Model pelayanan sebagai seorang hamba pada masa kini bukan lagi sesuatu yang baru. Sebab model pelayanan sebagai seorang hamba juga dikenal dan diterapkan dalam dunia pekerjaan sekuler, bukan hanya dalam kehidupan gereja. Khususnya sejak tahun 1970, model pelayanan sebagai seorang hamba mulai diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam tulisannya yang berjudul: “The Servant as Leader”.
Yang mana Robert K. Greenleaf memperkenalkan istilah “servant-leader” (hamba-pemimpin) dan “servant-leadership” (kepemimpinan yang menghamba). Sebagaimana dipahami bahwa Konsep “kepemimpinan yang menghamba” dari Robert K. Greenleaf kemudian didukung oleh para tokoh managemen seperti: James Autry, Ken Blanchard,Stephen Covey, Peter Block, Peter Senge, Max De Pree, Larry Spears, Margaret Wheatley, Jim Hunter, Kent Keith, Ken Jennings, dan sebagainya. Makna kepemimpinan yang menghamba pada prinsipnya menekankan nilai-nilai: sikap empati, kepedulian, persuasif, penatalayanan yang rendah-hati, pertumbuhan dan pembangunan komunitas. Sehingga setiap orang yang dipimpin sungguh-sungguh diperlakukan sebagai subyek yang manusiawi. Pola perlakuan yang demikian akan membuka berbagai daya, kemampuan, kompetensi atau talenta yang dimiliki oleh setiap pekerja sehingga mereka mampu mengalami aktualisasi diri secara optimal. Jadi jelaslah bahwa pola kepemimpinan yang menghamba pada masa kini merupakan pola yang tidak dapat ditawar-tawar. Setiap orang di dunia global ini semakin dicelikkan akan hak-hak asasi dan kemampuannya untuk mengembangkan diri. Dengan demikian tidak mengherankan jikalau perusahaan atau lembaga yang mengabaikan perlakuan yang manusiawi akan berhadapan dengan sikap protes, demonstrasi dan perlawanan dari para karyawannya.Kepemimpinan Yang Menghamba
Sangat mengherankan bahwa pola “kepemimpinan yang menghamba” yang konon ditemukan oleh Robert K. Greenleaf sebenarnya telah digemakan oleh Tuhan Yesus ribuan tahun yang lalu. Di Mark. 10:43-44, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya”. Ungkapan Tuhan Yesus tersebut dikontraskan dengan sikap pemerintah atau raja-raja dunia yang pada umumnya lebih suka menggunakan tangan besi dan kekerasan terhadap para bawahannya. Justru bagi Tuhan Yesus seseorang akan menjadi lebih terkemuka, berpengaruh dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya jikalau dia memiliki sifat kerendahan-hati seorang hamba. Semakin kita menyadari dan mempraktekkan kerendahan hati, maka kita akan diberi kesempatan yang lebih luas untuk memikul tanggungjawab dan kepercayaan dari orang-orang yang kita pimpin. Sebaliknya semakin kita mudah bersikap arogan atau sombong maka kita akan kehilangan pengaruh, kewibawaan dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar kita. Betapa menentukan spiritualitas “servant-leadership” dalam kehidupan pada masa kini. Sebab spiritualitas “servant-leadership” tersebut dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan, yaitu: relasi keluarga, persahabatan, pendidikan, pekerjaan, gereja, masyarakat dan bangsa. Pola spiritualitas “kepemimpinan yang menghamba” bukan lagi mungkin, tetapi kini telah menjadi suatu kebutuhan utama yang didambakan oleh setiap orang. Namun kebutuhan utama umat manusia terhadap “kepemimpinan yang menghamba” bukan hanya suatu konsep dan sistem, tetapi juga harus suatu model yang perlu dihidupi dan menjadi teladan. Karena itu model “kepemimpinan yang menghamba” tersebut harus didasarkan kepada hakikat yang terdalam dan yang termulia, yaitu Allah. Benarkah Allah yang kita sembah dan imani adalah Allah yang menghamba?
Sangat mengherankan bahwa pola “kepemimpinan yang menghamba” yang konon ditemukan oleh Robert K. Greenleaf sebenarnya telah digemakan oleh Tuhan Yesus ribuan tahun yang lalu. Di Mark. 10:43-44, Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya”. Ungkapan Tuhan Yesus tersebut dikontraskan dengan sikap pemerintah atau raja-raja dunia yang pada umumnya lebih suka menggunakan tangan besi dan kekerasan terhadap para bawahannya. Justru bagi Tuhan Yesus seseorang akan menjadi lebih terkemuka, berpengaruh dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya jikalau dia memiliki sifat kerendahan-hati seorang hamba. Semakin kita menyadari dan mempraktekkan kerendahan hati, maka kita akan diberi kesempatan yang lebih luas untuk memikul tanggungjawab dan kepercayaan dari orang-orang yang kita pimpin. Sebaliknya semakin kita mudah bersikap arogan atau sombong maka kita akan kehilangan pengaruh, kewibawaan dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar kita. Betapa menentukan spiritualitas “servant-leadership” dalam kehidupan pada masa kini. Sebab spiritualitas “servant-leadership” tersebut dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan, yaitu: relasi keluarga, persahabatan, pendidikan, pekerjaan, gereja, masyarakat dan bangsa. Pola spiritualitas “kepemimpinan yang menghamba” bukan lagi mungkin, tetapi kini telah menjadi suatu kebutuhan utama yang didambakan oleh setiap orang. Namun kebutuhan utama umat manusia terhadap “kepemimpinan yang menghamba” bukan hanya suatu konsep dan sistem, tetapi juga harus suatu model yang perlu dihidupi dan menjadi teladan. Karena itu model “kepemimpinan yang menghamba” tersebut harus didasarkan kepada hakikat yang terdalam dan yang termulia, yaitu Allah. Benarkah Allah yang kita sembah dan imani adalah Allah yang menghamba?
Pola kepemimpinan yang menghamba hanya dapat direalisasikan secara efektif dalam kehidupan ini jikalau pusat dan tujuan hidup manusia adalah Allah yang menghamba. Sebab bagaimana sikap manusia memperlakukan sesamanya sangat ditentukan pula oleh hubungan yang paling mendasar dari semua dimensi apapun juga yaitu relasinya dengan Allah. Kualitas hubungan horisontal kita dengan sesama ditentukan pula oleh hubungan vertikal kita dengan Allah. Pandangan Robert K. Greenleaf dan para pendukungnya tentang “kepemimpinan yang menghamba” sering hanya melihat dari satu sisi saja, yaitu hubungan manusia secara horisontal belaka. Karena itu model “kepemimpinan yang menghamba” dari dunia sekuler secara bersengaja cenderung mengabaikan pengaruh dimensi vertikal manusia dengan Allah. Seakan-akan manusiahanyalah mahluk psikologis dan sosiologis belaka. Padahal dalam prakteknya, umat manusia dari berbagai kepercayaan, agama dan keyakinan termasuk pula mereka yang menganut atheisme adalah juga mahluk yang “teologis”. Selama manusia memiliki pemahaman teologis bahwa “Allah” adalah “Tuhan” yang otoriter, menentukan nasib manusia sewenang-wenang, yang berlaku keras dan gemar menuntut – maka tidaklah mungkin manusia mampu mempraktekkan pola spiritualitas “servant-leadership” (kepemimpinan yang menghamba). Sebab bukankah konsep atau pemahaman manusia tentang “Allah” menentukan pula sikapnya terhadap “sesamanya”? Singkatnya, cara manusia memperlakukan sesamanya adalah karena dia belajar dari bagaimanakah cara “allah” atau “tuhan” memperlakukan mereka. Apa yang diimani seseorang kepada Allah bukan hanya menghasilkan pola-pola ibadah, tetapi juga pandangan teologis yang operatif dan nilai-nilai etis-moril. Keberadaan Allah yang menghamba akan memampukan manusia untuk menjadi pribadi yang menghamba. Dalam iman Kristen, Allah menyatakan diriNya di dalam Kristus dengan cara mengosongkan diri. Sikap pengosongan diri Allah inilah yang disebut dengan “kenosis”. Arti kata “kenosis” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “kenos” yang secara harafiah artinya: kosong, sia-sia, tidak efektif, bodoh, tidak berharga. Namun Allah di dalam Kristus bersedia tampak bodoh, tidak efektif dan tidak berharga agar kita menjadi kaya dan berarti sebagai anak-anak Allah.
Kenosis Kristus – Kenosis Allah
Seorang pelayan karena latar-belakang keluarganya adalah pelayan (pembantu rumah tangga atau kantor) tidaklah identik dengan kepemimpinan yang menghamba. Singkatnya seseorang yang memiliki latar-belakang, seperti: kakek-nenek, ayah-ibu atau kemampuannya setaraf profesi seorang pelayan – tidaklah mungkin kita mengharap dari dia model “kepemimpinan yang menghamba”. Sebab tindakan menghamba tersebut tidak lahir dari konsep kepemimpinan, tetapi lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Model “kepemimpinan yang menghamba” dalam karakter diri Allah yang tercermin dalam kehidupan Kristus sama sekali bukan lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Sebaliknya, hakikat Kristus sejak kekal adalah mulia dan kudus. Di Fil. 2:6-7, rasul Paulus menyaksikan bagaimana keberadaan Kristus yang mulia dan sehakikat Allah tersebut mengambil suatu keputusan etis yang mengejutkan, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Keputusan Kristus bersama dengan Allah dalam kekekalan bukan suatu keputusan yang mendadak atau emosional. Tetapi keputusan Kristus berinkarnasi menjadi manusia merupakan suatu keputusan ilahi yang telah terencana dan bertujuan. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke dalam dunia didahului oleh nubuat para nabi ribuan tahun lamanya. Bukankah dunia sekuler juga menerapkan pola yang demikian? Apabila suatu produk baru yang canggih akan diluncurkan, maka suatu perusahaan akan terlebih dahulu mengumumkan bagaimana spesifikasi, ciri-ciri, dan kemampuannya. Pengumuman tentang rencana kedatangan produk tersebut sekaligus menjadi suatu keabsahan untuk dipertanggungjawabkan apabila terjadi saat peluncuran sampai ke depan terjadi penyimpangan. Demikian pula keabsahan Kristus selaku Mesias Allah. Setiap perilaku dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam diriNya dihayati oleh Kristus sebagai yang dinubuatkan oleh para nabi. Jadi kedatangan/inkarnasi Kristus sebagai manusia bukan sekedar suatu insiden dan secara kebetulan membawa pengaruh positif dalam sejarah kehidupan umat manusia. Tetapi kedatangan Kristus membawa misi keselamatan Allah dengan cara berinkarnasi menjadi manusia. Walaupun untuk mewujudkan misi keselamatan tersebut, Kristus yang walaupun sehakikat dengan Allah harus bersedia mengosongkan diriNya secara total untuk sungguh-sungguh menjadi manusia. Kristus juga harus rela menanggalkan seluruh hak dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah.
Seorang pelayan karena latar-belakang keluarganya adalah pelayan (pembantu rumah tangga atau kantor) tidaklah identik dengan kepemimpinan yang menghamba. Singkatnya seseorang yang memiliki latar-belakang, seperti: kakek-nenek, ayah-ibu atau kemampuannya setaraf profesi seorang pelayan – tidaklah mungkin kita mengharap dari dia model “kepemimpinan yang menghamba”. Sebab tindakan menghamba tersebut tidak lahir dari konsep kepemimpinan, tetapi lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Model “kepemimpinan yang menghamba” dalam karakter diri Allah yang tercermin dalam kehidupan Kristus sama sekali bukan lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Sebaliknya, hakikat Kristus sejak kekal adalah mulia dan kudus. Di Fil. 2:6-7, rasul Paulus menyaksikan bagaimana keberadaan Kristus yang mulia dan sehakikat Allah tersebut mengambil suatu keputusan etis yang mengejutkan, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Keputusan Kristus bersama dengan Allah dalam kekekalan bukan suatu keputusan yang mendadak atau emosional. Tetapi keputusan Kristus berinkarnasi menjadi manusia merupakan suatu keputusan ilahi yang telah terencana dan bertujuan. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke dalam dunia didahului oleh nubuat para nabi ribuan tahun lamanya. Bukankah dunia sekuler juga menerapkan pola yang demikian? Apabila suatu produk baru yang canggih akan diluncurkan, maka suatu perusahaan akan terlebih dahulu mengumumkan bagaimana spesifikasi, ciri-ciri, dan kemampuannya. Pengumuman tentang rencana kedatangan produk tersebut sekaligus menjadi suatu keabsahan untuk dipertanggungjawabkan apabila terjadi saat peluncuran sampai ke depan terjadi penyimpangan. Demikian pula keabsahan Kristus selaku Mesias Allah. Setiap perilaku dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam diriNya dihayati oleh Kristus sebagai yang dinubuatkan oleh para nabi. Jadi kedatangan/inkarnasi Kristus sebagai manusia bukan sekedar suatu insiden dan secara kebetulan membawa pengaruh positif dalam sejarah kehidupan umat manusia. Tetapi kedatangan Kristus membawa misi keselamatan Allah dengan cara berinkarnasi menjadi manusia. Walaupun untuk mewujudkan misi keselamatan tersebut, Kristus yang walaupun sehakikat dengan Allah harus bersedia mengosongkan diriNya secara total untuk sungguh-sungguh menjadi manusia. Kristus juga harus rela menanggalkan seluruh hak dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah.
Dengan kenosis (pengosongan diriNya), Kristus harus memposisikan diriNya setara dengan manusia dan berarti pula Dia harus rela dalam suatu periode tertentu untuk tidak setara dengan Allah. Untuk itu Kristus dalam hidupNya sebagai manusia harus menerapkan pola kepemimpinan yang menghamba. Dia harus belajar bersikap taat, menyembunyikan seluruh kekuasaan dan kemuliaanNya. Kristus juga harus belajar memahami seluruh pergumulan, kegagalan dan penderitaan manusia bukan dari sudut ilahiNya, tetapi dari sudut manusiawiNya. Bahkan lebih dari pada itu Kristus juga harus siapmenerima penolakan, ketidakpercayaan dan pengkhianatan dari manusia yang hendak dirangkul dan diselamatkanNya. Lalu pada akhirnya Kristus harus mampu menerima penyaliban terhadap diriNya. Dia akan dimatikan, agar melalui kematianNya manusia memperoleh suatu kehidupan yang tertebus. Terbukti Tuhan Yesus mampu melewati semua aspek pengosongan diri tersebut dengan hati yang rela. Sehingga di Fil. 2:8, rasul Paulus menyaksikan: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”. Ini berarti model “kepemimpinan yang menghamba” merupakan sikap dan spiritualitas yang bersedia menyangkali segala hal yang menjadi hak-haknya, tidak pernah menganggap diri lebih tinggi dari sesamanya walaupun dia memiliki kemampuan yang tinggi, menerima setiap risiko dengan tanggungjawab yang penuh, berani menghadapi penderitaan dengan lapang dada, dan kesetiaan atau komitmen sampai pada akhirnya. Model Allah yang terwujud dalam karakter hidup Kristus yang mau menghamba inilah yang menginspirasi, memotivasi dan memampukan kita untuk menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Sehingga dalam pola “kepemimpinan yang menghamba”, kita mengisi setiap aspek hidup dengan “kenosis” (pengosongan diri) Kristus. Jadi pola “kepemimpinan yang menghamba” seharusnya menjadi wujud dari pengosongan Kristus, yang adalah Tuhan. Tanpa dilandasi oleh pengosongan Kristus, maka pola “kepemimpinan yang menghamba” hanya akan menjadi sekedar suatu “pelunakan manajemen kepemimpinan” agar lebih memikat dan suatu strategi menaikkan profit suatu perusahaan.
Tuhan Memerlukannya
Peristiwa Tuhan Yesus masuk ke kota Yerusalem sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar-biasa. Karena sebagai bagian dari umat Israel, setiap orang dapat leluasa masuk kota Yerusalem. Pada waktu Yesus berumur 12 tahun, Dia juga dibawa oleh Maria dan Yusuf ke Bait Allah di Yerusalem. Mungkin kunjungan Tuhan Yesus ke Yerusalem bukan hanya sekali, tetapi bisa lebih beberapa kali. Tetapi yang membedakan kunjungan Tuhan Yesus ke Yerusalem dengan kunjungan-kunjungan yang sebelumnya adalah cara Dia mendatangi kota Yerusalem. Kali ini Tuhan Yesus datang dengan cara yang khusus, yaitu menunggangi seekor keledai muda. Namun cara Tuhan Yesus memperoleh keledai tunggangannya sangat unik. Karena ternyata keledai yang ditunggangi oleh Tuhan Yesus bukan berasal dari murid-muridNya. Tetapi keledai tersebut dipinjam dari seseorang yang tidak dikenal. Di Luk. 19:30, Tuhan Yesus berkata: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu: Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari”. Kondisi ini semakin menyadarkan kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus saat datang hadir dan berkarya tidak memiliki fasilitas yang memadai. Dia membutuhkan pinjaman dan kemurahan hati manusia. Itu sebabnya di Luk. 19:31, selanjutnya Tuhan Yesus berkata: “Dan jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya". Bukankah pernyataan Tuhan Yesus tersebut sesuatu yang sangat paradoks saat Dia berkata: “Tuhan memerlukannya”? Bagaimana mungkin Tuhan atau “Kurios”, yang arti penguasa dan pemilik kehidupan seluruh mahluk dan alam semesta ini memerlukan pinjaman? Tuhan (Kurios) adalah Allah yang berkuasa, berdaulat dan pencipta. Tetapi saat Kristus masuk ke Yerusalem ternyata Dia tidak memiliki seekor keledai. Allah yang mulia dalam inkarnasiNya hadir dalam sosok yang membutuhkan uluran tangan atau kemurahan hati orang lain. Selama masa pelayananNya Tuhan Yesus menyatakan kuasa mukjizatNya untuk menyembuhkan, memberi makan, mengusir setan dan membangkitkan orang mati; tetapi menjelang saat akhir hidupNya sebagai manusia – Tuhan Yesus memerlukan bantuan orang lain. Ungkapan tersebut mengungkapkan pengejawantahan spiritualitas diri Kristus yang mau menghamba. Walaupun Kristus kaya dalam segala sesuatu di sorga dan di bumi, tetapi Dia juga menyatakan dengan rendah-hati bahwa Dia membutuhkan bantuan orang lain.
Peristiwa Tuhan Yesus masuk ke kota Yerusalem sebenarnya bukanlah sesuatu yang luar-biasa. Karena sebagai bagian dari umat Israel, setiap orang dapat leluasa masuk kota Yerusalem. Pada waktu Yesus berumur 12 tahun, Dia juga dibawa oleh Maria dan Yusuf ke Bait Allah di Yerusalem. Mungkin kunjungan Tuhan Yesus ke Yerusalem bukan hanya sekali, tetapi bisa lebih beberapa kali. Tetapi yang membedakan kunjungan Tuhan Yesus ke Yerusalem dengan kunjungan-kunjungan yang sebelumnya adalah cara Dia mendatangi kota Yerusalem. Kali ini Tuhan Yesus datang dengan cara yang khusus, yaitu menunggangi seekor keledai muda. Namun cara Tuhan Yesus memperoleh keledai tunggangannya sangat unik. Karena ternyata keledai yang ditunggangi oleh Tuhan Yesus bukan berasal dari murid-muridNya. Tetapi keledai tersebut dipinjam dari seseorang yang tidak dikenal. Di Luk. 19:30, Tuhan Yesus berkata: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu: Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari”. Kondisi ini semakin menyadarkan kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus saat datang hadir dan berkarya tidak memiliki fasilitas yang memadai. Dia membutuhkan pinjaman dan kemurahan hati manusia. Itu sebabnya di Luk. 19:31, selanjutnya Tuhan Yesus berkata: “Dan jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya". Bukankah pernyataan Tuhan Yesus tersebut sesuatu yang sangat paradoks saat Dia berkata: “Tuhan memerlukannya”? Bagaimana mungkin Tuhan atau “Kurios”, yang arti penguasa dan pemilik kehidupan seluruh mahluk dan alam semesta ini memerlukan pinjaman? Tuhan (Kurios) adalah Allah yang berkuasa, berdaulat dan pencipta. Tetapi saat Kristus masuk ke Yerusalem ternyata Dia tidak memiliki seekor keledai. Allah yang mulia dalam inkarnasiNya hadir dalam sosok yang membutuhkan uluran tangan atau kemurahan hati orang lain. Selama masa pelayananNya Tuhan Yesus menyatakan kuasa mukjizatNya untuk menyembuhkan, memberi makan, mengusir setan dan membangkitkan orang mati; tetapi menjelang saat akhir hidupNya sebagai manusia – Tuhan Yesus memerlukan bantuan orang lain. Ungkapan tersebut mengungkapkan pengejawantahan spiritualitas diri Kristus yang mau menghamba. Walaupun Kristus kaya dalam segala sesuatu di sorga dan di bumi, tetapi Dia juga menyatakan dengan rendah-hati bahwa Dia membutuhkan bantuan orang lain.
Kegagalan kita untuk mewujudkan pola “kepemimpinan yang menghamba” adalah karena kita sering merasa serba bisa, mampu mengerjakan segala sesuatu dengan baik, mandiri atau tidak membutuhkan bantuan orang lain. Sikap tersebut sebenarnya sesuatu yang positif. Mungkin sebelumnya kita masih berada di tingkat yang terlalu tergantung (dependence) kepada orang lain. Kita baru mau mengerjakan suatu tugas setelah didorong, ditegur dan dicemooh oleh orang lain. Atau kita tidak mampu mengambil keputusan dan inisiatif sendiri. Namun kemudian kita mengalami pencerahan danpembaharuan diri sehingga kita mampu bersikap mandiri. Sikap kemandirian tersebut sungguh membanggakan, sebab kita dapat menentukan sikap sebebas-bebasnya dengan tanggungjawab penuh. Namun sikap kemandirian dan inisiatif yang lahir dari kepercayaan diri tersebut sering bergeser menjadi kesombongan diri. Kita beranggapan bahwa kita mampu melakukan apapun tanpa bantuan siapapun termasuk Allah. Karena kita merasa serba bisa, maka kita menganggap orang-orang di sekitar kita dengan sebelah mata. Sehingga segala pekerjaan mereka selalu terlihat serba kurang atau tidak sempurna. Pekerjaan kita sajalah yang paling sempurna dan terjamin kualitasnya. Itu sebabnya kita selalu mengerjakan segala sesuatu seorang diri. Makna kemandirian yang sebenarnya positif telah kita sisipi dengan superioritas diri. Yang mana dengan sikap superioritas diri tersebut kita telah meniadakan kemungkinan daya spiritualitas untuk mengerti dan memahami orang lain. Karena itu peran yang kita tampilkan adalah pola kepemimpinan yang memerintah atau otoriter, dan bukan kepemimpinan yang menghamba. Namun tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus. Walapun Dia berkuasa, penyebab segala sesuatu (“kausa-prima”) atau pencipta segala sesuatu, Dia bersedia menjalin relasi dengan manusia dengan pola “saling kebergantungan” (interdependence). Melalui Kristus, Allah telah menyatakan diriNya bahwa ada saat di mana manusia membutuhkan Dia dalam segala hal, namun juga ada saat di mana Allah membutuhkan bantuan dan kesediaan manusia. Kalau kemudian seseorang berkenan memberi bantuan kepada Kristus berupa seekor keledai untuk membawa Dia masuk ke Yerusalem, maka bantuan tersebut sama sekali tidak mengurangi semarak kemuliaanNya sebagai Anak Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Justru para murid dan orang-orang yang hadir di Yerusalem menyambut Kristus dengan ucapan: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!" (Luk. 19:38). Pujian tersebut sebenarnya juga telah dinyanyikan oleh para malaikat saat menyampaikan kabar sukacita kepada para gembala di padang Efrata (Luk. 2:13-14).
Pendengaran Seorang Murid
Kunci utama dari spiritualitas Kristus yang menghamba dinyatakan dalam sikapNya yang selalu mendengarkan setiap hal yang dinyatakan Allah kepadaNya. Di Ibr. 5:8 menyaksikan: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”. Namun di lain pihak Alkitab juga menyaksikan bahwa Allah juga selalu mendengarkan segala hal yang disampaikan Kristus kepadaNya. Di Yoh. 11:42, Tuhan Yesus berkata: “Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku". Dengan demikian hubungan antara Allah dengan Kristus memiliki suatu relasi yang saling tergantung satu sama lain (relasi “interdependence”), yaitu saling mendengarkan dan mengasihi. Yang mana relasi yang saling tergantung dan mengasihi itu juga menyatakan keesaan diri Allah dengan Kristus. Tepatnya hakikat keesaan Allah dengan Kristus merupakan relasi kasih yang saling merendahkan diri dengan sikap yang selalu mau mendengarkan. Antara diri Allah dan Kristus tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih rendah. KeduaNya sehakikat dalam relasi kasih yang kekal. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke kota Yerusalem disambut dengan pujian doksologi yang seharusnya ditujukan kepada Allah, yaitu: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!" Jika Allah di dalam Kristus memiliki spiritualitas yang rendah-hati, yaitu mau saling mendengarkan sebagai seorang murid – apalagi sikap kita selaku umat percaya. Kita juga dipanggil Allah di dalam Kristus untuk memiliki spiritualitas pendengaran seorang murid. Yang mana spiritualitas tersebut akan mewarnai dan mempengaruhi sikap kita terhadap orang-orang di sekitar kita. Sebab makna pendengaran atau telinga seorang murid berarti kita mengedepankan pola untuk selalu belajar dan memahami dengan tepat segala hal yang dikatakan orang lain kepada kita. Di Yes. 50:4 menyatakan: “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid”. Kita tidak lagi membicarakan apa yang menjadi asumsi, prasangka dan penilaian kita sendiri. Tetapi kita mau belajar mengerti dengan jernih apa yang dimaksud oleh Allah dan juga memahami secara tepat apa yang dihayati oleh orang lain di sekitar kita.
Kunci utama dari spiritualitas Kristus yang menghamba dinyatakan dalam sikapNya yang selalu mendengarkan setiap hal yang dinyatakan Allah kepadaNya. Di Ibr. 5:8 menyaksikan: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”. Namun di lain pihak Alkitab juga menyaksikan bahwa Allah juga selalu mendengarkan segala hal yang disampaikan Kristus kepadaNya. Di Yoh. 11:42, Tuhan Yesus berkata: “Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku". Dengan demikian hubungan antara Allah dengan Kristus memiliki suatu relasi yang saling tergantung satu sama lain (relasi “interdependence”), yaitu saling mendengarkan dan mengasihi. Yang mana relasi yang saling tergantung dan mengasihi itu juga menyatakan keesaan diri Allah dengan Kristus. Tepatnya hakikat keesaan Allah dengan Kristus merupakan relasi kasih yang saling merendahkan diri dengan sikap yang selalu mau mendengarkan. Antara diri Allah dan Kristus tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih rendah. KeduaNya sehakikat dalam relasi kasih yang kekal. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke kota Yerusalem disambut dengan pujian doksologi yang seharusnya ditujukan kepada Allah, yaitu: "Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!" Jika Allah di dalam Kristus memiliki spiritualitas yang rendah-hati, yaitu mau saling mendengarkan sebagai seorang murid – apalagi sikap kita selaku umat percaya. Kita juga dipanggil Allah di dalam Kristus untuk memiliki spiritualitas pendengaran seorang murid. Yang mana spiritualitas tersebut akan mewarnai dan mempengaruhi sikap kita terhadap orang-orang di sekitar kita. Sebab makna pendengaran atau telinga seorang murid berarti kita mengedepankan pola untuk selalu belajar dan memahami dengan tepat segala hal yang dikatakan orang lain kepada kita. Di Yes. 50:4 menyatakan: “Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid”. Kita tidak lagi membicarakan apa yang menjadi asumsi, prasangka dan penilaian kita sendiri. Tetapi kita mau belajar mengerti dengan jernih apa yang dimaksud oleh Allah dan juga memahami secara tepat apa yang dihayati oleh orang lain di sekitar kita.
Bilamana kita telah menerapkan pola pendengaran seorang murid, maka kita akan dimampukan untuk menyampaikan perkataan atau pikiran dan perasaan secara bijaksana. Ucapan dan pernyataan kita lahir dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang mana sumber-sumber atau data dan informasi yang kita terima tersebut diolah oleh hati yang berempati dan mengasihi. Suatu data dan informasi yang telah diolah oleh hati yang mengasihi, pastilah akan melahirkan ungkapan dan pernyataan yang membangun dan transformatif. Pola kepemimpinan yang menghamba yang dilandasi oleh spiritualitas pendengaran seorang murid tidak akan pernah melahirkan suatu pernyataan yang sembrono, tidak terkontrol dan merusak. Namun sayangnya dalam kehidupan sehari-hati betapa banyak kerugian yang ditimbulkan oleh perkataan yang tidak terkontrol dan merusak, misalnya:
- Suatu program pelayanan gerejawi yang baik menjadi gagal total karena satu atau dua orang mengeluarkan pernyataan yang mampu melumpuhkan relasi dan kerja-sama di antara para anggotanya.
- Suatu persahabatan yang telah terjalin dengan harmonis menjadi retak ketika salah seorang di antara mengeluarkan perkataan yang melukai hati dan menghina sahabatnya.
- Acara diskusi atau percakapan yang semula hangat dan mendalam dapat berubah menjadi panas ketika salah seorang atau beberapa orang mulai mengarahkan acara diskusi tersebut dengan sikap yang naïf dan penuh permusuhan.
Panggilan
Pola hidup yang menghamba tidak berarti kita harus menjadi pribadi yang bermental hamba. Sebaliknya pola hidup yang menghamba dengan meneladan kepada Kristus merupakan suatu pola kepemimpinan yang kapabel namun rendah-hati,mengetahui banyak hal tetapi mau mendengarkan pendapat dan gagasan orang lain dengan hati yang lapang, memiliki inisiatif dan kreativitas yang tinggi namun tidak pernah memaksa dan menekan sesamanya. Sikap kepemimpinan yang menghamba pada hakikatnya mampu mewujudkan suatu relasi yang saling tergantung dan melengkapi. Ada saat di mana kita harus mampu bertindak seorang diri secara bijaksana tanpa bantuan orang lain, tetapi juga ada saat di mana kita mau meminta dengan rendah hati pertolongan dari orang lain. Inti spiritualitas kepemimpinan yang menghamba adalah pengosongan Kristus. Karena melalui pengosongan Kristus tersebut, kita dimampukan untuk mengosongkan seluruh egoisme dan sikap superioritasnya. Melalui spiritualitas yang mengosongkan diri, kita dimampukan untuk memiliki pendengaran seorang murid. Sehingga kita dimampukan untuk mengerti dan memahami sesama dengan sikap empati dan kasih. Dengan demikian, kehidupan kita akan mengalami pertumbuhan rohani yang sehat. Kehidupan kita akan menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mau mengosongkan diriNya. Bagaimanakah sikap saudara? Amin.
Pola hidup yang menghamba tidak berarti kita harus menjadi pribadi yang bermental hamba. Sebaliknya pola hidup yang menghamba dengan meneladan kepada Kristus merupakan suatu pola kepemimpinan yang kapabel namun rendah-hati,mengetahui banyak hal tetapi mau mendengarkan pendapat dan gagasan orang lain dengan hati yang lapang, memiliki inisiatif dan kreativitas yang tinggi namun tidak pernah memaksa dan menekan sesamanya. Sikap kepemimpinan yang menghamba pada hakikatnya mampu mewujudkan suatu relasi yang saling tergantung dan melengkapi. Ada saat di mana kita harus mampu bertindak seorang diri secara bijaksana tanpa bantuan orang lain, tetapi juga ada saat di mana kita mau meminta dengan rendah hati pertolongan dari orang lain. Inti spiritualitas kepemimpinan yang menghamba adalah pengosongan Kristus. Karena melalui pengosongan Kristus tersebut, kita dimampukan untuk mengosongkan seluruh egoisme dan sikap superioritasnya. Melalui spiritualitas yang mengosongkan diri, kita dimampukan untuk memiliki pendengaran seorang murid. Sehingga kita dimampukan untuk mengerti dan memahami sesama dengan sikap empati dan kasih. Dengan demikian, kehidupan kita akan mengalami pertumbuhan rohani yang sehat. Kehidupan kita akan menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mau mengosongkan diriNya. Bagaimanakah sikap saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar