yang lahir dari hati yang terdalam umumnya mampu menetralisir kesedihan dan beban berat yang sedang menindih hidup kita. Apalagi bila air-mata atau tangisan tersebut lahir dari hati yang begitu mengasihi, maka air-mata tersebut menjadi sesuatu yang begitu bermakna. Sebaliknya air mata kemunafikan atau sekedar akting akan membuat seseorang kehilangan integritas diri. Air-mata yang demikian akan menjadikan kita hidup dalam kepalsuan diri dan jauh dari kebenaran.
Umumnya para wanita lebih mampu mengekspresikan perasaan hatinya melalui tangisan atau air-mata dibandingkan para pria. Mungkin karena sistem masyarakat kita cenderung ke arah sistem patriakhal. Dalam sistem patriakhal akan menempatkan sosok dan peran seorang pria sebagai pemimpin dan pelindung bagi isteri dan anggota keluarganya. Sehingga dengan sistem patriakhal tersebut akan mengakibatkan para pria sangat sulit mengeluarkan air-mata saat mereka mengalami kesedihan. Mereka menganggap tangisan atau air-mata sebagai tanda kelemahan pribadi seorang pria. Konsep kekuatan dan ketangguhan seorang pria ditandai oleh sikap yang maskulin, seperti: tidak pernah memperlihatkan perasaan sentimentil dan melankholis dan selalu mampu menahan deraian air-mata. Dalam konteks tertentu, arti maskulin tersebut memiliki nilai kebenaran. Sampai kapanpun sangatlah sulit bagi kebanyakan orang untuk melihat seorang pria yang terlalu mudah mengeluarkan air-mata atau menangis di depan publik. Tetapi seorang pria secara psikologis “perlu” mengeluarkan air-mata saat dia bergumul seorang diri dalam doa, pergumulan dan keprihatinan. Sebab air-mata yang lahir dari hati yang terdalam umumnya mampu menetralisir kesedihan dan beban berat yang sedang menindih hidup kita. Apalagi bila air-mata atau tangisan tersebut lahir dari hati yang begitu mengasihi, maka air-mata tersebut menjadi sesuatu yang begitu bermakna. Sebaliknya air mata kemunafikan atau sekedar akting akan membuat seseorang kehilangan integritas diri. Air-mata yang demikian akan menjadikan kita hidup dalam kepalsuan diri dan jauh dari kebenaran.
Air-Mata Yesus
Saat Tuhan Yesus menyaksikan Maria dan orang-orang Yahudi bersedih hati karena kematian Lazarus, Yoh. 10:33 menyaksikan sikap Tuhan Yesus yang terharu. Dalam keharuanNya, secara eksplisit Yoh. 10:35 menyatakan: “Maka menangislah Yesus”. Tangisan Tuhan Yesus tersebut lahir dari perasaanNya yang terharu saat Dia menyaksikan kesedihan dan dukacita yang dialami oleh Maria dan para kerabat Lazarus. Itu sebabnya penilaian orang banyak terhadap perasaan haru dan tangisan Yesus dalam Yoh. 10:36, adalah: “Lihatlah, betapa kasihNya kepadanya”. Orang banyak yang melihat air mata atau tangisan Yesus tidak menilaiNya sebagai tangisan yang munafik, komersial atau sekedar akting. Tetapi orang banyak menilai air-mata Yesus sebagai tangisan cinta-kasih.
Demikian pula dalam berbagai pergumulan dan kesedihan kita, Tuhan Yesus juga mampu memahami isi hati dan beban berat yang sedang kita tanggung. Kita tidak menangis seorang diri, tetapi menangis bersama dengan Kristus. Itu sebabnya kedudukan Kristus dalam iman Kristen bukan hanya sekedar sebagai Tuhan dan Juru-selamat, tetapi Dia juga adalah sahabat yang setia.
Di Yoh. 15:15, Tuhan Yesus berkata: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”.
Pemahaman firman Tuhan tersebut meneguhkan kita, bahwa melalui Kristus kita tidak lagi menjumpai Allah yang keras dengan hukum-hukumNya. Tetapi juga melalui Kristus kita boleh menjumpai Allah yang begitu lembut dan penuh kasih. Melalui Kristus, kita dimampukan untuk mengenal jati-diri Allah yang tidak semata-mata maskulin, tetapi juga feminim seperti kasih seorang ibu kepada anak-anaknya.
Saat Tuhan Yesus menyaksikan Maria dan orang-orang Yahudi bersedih hati karena kematian Lazarus, Yoh. 10:33 menyaksikan sikap Tuhan Yesus yang terharu. Dalam keharuanNya, secara eksplisit Yoh. 10:35 menyatakan: “Maka menangislah Yesus”. Tangisan Tuhan Yesus tersebut lahir dari perasaanNya yang terharu saat Dia menyaksikan kesedihan dan dukacita yang dialami oleh Maria dan para kerabat Lazarus. Itu sebabnya penilaian orang banyak terhadap perasaan haru dan tangisan Yesus dalam Yoh. 10:36, adalah: “Lihatlah, betapa kasihNya kepadanya”. Orang banyak yang melihat air mata atau tangisan Yesus tidak menilaiNya sebagai tangisan yang munafik, komersial atau sekedar akting. Tetapi orang banyak menilai air-mata Yesus sebagai tangisan cinta-kasih.
Demikian pula dalam berbagai pergumulan dan kesedihan kita, Tuhan Yesus juga mampu memahami isi hati dan beban berat yang sedang kita tanggung. Kita tidak menangis seorang diri, tetapi menangis bersama dengan Kristus. Itu sebabnya kedudukan Kristus dalam iman Kristen bukan hanya sekedar sebagai Tuhan dan Juru-selamat, tetapi Dia juga adalah sahabat yang setia.
Di Yoh. 15:15, Tuhan Yesus berkata: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”.
Pemahaman firman Tuhan tersebut meneguhkan kita, bahwa melalui Kristus kita tidak lagi menjumpai Allah yang keras dengan hukum-hukumNya. Tetapi juga melalui Kristus kita boleh menjumpai Allah yang begitu lembut dan penuh kasih. Melalui Kristus, kita dimampukan untuk mengenal jati-diri Allah yang tidak semata-mata maskulin, tetapi juga feminim seperti kasih seorang ibu kepada anak-anaknya.
Feminitas Karakter Allah
Karakter Allah yang umum disaksikan oleh Alkitab tampaknya lebih menonjolkan maskulinitas Allah. Yang mana penonjolan tersebut terjadi karena teologi Kristen klasik lebih memilih gambaran Allah secara maskulin yang ditampilkan dalam diri seorang Bapa. Sehingga kedudukan “ke-Bapa-an Allah” dikualifikasikan sebagai satu-satunya karakter Allah. Dalam konteks ini penonjolan kualifikasi kedudukan Allah Bapa dalam hubunganNya dengan Yesus sebagai Anak Allah justru akan menjadi suatu “kontradiksi”. Yesus adalah Anak Allah yang telah ada sejak kekal. Sehingga iman Kristen menegaskan bahwa keberadaan Yesus selaku Tuhan dan Juru-selamat pada hakikatnya tidak diciptakan, tetapi diperanakkan. Persoalannya bila Yesus diperanakkan, maka bukannya Allah sebagai Bapa, tetapi seharusnya Allah dihayati sebagai ibu. Memang secara historis dan biologis, Yesus dilahirkan oleh Maria. Tetapi peran Maria yang pernah mengandung dan melahirkan Yesus tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi “isteri Allah”. Peran dan kedudukan Maria tetaplah seorang hamba Tuhan dalam peristiwa inkarnasi Kristus.
Karena itu Origenes, selaku bapa gereja berkata: “Apa yang dilahirkan oleh Allah adalah Allah”. Jadi tampaknya para teolog Kristen mula-mula memiliki pemahaman yang kurang tepat terhadap proses prokreasi. Seharusnya saat mereka berbicara perihal kejadian Yesus sebagai manusia, seharusnya yang ditonjolkan adalah karakter feminitas diri Allah.
Karakter Allah yang umum disaksikan oleh Alkitab tampaknya lebih menonjolkan maskulinitas Allah. Yang mana penonjolan tersebut terjadi karena teologi Kristen klasik lebih memilih gambaran Allah secara maskulin yang ditampilkan dalam diri seorang Bapa. Sehingga kedudukan “ke-Bapa-an Allah” dikualifikasikan sebagai satu-satunya karakter Allah. Dalam konteks ini penonjolan kualifikasi kedudukan Allah Bapa dalam hubunganNya dengan Yesus sebagai Anak Allah justru akan menjadi suatu “kontradiksi”. Yesus adalah Anak Allah yang telah ada sejak kekal. Sehingga iman Kristen menegaskan bahwa keberadaan Yesus selaku Tuhan dan Juru-selamat pada hakikatnya tidak diciptakan, tetapi diperanakkan. Persoalannya bila Yesus diperanakkan, maka bukannya Allah sebagai Bapa, tetapi seharusnya Allah dihayati sebagai ibu. Memang secara historis dan biologis, Yesus dilahirkan oleh Maria. Tetapi peran Maria yang pernah mengandung dan melahirkan Yesus tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi “isteri Allah”. Peran dan kedudukan Maria tetaplah seorang hamba Tuhan dalam peristiwa inkarnasi Kristus.
Karena itu Origenes, selaku bapa gereja berkata: “Apa yang dilahirkan oleh Allah adalah Allah”. Jadi tampaknya para teolog Kristen mula-mula memiliki pemahaman yang kurang tepat terhadap proses prokreasi. Seharusnya saat mereka berbicara perihal kejadian Yesus sebagai manusia, seharusnya yang ditonjolkan adalah karakter feminitas diri Allah.
Mungkin muncul sanggahan terhadap pandangan feminitas Allah, yaitu bahwa Alkitab khususnya Tuhan Yesus menekankan maskulinitas Allah sebagai Bapa. Bukankah Tuhan Yesus mengajarkan “Doa Bapa kami yang di sorga”? Sangat jelas dalam “Doa Bapa Kami”, Tuhan Yesus memanggil Allah sebagai Bapa yang berasal dari bahasa Aram, yaitu “Abba”. Tetapi
apakah panggilan dan predikat Allah sebagai “Abba” tersebut dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menekankan maskulinitas Allah?
Ataukah sebutan dan panggilan Allah sebagai “Abba” lebih dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menekankan relasi intim antara seorang anak dengan ayahnya? Tentu kita sepakat bahwa teologi Kristen pada hakikatnya tidak pernah menempatkan “Doa Bapa Kami” sebagai penegasan akan maskulinitas Allah. Makna “Doa Bapa Kami” pada hakikatnya lebih menonjolkan anugerah kasih Allah yang memungkinkan manusia untuk menjalin relasi yang akrab dan intim dengan Bapanya. Padahal keintiman hubungan seorang anak secara fisiologis umumnya lebih dekat dengan seorang ibu dari pada dengan ayahnya. Karena bagaimanapun secara fisiologis, seorang ayah tidak pernah mampu mengandung dan melahirkan seorang anak. Sebaliknya melalui peran seorang ibu, seorang anak dapat dikandung dan dilahirkan. Bahkan hubungan batin dan fisik seorang janin telah terlihat sejak peristiwa prokreasi. Bukankah sebelum dilahirkan, seorang janin telah berada selama 9 bulan di rahim ibunya? Janin tersebut dirajut Allah dalam rahim seorang wanita. Melalui rahim seorang wanita pula, janin dapat memperoleh makanan, nutrisi, dan oksigen. Tepatnya melalui tali pusar (umbilikal) seorang janin dihubungkan dengan plasenta ibunya. Itu sebabnya tali pusar seorang anak yang pernah terhubung dengan plasenta seorang ibu juga menunjuk kepada ikatan “tali batin”. Jika demikian, sangatlah jelas bahwa sebutan Allah sebagai Bapa tidak pernah menunjuk kepada pengertian harafiah dan biologis. Makna sebutan Allah sebagai Bapa tidak pernah dipahami dalam pengertian “gender seorang pria”. Jelaslah bahwa Tuhan Yesus dengan sangat akrab memanggil Allah sebagai “Abba”, tetapi Tuhan Yesus tidak pernah membebani makna gelar Allah dengan sebutan yang sifatnya patriakhal. Jadi sebutan Allah sebagai Bapa lebih tepat merupakan simbolisasi relasi dan komunikasi akrab yang dihadirkan secara nyata dalam kehidupan Tuhan Yesus. Sehingga melalui kehidupan Kristus, umat manusia yang semula terasing dan terbuang selaku umat yang berdosa dapat dipulihkan menjadi “anak-anak Allah”.
apakah panggilan dan predikat Allah sebagai “Abba” tersebut dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menekankan maskulinitas Allah?
Ataukah sebutan dan panggilan Allah sebagai “Abba” lebih dimaksudkan oleh Tuhan Yesus untuk menekankan relasi intim antara seorang anak dengan ayahnya? Tentu kita sepakat bahwa teologi Kristen pada hakikatnya tidak pernah menempatkan “Doa Bapa Kami” sebagai penegasan akan maskulinitas Allah. Makna “Doa Bapa Kami” pada hakikatnya lebih menonjolkan anugerah kasih Allah yang memungkinkan manusia untuk menjalin relasi yang akrab dan intim dengan Bapanya. Padahal keintiman hubungan seorang anak secara fisiologis umumnya lebih dekat dengan seorang ibu dari pada dengan ayahnya. Karena bagaimanapun secara fisiologis, seorang ayah tidak pernah mampu mengandung dan melahirkan seorang anak. Sebaliknya melalui peran seorang ibu, seorang anak dapat dikandung dan dilahirkan. Bahkan hubungan batin dan fisik seorang janin telah terlihat sejak peristiwa prokreasi. Bukankah sebelum dilahirkan, seorang janin telah berada selama 9 bulan di rahim ibunya? Janin tersebut dirajut Allah dalam rahim seorang wanita. Melalui rahim seorang wanita pula, janin dapat memperoleh makanan, nutrisi, dan oksigen. Tepatnya melalui tali pusar (umbilikal) seorang janin dihubungkan dengan plasenta ibunya. Itu sebabnya tali pusar seorang anak yang pernah terhubung dengan plasenta seorang ibu juga menunjuk kepada ikatan “tali batin”. Jika demikian, sangatlah jelas bahwa sebutan Allah sebagai Bapa tidak pernah menunjuk kepada pengertian harafiah dan biologis. Makna sebutan Allah sebagai Bapa tidak pernah dipahami dalam pengertian “gender seorang pria”. Jelaslah bahwa Tuhan Yesus dengan sangat akrab memanggil Allah sebagai “Abba”, tetapi Tuhan Yesus tidak pernah membebani makna gelar Allah dengan sebutan yang sifatnya patriakhal. Jadi sebutan Allah sebagai Bapa lebih tepat merupakan simbolisasi relasi dan komunikasi akrab yang dihadirkan secara nyata dalam kehidupan Tuhan Yesus. Sehingga melalui kehidupan Kristus, umat manusia yang semula terasing dan terbuang selaku umat yang berdosa dapat dipulihkan menjadi “anak-anak Allah”.
Bagai Induk Ayam
Perjalanan Tuhan Yesus ke kota Yerusalem bukan sekedar Dia “salah jalan”. Sebaliknya perjalanan Tuhan Yesus ke Yerusalem dihayati sebagai suatu keharusan. Di Luk. 13:33, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem”(Luk. 13:33). Bagi Tuhan Yesus, perjalanan ke Yerusalem merupakan sesuatu yang “harus” (“dei”, Yun.) ditempuhNya, yaitu menuju jalan salib. Dalam hal ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa tujuanNya ke Yerusalem adalah untuk menjemput kematianNya sesuai dengan kehendak Allah Bapa. Yang mana kuasa dunia berupaya menghancurkan karya keselamatan Allah dengan cara mematikan atau membunuh Yesus. Tetapi pada pihak lain ternyata Allah menggunakan cara kuasa dunia tersebut untuk meraih umat manusia melalui kematian Kristus. Artinya Allah menggunakan kematian Kristus menjadi media penebusan dosa bagi umat manusia. Sedang dari sudut historis apa yang akan dialami oleh Tuhan Yesus juga pernah dialami oleh para nabi. Yang mana para nabi umumnya dibunuh bukan di tempat lain, selain di Yerusalem. Dengan demikian, kota Yerusalem sebagai kota suci dan tempat takhta tabut Allah atau simbolisasi pemerintahan teokratis, juga menyandang gelar kota pembunuh para nabi Allah. Jadi Yerusalem sebagai simbolisasi kehadiran Allah, juga sebagai manifestasi dari para lawan Allah yang menolak kehadiranNya. Yerusalem yang secara khusus dipilih Allah justru berubah menjadi tempat para umat yang menolak maksud hati Allah untuk melawat dan merangkul mereka.
Perjalanan Tuhan Yesus ke kota Yerusalem bukan sekedar Dia “salah jalan”. Sebaliknya perjalanan Tuhan Yesus ke Yerusalem dihayati sebagai suatu keharusan. Di Luk. 13:33, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem”(Luk. 13:33). Bagi Tuhan Yesus, perjalanan ke Yerusalem merupakan sesuatu yang “harus” (“dei”, Yun.) ditempuhNya, yaitu menuju jalan salib. Dalam hal ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa tujuanNya ke Yerusalem adalah untuk menjemput kematianNya sesuai dengan kehendak Allah Bapa. Yang mana kuasa dunia berupaya menghancurkan karya keselamatan Allah dengan cara mematikan atau membunuh Yesus. Tetapi pada pihak lain ternyata Allah menggunakan cara kuasa dunia tersebut untuk meraih umat manusia melalui kematian Kristus. Artinya Allah menggunakan kematian Kristus menjadi media penebusan dosa bagi umat manusia. Sedang dari sudut historis apa yang akan dialami oleh Tuhan Yesus juga pernah dialami oleh para nabi. Yang mana para nabi umumnya dibunuh bukan di tempat lain, selain di Yerusalem. Dengan demikian, kota Yerusalem sebagai kota suci dan tempat takhta tabut Allah atau simbolisasi pemerintahan teokratis, juga menyandang gelar kota pembunuh para nabi Allah. Jadi Yerusalem sebagai simbolisasi kehadiran Allah, juga sebagai manifestasi dari para lawan Allah yang menolak kehadiranNya. Yerusalem yang secara khusus dipilih Allah justru berubah menjadi tempat para umat yang menolak maksud hati Allah untuk melawat dan merangkul mereka.
Padahal lawatan dan rangkulan Allah kepada Yerusalem dinyatakan Kristus sebagai wujud kasih seorang ibu. Kualifikasi kasih Allah yang “keibuan” dan feminim ini disimbolisasikan oleh Tuhan Yesus dengan sebutan “induk ayam” Di Luk. 13:34, Tuhan Yesus berkata: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau”. Gambaran diri Allah sebagai “induk ayam” jelasmenunjukkan feminitas dan “ke-ibu-an” Allah. Secara sengaja Allah tidak disebutnya sebagai “ayam jago” yang pasti bersifat maskulin. Selain itu sebutan sebagai “induk ayam” juga menunjuk kepada kondisi mahluk yang lemah. Sangat berbeda maknanya bilamana Allah disebut dengan sebutan “induk serigala” yang menunjuk kepada mahluk yang lebih kuat, buas dan licik. Sebab bagaimanapun sebutan Allah sebagai “induk ayam” pada satu pihak memperlihatkan keberanian seekor induk ayam yang garang dengan melindungi anak-anaknya di bawah sayap, tetapi pada pihak lain juga memperlihatkan bahwa seekor induk ayam akan tetap “kalah” secara fisik bila dia harus berhadapan dengan seekor musang atau serigala. Di Luk. 13:32, Tuhan Yesus menyebut Herodes sebagai seekor serigala: "Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai” (Luk. 13:32). Sungguh kontras, Allah yang maha-kuasa digambarkan sebagai seekor induk ayam, sedangkan Herodes atau umat manusia yang rapuh dan jahat justru digambarkan sebagai seekor serigala. Pengertian metafor ini semakin menyadarkan kita, bahwa makna kemahakuasaan dan kasih Allah tidak ditentukan oleh kekuatan fisik atau senjata kekerasan yang digunakan. Tetapi makna kemahakuasaan dan kasih Allah lebih ditentukan oleh kelembutan kasih dan kekayaan rahmatNya yang bersedia berkurban. Sehingga walaupun umat selalu menolak uluran kasih dan pertolongan Allah, Allah tetap bersikap sabar dan mengasihi mereka. Bahkan Allah di dalam Kristus bersedia berkurban untuk menyelamatkan umat yang menolakNya.
Dengan demikian, metafor Allah sebagai induk ayam menunjuk kepada makna kerahiman Allah kepada umat yang berdosa. Kasih Allah seperti seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya melalui buah rahimnya. Ibu tersebut akan tetap mencintai anak-anaknya yang secara sengaja mengabaikan, menolak dan melukai hatinya. Seburuk apapun kondisi fisik dan karakter anaknya, ibu tersebut sadar bahwa anaknya adalah berasal dari buah rahimnya. Peribahasa: “Kasih seorang anak hanya sepanjang galah, dan kasih seorang ibu adalah sepanjang jalan”. Demikian pula kualitas kasih Allah. Kasih Allah tampil seperti seekor induk ayam yang siap dan rela berkurban untuk melindung anak-anaknya. Makna metafor induk ayam bertujuan untuk mengungkapkan rahasia kasih Allah yang tidak bersyarat dan tidak terbatas. Jadi makna air mata Tuhan Yesus saat Dia menangisi Yerusalem merupakan ungkapan tangisan kasih seorang ibu yang prihatin dan peduli terhadap keselamatan anak-anaknya. Kedatangan Tuhan Yesus sebenarnya ingin merangkul umat Israel terlebih dahulu, barulah kemudian merangkul umat manusia. Tetapi ternyata umat Israel yang diwakili oleh para pemimpin agama memilih untuk menolak Tuhan Yesus.
Kerahiman Allah Sebagai Model
Pembahasan feminitas Allah dalam konteks firman Tuhan ini tidak dimaksudkan dipertentangkan dengan maskulinitasNya. Kerahiman Allah yang kaya dengan kasih yang tanpa syarat bukan dipertentangkan dengan kecemburuan Allah (Elqana). Sebab feminitas dan maskulinitas Allah adalah bagian yang integral dalam karakterNya yang kudus dan kasih. Keduanya saling melengkapi. Karena hakikat kedirian Allah bukanlah soal maskulin dan feminim. Jika kemudian disebutkan bahwa kerahiman (feminitas) Allah perlu menjadi model adalah karena maskulinitas Allah dalam hidup sehari-hari sering diekstremkan. Maskulinitas Allah diubah menjadi “maskulinisme” Allah. Sehingga wajah Allah sering ditampilkan dengan keseraman, pembalas dendam, penghukum tanpa ampun, sama sekali tidak pernah berkompromi dengan orang-orang yang dianggap lawannya. Gambaran wajah Allah yang demikian pada masa kini dimanifestasikan oleh para fundamentalis dan radikalisme agama. Mereka merepresentasikan nilai-nilai penghayatan keagamaan yang berpusat kepada Allah yang benar-benar “maskulin”. Sehingga sedikitpun Allah yang demikian tidak mau mengenal belas-kasihan. Allah menjadi sosok penuh murka, miskin dalam kemurahan, dan enggan mengampuni setiap umat atau seseorang yang dianggap “berbeda”. Segala yang berbeda dengan nilai-nilai kebenaran yang telah dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Suci haruslah dibinasakan secara tuntas. Umat yang berbeda keyakinan diberi label “kafir”. Yang mana darah setiap orang yang dianggap “kafir” adalah halal untuk ditumpahkan. Tepatnya para teroris agama secara prinsipiil menghayati maskulinitas Allah secara membabi-buta. Efeknya sangat destruktif. Agama-agama pada akhirnya menampilkan diri dalam wajah seorang monster yang mengancam kehidupan dan membahayakan kebersamaan umat manusia. Terbukti penghayatan terhadap maskulinitas Allah yang mengabaikan feminitas Allah telah menempatkan agama bukan lagi sebagai rahmat bagi umat manusia. Agama justru menjadi musuh kemanusiaan. Kalau agama menjadi musuh kemanusiaan, maka Allah juga dianggap sebagai musuh kehidupan bagi umat yang secara faktual sangat beragam. Padahal Allah yang dinyatakan dalam Kristus ternyata tidaklah semata-mata maskulin. Melalui kehidupan dan pengorbanan Kristus, Allah justru menampilkan jati-diriNya yang feminim. Di dalam Kristus, Allah menampilkan kasihNya yang tanpa syarat.
Pembahasan feminitas Allah dalam konteks firman Tuhan ini tidak dimaksudkan dipertentangkan dengan maskulinitasNya. Kerahiman Allah yang kaya dengan kasih yang tanpa syarat bukan dipertentangkan dengan kecemburuan Allah (Elqana). Sebab feminitas dan maskulinitas Allah adalah bagian yang integral dalam karakterNya yang kudus dan kasih. Keduanya saling melengkapi. Karena hakikat kedirian Allah bukanlah soal maskulin dan feminim. Jika kemudian disebutkan bahwa kerahiman (feminitas) Allah perlu menjadi model adalah karena maskulinitas Allah dalam hidup sehari-hari sering diekstremkan. Maskulinitas Allah diubah menjadi “maskulinisme” Allah. Sehingga wajah Allah sering ditampilkan dengan keseraman, pembalas dendam, penghukum tanpa ampun, sama sekali tidak pernah berkompromi dengan orang-orang yang dianggap lawannya. Gambaran wajah Allah yang demikian pada masa kini dimanifestasikan oleh para fundamentalis dan radikalisme agama. Mereka merepresentasikan nilai-nilai penghayatan keagamaan yang berpusat kepada Allah yang benar-benar “maskulin”. Sehingga sedikitpun Allah yang demikian tidak mau mengenal belas-kasihan. Allah menjadi sosok penuh murka, miskin dalam kemurahan, dan enggan mengampuni setiap umat atau seseorang yang dianggap “berbeda”. Segala yang berbeda dengan nilai-nilai kebenaran yang telah dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Suci haruslah dibinasakan secara tuntas. Umat yang berbeda keyakinan diberi label “kafir”. Yang mana darah setiap orang yang dianggap “kafir” adalah halal untuk ditumpahkan. Tepatnya para teroris agama secara prinsipiil menghayati maskulinitas Allah secara membabi-buta. Efeknya sangat destruktif. Agama-agama pada akhirnya menampilkan diri dalam wajah seorang monster yang mengancam kehidupan dan membahayakan kebersamaan umat manusia. Terbukti penghayatan terhadap maskulinitas Allah yang mengabaikan feminitas Allah telah menempatkan agama bukan lagi sebagai rahmat bagi umat manusia. Agama justru menjadi musuh kemanusiaan. Kalau agama menjadi musuh kemanusiaan, maka Allah juga dianggap sebagai musuh kehidupan bagi umat yang secara faktual sangat beragam. Padahal Allah yang dinyatakan dalam Kristus ternyata tidaklah semata-mata maskulin. Melalui kehidupan dan pengorbanan Kristus, Allah justru menampilkan jati-diriNya yang feminim. Di dalam Kristus, Allah menampilkan kasihNya yang tanpa syarat.
Kita dapat melihat latar-belakang kekerasan rumah-tangga dan di tempat pekerjaan terjadi karena begitu banyak orang yang mengembangkan pola karakter yang jauh dari kasih. Mereka sejak dini terbiasa mengalami kekerasan, kebencian dan sikap sewenang-wenang. Sehingga saat mereka beranjak dewasa dan memiliki peran di keluarga atau masyarakat, maka mereka mempraktekkan tindakan kekerasan kepada orang-orang di sekitarnya. Pengalaman traumatis tersebut menghalangi diri mereka untuk mengenal kasih Allah yang feminim. Kasih Kristus yang lembut dan penuh pengorbanan justru dianggap terlalu lemah. Kristus dianggap sebagai sosok yang kurang maskulin. Bagi mereka lebih cocok apabila mereka mengenal dan mempraktekkan karakter Allah yang maskulin. Tepatnya mereka lebih mudah menerima pemahaman dan pengajaran tentang Allah yang membalas dendam. Kebesaran Allah akan lebih terlihat dengan nyata bila Allah selalu bertindak menjadi penghukum tanpa ampun. Karena itu sikap etis dan perilaku mereka didasarkan kepada gambar diri Allah yang keras dan tanpa kompromi. Mereka mendidik anak-anak mereka dengan disiplin yang keras, meniadakan segala bentuk perbedaan, penerapan sikap otoriter dan mengajar balas-dendam. Kemudian di masyarakat, mereka membentuk kelompok orang-orang yang sepaham seraya menistakan kelompok orang-orang yang tidak sepaham. Area kehidupan hanya dibagi antara hitam atau putih. Sayangnya yang disebut area“putih” adalah kelompok mereka sendiri. Sedang yang bukan termasuk kelompok mereka akan dimasukkan ke dalam area “hitam”. Perlu kita cermati dengan kritis, seandainya mereka menjadi anggota jemaat, maka mereka juga akan membuat pemilahan atau pengelompokan antara anggota jemaat dalam area “putih” dan anggota jemaat dalam area “hitam”. Sehingga peran mereka di tengah-tengah jemaat senantiasa menimbulkan perpecahan dan kekacauan. Sebab mereka menyebarkan kebencian, roh permusuhan dan sikap antipati kepada orang-orang di sekitarnya. Di Fil. 3:18-19 rasul Paulus menyebut orang-orang yang demikian sebagai seteru salib Kristus. Rasul Paulus berkata: “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi”.
Kesetiaan Sampai Akhir
Feminitas kasih Allah dengan metafor “induk ayam” dinyatakan oleh Tuhan Yesus dengan tetap berjalan maju ke Yerusalem. Walaupun Tuhan Yesus mengetahui bahwa Dia akan dilukai dan dibunuh oleh anak-anakNya, tetapi kasihNya tidak pernah berubah. Air mata Yesus yang tertumpah karena tangisanNya sedikitpun tidak menghalangi niatNya untuk mewujudkan kehendak Allah. Dalam kehidupan sehari-hari betapa sering kesedihan dan keprihatinan kita menghalangi sikap konsistensi dan kesetiaan kita untuk melayani pekerjaan Tuhan. Apalagi bila kita dilukai dan dikhianati oleh orang-orang yang kita layani, maka sikap kita akan segera mengingat begitu banyak hal yang telah kita lakukan. Kita segera menghitung “jasa-jasa” yang telah kita lakukan dengan penuh pengorbanan. Tetapi pada saat yang sama hati kita akan semakin terluka. Sebab kita merasa air susu dibalas dengan air tuba. Luka-luka yang mematahkan konsistensi dan kesetiaan kita disebabkan karena kita sering menghubungkan realitas cinta dengan jasa-jasa. Makna kasih sering diartikan sekedar suatu ungkapan cinta yang menghasilkan banyak jasa. Sehingga orang-orang yang kita cintai adalah orang-orang yang dianggap telah menerima jasa-jasa dan berhutang dengan kebaikan-kebaikan kita. Padahal cinta yang suci selalu bebas dari perasaan berjasa. Semakin kita merasa berjasa, maka sesungguhnya motif kita yang utama bukanlah cinta-kasih. Sebab makna jasa-jasa yang berhasil dicapai umumnya hanya dipahami dan dihayati dalam konteks perdagangan atau dunia bisnis. Dengan perkataan lain, saat kita merasa diri “berjasa besar” dalam melayani pekerjaan Tuhan maka sesungguhnya kita telah memperdagangkan cinta. Kita semua memahami bahwa siapapun yang memperdagangkan cinta-kasih tidak akan pernah mampu berkurban dalam arti yang sesungguhnya. Sikap memperdagangkan cinta pada hakikatnya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu seperti puji-pujian dan kehormatan semu. Sehingga begitu dia tidak memperoleh puji-pujian dan kehormatan semu dari sesamanya, maka dia akan segera mengkhianati setiap komitmen dan kesetiaannya kepada Tuhan. Namun tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus. Dia tetap setia dan tidak berubah sikap kasihNya walaupun akhirnya Dia dilukai dan dikhianati oleh umat yang dikasihiNya. Sikap Tuhan Yesus tersebut mencerminkan karakter Allah BapaNya. Perjanjian kasih karunia Allah tetap kokoh sebagaimana yang telah diikrarkan Allah kepada Abraham. Di Kej. 15:18 menyaksikan bagaimana Allah mengadakan perjanjian dengan Abraham, yaitu: “Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat”.
Feminitas kasih Allah dengan metafor “induk ayam” dinyatakan oleh Tuhan Yesus dengan tetap berjalan maju ke Yerusalem. Walaupun Tuhan Yesus mengetahui bahwa Dia akan dilukai dan dibunuh oleh anak-anakNya, tetapi kasihNya tidak pernah berubah. Air mata Yesus yang tertumpah karena tangisanNya sedikitpun tidak menghalangi niatNya untuk mewujudkan kehendak Allah. Dalam kehidupan sehari-hari betapa sering kesedihan dan keprihatinan kita menghalangi sikap konsistensi dan kesetiaan kita untuk melayani pekerjaan Tuhan. Apalagi bila kita dilukai dan dikhianati oleh orang-orang yang kita layani, maka sikap kita akan segera mengingat begitu banyak hal yang telah kita lakukan. Kita segera menghitung “jasa-jasa” yang telah kita lakukan dengan penuh pengorbanan. Tetapi pada saat yang sama hati kita akan semakin terluka. Sebab kita merasa air susu dibalas dengan air tuba. Luka-luka yang mematahkan konsistensi dan kesetiaan kita disebabkan karena kita sering menghubungkan realitas cinta dengan jasa-jasa. Makna kasih sering diartikan sekedar suatu ungkapan cinta yang menghasilkan banyak jasa. Sehingga orang-orang yang kita cintai adalah orang-orang yang dianggap telah menerima jasa-jasa dan berhutang dengan kebaikan-kebaikan kita. Padahal cinta yang suci selalu bebas dari perasaan berjasa. Semakin kita merasa berjasa, maka sesungguhnya motif kita yang utama bukanlah cinta-kasih. Sebab makna jasa-jasa yang berhasil dicapai umumnya hanya dipahami dan dihayati dalam konteks perdagangan atau dunia bisnis. Dengan perkataan lain, saat kita merasa diri “berjasa besar” dalam melayani pekerjaan Tuhan maka sesungguhnya kita telah memperdagangkan cinta. Kita semua memahami bahwa siapapun yang memperdagangkan cinta-kasih tidak akan pernah mampu berkurban dalam arti yang sesungguhnya. Sikap memperdagangkan cinta pada hakikatnya hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu seperti puji-pujian dan kehormatan semu. Sehingga begitu dia tidak memperoleh puji-pujian dan kehormatan semu dari sesamanya, maka dia akan segera mengkhianati setiap komitmen dan kesetiaannya kepada Tuhan. Namun tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus. Dia tetap setia dan tidak berubah sikap kasihNya walaupun akhirnya Dia dilukai dan dikhianati oleh umat yang dikasihiNya. Sikap Tuhan Yesus tersebut mencerminkan karakter Allah BapaNya. Perjanjian kasih karunia Allah tetap kokoh sebagaimana yang telah diikrarkan Allah kepada Abraham. Di Kej. 15:18 menyaksikan bagaimana Allah mengadakan perjanjian dengan Abraham, yaitu: “Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat”.
Panggilan
Makna feminitas dan maskulinitas bukanlah sekedar masalah gender. Seharusnya makna feminitas dan maskulinitas merupakan ungkapan spiritualitas dan sikap iman yang bersedia untuk ditempatkan dalam otoritas kasih Allah. Sikap maskulinyang tidak ditempatkan dalam otoritas kasih Allah akan menjadi sumber tindakan yang sewenang-wenang dan penuh dengan kekerasan. Demikian pula sikap feminim yang tidak tidak ditempatkan dalam otoritas kasih Allah juga akan menjadi sikap-sikap yang sekedar mencari harmonisasi dan rasa aman. Sikap feminim yang demikian justru sering mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran hanya sekedar untuk menyenangkan hati orang. Padahal karakter feminitas Allah yang dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus sama sekali tidak bermaksud untuk menyenangkan hati manusia. Sebaliknya feminitas diri Allah justru bertujuan untuk menegakkan prinsip kebenaran dan kekudusan dengan kesediaan berkurban. Sehingga melalui kehidupan dan pelayanan Kristus, kekudusan dan kebenaran Allah tetap menjadi kesatuan yang utuh dengan kerahimanNya yang tanpa batas.
Makna feminitas dan maskulinitas bukanlah sekedar masalah gender. Seharusnya makna feminitas dan maskulinitas merupakan ungkapan spiritualitas dan sikap iman yang bersedia untuk ditempatkan dalam otoritas kasih Allah. Sikap maskulinyang tidak ditempatkan dalam otoritas kasih Allah akan menjadi sumber tindakan yang sewenang-wenang dan penuh dengan kekerasan. Demikian pula sikap feminim yang tidak tidak ditempatkan dalam otoritas kasih Allah juga akan menjadi sikap-sikap yang sekedar mencari harmonisasi dan rasa aman. Sikap feminim yang demikian justru sering mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran hanya sekedar untuk menyenangkan hati orang. Padahal karakter feminitas Allah yang dinyatakan dalam diri Tuhan Yesus sama sekali tidak bermaksud untuk menyenangkan hati manusia. Sebaliknya feminitas diri Allah justru bertujuan untuk menegakkan prinsip kebenaran dan kekudusan dengan kesediaan berkurban. Sehingga melalui kehidupan dan pelayanan Kristus, kekudusan dan kebenaran Allah tetap menjadi kesatuan yang utuh dengan kerahimanNya yang tanpa batas.
Jika demikian, apakah kita bersedia menempatkan setiap kodrat feminitas dan maskulinitas kita di bawah otoritas kasih Allah? Sejauh mana kasih dan kesetiaan kita sunguh-sungguh tunduk di bawah otoritas kasih Allah? Ataukah kasih dan kesetiaan kita telah dicemari oleh cinta yang diperdagangkan? Sehingga air-mata yang kita tumpahkan sekedar suatu tangisan kemunafikan atau komersialitas belaka. Jadi bagaimana sekarang sikap saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar