Minggu, 04 Desember 2011

MENJADI KAWAN SEKERJA ALLAH DALAM MENYATAKAN KARYA KESELAMATANNYA


Yes. 63:7-9, Mzm. 148, Ibr. 2:10-18, Mat. 2:13-15, 19-23


                Seorang wanita yang baru melahirkan seorang bayi membutuhkan masa pemulihan diri secara fisik dan mental. Sebab secara fisik, wanita yang baru melahirkan masih rentan untuk mengalami pendarahan. Sedang secara mental, ditemukan cukup banyak wanita yang baru melahirkan mengalami masa “baby blue syndrome” yaitu masa di mana sang ibu merasa depresi seperti: perasaan semakin tak menentu, sedih, bingung dan terasa sulit untuk mengurus diri sendiri dan keluarga. Penyebabnya karena telah terjadi perubahan fisikal yang besar setelah seorang wanita mengalami proses melahirkan, hormon-hormon dalam tubuh juga akan mengalami perubahan besar dan juga karena dia baru saja melalui proses persalinan yang melelahkan secara fisik dan mental. Memahami kenyataan alamiah yang dialami oleh setiap wanita yang melahirkan, kita juga perlu lebih memahami situasi dari Maria setelah dia melahirkan bayi Yesus. Jadi sebenarnya Maria juga membutuhkan proses pemulihan secara fisik dan mental setelah dia melahirkan. Namun dalam perikop kita disaksikan setelah melahirkan bayi Yesus, tak lama kemudian Yusuf mendapat petunjuk dari malaikat Tuhan agar dia harus membawa Maria dan bayi Yesus untuk segera pergi mengungsi ke tempat yang sangat jauh, yaitu pergi ke Mesir.
Malaikat Tuhan berkata kepada Yusuf: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Mat. 2:13). Dengan kondisi yang sangat lemah Maria, bayi Yesus dan Yusuf harus segera melarikan diri malam itu juga untuk mengungsi ke Mesir. Mereka harus melakukan perjalanan jauh yang sangat sulit dan berat karena mereka harus melewati padang gurun yang di waktu malam sangat dingin, dan pada siang hari sangat terik. Mereka melarikan dari bahaya penangkapan dan pembunuhan dari raja Herodes, tapi kini dalam pelarian ke Mesir mereka juga harus menghadapi bahaya kematian yang sangat mengerikan khususnya saat mereka harus melewati padang gurun.

                Tindakan raja Herodes Agung yang ingin membunuh bayi Yesus dan juga pembunuhan terhadap bayi-bayi di Betlehem mengingatkan kita kepada tindakan Firaun yang ingin memusnahkan bayi laki-laki Israel. Para bidan Mesir diperintahkan oleh Firaun untuk membunuh semua anak bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan oleh wanita Israel (Kel. 1:16). Sehingga ketika Musa lahir oleh orang-tuanya yaitu Amran dan Yekhobed dari suku Lewi segera disembunyikan agar dapat terhindar dari pembunuhan dari Firaun (Kel. 2:1-2). Dalam kisah di kitab Keluaran dan Injil Matius pada hakikatnya mau menunjukkan bahwa terdapat persamaan antara Herodes Agung dengan Firaun. Mereka berdua merupakan representasi dari kuasa kegelapan yang ingin menghancurkan kehidupan dan karya keselamatan Allah. Itu sebabnya dalam kedua kisah tersebut juga terdapat kesamaan antara Musa dengan Yesus. Musa yang mewakili umat Israel Perjanjian Lama sebagai seorang yang dipilih dan diutus oleh Allah untuk menyelamatkan umatNya dari kuasa perbudakan Firaun. Yesus sebagai wakil umat Perjanjian Baru ditentukan oleh Allah untuk menyelamatkan umat manusia dari perbudakan dan kuasa dosa. Namun keduanya yaitu Musa dan Yesus harus melarikan diri dan menyelamatkan diri agar karya keselamatan Allah dapat terwujud pada waktunya. Dengan demikian Injil Matius telah membuktikan bahwa Yesus Kristus adalah penggenap dari nubuat nabi Musa yang berkata: “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan” (Ul. 18:15). Nabi yang dimaksudkan dalam nubuat nabi Musa sangat jelas, Dialah Yesus yang namaNya berarti: “Allah yang menyelamatkan”. Allah telah meletakkan seluruh firmanNya di dalam diri Yesus sehngga perkataan Tuhan Yesus senantiasa penuh kuasa dan wibawa Allah. Sehingga tepatlah nubuat dari Ul 18:18 yang mana Allah berfirman: “seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firmanKu dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya”.

                Namun Kristus bukanlah sekedar seorang nabi zaman akhir. Menurut nubuat nabi Yesaya, Allah sendirilah yang akan menjadi Juru-selamat mereka. Di Yes. 63:8b-9, Allah berfirman: “maka Ia menjadi Juruselamat mereka dalam segala kesesakan mereka. Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasihNya dan belas kasihanNya”. Melalui nubuat nabi Yesaya tersebut, Allah menyatakan bahwa Ia akan menjadi seorang Juru-selamat, sehingga melalui diriNya Allah akan menebus umatNya. Ini berarti melalui Kristus, Allah berkenan menyatakan diriNya. Allah berinkarnasi menjadi Juruselamat melalui diri Yesus Kristus; sehingga melalui Yesus Kristus, Allah menempatkan diriNya dalam kehidupan dan sejarah umatNya.  Tujuannya agar melalui Yesus Kristus, Allah dapat menyatakan kasih dan belas-kasihanNya kepada seluruh umat manusia. Jadi peristiwa kelahiran Kristus di sebuah palungan kota Betlehem dan pelarianNya ke Mesir pada hakikatnya mau menyatakan bahwa Allah yang maha-kuasa berkenan mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat penolakan umat manusia ataupun upaya jahat dari kuasa kegelapan. Dalam manifestasi kasih dan rencana keselamatanNya, Allah di dalam Kristus juga berada dalam ancaman dan penderitaan yang demikian kelam. Karena itu segala penolakan dan penderitaan yang terjadi diterima secara tulus oleh bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf. Kita tidak dapat membayangkan keadaan bayi Yesus, Maria dan Yusuf yang waktu itu harus melakukan pengungsian ke Mesir dengan melewati perjalanan yang sangat berat dan berbahaya seperti padang gurun. Pastilah mereka waktu mengungsi ke Mesir harus mengalami peristiwa rasa haus yang luar biasa di padang gurun, persediaan makanan yang sangat terbatas atau hampir habis, rasa penat yang luar-biasa dan tantangan alam padang gurun yang sangat berat. Namun yang sangat mengagumkan adalah bagaimana mereka pada akhirnya dapat tiba dengan selamat di Mesir dan tinggal beberapa waktu lamanya sampai raja Herodes meninggal. Kenyataan itu membuktikan bagaimana sikap ketaatan dan kesetiaan  Yusuf, Maria dan bayi Yesus untuk memenuhi kehendak dan rencana Allah.

Di dalam Kristus, Allah telah menyatakan kasihNya kepada manusia dengan kesediaanNya untuk mengalami penderitaan yang begitu berat. Bayi Yesus sejak awal telah bersentuhan dengan realita penderitaan, kemiskinan dan kekejaman dunia. Allah di dalam Kristus sungguh-sungguh terlibat dalam proses sejarah hidup manusia, sehingga kesusahan dan penderitaan hidup manusia menjadi bagian yang integral dan eksistensial dari diri Allah. Paradigma teologis ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan pola pikir filsafat Timur maupun Barat yang beranggapan bahwa Allah yang ilahi tidak dapat mengalami derita dan kesusahan manusia. Sebab Allah yang ilahi bersifat transenden dan Dia adalah “penggerak yang tidak tergerakkan” (“mover that unmoved”). Itu sebabnya Allah tidak mungkin merasakan secara afektif penderitaan dan kesusahan yang dialami oleh manusia. Apabila manusia dapat mengalami penderitaan dan kesusahan adalah disebabkan manusia masih lekat dengan dunia materi. Manakala manusia ingin lepas dari kesusahan hidup, maka manusia harus membebaskan diri dari dunia materi. Tetapi benarkah pola pikir semacam itu dapat menyelesaikan permasalahan? Benarkah agar kita dapat lepas dari kesusahan hidup, maka kita harus menyingkir dan melarikan diri dari realita dunia? Justru sebaliknya, Allah menyelamatkan manusia dengan cara bersedia untuk menderita. Ibr. 2:10 berkata: “Sebab memang sesuai dengan keadaan Allah – yang bagiNya dan olehNya segala sesuatu dijadikan; yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan”. Melalui penderitaan yang dialami oleh Kristus, sesungguhnya Allah telah menguduskan realita penderitaan sehingga melalui penderitaan yang dialami manusia justru manusia dapat memperoleh kemuliaan dan keselamatan. Realita penderitaan dalam pemahaman iman Kristen bukan untuk ditolak, tetapi justru harus dihadapi dan diselesaikan secara tuntas. Bahkan lebih dari pada  itu realita penderitaan yang dialami oleh manusia perlu dikuduskan melalui pengorbanan Kristus, sehingga realita penderitaan tidak pernah boleh memisahkan relasi manusia dengan Allah. Realita penderitaan senantiasa menyakitkan, melukai dan dapat melumpuhkan; tetapi penderitaan yang telah dikuduskan oleh Kristus akan memampukan manusia untuk merangkul kesusahan dan derita yang dialaminya.   Justru pada saat itulah manusia dirangkul oleh Allah.

Selain itu realita penderitaan yang dikuduskan oleh derita dan kematian Kristus mempunyai makna imaniah, yaitu Allah sedang menghancurkan “kekuatan utama” di balik realita penderitaan. Ibr. 2:14 berkata: “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut”.  Melalui derita dan kematian Kristus, Allah berkenan untuk “menukik tajam” dan ke dalam realita kehidupan agar Dia dapat menghancurkan seluruh realita penderitaan yang membelenggu umat manusia. Karena itu tokoh-tokoh seperti Firaun dan raja Herodes Agung merupakan contoh-contoh manifestasi dan kehadiran dari kuasa kegelapan yang membahayakan kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dalam pelarian bayi Yesus bersama dengan Maria dan Yusuf ke Mesir untuk sementara waktu raja Herodes dapat menunjukkan kuasanya yang destruktif. Tapi kemudian di Mat. 2:19-20 terdapat catatan singkat setelah Yusuf, Maria dan bayi Yesus sempat tinggal di Mesir beberapa waktu, yaitu: “Setelah Herodes mati, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi di Mesir, katanya: Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena mereka yang hendak membunuh Anak itu, sudah mati”. Walau raja Herodes Agung memiliki daya kuasa yang luar biasa dan mampu mencabut banyak nyawa termasuk bayi-bayi di Betlehem, namun pada akhirnya dia mati. Realita ini mau menyaksikan situasi keterbatasan dan kefanaan manusia termasuk mereka yang sangat berkuasa. Sebab pada akhirnya mereka mati. Tetapi satu hal yang sangat mendasar, kuasa kegelapan yang berada di balik tokoh-tokoh berkuasa yang fana itu ternyata tidak serta merta binasa. Sebab setelah raja Herodes Agung wafat, dia kemudian digantikan oleh Arkhelaus. Dalam penyataan Allah melalui mimpi Yusuf dinasihati untuk membawa Yesus dan Maria menyingkir ke daerah Galilea dan mereka kemudian tinggal di Nazaret. Para tokoh yang menjadi agen kuasa kegelapan akan mengalami kematian, tetapi karya penyelamatan Yesus Kristus dari Nazaret tetap kekal.

Para tokoh dan penguasa seperti Firaun dan Herodes Agung atau juga Arkhelaus memposisikan dirinya sebagai agen kuasa kegelapan dengan menyebarkan kematian kepada banyak orang. Tetapi tidak demikian tokoh seperti Yusuf dan Maria. Mereka berdua sebenarnya tidak memiliki kekuatan apapun. Lebih tepat mereka tergolong orang-orang yang tidak berdaya. Selainitu Yusuf dan Maria adalah orang-orang yang sangat sederhana, tetapi mereka berdua dipakai oleh Allah untuk menyelamatkan bayi Yesus dari kejaran para musuhNya. Di Nazaret, Yusuf dan Maria mendidik, mengasuh dan membesarkan Yesus dengan penuh kasih sayang, agar pada saat yang tepat Yesus dapat siap tampil untuk memenuhi rencana dan kehendak Allah menjadi Juru-selamat dunia. Jadi dalam Injil Matius terdapat gambaran yang sangat kontras antara Firaun atau Herodes Agung dan Arkhelaus dengan tokoh Yusuf dan Maria. Dalam hal ini menjadi sangat jelas, bahwa Yusuf dan Maria telah menjadi kawan sekerja Allah dalam karya penyelamatanNya. Sebaliknya tokoh Herodes Agung dan Arkhelaus lebih memposisikan diri sebagai para musuh Allah yang selalu berencana untuk menghancurkan karya keselamatan Allah. Jika demikian, di manakah kita selaku gereja Tuhan memposisikan diri? Apakah kita telah menjadi kawan sekerja Allah dalam karya penyelamatanNya? Ataukah kita justru menjadi para musuh Allah yang selalu menghambat,  merusak dan menghancurkan karya penyelamatanNya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut umumnya dapat kita jawab dengan mudah. Sebab kita pasti akan mengatakan bahwa kita akan memilih menjadi kawan sekerja Allah dalam karya penyelamatanNya. Dalam hal ini umumnya kita telah sangat “familiar” untuk menyatakan secara rohaniah dan ungkapan yang saleh seperti: “bersedia menjadi kawan sekerja Allah dalam karya penyelamatanNya”. Tetapi apakah kehidupan kita secara riel juga bersedia menempuh penderitaan dan kesusahan sebagaimana yang dialami oleh Yusuf dan Maria? Apakah kita memiliki ketaatan dan kesetiaan kepada Allah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yusuf dan Maria? Bahkan lebih dari pada itu Allah di dalam Kristus juga berkenan memilih untuk mengalami kesusahan dan penderitaan untuk merangkul dan menyelamatkan umat manusia. Terbukti Kristus tetap taat dalam penderitaanNya. Sehingga Kristus juga dapat merasakan dan mengalami realita penderitaan umat manusia. Ibr. 2:17 berkata: “Ia harus disamakan dengan saudara-saudaraNya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa”.

Jika demikian, apakah keluarga kita telah menjadi kawan sekerja Allah dalam karya keselamatanNya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Maria, Yusuf dan Yesus? Mereka taat dalam melaksanakan kehendak Allah. Bahkan melalui kehidupan dan penderitaan Kristus, kita dapat melihat bagaimana seluruh kasih dan bela-rasa Allah terhadap penderitaan umatNya. Di dalam Kristus, Allah bersedia mengalami penderitaan manusia agar Dia dapat menolong setiap orang yang menderita dan mengalami pencobaan. Ibr. 2:18 berkata: ‘Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai”. Sikap bela-rasa kasih Allah tersebut perlu kita komunikasikan kepada orang-orang di sekitar kita. Walau untuk tujuan itu harus disadari bahwa tidak semua perbuatan baik dan mulia senantiasa diterima dengan ramah. Selalu terbuka kemungkinan sikap penolakan. Tetapi sikap penolakan dan rasa curiga serta rasa benci dari orang-orang di sekitar kita tidak boleh membuat kita kehilangan konsistensi dalam kasih dan ketaatan kepada kehendak Allah. Sikap kasih dan bela-rasa Allah di dalam Kristus diumpamakan seperti air sungai yang mengalir deras. Walau di sungai tersebut terdapat begitu banyak batu yang besar dan terjal, tetapi air sungai tetap mengalir untuk memberi kehidupan, kesuburan dan manfaat bagi seluruh makhluk. Jika demikian, apakah kita bersedia menjadi air sungai kehidupan sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita kehidupan dan keselamatan yang kekal? Sehingga kehidupan kita selaku umat percaya senantiasa memberikan kesegaran, kesuburan, daya hidup dan keselamatan bagi orang-orang di sekitar kita. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar