Pengantar
Pada satu sisi kitab Injil menyaksikan peristiwa pelantikan Yesus selaku Anak Allah saat Dia dibaptis di sungai Yordan. Tetapi pada sisi lain kitab Injil juga menyaksikan bagaimana Yesus selaku Anak Allah tidak memperoleh dispensasi untuk bebas dari pencobaan. Timbul pertanyaan, apabila Yesus adalah Anak Allah, mengapa Dia harus mengalami pencobaan dari Iblis?
Kesaksian kitab Injil tentang kisah pencobaan Yesus sepertinya mengandaikan bahwa sebenarnya Yesus dapat dicobai oleh Iblis, sehingga terbuka kemungkinan bahwa Yesus juga dapat dikalahkan. Apakah memang benar Yesus dalam pencobaan di padang gurun memiliki kemungkinan untuk ditundukkan oleh Iblis? Pertanyaan tersebut juga dapat dibalik, yaitu: jika Yesus tidak memiliki kemungkinan untuk dikalahkan oleh Iblis, mengapa Dia harus dicobai di padang gurun? Seandainya Iblis sudah tahu bahwa Yesus selalu berhasil menang dan bebas dari pencobaan apapun, mengapa Iblis harus melakukan pencobaan tersebut? Kalau Iblis tahu bahwa Yesus akan selalu menang, maka Iblis tidak mungkin mencobai Yesus. Dengan demikian sebenarnya dalam pencobaan di padang gurun, Yesus tetap memiliki kemungkinan untuk ditundukkan dan dikalahkan oleh Iblis. Justru karena Iblis tahu bahwa Yesus memiliki kemungkinan untuk dikalahkan dalam pencobaan, dia membuat berbagai strategi untuk menundukkan Yesus.
Kemungkinan Ditundukkan Iblis?
Mungkin sebagian besar di antara kita terkejut dengan jawaban saya terhadap kemungkinan Yesus ditundukkan oleh Iblis. Karena sepertinya saya telah melecehkan Yesus selaku Anak Allah dan tidak mempercayai kuasaNya yang mutlak. Terhadap tanggapan yang demikian, saya nanti akan memberi jawaban. Tetapi tentunya kita sepakat bahwa kisah pencobaan yang
dialami oleh Yesus di padang gurun bukanlah sekedar sandiwara rohani belaka. Kisah pencobaan yang dialami oleh Yesus di padang gurun benar-benar merupakan pergulatan yang sangat menentukan antara Dia dengan Iblis. Padahal suatu peristiwa pergulatan atau pertarungan di antara 2 belah pihak di manapun selalu terbuka kemungkinan untuk menang atau kalah. Dengan demikian saat kita akan membaca kisah Luk. 4:1-13 sepertinya kita harus menahan nafas, dapatkah Yesus sang Anak Allah dapat lolos dari pencobaan Iblis? Karena memang sebelum Yesus dicobai oleh Iblis, Luk. 3:21-22 menyaksikan bagaimana saat baptisanNya, Allah telah berfirman: “Engkaulah Anak yang kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan”. Jadi Allah telah melantik Yesus di hadapan publik bahwa Dia adalah Anak Allah. Justru karena itu Yesus juga harus mampu membuktikan bagaimana kesetiaan dan ketaatanNya sebagai Anak Allah. Status pelantikan Yesus sebagai Anak Allah bukanlah suatu pembenaran teologis untuk membebaskan Dia dari upaya jeratan Iblis. Sebaliknya status Yesus selaku Anak Allah, justru semakin menempatkan Dia untuk mengalami pencobaan yang lebih besar. Logikanya semakin tinggi posisi atau kedudukan seseorang, semakin berat pula pencobaan yang akan dialami. Karena itu pencobaan Yesus di padang gurun bukanlah pencobaan biasa. Kisah pencobaan di Luk. 4:1-13 adalah pencobaan Mesianis. Yesus berhadapan langsung dengan Iblis.
Namun terhadap pertanyaan yang telah saya ajukan tersebut mungkin masih mengganggu perasaan hati jemaat, yaitu: bagaimana mungkin Yesus yang adalah Anak Allah memiliki kemungkinan untuk ditundukkan oleh Iblis. Karena kemungkinan untuk ditundukkan oleh Iblis tersebut sepertinya menunjukkan Yesus memiliki “kelemahan” atau “keterbatasan” tertentu. Sehingga walaupun pada akhirnya Yesus dapat lolos dari pencobaan Iblis, status Yesus selaku Anak Allah justru
menunjukkan bahwa status ilahiNya yang lebih rendah dari pada Allah. Sebab apabila Yesus adalah Anak Allah yang hakikatnya memiliki kesetaraan dengan Allah, maka pastilah Yesus akan selalu dijamin menang saat Dia dicobai oleh Iblis. Tepatnya kalau Iblis tahu bahwa Yesus yang adalah Anak Allah pada hakikatnya setara dan esa dengan Allah, maka pastilah Iblis tidak akan pernah mencobai Yesus. Jadi kesannya Iblis mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi pada sisi lain sepertinya Yesus bukanlah Allah sendiri. Namun benarkah pemikiran bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi Dia bukan Allah sendiri? Jika Yesus adalah sehakikat dengan Allah, mengapa Iblis berani untuk mencobai Yesus di padang gurun?
Konsekuensi Keturunan Adam
Sangat menarik bahwa antara kisah baptisan Yesus di sungai Yordan yang dilantik menjadi Anak Allah (Luk. 3:21-22) dan kisah pencobaan di padang gurun (Luk. 4:1-13) diapit oleh daftar silsilah Yesus (Luk. 3:23-38). Daftar silsilah Yesus tersebut dimulai dengan pernyataan: “Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf, anak Eli” (Luk. 3:23). Injil Lukas memberi informasi bahwa status Yesus secara hukum adalah anak Yusuf. Arti kata “menurut anggapan orang” menunjuk bahwa manusia pada zamanNya tidak mengenal Yesus selaku wujud inkarnasi Allah. Umat Israel seperti bangsa-bangsa lain umumnya menggunakan sistem patriakhal, di mana status sosial seorang anak dilihat dari ayahnya. Karena itu dalam silsilah Yesus kemudian ditarik ke belakang, yaitu leluhur dan nenek-moyangNya sampai kepada Adam. Luk. 3:37-38, memberi kesimpulan sebagai berikut: “anak Metusalah, anak Henokh, anak Yared, anak Mahalaleel, anak Kenan, anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah”. Jadi dalam daftar silsilah
Yesus yang dimulai dari statusnya sebagai anak Yusuf sampai kepada Adam, Injil Lukas mau menyatakan bahwa secara sosial sebenarnya Yesus berasal dari keturunan manusia yang berdosa. Yang mana Adam, manusia pertama bersama Hawa jatuh dalam dosa disebabkan karena pencobaan Iblis. Sebab di Kej. 3 mengisahkan bagaimana manusia pertama telah memberontak dan melawan Allah dengan mengikuti ajakan dan bujukan si ular yang dianggap sebagai representasi dari Iblis. Dengan demikian dari status sosial dan kemanusiaanNya, Yesus memiliki kemungkinan untuk dicobai dan ditundukkan oleh Iblis. Karena dengan inkarnasiNya menjadi manusia, kedudukan Yesus yang semula sehakikat dengan Allah berubah menjadi lebih rendah dari pada Allah. Kemuliaan Yesus selaku sang Firman Allah tersembunyi dalam peristiwa inkarnasiNya. Bahkan di surat Ibrani menyatakan saat inkarnasiNya, Yesus dibuat sedikit lebih rendah dari pada para malaikat, yaitu: “Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus” (Ibr. 2:9a). Dalam tradisi Israel dikisahkan bagaimana sebagian para malaikat yang dipimpin oleh Lucifer memberontak dan melawan Allah. Kalau para malaikat dapat dicobai untuk memberontak dan melawan Allah, apalagi saat Yesus berada dalam posisi sebagai seorang manusia keturunan Adam, maka pastilah Dia juga memiliki kemungkinan untuk ditundukkan Iblis.
Selain itu Yesus yang berpuasa dengan tidak makan di padang gurun selama 40 hari akan membuat kondisi fisikNya menjadi lemah. Dengan inkarnasiNya sebagai manusia, Yesus tunduk terhadap hukum alam yang berlaku. Dia menjadi lemah saat tidak makan selama 40 hari. Saat itulah Iblis datang mencobai Yesus setelah dia mengetahui Yesus dalam kondisi lapar (Luk. 4:2). Artinya saat Iblis mengetahui bahwa fisik Yesus dalam keadaan lemah, maka Iblis memiliki kesempatan yang baik untuk mencobai dan menundukkan Yesus. Sayangnya kelemahan fisik Yesus sebagai manusia sering dibesar-besarkan yang mengesankan Dia hanyalah manusia biasa dengan catatan bahwa Dia bukan Anak Allah yang kekal. Yesus hanya dianggap sebagai Anak Allah yang diadopsi oleh Allah. Untuk memperoleh pijakan teologis mereka
menggunakan catatan di Luk. 2:23, yaitu Yesus hanyalah anak Yusuf. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa Yesus yang adalah anak Yusuf sangat wajar bilamana Dia dicobai dan memiliki kemungkinan untuk ditundukkan oleh Iblis. Tetapi mereka mengabaikan pula catatan di Luk. 1:35, di mana malaikat Tuhan menyatakan: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”. Secara sosial, Yesus adalah anak Yusuf; tetapi de facto pada hakikatnya Yesus bukan anak Yusuf. Yesus adalah yang kudus, Anak Allah. Yang mana kekudusan dan keilahianNya telah ada sejak kekal sebagaimana Allah kekal. Seseorang yang berpikiran bengkok akan selalu menggunakan suatu ayat yang mendukung pendapatnya dan pada saat yang sama dia akan mengabaikan ayat-ayat lain yang dianggap tidak mendukung pendapatnya. Sikap yang sama juga dilakukan oleh Iblis. Dalam pencobaan Yesus di padang gurun, Iblis juga sering menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk menjerat Yesus. Serangan Iblis justru selalu sangat meyakinkan, sebab dia menawarkan suatu konsep teologis yang alkitabiah dan injili. Karena itu orang yang berpikiran bengkok tidak akan mampu membangun iman di atas dasar kebenaran yang suci, karena dia selalu berupaya membangun di atas kebenarannya sendiri.
Bila Batu Menjadi Roti
Saat Yesus lapar karena berpuasa, Iblis datang dengan menawari Dia suatu solusi: “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti" (Luk. 4:3). Tawaran Iblis tersebut sesuatu yang sangat logis dan realistik. Yesus menderita lapar, apa salahnya jika Dia menggunakan kuasaNya untuk mengubah beberapa batu di padang gurun untuk menjadi roti yang dibutuhkan oleh tubuhNya. Juga bukankah penggunaan kuasa Yesus tersebut tidak merugikan siapapun. Kuasa Yesus dibutuhkan untuk mengenyangkan perutNya. Atas dasar pemikiran itu berulangkali dalam berbagai peristiwa, manusia juga memiliki logika dan cara pandang tersebut. Apa salahnya kita menggunakan kekuasaan, kekuatan, wewenang dan pengaruh yang ada untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri. Bilamana kita mampu untuk melakukan sesuatu, apalagi pada saat yang kritis kita membutuhkan – apa salahnya kita menggunakan sebentar saja kuasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan tersebut? Iblis tidak mencobai Yesus untuk menggunakan kuasaNya berulangkali, tetapi cukup satu kali saja! Singkatnya Iblis mencobai Yesus dalam situasi kritis untuk melakukan solusi: “self-suporting” (mampu memenuhi kebutuhan sendiri). Kalau solusi Iblis adalah agar Yesus mampu memenuhi kebutuhanNya sendiri hanya sekali saja, apakah layak disebut sebagai suatu pencobaan yang jahat? Bahkan kecenderungan manusia pada umumnya adalah dia dengan senang hati menggunakan kuasa, wewenang, dan pengaruhnya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri. Mereka tidak merasa berbuat jahat dengan keputusan dan tindakannya tersebut. Ketika kita telah terbiasa untuk melakukan sesuatu untuk kepentingan sendiri dengan dalih bahwa kita memiliki wewenang dan kuasa, maka kita telah terjebak pada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Sikap ini terjadi karena kita pada awalnya hanya memberi satu peluang saja, yaitu pada saat kritis kita merasa berhak menggunakan kuasa dan wewenang yang ada. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus segera menolak tawaran dan cara berpikir Iblis yang tampaknya logis dan realistik dengan berkata: “Ada tertulis: “Manusia hidup bukan dari roti saja" (Luk. 4:4).
Penyalahgunaan sedikit atau sekali saja kekuasaan dan wewenang yang kita miliki pada saat yang kritis memang benar dan logis secara manusiawi. Walaupun hanya dilakukan satu kali saja, kita telah membuka celah atau pintu masuk untuk diulang kembali pada masa-masa kemudian. Pola pemenuhan kebutuhan “perut” dengan cara yang demikian, justru akan membutakan manusia untuk melihat sesuatu yang lebih prinsipiil, yaitu arti hidup manusia tidak sebatas kebutuhan perut. Iblis selalu menggoda manusia untuk melihat nilai dan hakikat kebenaran dari sudut kebutuhan yang sifatnya lahiriah, khususnya kebutuhan primer. Sehingga makna dan nilai kebenaran sering diukur oleh kebutuhan fisik yang primer. Artinya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang primer tersebut, semua nilai kebenaran dipaksa untuk menyesuaikan diri. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang primer, manusia berhak menghalalkan segala macam cara. Hakikat
kebenaran dipandang bernilai mutlak, sejauh kebenaran tersebut berguna atau bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup fisik manusia. Dengan logika yang demikian tidaklah mengherankan jikalau manusia sering mengorbankan prinsip dan nilai-nilai imannya demi kebutuhan “sesuap nasi”. Manusia sering menjadi tidak segan mengorbankan kesetiaan dan imannya kepada Allah demi memperoleh fasilitas, kebutuhan seksuil dan jaminan masa depan. Makna “self-suporting” dalam hidup sehari-hari dibiaskan dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh seseorang. Seharusnya makna “self-suporting” tidak boleh dikaitkan dengan kekuasaan dan wewenang yang dipercayakan. Ketika kita tergoda untuk menggunakan kekuasaan dan wewenang, maka tindakan kita tersebut menjadi manipulatif. Padahal kekuasaan dan wewenang yang dianugerahkan Allah kepada kita adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan sesama. Itu sebabnya Tuhan Yesus menolak tawaran dari Iblis untuk mengubah batu menjadi roti bagi diriNya sendiri. Tetapi pada pihak lain Tuhan Yesus tidak pernah segan menggandakan roti untuk kepentingan orang banyak (Luk. 9:10-17).
Bila Kerajaan Dunia Digenggam
Salah satu tujuan kedatangan Tuhan Yesus ke dalam dunia adalah menghadirkan pemerintahan Allah yang penuh damai-sejahtera dalam kehidupan manusia. Logikanya, Yesus akan dapat memerintah dan mengendalikan kehidupan umat manusia bilamana Dia juga menguasai kerajaan dunia. Sebab bilamana Tuhan Yesus memiliki kerajaan dunia, maka Dia dapat mengatur dan menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan manusia. Bilamana Tuhan Yesus dapat memiliki kerajaan dunia, maka Dia akan mampu mengendalikan perang, menciptakan perdamaian, dan meningkatkan
kesejahteraan hidup umat manusia. Jika demikian, apa salahnya jikalau Iblis menawarkan kepada Yesus untuk memiliki kerajaan dunia. Yang mana untuk tujuan itu Yesus cukup satu kali saja menyembah Iblis. Di Luk. 4:6-7, Iblis berkata: "Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu, sebab semuanya itu telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki. Jadi jikalau Engkau menyembah aku, seluruhnya itu akan menjadi milik-Mu". Dalam pencobaan ini, sebenarnya Iblis memperhadapkan Yesus dengan “distraction of logic” (kebingungan logika). Iblis menawarkan kepada Yesus suatu solusi yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan misiNya selaku Anak Allah, yaitu menciptakan perdamaian dalam genggaman tanganNya. Tetapi dengan syarat, Yesus harus bersedia untuk menyembah Iblis cukup satu kali saja. Bukankah untuk menciptakan perdamaian di antara 2 belah pihak yang konflik, para penguasa juga akan melakukan upaya diplomasi “win-win solution”. Bilamana Yesus menyenangkan hati Iblis dengan menyembahnya, dan sebagai upahnya Yesus memiliki kerajaan dunia di tanganNya – maka bukankah tidak ada pihak yang dirugikan. Iblis tersanjung, dan Yesus menjadi penguasa kerajaan dunia sehingga dunia menjadi tenteram dan sejahtera.
Pola penyelesaian yang ditawarkan oleh Iblis tampak cukup adil dengan “win-win solution”. Tetapi secara esensial gagasan dan solusi Iblis selalu menimbulkan “distraction of logic” (kebingungan atau kekacauan logika). Gagasan dan solusi Iblis berupaya untuk mencampurkan apa yang suci dengan yang haram, atau hal yang mulia dan hal yang sangat hina. Iblis ingin agar manusia mampu membuat sintesa dari hal yang baik dengan hal yang jahat. Bagaimanakah caranya manusia juga dapat mewujudkan kerajaan dunia yang damai, dan bagaimana pula pada saat yang sama manusia mengingkari imannya kepada Allah. Dari pola gagasan lblis tersebut lahirlah “kebijaksanaan kompromi”, “hikmat yang sinergis”, dan “diplomasi yang adil”. Sehingga dengan pola gagasan Iblis tersebut, Yesus digiring oleh Iblis kepada nilai tujuan atau misiNya yang luhur. Yang penting Yesus mampu mewujudkan misi kesejahteraan dan pendamaian dalam kehidupan umat manusia. Mengapa kita harus terlalu mempersoalkan cara atau metodenya. Apa untungnya cara dan metode yang benar,
tetapi tidak berhasil mencapai suatu tujuan. Konsep inilah disebut dengan keputusan etis yang teleologis, yaitu keputusan yang didasarkan kepada nilai tujuan yang hendak dicapai. Tuhan Yesus memberi jawaban kepada Iblis, yaitu: "Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (Luk. 4:8). Bagi Tuhan Yesus, bagaimanapun luhur dan mulia suatu tujuan, tetapi bilamana ditempuh dengan cara yang sesat atau mengingkari iman kepada Allah adalah jahat. Nilai tujuan ditentukan oleh cara pencapaian. Apakah cara yang digunakan sungguh-sungguh etis dan benar secara teologis. Sehingga iming-iming Iblis yang akan memberikan kerajaan dunia tetapi dengan menyembah Iblis adalah suatu kebohongan dan penipuan. Dunia yang damai dan sejahtera tidak mungkin dapat dibangun atas dasar pengingkaran terhadap ke-Tuhan-an Allah. Tepatnya dunia menjadi kacau-balau, rusak dan berada dalam kehancuran karena dunia mengingkari kedaulatan dan kekuasaan Allah sebagai Tuhan. Bukankah kehidupan kita juga menjadi penuh derita, kesakitan, perselisihan dan kebencian karena kita sering memberi tempat “sedikit” saja kepada Iblis? Tetapi begitu kita mengikuti gagasan Iblis untuk mencampur hal yang baik dan jahat, maka timbullah kekacauan, penderitaan dan kematian. Karena itu dalam iman Kristen tidak terbuka sedikitpun pengakuan akan peran jin atau siluman dalam kehidupan umat percaya. Iman Kristen tidak pernah mengakui adanya jin yang baik. Semua yang bukan Allah dan para malaikatNya adalah jahat. Sehingga perlindungan umat percaya hanya satu saja, yaitu Allah. Mzm. 91:2 menegaskan fokus umat percaya kepada Allah sebagai satu-satunya perlindungan yang kokoh, yaitu: "Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai".
Bila Turun Dari Bait Allah Secara Mukjizat
Umat Israel memiliki keyakinan bahwa Mesias akan hadir di tengah-tengah mereka dengan muncul dari Bait Allah (bdk. Yes. 2:2-3). Seluruh pengajaran Allah akan disampaikan oleh MesiasNya di Bait Allah. Saat Mesias hadir, Bait Allah atau Sion akan menjadi pusat yang mampu menarik umat Israel dan seluruh bangsa untuk berduyun-duyun mengunjunginya. Sehingga bilamana Yesus yang sedang berpuasa di padang gurun berkenan pergi dan naik ke atas bubungan Bait Allah, lalu Dia turun sambil disaksikan oleh umat, maka pastilah gelar ke-Mesias-an Yesus segera diakui. Umat yang berada di bawah Bait Allah
akan segera mengelu-elukan Yesus, apalagi saat Yesus melompat turun Dia sama sekali tidak terluka. Bukankah Allah sudah memberi jaminan penuh, bahwa Dia akan memerintahkan para malaikatNya untuk menatang Yesus dengan selamat (Mzm. 91:11-12). Tampaknya metode dan gagasan Iblis tersebut dipenuhi oleh konsep teologis yang didukung oleh ayat-ayat Kitab Suci dan nubuat para nabi. Bila Yesus muncul dari bubungan Bait Allah, maka Bait Allah akan menjadi pusat ibadah seluruh bangsa. Dengan kata lain, isi nubuat Allah akan digenapi oleh Yesus bilamana Dia mengikuti tawaran Iblis. Selain itu Tuhan Yesus juga tidak perlu menempuh jalan salib untuk menebus dosa umat manusia. Yang mana Tuhan Yesus tidak perlu menempuh penderitaan dan kematian untuk mewujudkan karya keselamatan Allah. Sebab umat manusia sudah merasa puas untuk menerima pengajaran tentang keselamatan dan kebenaran di Bait Allah. Jikalau demikian, apa salahnya Yesus memenuhi permintaan Iblis dengan cara naik ke bubungan Bait Allah lalu melompat ke bawah disambut oleh umat? Jaminan firman Allah dan tawaran Iblis tersebut terkesan sinkron. Umat Israel dan umat manusia dari berbagai bangsa akan menyambut Yesus sebagai Mesias Allah. Jadi betapa efektif dan logisnya metode yang ditawarkan oleh Iblis, yaitu Yesus cukup berdiri di bubungan Bait Allah lalu Dia melompat dengan selamat.
Kecenderungan rohani manusia umumnya menyukai bilamana dia dapat tampil memukau di tempat ibadat dan melihat hal-hal yang ajaib. Manusia merasa sering berubah menjadi “kudus” saat dia tampil di rumah ibadat, dan mampu memamerkan hal-hal yang bersifat mukjizat. Sehingga tidak mengherankan jikalau tempat ibadat sering dimanipulasi untuk memperoleh pujian dan kemuliaan duniawi. Apalagi bila di tempat ibadat itu seseorang mampu mempraktekkan berbagai hal yang tampaknya ajaib, maka pastilah dia akan semakin disanjung. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau pendirian rumah ibadat dalam jumlah yang spektakuler tidak secara otomatis mampu mengubah kualitas moral kehidupan masyarakat di sekitarnya. Atau justru kebalikkannya yang terjadi. Tempat-tempat ibadat yang semakin tersebar itu malahan menjadi tempat yang paling aman untuk menyembunyikan berbagai kemunafikan, kejahatan dan pembenaran diri. Fungsi tempat ibadat yang seharusnya mempermuliakan Allah sering berubah menjadi tempat untuk mempermuliakan dirinya sendiri. Begitu banyak orang di tempat ibadah yang berupaya untuk “mengilahkan dirinya” (mengkultus-individukan) dari pada “meng-Allah-kan Tuhan. Mereka terus-menerus menggunakan nama Allah yang kudus untuk membenarkan berbagai perbuatan yang tercela. Karena itulah Tuhan Yesus menegur Iblis dengan berkata: "Ada firman: Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!" (Luk. 4:12).
Jawaban Tuhan Yesus yang berkata: “Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!" tersebut kali ini memperhadapkan Iblis untuk menyadari jati-diri Yesus selaku Anak Allah. Dalam hal ini Yesus bukan hanya Anak Allah dalam pengertian atau konsep teologis umat Israel, yakni seorang malaikat (Ayb. 1:6) atau orang yang diurapi; tetapi juga Dia adalah yang sehakikat dengan Allah. Karena Yesus sehakikat dengan Allah, maka Yesus mengetahui dengan persis tujuan utama dari godaan Iblis. Sehingga Iblis tidak perlu menggunakan ayat-ayat Kitab Suci dan nubuat para nabi untuk membenarkan argumentasi teologisnya. Sebab pencobaan yang dilakukan Iblis kepada Yesus pada hakikatnya merupakan pencobaan terhadap diri Tuhan Allah sendiri.
Bagaimana Membangun Iman
Peristiwa pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun selama 40 hari sebenarnya selain mengingatkan kita terhadap pencobaan yang dialami oleh manusia pertama dalam Kej. 3, juga mengingatkan kita akan pencobaan umat Israel selama mereka di padang gurun selama 40 tahun. Namun satu hal yang jelas adalah manusia pertama yaitu Adam dan Hawa serta umat Israel gagal dalam menghadapi pencobaan di padang gurun. Sikap Adam dan Hawa memperlihatkan sikap
pemberontakan untuk menjadi seperti Allah, dan umat Israel memberontak kepada Allah dengan sikap yang bersungut-sungut serta berpaling kepada ilah-ilah lain. Selaku anak-anak Allah, mereka tidak menyikapi setiap pencobaan yang terjadi dengan sikap iman yang bersyukur, tetapi mereka mencoba untuk mencari kemuliaan dan kebenaran dirinya sendiri. Tetapi tidaklah demikian sikap Tuhan Yesus. Walaupun Dia adalah Anak Allah, Tuhan Yesus tidak menggunakan hakNya untuk bebas dari setiap cobaan dan jeratan Iblis. Tetapi Tuhan Yesus melawan Iblis dengan sikap ketaatan dan kesetiaanNya kepada firman Allah. Itu sebabnya dalam pencobaanNya Tuhan Yesus tidak pernah tergoda untuk menggunakan kekuasaan, wewenang dan pengaruhNya selaku Anak Allah untuk kepentingan diriNya sendiri. KuasaNya sebagai Anak Allah hanya digunakan oleh Tuhan Yesus untuk kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Tuhan Yesus juga tetap mawas diri dan tidak tergoda untuk mengkompromikan antara kebenaran dengan kejahatan. Yang mana tujuanNya yang mulia tidak mau Dia capai dengan menyembah Iblis. Akhirnya Tuhan Yesus juga tidak mengikuti kehendak Iblis untuk mencari popularitas diri dengan menggunakan Bait Allah. Bahkan Tuhan Yesus menolak untuk melakukan demonstrasi kuasa mukjizat dengan cara turun dari bubungan Bait Allah. Bagi Tuhan Yesus, tidaklah cukup sekedar membangun iman dengan pembenaran diri berdasarkan ayat-ayat Kitab Suci. Sebab tanpa dibangun oleh hati yang tulus, maka segala tindakan kita yang tampak suci justru dilakukan untuk mencobai Allah. Itu sebabnya iman tidak dapat dibangun dengan perkataan saja, tetapi juga dengan hati. Di Rom. 10:9, rasul Paulus berkata: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”. Spiritualitas iman yang demikian akan memampukan kita untuk menjalankan tugas kewajiban dengan benar di hadapan Allah.
Panggilan
Kualitas jati-diri kita terlihat saat kita tidak memiliki apa-apa seperti kondisi miskin dan lapar. Tetapi juga akan terlihat saat kita memiliki apa-apa seperti kuasa, wewenang dan pengaruh. Namun apakah kita tetap mampu bersyukur saat tidak memiliki apa-apa, dan pada sisi lain sikap mawas-diri saat memiliki kekuasaan atau wewenang walau hanya sedikit saja. Kedua,
apakah kita menolak untuk mengkompromikan suatu tujuan yang tampak mulia dengan cara mengingkari iman atau tindakan menyembah Iblis. Ketiga, apakah kita mampu menolak setiap tindakan manipulatif saat melayani Tuhan di tempat ibadah dan upaya mencari kemuliaan diri sendiri. Bangunan iman kita ditentukan oleh 3 faktor tersebut, yaitu sikap mawas diri, tidak pernah berkompromi dengan kuasa dunia, dan menolak tindakan manipulatif serta pengkultusan diri. Bila kita gagal terhadap ketiga faktor tersebut, maka pastilah kita akan mengulang dosa yang telah diperbuat oleh manusia pertama dan umat Israel saat mereka dalam perjalanan selama 40 tahun ke tanah Kanaan. Bagaimana dengan diri saudara sendiri? Respon yang bagaimanakah saudara lakukan saat menghadapi berbagai pencobaan dalam kehidupan ini? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar