Minggu, 04 Desember 2011

MARIA LEMAH, TETAPI BERHATI MULIA


II Sam. 7:1-11, 16; Mzm. 89:1-4, 19-26; Rom. 16:25-27; Luk. 1:26-38

Pengantar
Peristiwa inkarnasi Firman Allah menjadi manusia dalam diri Kristus tidak dapat dilepaskan dari peran Maria. Sebab hanya melalui Maria, Allah telah memilih dan menetapkan Maria sebagai wanita yang diperkenankan untuk melahirkan Yesus Kristus. Di antara para wanita yang hidup pada zaman itu, Allah berkenan memilih Maria sebagai satu-satunya wanita yang boleh mendengar kabar gembira dari malaikat Tuhan.
Sehingga tidak mengherankan jikalau ibunda dari Yohanes Pembaptis, yaitu Elisabet membuat suatu pengakuan yang lahir dari Roh Kudus: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai  ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk. 1:42-43). Sosok Maria yang tinggal di desa kecil Nazaret, disebutkan oleh Alkitab sebagai “seorang perempuan yang paling diberkati Allah di antara semua perempuan”. Keadaan sosial-ekonomi yang miskin, usianya yang sangat muda dan posisinya yang sangat lemah sebagai seorang wanita ternyata tidak menghalangi kasih-karunia Allah yang berkenan menjadikan dia sebagai wanita yang layak untuk melahirkan Yesus Kristus.  Dalam hal ini sangat mengherankan bahwa Allah ternyata tidak memilih salah seorang wanita bangsawan yang tinggal di istana raja Herodes, atau wanita yang tinggal di kota Yerusalem. Bukankah pilihan Allah kepada Maria yang tinggal di Nazaret dapat merugikan kepentingan Allah? Sebab waktu itu siapapun tahu bahwa Nazaret adalah sebuah desa yang tidak ternama, yang rata-rata penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan umumnya kurang terpelajar. Itu sebabnya orang-orang Nazaret  zaman itu dikenal memiliki tingkah-laku yang kasar, kurang sopan, dan tidak ada yang berpengetahuan. Sehingga saat Natanael diajak oleh Filipus untuk mengenal Yesus yang tinggal di Nazaret, secara spontan Natanael berkata: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh. 1:46).
                Kita sering bersikap seperti Natanael dalam memaknai kehidupan ini yaitu cenderung membuat penilaian berdasarkan apa yang tampak oleh mata inderawi. Lalu kita juga terlalu mudah menggeneralisir segala sesuatu, misalnya suatu tempat yang kebanyakan masyarakatnya berwatak kurang baik, maka kesimpulannya adalah semua orang di tempat itu kurang baik. Bukankah pandangan dan penilaian kita tersebut dijungkir-balikkan khususnya saat kita merenungkan sosok Maria dalam karya keselamatan Allah? Kondisi sosial ekonomi dan pola hidup masyarakat Nazaret yang zaman itu kurang memiliki nilai plus, ternyata melahirkan sosok wanita yang berhati mulia. Maria bagaikan sekuntum bunga yang paling indah di antara para ilalang dan bunga-bunga liar lainnya. Bahkan dari pernyataan Elisabet yang dipenuhi Roh Kudus menyebut Maria dengan sebutan khusus, yaitu sebagai “ibu Tuhanku” (meter tou kuriou).  Apakah pernyataan Elisabet tersebut sangat berlebihan? Layakkah Elisabet  memberi predikat  dan pujian kepada Maria sebagai “ibu Tuhan”? Respon gereja Roma Katolik dan Orthodoks Timur sangat jelas, yaitu mengakui Maria sebagai “Theotokos” (bunda Allah). Tetapi umumnya gereja-gereja Protestan dan yang sealiran menolak sebutan Maria sebagai “Theotokos”. Kesulitan biblis (alkitabiah) yang dihadapi oleh gereja-gereja ini adalah bagaimana mereka harus menjelaskan ungkapan dari Elisabet yang menyebut Maria sebagai “ibu Tuhanku”.  Pernyataan Elisabet yang menyebut Maria sebagai “ibu Tuhan”  tersebut dijadikan salah satu acuan teologis dalam konsili ekumenis di Efesus tahun 431. Konsili di Efesus kemudian menetapkan sebutan Maria dengan istilah “Theotokos” (bunda Allah). Ini berarti sebutan Maria sebagai “Theotokos” (bunda Allah) seharusnya diakui berasal dari teks Alkitab dan konsili gereja-gereja Tuhan. Tetapi bagi gereja yang menolak Maria sebagai “Theotokos” (bunda Allah) ternyata ada cara lain untuk mengatasi masalah teologis tersebut, yaitu menggantinya dengan sebutan “Christotokos” yang artinya: “dia yang mempersalinkan/melahirkan Kristus”. Tetapi pertanyaan penting adalah makna manakah yang tepat secara alkitabiah untuk menyebut diri Maria, yaitu sebagai “theotokos” ataukah sebagai “christotokos”?  Atau mungkin kita dapat menemukan suatu istilah teologis lain dalam menggambarkan tokoh Maria dalam sejarah keselamatan Allah?
Maria: “Theotokos” Ataukah “Christotokos”
Sebagaimana dipahami bahwa gelar Maria sebagai “Theotokos” ditetapkan dalam persidangan gerejawi di Efesus tahun 431. Sebutan “Theotokos” terdiri dari 2 kata, yaitu “theos” (Allah) dan “tokos” yang artinya: proses kelahiran (parturition) atau persalinan (childbird). Secara harafiah, istilah “theotokos” adalah: “yang melahirkan Allah”. Dalam bahasa Inggris “theotokos” diterjemahkan dengan sebutan “Mother of God”. Bahasa Latin menterjemahkan “theotokos” dengan “Deipara”, “Dei genetrix”, “Mater Dei”. Bahasa Arab menterjemahkan dengan “Walidat Allah” (والدة الله), dan gereja-gereja Armenia menterjemahkan “theotokos” dengan “Astvatzamayr”  (Աստվածածին). Sebenarnya terjemahan-terjemahan tersebut tetap tidak tertampung atau kurang mengena, sehingga istilah “theotokos” sebenarnya sangat sulit diterjemahkan. Artinya setiap penterjemahan harus disertai dengan penjelasan teologis yang memadai. Kesalahpahaman yang terjadi seakan-akan Maria adalah “bunda Allah” yang telah ada sejak kekal. Padahal tidaklah demikian yang dimaksudkan dengan gelar Maria sebagai “Theotokos”. Sebab dalam teologi “theotokos” Maria tidak pernah dimaksudkan sebagai “isteri Allah” atau ibu dari Allah”. Karena tetap disadari secara penuh bahwa keberadaan dan hakikat Allah telah berada sejak kekal. Jadi kalau Maria disebut sebagai “Theotokos” sebenarnya dimaksudkan bahwa melalui dirinya, terjadilah inkarnasi Allah di dalam diri Yesus Kristus. Sehingga yang dilahirkan oleh Maria, bukan hanya Yesus sebagai manusia; tetapi juga Yesus Kristus yang adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. 
                Sebaliknya dalam sebutan “Christotokos” yang dikemukakan oleh Nestorius menyatakan bahwa Yesus Kristus terbagi dalam 2 pribadi, yaitu aspek manusiawiNya sebagai anak Maria; tetapi keilahianNya bukan. Dalam pengertian ini “Christotokos” berarti: “yang melahirkan Kristus” dipakai untuk  menunjuk kepada penjadian diri Kristus sebagai manusia tetapi  mengabaikan dan memisahkan keilahianNya. Tentu saja pandangan Nestorius tersebut tidak dapat diterima oleh gereja. Sebab bukankah Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia? Keilahian dan kemanusiaan Kristus tidak pernah terbagi dan terpisah. Dalam diri Yesus Kristus, hakikat (natur) ilahi dan insani menyatu secara utuh dan sempurna.  Sehingga implementasi pengajaran “Christotokos” sangatlah berbahaya, karena dalam pemahaman teologis ini hanya menekankan kepada penjadian Kristus sebagai manusia yang dilahirkan oleh Maria, tetapi tidak memberi tempat kepada hakikat keilahianNya. Pemahaman teologis “Christotokos” dianggap oleh persidangan Efesus dapat merusak inti dari peristiwa inkarnasi Allah di dalam diri Kristus. Itu sebabnya konsili Efesus menyatakan “anathema” (kutuk) kepada golongan Nestorius, dan menerima teologi “Theotokos” yang telah dikemukakan oleh Cyrillus.  Jadi kalau gereja dalam konsili Efesus tahun 431 menerima Maria sebagai “Theotokos” tidak pernah dimaksudkan bahwa gereja atau umat Tuhan menyembah Maria sebagai “yang ilahi” atau “Allah”. Tidak pernah! Sebutan “Theotokos”  pada prinsipnya hanya mau menyatakan bahwa Maria sebagai media yang dipilih khusus oleh Allah sehingga inkarnasi Firman Allah dapat hadir dalam diri Yesus yang sungguh-sungguh adalah Allah dan juga adalah manusia seutuhnya. Jadi yang disembah dan dipermuliakan hanyalah Allah yang telah menyatakan diri secara trinitaris, yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus. Dengan demikian, pengakuan Elisabet kepada Maria sebagai “ibu Tuhan” (“meter tou kuriou”) dan sikap gereja-gereja Tuhan yang kemudian merumuskan dengan istilah “Theotokos” tidaklah pernah bermaksud untuk menyembah Maria sebagaimana diduga selama ini oleh banyak orang Kristen.  Namun satu hal yang pasti, Maria sungguh-sungguh tokoh yang begitu agung karena kemurahan dan kasih karunia Allah yang begitu khusus; sehingga dia tidak bisa begitu saja dianggap pemeran/tokoh “biasa” dalam karya keselamatan Allah Sebab melalui dirinya, terwujudlah inkarnasi Firman Allah yang sempurna, sehingga umat manusia memperoleh kehidupan dan keselamatan kekal.
Janji Allah Yang Tergenapi
Pilihan Allah atas Maria, bukan suatu pilihan acak. Allah memilih Maria untuk menggenapi janjiNya kepada Daud. Sebab kepada raja Daud, Allah berjanji akan mengokohkan takhtanya melalui keturunannya (II Sam. 7:12). Beberapa orang  bertanya, di manakah dasar alkitabiahnya untuk menunjuk bahwa Maria berasal dari keturunan Daud? Pertanyaan ini muncul karena Injil Matius dan Injil Lukas tidak pernah menyebut Maria sebagai keturunan Daud. Tetapi yang disebut secara eksplisit dalam Injil hanyalah Yusuf. Padahal sangat jelas bahwa Yusuf bukanlah ayah biologis dari Yesus. Yusuf adalah ayah angkat atau ayah yang bertindak sebagai pengasuh bagi Yesus. Bagaimana kita harus menjawab persoalan ini? Perlu dipahami bahwa Injil Matius dan Lukas ditulis dalam konteks masyarakat Patriakhal, di mana nama wanita sebagai seorang isteri tidak pernah disebut. Sebab menurut tradisi Yahudi, jika garis keturunan dibuat melalui istri, maka bukan nama wanita itu yang disebut dalam daftar silsilah, melainkan nama suaminya. Dalam hal ini memang cukup jelas bahwa Yusuf adalah keturunan Daud melalui Salomo. Sedangkan Maria berasal dari keluarga Lewi, tetapi dia juga adalah keturunan Daud melalui Natan. Dengan demikian Yesus yang dilahirkan oleh Maria secara hukum dan biologis berasal dari keturunan raja Daud. Di Luk. 1:32-33 malaikat Tuhan berkata kepada Maria: “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan."   Pernyataan malaikat Tuhan tersebut juga merupakan acuan yang sangat mendasar untuk menegaskan bahwa Yesus adalah keturunan raja Daud. Ini berarti melalui Maria, Allah telah menggenapi janjiNya untuk menegakkan “takha” kerajaan Daud. 
                Melalui peristiwa inkarnasi Firman Allah yang dilahirkan oleh Maria, kini terbukalah suatu babak baru dalam sejarah umat manusia. Sebab dalam sejarah hidup manusia telah hadir sesosok Anak Manusia yang menjadi wujud paripurna dari perjanjian (covenant) Allah.  Dengan demikian sejarah umat manusia tidak lagi berjalan tanpa arah, karena sang Firman Allah telah menjadi suatu kenyataan hidup. Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Maria telah menjadi warga umat manusia dan hidup sama seperti manusia lain kecuali dalam hal dosa. Melalui Yesus Kristus, kehidupan umat manusia kini dipimpin di bawah kehendak dan otoritasNya sebagai Penguasa Hidup.  Memaknai teologi perjanjian Allah (theology of the covenant of God) dalam kehidupan riel kita, maka kita dipanggil untuk mendasarkan kehidupan ini berdasarkan perjanjian Allah. Kita perlu menyikapi dan memaknai setiap peristiwa yang terjadi dengan tetap berpijak kepada perjanjian Allah, sehingga kita senantiasa dapat memperoleh inspirasi yang segar, yang membebaskan dan yang mampu mengarahkan diri kita kepada Allah.  Pola hidup yang demikian akan memampukan kita untuk menghadapi berbagai perubahan dan kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pemahaman teologi perjanjian Allah yang disampaikan kepada Maria,  mengingatkan saya kepada ucapan Bruce G. Epperly, yang berkata:  “Covenant is a source of inspiration and guidance; it defines who we are and what we are called to do. Covenant is also a promise that God was, is, and will be our companion, guiding us forward to new possibilities and adventures of service and fidelity” (Perjanjian sebagai suatu sumber inspirasi dan bimbingan; yang menegaskan siapakah diri kita dan apa panggilan yang harus kita lakukan. Perjanjian adalah juga suatu janji bahwa Allah yang dahulu,  sekarang dan akan menjadi bagian dari persekutuan kita, memimpin kita ke arah kemungkinan-kemungkinan baru dan berbagai ziarah pelayanan dan kesetiaan). Dengan demikian, ketaatan Maria telah membuka kemungkinan baru dalam sejarah keselamatan, sehingga umat manusia dapat memiliki pengharapan dan perspektif iman yang membebaskan.
Ketaatan Di Tengah  Bayang-Bayang Kematian
Maria adalah satu-satunya wanita yang terpilih dan mendapat kasih-karunia Allah yang sangat istimewa untuk melahirkan sang Messias. Tetapi pada sisi lain, kasih-karunia dan berkat Allah yang istimewa tersebut sebenarnya dapat membawa  Maria  kepada situasi yang sangat berbahaya. Siapa yang tahu bahwa waktu itu Maria mengandung dari Roh Kudus. Masyarakat hanya tahu bahwa Maria saat itu belum menikah, tepatnya dia baru dalam status bertunangan, sehingga peristiwa kehamilan Maria akan menjadi suatu persoalan besar. Di Ul. 22:23-24, hukum Taurat menyatakan: “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan, jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.   Inti dari hukum Taurat  di Ul. 22 pada hakikatnya adalah untuk memelihara kekudusan perkawinan, sehingga segala sesuatu yang cemar haruslah dihapuskan. Termasuk pula wanita yang masih gadis, atau wanita yang telah bertunangan dan wanita yang telah bersuami – semuanya harus hidup kudus sebagai umat perjanjian Allah. Dengan demikian, Maria yang mau menyambut kabar  dari malaikat Tuhan sebenarnya berada dalam situasi yang sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya. Masyarakat yang tinggal di Nazaret dapat menghukum Maria dengan hukuman rajam.
                Tetapi ternyata Maria menjawab berita dari Malaikat Tuhan tersebut dengan kerendahan hati dan sikap iman yang luar-biasa. Dia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Maria yang masih muda-belia itu memposisikan dirinya selaku hamba Tuhan dan menempatkan kehendak Allah di atas segala-galanya. Dia menyambut kehendak Allah tersebut dengan hati yang tulus, walaupun dia menyadari bahwa ketaatannya dapat berakibat buruk. Jadi di balik kepapaan dan kebeliaan Maria, ternyata menyingkapkan keagungan iman dan kasihnya kepada Allah. Dia lebih menonjolkan ketaatannya yang mutlak dan siap menanggung risiko asal kehendak Allah terlaksana. Bukankah sikap Maria yang taat tanpa syarat kepada Allah merupakan model spiritualitas orang beriman yang paling ideal? Tetapi kehidupan kita justru sebaliknya! Sebab model spiritualitas yang sering kita kembangkan adalah model ketaatan yang serba bersyarat. Kita mau taat kepada Tuhan, asalkan keinginan dan harapan kita dapat terpenuhi.  Kita mau setia kepada Kristus, asalkan menguntungkan diri kita. Kita mau mengikut dan percaya kepada Kristus, asalkan kita tidak menanggung risiko yang buruk. Tepatnya model spiritualitas yang sering kita kembangkan adalah proses penguatan atau kristalisasi dari egoisme diri, di mana kehendak atau kepentingan diri begitu ditonjolkan sehingga ruang untuk kehendak Allah tidak tersedia. Dalam hal ini ruang hati kita yang begitu luas lebih banyak didominasi oleh kehendak dan keinginan diri, sedangkan ruang untuk kehendak Allah ditempatkan di ruang yang paling sudut dan terpencil. Tetapi anehnya, orang-orang dengan tipe spiritualitas demikian sering gemar membuat ungkapan-ungkapan yang saleh dan sangat rohani, tetapi kehidupan mereka sangat miskin dengan ketaatan dan kesetiaan.
Panggilan
Di Rom. 16:25-26 rasul Paulus memberi kesaksian: Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya,  tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman”. Melalui Maria, Allah telah menjadikan Maria sebagai mediaNya yang  sangat istimewa sehingga penyataan rahasia Allah yang berabad-abad lamanya akhirnya tersingkap dan hadir dalam sejarah hidup manusia. Penyataan rahasia Allah tersebut adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam hal ini ciri yang paling menonjol dari Tuhan Yesus dan Maria, ibuNya adalah ketaatan yang mutlak dan tanpa syarat kepada Allah. Sehingga melalui Maria kita dapat belajar model spiritualitas ketaatan iman, dan melalui Yesus Kristus kita telah diperkaya dan diselamatkan melalui ketaatanNya sebagai Anak Allah yang mau mengosongkan diri. Jika demikian, apakah kehidupan rohani kita setiap hari ditandai oleh ketaatan dan kesetiaan yang tanpa syarat sebagaimana yang dinyatakan oleh Kristus? Seandainya saat ini kita merasa miskin dan papa, tidak terlalu berpengetahuan serta tidak berdaya; jangan mengecilkan dan mengasihani diri sendiri untuk memberi alasan tidak sanggup melaksanakan kehendak Allah. Lihatlah diri Maria yang juga papa, miskin dan tidak terpelajar tetapi memiliki hati yang begitu agung dan setia melaksanakan kehendak Allah tanpa syarat. Sehingga tepatlah Maria bukan hanya ibu bagi kanak-kanak Yesus, tetapi dia juga adalah “ibu beriman” bagi kehidupan kita. Amin.

3 komentar:

  1. 1xbet korean | Sbobet Kenya | Legalbet
    1Xbet, the งานออนไลน์ world's leading soccer betting company with a long history of successful partnerships, will be the 1xbet first youtube mp4 soccer betting company to join

    BalasHapus
  2. The Casino - Mapyro
    The Casino is 충청북도 출장안마 located in Tbilisi, Georgia and is open daily 24 hours. 원주 출장안마 The casino 구미 출장마사지 has been operating since June 2013. 광명 출장안마 The casino has not been in operation 여주 출장안마 since

    BalasHapus