Kenosis Kristus – Kenosis Allah
Seorang pelayan karena latar-belakang keluarganya adalah pelayan (pembantu rumah tangga atau kantor) tidaklah identik dengan kepemimpinan yang menghamba. Singkatnya seseorang yang memiliki latar-belakang, seperti: kakek-nenek, ayah-ibu atau kemampuannya setaraf profesi seorang pelayan – tidaklah mungkin kita mengharap dari dia model “kepemimpinan yang menghamba”. Sebab tindakan menghamba tersebut tidak lahir dari konsep kepemimpinan, tetapi lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Model “kepemimpinan yang menghamba” dalam karakter diri Allah yang tercermin dalam kehidupan Kristus sama sekali bukan lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Sebaliknya, hakikat Kristus sejak kekal adalah mulia dan kudus. Di Fil. 2:6-7, rasul Paulus menyaksikan bagaimana keberadaan Kristus yang mulia dan sehakikat Allah tersebut mengambil suatu keputusan etis yang mengejutkan, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Keputusan Kristus bersama dengan Allah dalam kekekalan bukan suatu keputusan yang mendadak atau emosional. Tetapi keputusan Kristus berinkarnasi menjadi manusia merupakan suatu keputusan ilahi yang telah terencana dan bertujuan. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke dalam dunia didahului oleh nubuat para nabi ribuan tahun lamanya. Bukankah dunia sekuler juga menerapkan pola yang demikian? Apabila suatu produk baru yang canggih akan diluncurkan, maka suatu perusahaan akan terlebih dahulu mengumumkan bagaimana spesifikasi, ciri-ciri, dan kemampuannya. Pengumuman tentang rencana kedatangan produk tersebut sekaligus menjadi suatu keabsahan untuk dipertanggungjawabkan apabila terjadi saat peluncuran sampai ke depan terjadi penyimpangan. Demikian pula keabsahan Kristus selaku Mesias Allah. Setiap perilaku dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam diriNya dihayati oleh Kristus sebagai yang dinubuatkan oleh para nabi. Jadi kedatangan/inkarnasi Kristus sebagai manusia bukan sekedar suatu insiden dan secara kebetulan membawa pengaruh positif dalam sejarah kehidupan umat manusia. Tetapi kedatangan Kristus membawa misi keselamatan Allah dengan cara berinkarnasi menjadi manusia. Walaupun untuk mewujudkan misi keselamatan tersebut, Kristus yang walaupun sehakikat dengan Allah harus bersedia mengosongkan diriNya secara total untuk sungguh-sungguh menjadi manusia. Kristus juga harus rela menanggalkan seluruh hak dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah.
Seorang pelayan karena latar-belakang keluarganya adalah pelayan (pembantu rumah tangga atau kantor) tidaklah identik dengan kepemimpinan yang menghamba. Singkatnya seseorang yang memiliki latar-belakang, seperti: kakek-nenek, ayah-ibu atau kemampuannya setaraf profesi seorang pelayan – tidaklah mungkin kita mengharap dari dia model “kepemimpinan yang menghamba”. Sebab tindakan menghamba tersebut tidak lahir dari konsep kepemimpinan, tetapi lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Model “kepemimpinan yang menghamba” dalam karakter diri Allah yang tercermin dalam kehidupan Kristus sama sekali bukan lahir dari situasi kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs). Sebaliknya, hakikat Kristus sejak kekal adalah mulia dan kudus. Di Fil. 2:6-7, rasul Paulus menyaksikan bagaimana keberadaan Kristus yang mulia dan sehakikat Allah tersebut mengambil suatu keputusan etis yang mengejutkan, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Keputusan Kristus bersama dengan Allah dalam kekekalan bukan suatu keputusan yang mendadak atau emosional. Tetapi keputusan Kristus berinkarnasi menjadi manusia merupakan suatu keputusan ilahi yang telah terencana dan bertujuan. Itu sebabnya kedatangan Kristus ke dalam dunia didahului oleh nubuat para nabi ribuan tahun lamanya. Bukankah dunia sekuler juga menerapkan pola yang demikian? Apabila suatu produk baru yang canggih akan diluncurkan, maka suatu perusahaan akan terlebih dahulu mengumumkan bagaimana spesifikasi, ciri-ciri, dan kemampuannya. Pengumuman tentang rencana kedatangan produk tersebut sekaligus menjadi suatu keabsahan untuk dipertanggungjawabkan apabila terjadi saat peluncuran sampai ke depan terjadi penyimpangan. Demikian pula keabsahan Kristus selaku Mesias Allah. Setiap perilaku dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam diriNya dihayati oleh Kristus sebagai yang dinubuatkan oleh para nabi. Jadi kedatangan/inkarnasi Kristus sebagai manusia bukan sekedar suatu insiden dan secara kebetulan membawa pengaruh positif dalam sejarah kehidupan umat manusia. Tetapi kedatangan Kristus membawa misi keselamatan Allah dengan cara berinkarnasi menjadi manusia. Walaupun untuk mewujudkan misi keselamatan tersebut, Kristus yang walaupun sehakikat dengan Allah harus bersedia mengosongkan diriNya secara total untuk sungguh-sungguh menjadi manusia. Kristus juga harus rela menanggalkan seluruh hak dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah.
Dengan kenosis (pengosongan diriNya), Kristus harus memposisikan diriNya setara dengan manusia dan berarti pula Dia harus rela dalam suatu periode tertentu untuk tidak setara dengan Allah. Untuk itu Kristus dalam hidupNya sebagai manusia harus menerapkan pola kepemimpinan yang menghamba. Dia harus belajar bersikap taat, menyembunyikan seluruh kekuasaan dan kemuliaanNya. Kristus juga harus belajar memahami seluruh pergumulan, kegagalan dan penderitaan manusia bukan dari sudut ilahiNya, tetapi dari sudut manusiawiNya. Bahkan lebih dari pada itu Kristus juga harus siapmenerima penolakan, ketidakpercayaan dan pengkhianatan dari manusia yang hendak dirangkul dan diselamatkanNya. Lalu pada akhirnya Kristus harus mampu menerima penyaliban terhadap diriNya. Dia akan dimatikan, agar melalui kematianNya manusia memperoleh suatu kehidupan yang tertebus. Terbukti Tuhan Yesus mampu melewati semua aspek pengosongan diri tersebut dengan hati yang rela. Sehingga di Fil. 2:8, rasul Paulus menyaksikan: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”. Ini berarti model “kepemimpinan yang menghamba” merupakan sikap dan spiritualitas yang bersedia menyangkali segala hal yang menjadi hak-haknya, tidak pernah menganggap diri lebih tinggi dari sesamanya walaupun dia memiliki kemampuan yang tinggi, menerima setiap risiko dengan tanggungjawab yang penuh, berani menghadapi penderitaan dengan lapang dada, dan kesetiaan atau komitmen sampai pada akhirnya. Model Allah yang terwujud dalam karakter hidup Kristus yang mau menghamba inilah yang menginspirasi, memotivasi dan memampukan kita untuk menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Sehingga dalam pola “kepemimpinan yang menghamba”, kita mengisi setiap aspek hidup dengan “kenosis” (pengosongan diri) Kristus. Jadi pola “kepemimpinan yang menghamba” seharusnya menjadi wujud dari pengosongan Kristus, yang adalah Tuhan. Tanpa dilandasi oleh pengosongan Kristus, maka pola “kepemimpinan yang menghamba” hanya akan menjadi sekedar suatu “pelunakan manajemen kepemimpinan” agar lebih memikat dan suatu strategi menaikkan profit suatu perusahaan.
a) Kristus tetap adalah Allah, dan keilahianNya tidak berkurang, tetapi disembunyikan.
Calvin:
"Christ, indeed, could not divest himself of Godhead; but he kept it concealed for a time, that it might not be seen, under the weakness of the flesh. Hence, he laid aside his glory in the view of men, not by lessening it, but by concealing it" (= Kristus tidak bisa melepaskan dirinya sendiri dari keilahian-Nya; tetapi menyembunyikannya untuk sementara waktu, supaya tak kelihatan, di bawah kelemahan daging. Jadi, Ia mengesampingkan kemuliaanNya dalam pandangan manusia, bukan dengan menguranginya, tetapi dengan menyembu-nyikannya).
b) Kristus direndahkan dengan mengambil / menambahkan hakekat manusia pada diriNya.
Seseorang mengatakan:
"Christ was lowered not by losing, but rather by taking" (= Kristus direndah-kan, bukan dengan kehilangan, tetapi dengan mengambil).
Illustrasi:
Orang kaya / orang kota bisa merendahkan dirinya tanpa kehilangan apa-apa, yaitu kalau kepadanya ditambahkan pakaian orang miskin / orang desa.
3) Yesus merendahkan diri, lalu taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (ay 8).
Akibatnya: Allah meninggikan Dia (ay 9-11).
Sebagian dari peninggian / pemuliaan itu sudah terjadi, yaitu pada waktu Yesus bangkit, naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Allah.
Tetapi peninggian / pemuliaan yang dilukiskan dalam ay 10-11, dimana setiap lutut akan bertelut di depan Yesus dan setiap lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, baru akan terjadi pada saat Yesus datang kembali untuk ke dua kalinya. Pada saat itu maka:
- Malaikat dan orang kristen yang sejati akan berlutut dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dengan sukacita.
- Setan dan orang-orang yang tidak percaya akan berlutut dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dengan terpaksa, dan mereka tidak akan diampuni sekalipun ada pengakuan seperti itu (bdk. Mark 5:6-8).
Karena itu, kalau saat ini saudara bukan orang kristen yang sejati, dari pada saudara dipaksa untuk berlutut dan mengakui Yesus sebagai Tuhan pada akhir jaman, berlututlah di depan Yesus dan akuilah Dia sebagai Tuhan dengan sukarela, pada saat ini juga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar