Minggu, 04 Desember 2011

MELIHAT KESELAMATAN


Yes. 61:10 – 62:5; Mzm. 148:1-14; Gal. 4:4-7; Luk. 2:22-40
Pengantar
Bagaimana sikap saudara saat hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa bayi dalam kandungan isteri saudara menderita “high risk down syndrome” (risiko tinggi menderita sindrom keterbelakangan mental)?  Tidak mudah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa anak kita kelak akan terbelakang mental atau mengalami kelainan fisiknya. Sebab yang kita harapkan adalah kehadiran seorang anak yang lucu, manis, cerdas, dan sehat. Saat kita tidak dapat menerima kenyataan tersebut maka mulai terpikirkan untuk segera mengaborsi janin dalam kandungan isteri kita tersebut.
Demikian pula dengan kasus pria atau wanita yang melakukan hubungan gelap, sehingga pasangan wanitanya mengandung. Mereka merasa malu karena perbuatan gelapnya akan segera tersingkap dengan lahirnya seorang bayi yang tidak dikehendaki. Pasangan yang demikian juga akan memikirkan kemungkinan untuk mengaborsi janin tersebut. Pada intinya  baik pasangan suami-isteri yang menghadapi vonis medis bahwa janin mereka menderita “high risk down syndrome”,  maupun pasangan hubungan gelap yang melihat janin yang tidak dikehendaki sering menganggap calon bayi mereka hanya akan mendatangkan masalah dan kesusahan. Mereka sama sekali tidak melihat calon bayi tersebut sebagai wujud anugerah dan keselamatan dari Allah. Dalam kasus suami-isteri yang menerima vonis bahwa janin mereka menderita keterbelakangan mental dapat dianggap sebagai “kutukan”. Sedang bagi pasangan pria dan wanita yang melakukan hubungan gelap dapat menganggap janin tersebut sebagai hukuman Allah. Solusi mereka umumnya adalah berupaya menghapus “kutukan” atau “hukuman Allah” tersebut dengan cara menggugurkan janin mereka.  Bahkan tidak jarang mereka bertindak lebih kejam dengan cara membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa.
                Keselamatan Allah dalam peristiwa kelahiran seorang bayi sering hanya diukur oleh tanda-tanda yang bersifat fisik dan mental yang sehat. Mereka sering mengabaikan penyebab atau melatar-belakangi peristiwa keterbelakangan mental   atau kelahiran yang tidak diharapkan, seperti: perkawinan sedarah, usia mengandung seorang wanita di atas umur 35 tahun, asupan makanan dari ibu ke janin yang banyak mengandung timah hitam atau timbal dan merkuri, calon ibu yang terkontaminasi sejenis virus yang sering terdapat pada tikus yang dikenal dengan nama “lymphocytic choriomeningitis virus” (LCMV), depresi, dan benturan yang tidak sengaja pada kandungan calon ibu, dan sebagainya.  Untuk pasangan gelap sangat jelas penyebabnya, karena mereka telah berzinah. Semua faktor tersebut tidak satupun disebabkan karena “kesalahan” seorang bayi. Sebaliknya apapun keadaan bayi yang akan lahir, dia tetap merupakan suatu anugerah Allah. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki, bayi tersebut dihadirkan untuk mempermuliakan sang Khaliknya, yaitu Tuhan Allah. Karena itu dia patut dan memiliki hak untuk diterima, dicintai dan diasuh dengan penuh tanggungjawab. Seandainya orang-tua Helen Keller tidak menemukan seorang pengasuh yang berhati mulia seperti Johanna (Anne) Mansfeld Sullivan Macy, pastilah Helen Keller (27 Juni 1880 – 1 Juni  1968) yang buta dan tuli sejak usia 19 bulan tidaklah mungkin dapat menjadi seseorang yang menjadi berkat bagi umat manusia.  Jadi anak-anak kita apapun keadaan dan kelemahan yang dimilikinya akan dapat menjadi berkat dan keselamatan bagi banyak orang ketika kita mau memperlakukan mereka dengan kasih dan kebenaran Allah. Sikap Simeon saat dia melihat bayi Yesus yang dibawa oleh Maria dan Yusuf ke Bait Allah mengungkapkan isi hatinya yang digenangi oleh perasaan syukur tak terkira. Simeon berkata demikian:  Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel"  (Luk. 2:29-32).  
Harapan Yang Terwujud
Simeon bersukacita karena harapan imannya terpenuhi. Dia diperkenankan Allah untuk melihat bahkan menatang bayi sang Messias. Di Luk. 2:25, harapan dan penantian Simeon sebenarnya sangat ditentukan oleh sikap hidupnya yang benar   (“dikaios”) dan saleh (“eulabes”) di hadapan Allah. Pengertian kata “dikaios” dapat berarti: benar dan adil; sedang pengertian kata “ eulabes” berarti: saleh, sangat berhati-hati dan takut akan Tuhan. Sehingga pengertian “benar dan saleh” di sini menunjuk kepada suatu kedalaman hidup rohani yang dipraktekkan oleh Simeon sedemikian rupa sehingga sepanjang hidupnya dia senantiasa berlaku benar, adil, sangat berhati-hati, hidup saleh dan takut akan Tuhan. Yang mana arah hidupnya hanya ditujukan kepada penantian akan datangnya Messias yang diutus oleh Allah. Tidaklah mengherankan jikalau kehidupan Simeon senantiasa dipenuhi oleh Roh Kudus.  Itu sebabnya pula secara sengaja Allah memperjumpakan Simeon dengan Messias yang dinantikan dan diharapkan di Bait Allah. Mata Simeon dapat melihat secara langsung wujud inkarnasi Firman Allah, dan juga kini dia dapat menatang dengan kedua tangannya sendiri. Bukankah benar bahwa hanya orang yang suci hatinya saja yang diperkenankan untuk melihat Allah (Mat. 5:8)? Kita sering melupakan bahwa harapan dan penantian pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari hidup kudus dan benar. Padahal harapan dan penantian kita menjadi bermakna dan kokoh manakala diintegrasikan dengan hidup yang kudus. Itulah sebabnya harapan dan penantian yang jauh dari kekudusan tidak akan pernah menuntun kita kepada keselamatan Allah. Saat rohani kita cemar dan dinajiskan oleh dosa, maka mata fisik kita menjadi “buta” untuk melihat hal-hal yang rohaniah sehingga kita tidak dapat melihat kehadiran Allah dalam kehidupan kita.
                Jika demikian efektivitas mata rohaniah kita yang mampu melihat keselamatan dari Allah sangat ditentukan oleh keterbukaan diri terhadap proses pembaharuan dalam kehidupan kita. Semakin kita terbuka terhadap pekerjaan Roh Kudus dengan senantiasa hidup saleh dan benar seperti Simeon, maka kita dimampukan untuk melihat keselamatan Allah di setiap bidang dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Setiap peristiwa dan pengalaman hidup yang terjadi dihayati sebagai yang kudus. Sehingga kita tidak lagi membuat pembedaan suatu peristiwa dan pengalaman hidup sebagai sesuatu  “yang kudus” dan terpisah dengan “yang sekuler”.  Sebaliknya kita akan memperlakukan setiap orang dan setiap situasi dengan sikap yang benar, adil, serba hati-hati dan dipenuhi oleh roh yang takut akan Tuhan. Apabila setiap peristiwa dan pengalaman merupakan manifestasi dari karya keselamatan Tuhan, maka kita akan terus belajar merangkulnya dengan sikap iman dan memaknainya secara kreatif. Ini dimungkinkan bagi mata orang yang suci hatinya. Sebab hanya orang yang suci hatinya saja yang mampu merangkul atau menerima setiap peristiwa yang paling pahit dan sedih.  Sebaliknya mereka yang hidup cemar dalam dosa, tidak akan sanggup untuk menerima hal yang paling “sederhana/kecil” dalam suatu peristiwa yang pahit. Apalagi jika mereka harus diperhadapkan dengan suatu hal yang “besar” dalam suatu peristiwa pahit seperti peristiwa yang tragis dan penderitaan! Mereka segera meledak-ledak penuh kemarahan dan mencaci-maki Allah. Setelah itu mereka kehilangan kendali, lumpuh dan tidak berdaya. Sangatlah tepat jika Mazmur 34:20-22 berkata: “Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu; Ia melindungi segala tulangnya, tidak satupun yang patah. Kemalangan akan mematikan orang fasik, dan siapa yang membenci orang benar akan menanggung hukuman”.  Kehidupan orang benar tidak kebal penderitaan dan kemalangan, tetapi Tuhan selalu melepaskan dan menyelamatkan. Sebaliknya orang fasik tidak sanggup menghadapi suatu penderitaan atau kemalangan. Orang fasik akan dimatikan oleh kemalangan yang sebenarnya sangat sederhana dan sepele.  Kita dapat melihat ketangguhan atau daya tahan dari orang yang hidup benar dan kudus, walau mereka didera oleh berbagai kemalangan  umumnya mereka tetap tabah dan penuh syukur. Sebaliknya orang yang cemar hatinya sangat mudah terpukul oleh perkara-perkara yang sebenarnya sangat sederhana seperti: meninggalkan Tuhan karena kehilangan pekerjaan, menolak pelayanan karena kurang mendapat penghargaan sebagaimana yang diharapkan, tidak setia beribadah karena jarah rumah ke gereja menjadi sedikit jauh, dan sebagainya.
Damai-sejahtera  Yang  Melampaui  Maut
Bagi Simeon dapat melihat dan menatang bayi Yesus sebagai Messias merupakan berkat keselamatan Allah yang tak terkira. Hatinya digenangi oleh damai-sejahtera yang berlimpah, sehingga dia tidak gentar apabila ajal menjemput. Simeon tidak takut menghadapi ajal yang akan menjemput sewaktu-waktu bukan karena dia telah lanjut usia dan bosan hidup, tetapi karena dia secara langsung telah mengalami keselamatan Allah dalam kehidupannnya. Itu sebabnya Simeon berkata:   "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu” (Luk. 2:29-30). Keselamatan Allah dialami oleh Simeon dalam suatu perasaan damai-sejahtera yang berlimpah. Inilah pengalaman “syaloom”, sebab keselamatan Allah terintegrasikan secara utuh dan eksistensial dengan damai-sejahtera.  Bukankah pengalaman “syaloom” yang demikian merupakan kepenuhan hidup di mana makna dan tujuan hidup telah tercapai dalam perjumpaan manusia dengan Allah? Sikap yang sama diungkapkan oleh nabi Yesaya: Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya” (Yes. 61:10). Umat percaya dalam kesaksian nabi Yesaya mengungkapkan suatu sukacita yang begitu penuh karena keselamatan yang telah dianugerahkan oleh Allah sehingga mereka bersorak-sorai memuji Allah.   Pengalaman keselamatan Allah yang diterima oleh umat Israel dinyatakan seperti pengantin laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian istimewa dan perhiasannya. Syaloom Allah dalam konteks ini seperti pakaian kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang layak mengenakannya, yaitu para “pengantin Allah”. Jelas realitas syaloom Allah bukan sesuatu yang datang dari dalam diri manusia, tetapi sesuatu yang dianugerahkan dari “luar”. Seperti Simeon yang memperoleh karunia untuk dapat melihat dan menatang bayi Messias, maka demikian pula umat Israel memperoleh pakaian keselamatan Allah dalam sejarah hidupnya.
                 Dalam hidup sehari-hari kita justru sering merasa begitu jauh dari syaloom Allah. Bukan hanya kita tidak digenangi oleh damai-sejahtera yang berlimpah, tetapi justru kehidupan rohani kita begitu kering dan jauh dari perasaan damai-sejahtera. Sehingga kenyataan hidup sering dirasakan tanpa makna dan kering. Apabila Simeon dapat melihat dan menatang bayi Yesus, maka yang sering  kita lihat dan tatang adalah berbagai persoalan, kegagalan, kesedihan dan  penderitaan. Bukan pakaian keselamatan yang megah seperti pakaian indah yang dikenakan oleh sepasang pengantin, tetapi pakaian kabunglah yang sering kita kenakan. Sering tiada sorak-sorai yang meriah yang mengiringi langkah kehidupan kita, tetapi rangkaian kehidupan kita justru hanya diiringi oleh suara kesedihan, rintihan dan tangisan. Dalam konteks ini kita perlu bertanya apakah kehidupan kita telah ditandai oleh jalan hidup yang benar dan saleh di hadapan Tuhan?  Karena betapa banyak orang yang merasa hidupnya penuh dengan kesedihan dan penderitaan yang disebabkan karena jalan hidup mereka menyimpang dan jauh dari kebenaran. Mereka menderita dan mengalami kesusahan karena mereka menuai dari apa yang telah mereka tabur. Mereka tidak memecahkan persoalan yang menimpa hidup mereka, tetapi membiarkan diri mereka menjadi bagian dari persoalan. Tetapi seandainya kehidupan kita benar dan saleh seperti yang dilakukan oleh Simeon, bagaimanakah kita menyikapi dan memaknai penderitaan dan kesusahan yang terjadi? Seandainya hidup kita benar dan saleh seperti Simeon, maka pemaknaan tentang pakaian kabung dan kesedihan yang kita kenakan tergantung oleh sudut pandang dan seberapa jauh mata rohani kita mampu  melihat berkat Allah yang tersembunyi di balik semua hal yang menyedihkan dan mendukakan itu?  Semakin hidup kita saleh dan benar, maka kita dimampukan untuk melihat secara jeli dan jernih karya Tuhan yang terjadi dalam kehidupan kita. Jadi dengan pola spiritualitas iman yang  semakin jeli dan jernih, maka kita tidak akan jatuh  dalam sikap yang mengasihani diri sendiri atau berputus-asa dengan apa yang menimpa kehidupan kita. Karena sikap yang demikian tentunya bertentangan dengan sikap iman dan spiritualitas yang dia hayati selama ini.  
Keselamatan Allah Tanpa Perbantahan?
Sosok kehadiran bayi Yesus tentunya bukan sekedar kehadiran seorang anak di tengah-tengah kehidupan umat manusia, tetapi juga merupakan wujud kehadiran dari karya keselamatan Allah yang mendatangkan damai-sejahtera. Namun pada saat yang bersamaan, kehadiran Kristus juga merupakan kehadiran dari misteri kasih Allah. Kristus yang adalah Tuhan, juga adalah manusia. Dia Allah yang mahatinggi sekaligus berkenan hadir  merendahkan diriNya. Dia berkuasa atas seluruh   semesta tetapi kini hadir dalam lingkup yang serba terbatas. Sehingga tidak mengherankan jikalau kehadiran dan karya Kristus sepanjang sejarah senantiasa diliputi oleh berbagai perbantahan teologis karena tidaklah mudah bagi manusia untuk memahami rahasia dan jati-diri Kristus yang sesungguhnya. Karena itu iman kepada Kristus membutuhkan karunia atau anugerah dari Allah. Kita tidak mungkin dapat percaya kepada Kristus hanya karena pengertian dan akal-budi kita yang serba terbatas. Simeon yang diliputi oleh perasaan damai-sejahtera dan sukacita keselamatan saat menatang bayi Yesus menyadari permasalahan tersebut. Dia berkata kepada Maria, ibu Yesus: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang"  (Luk. 2:34-35).
                Kehadiran Kristus bukan hanya dapat menimbulkan perbantahan teologis, tetapi Dia juga ditentukan oleh Allah untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang. KedatanganNya ke dalam dunia bukan sekedar membawa suatu revolusi perubahan pemikiran dalam perjalanan sejarah, tetapi juga kedatangan Kristus membawa arah perjalanan sejarah bergerak ke arah dirinya.  Kehidupan umat manusia bergerak ke arah diriNya. Ini berarti kehadiran, pemikiran, dan karya  Kristus menjadi parameter atau tolok ukur yang terus-menerus menyeleksi dan memberi pencerahan kepada umat manusia sepanjang abad. Bahkan keselamatan dan hidup kekal tidak dapat dilepaskan dari iman kepadaNya. Itu sebabnya di hadapan Kristus setiap orang dipanggil untuk berani melepaskan segala kebanggaan dan kebenarannya. Selama kita masih memiliki kebanggaan-kebanggaan duniawi dan kebenaran-kebenaran yang bertentangan dengan kehendak Allah, maka Kristus  yang adalah batu penjuru Allah dapat berubah menjadi batu sentuhan bagi kita. Sebab kita tersandung jatuh karena kita berbenturan dengan Kristus. Tetapi sebaliknya bagi setiap orang yang rendah-hati, terbuka terhadap anugerah dan keselamatan Allah; maka kehadiran Kristus justru akan membangkitkan dia untuk menjadi alat Tuhan yang efektif. Kita dapat melihat orang-orang yang dibangkitkan oleh kuasa Kristus seperti: Albert Schweitzer (14 Januari 1875 – 4 September 1965), Mother Teresa (26 Augustus 1910 – 5 September 1997), Paus Yohanes Paulus II (18 Mei 1920 – 2 April 2005), dan sebagainya. Karena itu panggilan kita yang utama selaku umat percaya adalah agar kehidupan kita dapat senantiasa selaras dan sesuai dengan kehendak Kristus (imitatio Christi).  
                Apabila kehidupan kita berproses ke arah Kristus tidak berarti seluruh misteri Kristus dapat kita pahami dengan kapasitas otak kita yang serba terbatas. Ada hal-hal yang cukup jelas kita pahami tentang Kristus, tetapi juga ada  banyak hal yang belum sepenuhnya kita pahami seperti bagaimana proses inkarnasi Kristus yang menjadi janin melalui Maria yang masih perawan, bagaimana Dia dapat membuat berbagai mukjizat, bagaimana proses kebangkitan Kristus dan kenaikanNya ke sorga. Tetapi iman kita telah diteguhkan bahwa segala yang difirmankan Alkitab tentang Kristus adalah benar dan dapat dipercaya. Justru iman yang mau berhadapan dengan misteri ilahi akan mendorong kita untuk terus belajar dan terbuka agar Allah berkenan melengkapi kita sedikit demi sedikit. Pengetahuan dan pengenalan kita tentang karya Allah di dalam Kristus membutuhkan proses yang eksistensial dalam langkah hidup kita ke depan. Sebab bukankah yang terpenting kita dapat berjalan bersama dengan Kristus di tengah-tengah pergumulan dan persoalan hidup ini? Saat kita berjalan bersama dengan Kristus, maka segala pertanyaan dan perbantahan tentang Dia berubah menjadi sumber inspirasi, kekuatan dan pencerahan hidup yang menyegarkan. Dengan demikian saat kita berjalan bersama dengan Kristus, kita tidak hanya melihat keselamatan Allah, tetapi kita seperti Simeon diperkenankan untuk menatang keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada kita.
Panggilan
Melalui sosok Simeon kita menemukan gambaran umat Allah yang hidup benar dan saleh serta senantiasa menantikan kedatangan Messias. Selaku umat percaya, kita juga dipanggil untuk senantiasa hidup kudus, benar dan saleh dengan terus tertuju kepada Kristus yang akan datang pada akhir zaman.  Dengan spiritualitas yang demikian kita akan dimampukan oleh anugerah Allah untuk melihat keselamatan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Jika demikian, apakah kehidupan kita senantiasa bersedia diperbaharui oleh Kristus? Apakah untuk mengikut Kristus, kita bersedia menanggalkan semua kebanggaan, kemegahan diri dan kebenaran kita sehingga Dia yang menjadi satu-satunya pusat atas seluruh hidup kita? Apabila hidup kita telah dikuasai oleh kuasaNya, maka kita akan diperkenankan untuk melihat dan menatang keselamatan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar