Minggu, 04 Desember 2011

YOHANES PEMBAPTIS: “AKU BUKAN MESSIAS”


Yes. 61:1-4, 8-11; Mzm. 126; I Tes. 5:16-24; Yoh. 1:6-8, 19-28
Pengantar
Buku  James D. Tabor yang kontroversial dan menggemparkan berjudul: “Dynasty of Jesus” (Dinasti Yesus) mengemukakan bahwa sesungguhnya “para pengikut perdana Yohanes dan Yesus menyebut diri sebagai para pengikut Jalan”. Dengan ungkapan demikian, James Tabor mau menyatakan bahwa Yesus dan Yohanes pada prinsipnya bersama-sama berada dalam satu gerakan atau satu aliran keagamaan yang berkembang pada zaman itu.  
Jadi baik Yohanes dan Yesus dalam pengertian ini memiliki kedudukan yang sejajar sebab mereka memiliki misi yang sama sebagai “para pengikut Jalan”. Lebih lanjut James Tabor membuat pernyataan yang sangat mengejutkan, yaitu: “ …… fakta yang dikenal luas bahwa Yohaneslah yang membaptis Yesus, dan bukan sebaliknya! Yesus datang kepada Yohanes dan bergabung dengan gerakannya. Di dalam kontekss Yudaisme purba tindakan ini bermakna bahwa Yesus adalah murid Yohanes, dan Yohanes adalah rabi atau guru bagi Yesus” <!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->).  Pertanyaan yang muncul adalah apabila kedudukan Yesus dan Yohanes sejajar, bahkan lebih jauh lagi ternyata Yesus hanyalah murid dari Yohanes Pembaptis maka makna Adven bukanlah peristiwa penantian akan kedatangan Yesus sebagai Tuhan; tetapi sekedar penantian teologis tentang hari penghakiman terakhir dari Allah. Konsekuensi logisnya adalah Yesus dan Yohanes kelak juga akan berada di bawah penghakiman Allah. Tetapi karena mereka telah membuktikan sebagai “para pengikut Jalan” yang setia dan hidup benar, maka pastilah mereka akan terbebas dari penghakiman Allah pada akhir zaman nanti.
Tidak mengherankan jikalau beberapa orang Kristen kemudian menjadi goyah imannya dengan pemikiran atau lebih tepat kita sebut “dugaan teologis” dari James Tabor tersebut. Padahal kita dapat melihat bahwa James Tabor yang menggunakan Alkitab sebagai acuan dugaan teologisnya tersebut, ternyata sering mengabaikan ayat-ayat yang justru meneguhkan bahwa Yesuslah sang Messias. James Tabor tidak mengulas sedikitpun pernyataan dari Yohanes Pembaptis ketika dia ditanya oleh para imam dan orang-orang Lewi yang diutus oleh Sanhedrin dengan pertanyaan: “Siapakah engkau?”. Jawab Yohanes Pembaptis adalah: “Aku bukan Messias, juga bukan Elia, dan juga bukan nabi yang akan datang itu” (Yoh. 1:20-21).  Dalam hal ini James Tabor ternyata tidak pernah mengulas secara eksegetis apa artinya ucapan Yohanes Pembaptis saat dia melihat Yesus datang kepadanya: “Lihatlah, Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29).  Mengapa dia tidak mau mengulas? Karena pernyataan Yohanes Pembaptis tersebut dianggap oeh James Tabor tidak sesuai dengan alur dan tujuan dari pemikirannya! Padahal Yohanes Pembaptis kemudian menegaskan pengakuannya tentang Yesus: “Ia inilah Anak Allah” (Yoh. 1:34). Ini berarti James Tabor tidak menggunakan ayat-ayat Alkitab secara seimbang dan obyektif dalam membangun dugaan (hipotesa) “teologis”-nya. Bagi James Tabor,  Yesus hanyalah manusia biasa dan bukan Tuhan. Dengan kasus seperti sikap James Tabor atau Dan Brown (buku: “The Da Vinci Code”), kita dapat melihat bahwa kuasa dunia ini terus-menerus berupaya dengan segala macam cara untuk menolak ke-Messias-an Yesus.  Intinya mereka menolak berita Alkitab bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru-selamat manusia, sehingga mereka juga menolak pengharapan iman Kristen yang percaya pada kedatangan Kristus di akhir zaman.  Kuasa dunia berupaya menyingkirkan peristiwa dan makna dari Adven, sehingga umat manusia hanya mengarahkan hatinya semata-mata kepada penghakiman Allah dengan menyingkirkan Kristus sebagai pusat seluruh kehidupan. Padahal Kristuslah yang telah diberi wewenang penuh oleh Allah untuk menghakimi umat manusia.
Kompleks-Messianis
Saat ini kita sering terjebak oleh paradoks yang pada satu pihak berupaya untuk menyingkirkan ke-Messias-an Yesus sebagai Tuhan dan Juru-selamat, dan pada pihak lain terdapat ambisi yang begitu besar untuk mengangkat diri sebagai “messias”. Perjalanan sejarah telah membuktikan munculnya orang-orang yang bersikap “anti-Kristus” dan juga dipenuhi oleh orang-orang yang berambisi menjadi “juru-selamat”. Mereka bersikap “anti-Kristus” adalah agar mereka sendiri yang dapat menjadi “juru-selamat dan messias”. Tipe dan fenomena inilah yang dimaksudkan dengan gejala “messianic-complex” (kompleks-messianis), yaitu suatu gejala perasaan diri begitu besar, tinggi dan suci  karena mereka merasa telah dianugerahi suatu hubungan yang begitu intim dengan Allah sehingga mereka merasa berhak untuk mengatakan kehendak Allah dan menuntut orang lain untuk melakukan apa yang mereka kehendaki. Dalam masalah “messianic-complex” tersembunyi problem kejiwaan yaitu perasaan diri serba besar, tinggi, dan suci. Timbul suatu anggapan palsu bahwa tanpa peran mereka, maka segala sesuatu di rumah, di kantor atau di gereja tidak akan dapat berjalan dengan baik atau sempurna. Sehingga tidak mengherankan jikalau para penderita “messianic-complex” pada saat yang sama menderita penyakit jiwa yang bernama “megalomania” yaitu: keyakinan semu yang sesungguhnya tidaklah benar (delusi) bahwa dirinya merasa telah memperoleh suatu anugerah dan hak khusus dari “Tuhan” sebagai tokoh besar yang hadir dalam kehidupan ini.  Mereka sering mengklaim diri sebagai seorang “nabi”, “rasul”, “utusan Tuhan”, “messias”,  “avatar”(titisan), “mahluk yang paling mulia”, “wali” atau menyebut diri sebagai inkarnasi seorang tokoh besar, dan sebagainya. Karena itu mereka berupaya untuk mempesona banyak orang agar memuja dan memuliakan dirinya. Tentunya upaya mereka untuk mempesona orang lain dengan banyak cara, misalnya dengan membuat pernyataan-pernyataan yang diucapkan berasal dari “yang ilahi”, “suara sorgawi”, “sabda Allah”, dan sebagainya. Padahal semua cara tersebut sekedar suatu manipulasi psikologis saja agar banyak orang mengagung-agungkan dan taat kepada mereka secara mutlak.
                Di tengah-tengah kecenderungan yang demikian, kita justru mendengar pernyataan dari Yohanes Pembaptis yang berkata: “Aku bukan Messias, bukan Elia dan bukan pula nabi yang akan datang itu” (Yoh. 1:20-21, 25). Bukankah pernyataan dari Yohanes Pembaptis tersebut mencerminkan suatu kejujuran dan integritas diri yang begitu kokoh, di mana dia tidak mau sedikitpun untuk membesarkan dirinya? Padahal pada waktu itu orang banyak datang berbondong-bondong untuk menjumpai Yohanes Pembaptis. Bahkan lembaga keagamaan “Sanhedrin” mengutus para imam dan orang-orang Lewi untuk memperoleh suatu kepastian apakah Yohanes Pembaptis adalah seorang Messias yang telah dinantikan oleh umat Israel, ataukah mungkin dia adalah “inkarnasi nabi Elia”; dan juga apakah dia adalah nabi yang dinubuatkan oleh Musa di Ul. 18:15, 18). Ini berarti banyak orang Israel pada zaman itu melihat Yohanes Pembaptis memiliki kharisma rohaniah yang luar-biasa, sehingga mereka akhirnya bersedia untuk dibaptiskan di sungai Yordan. Terhadap penilaian dan  kekaguman orang Israel terhadap dirinya, Yohanes Pembaptis tetap tidak bergeming dan tidak berdusta bahwa dia bukanlah seorang Messias. Dia hanya menyebut dirinya sekedar: “suara orang yang berseru-seru di padang gurun” (Yoh. 1:23).
Padahal kita tahu bahwa suara yang berseru-seru di padang gurun hanyalah suatu suara yang umumnya sayup-sayup terdengar, tidak memiliki suatu “power” (kuasa), dan tidak memiliki pendengar yang jelas. Sangat kontras dan berbeda jikalau Yohanes Pembaptis berkata bahwa dia adalah suara yang datang dari langit atau dari sorga seperti bunyi halilintar, pastilah suaranya akan  terdengar oleh banyak orang. Bob Dylan menulis dalam syair lagu yang diinspirasi oleh  sikap Yohanes Pembaptis bahwa dia bukanlah Messias, yaitu: “You say you’re looking for someone who’s never weak but always strong / to protect you and defend you whether you are right or wrong, / someone to open each and ev’ry door, but it ain’t me, babe. . . / It ain’t me you’re looking for." (Kamu katakan mencari seseorang yang tidak pernah lemah tetapi selalu kuat untuk melindungi dan menjaga dirimu apakah kamu berlaku benar atau salah, seseorang yang membuka setiap pintu, tetapi itu bukanlah aku … Itu bukan aku yang sedang kamu cari). Dengan demikian kita dapat melihat aspek terdalam dari spiritualitas Yohanes Pembaptis yaitu seorang yang sangat rendah-hati, tidak pernah ingin menonjolkan diri, sangat sederhana dan jujur.  Karena dia menyadari dirinya hanya sebagai “suara yang berseru-seru di padang-gurun” maka Yohanes Pembaptis disebut sebagai “saksi” untuk memberi kesaksian tentang Terang yang telah datang ke dalam dunia yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 1:6-7). Jadi sangatlah jelas, bahwa seluruh Injil menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis bukanlah sang Terang yang datang ke dalam dunia. Dia hanyalah saksi yang memberitakan tentang “Terang” yang telah menjadi manusia (Yoh. 1:8). Ini berarti seluruh kehidupan Yohanes Pembaptis hanya ditujukan kepada satu misi dari Allah yaitu untuk menyiapkan umat Israel untuk menyambut kedatangan Kristus dengan sikap pertobatan. Dia secara tulus mengabdikan hidupnya untuk kemuliaan dan karya Kristus.
Utusan Kabar Baik
Berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis sangat efektif sehingga didengar dan menyentuh hati umat Israel disebabkan dia telah berhasil meniadakan segala aspek ambisi yang menyangkut kemuliaan dan kelebihan dirinya sebagai seorang utusan Allah. Tepatnya Yohanes Pembaptis bersedia “menanggalkan” segala atribut dan otoritasnya sebagai seorang hamba Allah, agar dia dapat menyaksikan secara efektif kemuliaan pribadi ilahi yaitu sang Terang di dalam diri Kristus. Di hadapan publik, Yohanes Pembaptis menyatakan sikapnya terhadap Kristus: “Membuka tali kasutNyapun akut tidak layak” (Yoh. 1:27). Kerinduan utama dari Yohanes Pembaptis adalah agar dia dapat menyampaikan kabar baik, bahwa Kristus sang Terang dari Allah telah datang ke dalam dunia. Di sini terdapat hubungan yang sangat signifikan dan kualitatif antara Yohanes Pembaptis sebagai “yang diutus” (the sent), dengan diri Kristus yang bertindak sebagai pengutus (the sender). Dia tidak mau sedikitpun merebut kemuliaan Kristus, dan karenanya dia berkata: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).  Spiritualitas Yohanes Pembaptis tersebut seharusnya menjadi acuan dan tolok ukur bagi setiap orang yang sering merasa dirinya “penting” dan “besar”. Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari kita sering dipenuhi oleh berbagai tipe dari orang-orang yang mengidap penyakit “megalomania” tetapi dengan suatu bungkus rohani bahwa mereka melakukan tugas pelayanan tersebut semata-mata untuk kemuliaan Kristus. Bukankah hampir di antara kita tidak bersedia untuk makin bertambah kecil, agar Kristus makin bertambah besar? Kita lebih sering menghendaki agar dalam nama Kristus yang bertambah besar, nama kita juga ikut melambung tinggi. Akibatnya kita gagal untuk menyampaikan kabar baik yang efektif, yaitu kabar keselamatan yang seharusnya mampu membebaskan umat manusia dari belenggu dosa.
                Apabila kita mau menanggalkan segala ambisi dan dorongan “megalomania”, maka kita akan dipakai oleh Tuhan sebagai penyampai kabar baik yang efektif dan dilengkapi oleh kuasa RohNya. Sebagaimana Yohanes Pembaptis, maka demikian pula nabi Yesaya. Dia dipanggil oleh Allah untuk menyatakan karya keselamatan yang membebaskan kepada umatNya, yaitu untuk: “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung” (Yes. 61:1-2). Kehadiran dan karya nabi Yesaya tersebut ternyata mampu membangkitkan pengharapan bagi umat Israel, sebab Allah masih berkenan mengingat kesusahan dan penderitaan mereka. Sebab sebelum nabi Yesaya mampu memberitakan pembebasan dari Allah, dia terlebih dahulu telah dibebaskan oleh Allah dari segala belenggu dosa. Demikian pula seharusnya dengan kehidupan kita. Sebelum kita sungguh-sungguh dapat menyampaikan kabar baik, kehidupan kita seharusnya dipenuhi oleh kabar baik yang membuat kehidupan kita berubah. Sebelum kita memberitakan tahun rahmat Tuhan telah tiba, kehidupan kita juga seharusnya dipenuhi oleh rahmat Tuhan yang membebaskan. Peran dan pelayanan seorang utusan Allah akan bertambah efektif ketika kehidupan rohaniahnya senantiasa terbuka untuk diubah dan diperbaharui oleh Allah. Tetapi sebaliknya, segala karunia dan berkat rohaniah yang diterima dari Allah menjadi lumpuh ketika dia membiarkan dirinya untuk dikuasai oleh dorongan/ambisi “megalomania” (perasaan diri penting dan  besar). Itu sebabnya pada  masa Adven ini merupakan saat yang sangat tepat bagi kita untuk diubah dan diperbaharui oleh Tuhan agar kita dapat menyaksikan karya dan kemuliaan Kristus kepada orang-orang yang ada di sekitar kita. Untuk itu kita perlu menguji segala sesuatu dan memegang yang baik sampai kedatangan Tuhan Yesus (I Tes. 5:21); termasuk pula kesediaan untuk menguji diri sendiri sehingga kita dapat memerankan sebagai utusan kabar baik yang semakin efektif dan berkenan di hadapan Tuhan.  
Dipulihkan Untuk Memulihkan
Kita perlu terus-menerus berjuang untuk  membebaskan diri dari belenggu kuasa dosa, sehingga kita mampu melawan segala kecenderungan hati untuk meninggikan diri dan merebut kemuliaan Kristus. Tetapi harus kita ingat, bahwa yang menentukan pemulihan diri kita bukanlah diri kita sendiri tetapi karya keselamatan Allah. Manakala kita merasa mampu memulihkan (merestorasi) diri sendiri, maka kita akan kembali terjebak kepada perasaan diri sebagai orang yang “lebih” hebat (superioritas). Itu sebabnya Mzm. 126:1 menyatakan: “Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi”. Umat Israel mengungkapkan kesaksiannya bahwa mereka seperti orang bermimpi, sebab mereka tidak menyangka bahwa Tuhan berkenan berkarya dan memulihkan kehidupan mereka yang hancur. Artinya karya pemulihan Tuhan yang terjadi sungguh-sungguh di luar dugaan dan harapan mereka. Itu sebabnya mereka tidak pernah menganggap pemulihan Yerusalem sebagai hasil usaha dan prestasi mereka. Bahkan sebaliknya, umat Israel menyadari bahwa mereka tidak sanggup untuk memulihkan diri mereka sendiri. Itu sebabnya mereka berseru dan berdoa: “Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb!” (Mzm. 126:4).  Dengan spiritualitas yang dipulihkan tersebut umat Israel dimampukan untuk menjadi alat di tangan Tuhan yang memulihkan sesamanya. Sangat berbeda keadaannya jikalau umat Israel menganggap pemulihan Yerusalem sebagai hasil usaha dan prestasi mereka, maka yang muncul adalah kecongkakan rohani. Sehingga mereka hanya mampu mengklaim diri sebagai umat pilihan dan kesayangan Tuhan, tetapi mereka tidak mampu membuktikan spiritualitas yang berkualitas untuk memulihkan kehidupan sesamanya.  Padahal tidaklah demikian efek dari karya pemulihan Allah.
                Hasil pemulihan dari Allah adalah sukacita. Mzm. 126:2-3 menyaksikan hasil dari karya pemulihan Allah, yaitu: “Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai. Pada waktu itu berkatalah orang di  antara bangsa-bangsa: "TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!" TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita”. Saat kehidupan kita dipenuhi oleh kerendahan hati yang menundukkan diri di bawah otoritas kasih Allah, maka kehidupan kita akan dipenuhi oleh sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Sebab sukacita kita tersebut lahir dari suatu ucapan syukur kepada Allah yang telah melaksanakan karya keselamatanNya. Bukankah dalam makna teologis yang sama rasul Paulus juga berkata: “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa.  Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (I Tes. 5:16-18).  Di sini terletak perbedaan esensial antara seseorang yang memiliki kecenderungan dan tipe “megalomania” (perasaan diri “besar dan penting”), dengan seseorang yang mengucap syukur atas karya keselamatan Tuhan. Seorang megalomania selalu “mengucap syukur” dan memuji-muji diri sendiri sebab dia merasa sangat istimewa. Padahal secara psikologis, seorang “megalomania” pastilah seorang yang sakit jiwanya dan tidak mampu hidup di dunia riel tetapi hidup dalam delusi (keyakinan semu) atas impian dan bayangannya sendiri.  Sebaliknya seorang yang mengucap syukur atas segala karya keselamatan Tuhan pastilah seorang yang mampu menyadari keterbatasan dan kekurangan dirinya, namun serentak mampu menghargai dirinya sebab dia tahu bahwa Allah sangat mengasihinya. Itu sebabnya seorang yang hidup dalam pengucapan syukur tidak pernah memandang diri secara berlebihan (superioritas diri), tetapi juga tidak pernah memandang secara berkekurangan (inferioritas diri). Dia mampu memandang diri secara tepat menurut cara pandang dan penilaian dari Allah.
Panggilan
Penyangkalan diri Yohanes Pembaptis yang menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang Messias justru bertujuan untuk menegaskan kesaksian dan pengakuannya bahwa Yesus adalah sang Kristus. Yohanes Pembaptis mau menyatakan bahwa dia juga membutuhkan seorang Juru-selamat. Renungkan makna pujian dari Kidung Jemaat 402 yang syairnya ditulis oleh Fanny J. Crosby, yaitu: “Kuperlukan Juru-selamat”. Jikalau demikian, apakah dalam pergumulan hidup sehari-hari kita menyatakan kerinduan dan doa agar Kristus makin berkaya secara penuh?  Kalau Kristus telah menguasai hidup kita, maka kita akan dimampukan untuk membuang segala sikap atau anggapan diri sangat penting, dan juga mampu membuat sikap atau anggap diri serba kurang. Sebaliknya kita akan lebih mengedepankan untuk menjadi para utusan kabar baik yang menyampaikan karya keselamatan Allah yang memulihkan. Bagaimanakah respon saudara? Amin.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar