Sabtu, 23 April 2011

KEMATIAN KRISTUS, KEMENANGAN KITA


Yes. 52:13 - 53:12; Mzm. 22; Ibr. 10:16 - 25; Yoh. 18:1 - 19:42

Pengantar
Peristiwa kematian sebenarnya merupakan peristiwa yang sangat alamiah sebab dialami oleh setiap mahluk hidup termasuk umat manusia. Dasar atau hakikat dari seluruh peristiwa kematian yang dialami oleh manusia adalah karena kita mahluk yang fana dan terbatas. Sehingga sehebat apapun prestasi yang berhasil dicapai oleh manusia, dia akan berhadapan dengan batas akhir yang bernama kematian. Jika demikian, mengapa dalam iman Kristen, kematian Kristus dihayati sebagai karya keselamatan Allah yang sempurna? Bukankah para tokoh sejarah juga mengalami kematian, baik karena kematian di usia lanjut atau kematian yang penuh kepahlawanan, kematian sebagai seorang martir maupun kematian yang begitu tragis. Misalnya penakluk dunia Aleksander Agung dari Makedonia (356 - 324 sM) meninggal dalam usia 33 tahun karena sakit demam. Aleksander adalah seorang penakluk banyak orang dan bangsa, tetapi dia ditaklukkan oleh demam yang kemungkinan adalah nyamuk malaria. Contoh lain adalah Gaius Julius Caesar (13 Juli 100 – 15 Maret 44 sM) yang mampu memperluas dunia Romawi hingga Oceanus Atlanticus. Dia juga terlibat dalam pertarungan dan berhasil memenangkan sebuah perang saudara yang menjadikannya penguasa terhebat dunia Romawi, dan memulai reformasi besar-besaran terhadap masyarakat dan pemerintah Romawi. Tetapi akhirnya dia meninggal dunia pada 15 Maret 44 SM akibat ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus dan beberapa senator Romawi.  Tetapi kematian mereka tidak pernah dihayati sebagai wujud karya keselamatan Allah. Dunia hanya mengenang mereka sebagai pahlawan, penakluk dunia yang jenius dan tokoh sejarah di antara  para tokoh sejarah lainnya.
                Dari sudut pandang manusiawi, kematian Kristus dapat dianggap sebagai suatu kematian yang tragis. Kristus wafat dengan dihukum salib dalam usia 33 tahun. Usia yang relatif sangat muda. Namun mengapa Alkitab dan iman Kristen menghayati kematian Kristus yang sangat tragis tersebut menjadi suatu wujud dari karya keselamatan Allah yang sempurna? Apa bedanya kematian Kristusdengan Aleksander Agung dari Makedonia atau dengan Julius Caesar yang juga mati dibunuh oleh para musuhnya? Kalau Yesus Kristus diakui oleh dunia sebagai orang benar; bukankah juga cukup banyak orang-orang yang hidup benar  tetapi mengalami kematian yang tragis? Bukankah Mahatma Gandhi (2 Oktober 1869 – wafat di New Delhi, India, 30 Januari 1948 pada umur 78 tahun) yang selalu memperjuangkan perdamaian dan pola hidup benar mengalami kematian tragis?  Tetapi kematian orang-orang  yang hidup benar di dunia ini tidak senantiasa diidentikkan dengan karya keselamatan Allah. Jadi apa dasar iman Kristen menjadikan kematian Kristus sebagai wujud dari karya keselamatan Allah? Tentu dasar ajaran iman Kristen tentang kematian Kristus di atas kayu salib sebagai wujud karya keselamatan Allah bukan sekedar suatu keyakinan yang sifatnya subyektif belaka. Kematian Kristus di atas kayu salib bagi umat percaya bukan sekedar suatu kematian tragis. Sebab peristiwa kematian Kristus telah diramalkan atau dinubuatkan terlebih dahulu oleh para nabi, khususnya oleh nabi Yesaya (hidup pada abad VIII sM) yaitu di Yes. 52 dan 53.  Dengan perkataan lain, seandainya kematian Kristus tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh para nabi, maka sebenarnya kematian Kristus hanya dipandang sebagai suatu peristiwa yang sifatnya kebetulan belaka. Lebih penting lagi, seandainya seluruh kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus tidak menunjukkan hubungan yang erat dengan nubuat para nabi, maka peristiwa kematian Kristus hanya dianggap sebagai suatu kematian orang benar yang berhasil hidup kudus di hadapan Allah.
                Karena kematian Kristus merupakan rencana dan wujud dari karya keselamatan Allah yang sempurna, maka tidaklah mengherankan jikalau masalah kematian Kristus sepanjang masa sering dipersoalkan dan menjadi suatu kontroversi. Beberapa kalangan menganggap Yesus Kristus tidak mati, sebab Dia terlebih dahulu diangkat ke sorga oleh Allah. Kalangan lain memiliki anggapan yang berbeda. Sebab bagi mereka Yesus Kristus sungguh-sungguh disalibkan tetapi Dia tidak sampai mati tetapi hanya mengalami mati suri sehingga akhirnya Dia siuman dan berhasil keluar dari kubur.   Kelompok-kelompok yang saling berbeda pandangan tersebut, pada prinsipnya tetap menolak kematian Kristus. Sepertinya dalam kelompok-kelompok yang menepiskan kemungkinan  Yesus mengalami kematian di atas kayu salib didasari oleh suatu “kekuatiran” tertentu. Mengapa mereka merisaukan soal kemungkinan kematian Kristus di atas kayu salib, sehingga timbul teori Dia diangkat oleh Allah dan diganti oleh salah seorang muridNya? Atau teori yang menyatakan bahwa Yesus hanya mati suri saja, sehingga Dia tidak pernah mengalami kematian di atas kayu salib? Mungkin satu-satunya tokoh sejarah yang kematianNya selalu dipersoalkan oleh banyak kalangan adalah kematian Yesus.  Namun iman Kristen berdasarkan kesaksian Alkitab dan yang dikuatkan oleh dokumen-dokumen sejarah secara pasti menyatakan bahwa Yesus Kristus wafat di atas kayu salib. Peristiwa kematianNya telah membawa suatu dampak yang begitu besar dalam sejarah sehingga umat Kristen dapat hadir dan berperan secara transformatif dalam gelanggang sejarah. Tetapi juga kematian Kristus terbukti membawa dampak yang begitu besar dalam pemahaman teologis manusia tentang Allah dan karyaNya. Kematian Kristus memberikan pemahaman  yang baru tentang makna serta tujuan kehidupan. Itu sebabnya kematian Kristus pada hakikatnya memiliki tempat yang sangat unik, khusus, memulihkan dan transformatif dalam kehidupan umat manusia. Melalui kematian Kristus, Allah telah mengungkapkan karya keselamatanNya yang sungguh-sungguh sempurna sehingga terjadilah pendamaian dan pemulihan hubungan antara Allah dengan umat manusia.              
Sang Hamba Tuhan Sebagai Korban
Nabi Yesaya di Ye. 52 dan 53 menubuatkan tentang kedatangan seorang tokoh yakni sang Hamba Tuhan (
Ebed Yahweh). Yang mana sosok sang Hamba Tuhan tersebut tampil sebagai seorang yang kelak akan dihina dan dihindari orang. Dia tampil sebagai manusia yang penuh dengan penderitaan dan biasa menderita kesakitan. Beberapa ahli menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan sang Hamba Tuhan adalah umat Tuhan sepanjang masa. Sebab bukankah umat Tuhan selaku para hambaNya sering mengalami penghinaan dan penderitaan karena mereka konsisten dalam mempertahankan iman dan kebenaran? Jadi menurut beberapa ahli tafsir, makna dari sosok sang Hamba Tuhan tersebut menunjuk kepada kedirian umat Allah yang sering menderita karena kebenaran. Umat Allah sering ditolak dan dipandang rendah oleh dunia. Tetapi tafsiran tersebut tidak mampu menjelaskan ketika nabi Yesaya menyatakan bahwa sang Hamba Tuhan tersebut akan tertikam oleh karena pemberontakan “kita” (orang ketiga jamak). Nubuat di Yes. 53: 5 berkata: “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita, ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”.  Berulangkali kata “kita” (orang ketiga jamak) digunakan dalam nubuat di Yes. 53:5. Makna “kita” di sini jelas menunjuk kepada komunitas umat Allah yang jalan hidupnya sering sesat dan jauh dari Allah. Jadi menjadi aneh maknanya kalau sang Hamba Tuhan tersebut diidentikkan dengan umat Allah yang harus menderita dengan cara ditikam dan diremukkan oleh “umat Allah”.  Pertanyaannya adalah umat Allah manakah yang diwakili oleh sang Hamba Tuhan? Juga umat Allah yang manakah mewakili umat yang sesat dan jauh dari Allah? Jika demikian argumentasi atas  makna dari sosok sang Hamba Tuhan tersebut lebih tepat menunjuk kepada suatu perseorangan. Tepatnya seorang yang memang secara khusus ditentukan oleh Allah untuk memerankan suatu tugas sebagai seorang Hamba Tuhan untuk menanggung dosa dan kesalahan umatNya.
                Karena sang Hamba Tuhan tersebut hadir dan berperan untuk memerankan misi Allah yang menanggung dosa dan kesalahan umatNya, maka dia sama sekali tidak menunjukkan perlawanan dalam bentuk apapun. Yes. 53:7 berkata: “Dia dianiaya, tetapi Dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti  induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya”. Dalam konteks ini sang Hamba Tuhan akan memerankan tugasnya menjadi korban yang harus dibawa ke tempat pembantaian. Dalam tradisi dan ibadah umat Israel sebagaimana telah diatur dalam kitab Imamat menyatakan bahwa setiap umat yang berbuat dosa, maka haruslah dia mempersembahkan hewan korban kepada Allah. Ritual pendamaian dengan Allah dalam teologi umat Israel bukan dilakukan dengan cara memperbanyak amal-ibadah, tetapi perlu diselesaikan dengan mempersembahkan hewan korban. Sebab perbuatan dosa di hadapan Allah dalam pengertian hukum Imamat adalah suatu pelanggaran yang melawan kekudusan Allah. Sehingga setiap dosa yang dilakukan oleh umat haruslah dihukum dengan kematian. Namun Allah yang penuh rahmat tidak menghendaki umatNya yang berdosa menjadi binasa. Itu sebabnya Allah memerintahkan umat yang berdosa mempersembahkan hewan korban untuk pendamaian. Misal di Im. 4:13-14 berkata: “Jikalau yang berbuat dosa dengan tak sengaja itu segenap umat Israel, dan jemaat tidak menyadarinya, sehingga mereka melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan, dan mereka bersalah, maka apabila dosa yang diperbuat mereka itu ketahuan, maka haruslah jemaah itu mempersembahkan seekor lembu jantan yang muda sebagai korban penghapus dosa”.  Hewan korban yang dipakai untuk menjadi pengganti atau penebus dosa umat disebut dengan “asyam”.  Dalam hal ini hewan korban (asyam) berfungsi untuk mengganti atau menebus dosa umat, sehingga umat tidak lagi berada di bawah murka atau hukuman Allah.  Pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah mungkin hewan korban yang menjadi “asyam” dapat berfungsi secara efektif menggantikan dosa dan kesalahan manusia? Logikanya adalah: hanya seorang manusia yang sempurna dan hidup tanpa cela dan yang ditentukan oleh Allah sendiri yang mampu mengganti atau menebus dosa umatNya. Manusia sempurna yang ditentukan oleh Allah untuk menjadi “asyam” bagi seluruh umat manusia adalah sang Hamba Tuhan. Kedudukan dan peranNya yang kudus untuk  menjadi korban (asyam) bukan ditentukan oleh kebenaran diriNya, tetapi oleh kehendak Allah. Itu sebabnya Dia disebut sebagai sang Hamba Tuhan.
                Esensi pemulihan dan pendamaian dengan Allah yang diperankan sang Hamba Tuhan tersebut secara spesifik dinyatakan melalui penderitaan dan kematianNya. Sebagai korban (asyam), Dia harus mengalami penderitaan dan kematian. Yes. 53:5b menyaksikan: “ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”. Sehingga gagasan Yes. 53:5b tersebut sebenarnya terkait erat dengan Yes. 53:8b yang berkata: “Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umatKu ia kena tulah”.  Sebab apabila Yes. 53:5b menyatakan keadaan penderitaanNya, maka Yes. 53:8b menyatakan bagaimana penderitaan yang dialamiNya akan berakhir dengan suatu kematian. Kedua pengertian nubuat di Yes. 53:5b dengan Yes. 53:8b pada prinsipnya ditempatkan dalam konteks Allah yang menimpakan hukuman dan murkaNya kepada sang Hamba Tuhan agar sang Hamba Tuhan tersebut menyelamatkan umatNya dari kuasa dosa. Dengan demikian sang Hamba Tuhan yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya menyelesaikan seluruh tugasNya sebagai korban (asyam) secara sempurna melalui penderitaan dan kematianNya.   Kedirian sang Hamba Tuhan yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya tersebut menunjuk secara signifikan kepada Yesus Kristus. Dalam hal ini pernyataan Yohanes Pembaptis sangatlah tepat ketika dia berkata kepada orang banyak seraya  menunjuk diri Yesus adalah: “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29).               
Keselamatan Allah Di Balik Kejahatan Manusia
Kesaksian Yoh. 18:1 - 19:42 mengisahkan drama sang Hamba Tuhan yakni Yesus Kristus untuk memenuhi ketentuan dan kehendak Allah. Sangat menarik bahwa peranNya untuk menebus dosa umat justru diteguhkan  oleh perkataan para musuhNya. Kayafas yang pada tahun itu menjadi Imam Besar mengucapkan perkataan yang justru menguatkan nubuat nabi Yesaya. Di Yoh. 18:14, Kayafas berkata: “
Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa”.  Tanpa disadari oleh Imam Besar Kayafas, dia telah menubuatkan bahwa memang lebih baik jika Tuhan Yesus mati agar seluruh bangsa menjadi selamat. Dalam hal ini sebagian perkataan Kayafas benar, bahwa kematian Tuhan Yesus dapat membawa keselamatan untuk seluruh umat. Tetapi sebagian perkataan Kayafas yang lain tidaklah benar. Sebab bukan karena upaya dan otoritas Kayafas selaku Imam Besar yang menentukan nasib atau kematian Tuhan Yesus. Sebab kematian Kristus dapat terjadi karena ketentuan dan kehendak Allah yang memakai Kayafas dan Pilatus. Dengan perkataan lain kematian Yesus sebenarnya bukan karena ditentukan oleh kehendak manusia atau kuasa dan otoritas kerajaan Romawi yang saat itu akan memvonis Tuhan Yesus. Saat Pilatus berkata bahwa dia selaku wakil kaisar memiliki otoritas atau kuasa untuk membebaskan dan menyalibkan Yesus, dengan segera Yesus berkata: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yoh. 19:11).  Dengan demikian di balik vonis kuasa dunia yang saat itu sedang berupaya untuk menjatuhkan hukuman salib bagi Tuhan Yesus, Allah telah mengubahnya menjadi media keselamatan yang mendamaikan diriNya dengan umat manusia. Jadi semula kuasa dunia beranggapan bahwa dengan menjatuhkan hukuman salib kepada Yesus, maka karya keselamatan Allah yang terwujud dalam diri Yesus akan berhasil digagalkan. Sehingga ketika Yesus akhirnya wafat di atas kayu salib, kuasa dunia atau kegelapan beranggapan bahwa mereka telah memperoleh kemenangan mutlak dengan menggagalkan karya keselamatan Allah.
                Pola pikir kuasa dunia dan kegelapan sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang mana pola pikir dunia kerap mendorong diri kita dengan suatu anggapan palsu bahwa diri kita adalah penentu dari karya keselamatan Allah. Sehingga apabila kita tidak lagi berperan aktif dalam suatu pelayanan gerejawi , maka karya keselamatan Allah yang terjadi dalam kehidupan jemaatNya dianggap akan segera runtuh. Bukankah sikap kita tersebut seperti perilaku Kayafas dan Pilatus yang merasa memiliki wewenang dan otoritas untuk menentukan sesuatu. Seakan-akan segala keputusan dan kebijaksanaan kita yang  akan menentukan seluruh pertumbuhan atau arah perkembangan jemaat Tuhan. Tanpa kita sadari, kita sering berperilaku sebagai para pelayan Tuhan yang sombong dan takabur. Padahal peran dan otoritas yang kita miliki  dalam suatu jabatan gerejawi dapat terjadi karena “kuasa itu diberikan dari atas”. Sehingga apabila otoritas atau wewenang tersebut tidak digunakan dengan hati yang murni, maka akan dipakai oleh kuasa kegelapan untuk menggagalkan karya keselamatan Allah. Akhirnya kita bertindak seperti Kayafas dan Pilatus yang menghukum atau memvonis orang yang tidak bersalah. Tetapi pertanyaan penting di sini adalah apakah kemudian rencana dan karya keselamatan Allah dapat digagalkan oleh upaya manusia? Untuk sementara waktu sepertinya karya keselamatan berhasil digagalkan. Padahal Allah selalu mampu mengubah hasil kejahatan manusia menjadi media untuk menyatakan kemulian dan karya keselamatanNya.
                Apabila Kayafas dan Pilatus merasa memiliki otoritas dan kuasa sehingga mereka bertindak takabur, maka tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus.  Dia tetap mampu menghadapi segala kejahatan dan tipu daya dunia ini dengan sikap yang tenang dan arif. Walaupun Tuhan Yesus saat itu berada dalam situasi yang sangat kritis, Dia mampu menjawab dengan bijaksana setiap tuduhan dari para lawanNya. Esensi jawaban-jawaban dari Tuhan Yesus tidak pernah terjebak dalam sikap pembenaran diri, tetapi senantiasa memamparkan hakikat kebenaran Allah dan karyaNya, serta mengingatkan para lawanNya agar mereka takut terhadap kuasa Allah. Dari percakapan atau dialog Tuhan Yesus dengan Kayafas dan Pilatus makin terlihat dengan begitu jelas sosokNya selaku sang Hamba Tuhan yang begitu kontras dengan pola kehidupan kita yang sesat dan selalu menyimpang  dari kehendak Allah. Yes. 53:6 berkata: “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian”.  Namun semua penyimpangan dan kesesatan kita tersebut diterima oleh Tuhan Yesus dengan penuh kerelaan. Jadi tujuan dari karya keselamatan Allah pada hakikatnya menghendaki agar kehidupan kita makin serupa dengan Tuhan Yesus, yaitu memerankan diriNya selaku sang Hamba Tuhan yang setia dan taat kepada kehendak Allah. Sehingga apabila kita dianiaya dan diperlakukan tidak adil, seharusnya kita selalu meneladan Kristus. Saat kita berada dalam suasana kebencian dan permusuhan, kita tetap dimampukan untuk memperlihatkan kasih dan pengampunan Allah.
Membuka Jalan Yang Baru Dan Yang Hidup
Kematian Kristus menjadi karya Allah yang sempurna karena kematianNya selain mendamaikan dan mendatangkan pengampunan Allah, juga telah membuka jalan yang baru dan yang hidup. Maksudnya kematian Kristus bagi setiap orang yang percaya berhasil  membuka dimensi komunikasi dan relasi yang hidup baik secara vertikal maupun secara horisontal. Bila semula hubungan manusia dengan Allah terputus bahkan terbentang suatu jarak yang tidak mungkin terjembatani; maka kini melalui kematian Kristus, Allah berkenan menjadi Bapa dan umat manusia menjadi anak-anak Allah. Dengan statusnya sebagai anak-anak Allah, dalam iman kepada Kristus kini kita memperoleh hak waris Kerajaan Sorga yaitu keselamatan dan hidup kekal. Selain itu kematian Kristus juga memulihkan hubungan dengan sesama. Semua tembok pembatas yang bernama kesukuan, bahasa, budaya, kebangsaan, status sosial, atau segala sesuatu yang serba eksklusif berhasil dirobohkan oleh kematian Kristus. Sehingga di dalam Kristus, kita disatukan sebagai keluarga umat Allah.  Kini seluruh umat manusia melalui kematian Kristus tanpa kecuali telah diikat dalam kasih dan pengampunan Allah.  Ibr. 10:19-20 berkata: “
Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat yang kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diriNya sendiri, dan kita mempunyai Imam Besar sebagai Kepala Rumah Allah”.   Jadi sangatlah jelas bahwa kuasa dunia yang semula ingin mematahkan karya keselamatan Allah dengan cara menyalibkan Kristus justru diubah oleh Allah menjadi karya keselamatanNya yang sempurna. Sebab melalui darah Kristus, Allah telah membuka penutup tabir yang memisahkan diriNya dengan umat manusia, dan menyingkapkan penutup tabir yang semula memisahkan  manusia dengan sesamanya. 
                Dengan karya keselamatan Allah yang sempurna tersebut, maka seharusnya kita selaku umat yang telah ditebus bersedia menjadi kawan sekerjaNya. Melalui kehidupan sehari-hari seharusnya kita mampu menjembatani setiap konflik, permusuhan, dan berbagai perbedaan yang memisahkan manusia dengan sesamanya. Namun seringkali terjadi justru kehidupan kita menjadi tabir yang menutupi atau menghalangi komunikasi dan proses pendamaian. Di mana kita hadir, justru menjadi kehadiran yang semakin memperkuat sekat-sekat atau tembok-tembok yang memisahkan sesama yang semula hidup dengan rukun dan damai. Atau di mana kita berperan, justru kita menciptakan kekacauan yang semakin merusak relasi kasih atau menghancurkan syalom Allah. Jika demikian maka makna kehadiran dan peran kita tidak  lagi secara riel mendukung karya keselamatan Allah. Sebaliknya kehadiran dan peran kita telah berubah menjadi musuh Allah sebab kita menghalangi karya keselamatan Allah yang mendamaikan dan mengampuni.  Padahal dunia pada masa kini telah terhubungkan dengan teknologi komunikasi dan multi media yang begitu canggih. Kita sekarang dapat berkomunikasi dengan setiap orang seluas-luasnya tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu secara cepat, mudah dan murah. Tetapi nyatanya  pada masa kini tembok-tembok pemisah masih begitu tebal dan sulit ditembus. Bahkan dengan teknologi komunikasi seperti internet dan telepon yang seharusnya dapat memperluas jaringan komunikasi antar manusia justru dipakai untuk menciptakan tembok-tembok eksklusivisme. Bukankah cukup banyak orang-orang di sekitar kita seperti anggota keluarga dan anggota jemaat yang merasa tersingkirkan atau teralienasi? Contoh yang konkret seperti fasilitas internet yang seharusnya dipakai menghubungkan setiap  orang tanpa batas dan makin produktif justru dipakai untuk memperkuat sikap egoisme dan individualisme yang tenggelam dalam dunia maya.
Panggilan
Kristus telah wafat bagi kita agar kita dapat berperan sebagai anak-anak Allah yang efektif untuk membawa pembaharuan dalam kehidupan ini. Dengan demikian melalui kematian Kristus, karya keselamatan Allah secara esensial dan substansial telah memperdamaikan seluruh umat manusia dengan Allah dan sesamanya. Jadi sampai sejauh manakah peran kita selaku umat tebusan Kristus? Apakah peran transformatif dari penebusan Kristus tersebut telah terwujud nyata dalam kehidupan kita? Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar