Minggu, 04 Desember 2011

SIAP SEDIA MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN

Yes. 2:1-5; Mzm. 122; Rom, 13:11-14; Mat. 24:37-44


Mulai minggu ini kita selaku jemaat Tuhan diperkenankan oleh Allah untuk memasuki masa Adven, yaitu masa penantian akan kedatangan Tuhan. Bagaimanakah sikap manusia pada umumnya dalam menantikan kedatangan Tuhan? Di Mat. 24:37-38, Tuhan Yesus memberikan gambaran sebagai berikut: “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera”. Apakah ada yang salah atau kurang tepat dalam gambaran Tuhan Yesus tersebut? Bukankah kehidupan manusia sejak dahulu selalu dimeriahkan dengan makan-minum dan kawin-mengawinkan? Sampai saat ini kita semua termasuk kehidupan gereja juga tidak lepas dari tindakan makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan utama fisik kita. Bahkan untuk membicarakan sesuatu yang sulit namun membutuhkan suasana yang kekeluargaan, kadang-kadang kita perlu melakukannya dengan makan bersama. Juga untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan hubungan antar rekan, kini banyak orang makin menyadari perlunya pola-pola pendekatan informal dan personal. Itu sebabnya acara makan bersama tidak senantiasa berkonotasi negatif. Acara makan-minum bersama dapat menjadi bentuk keramahan, ungkapan “good-will” dan penghargaan serta kasih kepada orang-orang yang terlibat. Bahkan sangat menarik ternyata dalam Injil beberapa kali disebutkan bahwa Tuhan Yesus makan bersama dengan orang-orang yang dianggap berdosa (Mat. 9:10, 11:19). Demikian pula dalam kehidupan gereja Tuhan tidak terlepas dari tindakan kawin-mengawinkan. Bukankah kita bahagia ketika gereja berulangkali melaksanakan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan kepada para anggota jemaatnya? Juga bukankah perkawinan merupakan bagian dari rencana dan karya Allah sendiri, sebab Allah sendiri yang mempertemukan dan menyatukan dua insan untuk membentuk kehidupan keluarga? Jadi apakah salah ketika anggota jemaat kita dalam menantikan kedatangan Tuhan, mereka makan-minum dan kawin-mengawinkan?

Tindakan makan-minum dan kawin-mengawinkan pada hakikatnya bukanlah tindakan yang duniawi. Justru tindakan makan-minum dan kawin-mengawinkan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang utama dalam kehidupan ini. Tetapi makan-minum juga dapat menjadi suatu hal yang jahat ketika dilandasi oleh nafsu rakus yang membuat manusia menjadi pelahap dan gelojoh. Demikian pula dengan kebutuhan seks di antara pria dan wanita. Seks diterima dan kudus ketika terjadi dalam perkawinan antara suami-isteri. Tetapi seks menjadi jahat ketika manusia menggunakan seks-nya untuk mengumbar hawa-nafsu, tanpa ikatan kasih, dan mengabaikan kekudusan Allah. Problem utama dalam pemaknaan iman untuk menyambut kedatangan Tuhan bukanlah pada masalah pemenuhan kebutuhan makan-minum dan kawin-mengawinkan, tetapi pada spiritualitas dan etis-moral manusia di balik makan-minum dan kawin-mengawinkan. Apakah seseorang yang sedang melakukan makan-minum dan kawin-mengawinkan tetap memuliakan Allah? Ataukah manusia saat dia makan-minum dan kawin-mengawinkan bertujuan untuk memuliakan dirinya sendiri dan mengumbar hawa-nafsunya? Umat manusia pada zaman Nuh tampaknya melakukan aktivitas makan-minum dan kawin-mengawinkan hanyalah bertujuan untuk memuaskan keinginan dagingnya. Mereka makan-minum dengan berpesta-pora yang umumnya diikuti dengan seks bebas. Jadi mereka tidak sekedar makan karena lapar, tetapi untuk memuaskan nafsu sebagai pelahap. Mereka minum bukan karena mereka haus, tetapi mereka minum untuk memuaskan nafsu sebagai pemabuk. Demikian pula hubungan seks dilakukan bukan karena ungkapan kasih di antara suami-isteri, tetapi untuk memuaskan nafsu berzinah. Akibatnya mereka tidak mampu mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Tuhan dengan hukumanNya. Mereka tetap berpesta-pora dan melakukan seks bebas ketika air bah menggulung dan menenggelamkan mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang selamat. Semua orang terlena dalam hawa-nafsunya sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan diri dengan bertobat.

Dalam kehidupan nyata tidaklah mudah bagi kita untuk menantikan kedatangan Tuhan tanpa terlena. Apalagi ketika kedatangan Tuhan tersebut sesuatu yang belum jelas bentuknya dan sesuatu yang mungkin masih jauh di depan. Ketika kita harus menunggu seseorang dalam waktu yang sangat lama dan tidak terlalu jelas kapan dia datang, kita cenderung menjadi gelisah dan tidak tahan terus menanti. Sebab dapat timbul suatu pertanyaan: “Benarkah dia akan datang?” Apakah penantian yang sedang kulakukan ini tidak sia-sia? Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab maka mulai timbul benih-benih perasaan pesimistis dan ragu-ragu. Dalam situasi yang demikian, kita dapat mudah terlena dan tergoda untuk melakukan berbagai hal yang menyukakan diri. Jadi bagaimanakah sikap kita yang benar dalam menantikan kedatangan Tuhan? Apakah yang harus kita lakukan agar kita tidak terlena dalam hawa-nafsu yang duniawi, sehingga kita dapat menyambut kedatangan Tuhan dan bertanggungjawab kepadaNya? Bagaimanakah kita mengimplementasikan nasihat Tuhan Yesus yang berkata: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang” (Mat. 24:42).

Kita dapat terlena dalam kehidupan duniawi apabila dalam masa menantikan Tuhan tersebut kita lebih banyak bersikap pasif menunggu, sehingga kita tidak memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan secara bertanggungjawab. Dengan sikap pasif berarti kita belum mengerahkan seluruh kemampuan, talenta dan karunia dari Tuhan secara optimal. Akibatnya seluruh kemampuan, talenta dan karunia dari Tuhan tersebut tidak pernah terasah, tidak terlatih dan tidak siap digunakan sesuai fungsinya, sehingga kita tidak memiliki perlengkapan senjata yang seharusnya untuk menghadapi kuasa kegelapan. Di Rom. 13:12 rasul Paulus memberi nasihat: “Hari sudah malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” Kita sering terlena seperti saat kita sedang tidur di waktu malam, sehingga kita tidak waspada dengan kekuatan dan serangan dari kuasa kegelapan. Dalam hal ini kita melupakan suatu kebenaran teologis bahwa kuasa kegelapan itu justru sangat aktif, mereka selalu dinamis dan penuh strategi untuk melawan dan menghancurkan kehidupan setiap umat percaya(bdk. Ayb. 1:9-12). Kuasa kegelapan dan tentaranya memiliki kemampuan untuk merencanakan atau merancang suatu visi yang jauh ke depan. Mereka mampu mengoperasikan setiap misi penyerangan dengan strategi dan perlengkapan senjata yang handal. Namun pada sisi lain umat percaya sering merasa dirinya kuat, sehingga mereka bertindak ceroboh dan takabur. Karena itulah rasul Paulus mengingatkan agar kita segera bangun dari tidur sebab hari telah siang. Kini saatnya bagi seluruh umat percaya untuk segera menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mereka harus mengenakan perlengkapan senjata terang. Setiap umat percaya dipanggil untuk terus mengasah perlengkapan senjatanya dan melatih dirinya untuk berperang sehingga mereka dapat menang dalam peperangan rohani melawan kuasa kegelapan. Perlengkapan senjata tersebut adalah diri Tuhan Yesus sendiri. Rasul Paulus berkata: “Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya” (Rom. 13:14).

Selain umat percaya perlu memiliki perlengkapan senjata terang dan terus melatih diri untuk berperang menghadapi kuasa kegelapan, umat percaya juga perlu memiliki visi dan misi yang jelas dalam hidupnya. Dalam memahami makna menantikan kedatangan Tuhan Yesus, kita selaku umat percaya harus memiliki titik fokus yang menjadi arah atau tujuan dari orientasi kehidupan kita. Seluruh aktivitas dan pelayanan kita menjadi tidak bermakna dan menyimpang jauh, jikalau tidak terarah kepada satu tujuan yang jelas. Sebaliknya masa penantian akan kedatangan Tuhan dapat menjadi sesuatu yang menggairahkan dan mampu membangkitkan daya semangat juang apabila kita terus terdorong untuk bergerak ke satu arah, yaitu Tuhan Yesus Kristus sebagai pusat seluruh visi dan misi kita. Ketika umat Israel keluar dari tanah Mesir, mereka berjalan dipimpin oleh Allah menuju tanah terjanji, Kanaan. Sehingga tujuan utama dari peristiwa Keluaran dari Mesir adalah bebasnya mereka dari belenggu perbudakan; dan dengan identitas yang baru mereka dibawa oleh Allah menuju tanah Kanaan. Namun sayang sekali, umat Israel pada waktu perjalanan di padang gurun ternyata sering tergoda untuk menyimpang dari tujuan utama yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Umat Israel waktu itu mudah menunjukkan sikap bersungut-sungut kepada Musa dan Harun ketika mereka kesulitan memperoleh makanan dan air minum. Itu sebabnya mereka ingin kembali ke tanah Mesir, yang mereka anggap berlimpah dengan makanan dan air minum walau untuk itu mereka harus menjadi seorang budak. Demikian pula kita selaku umat percaya pada masa kini juga sering bersikap seperti umat Israel. Kita sering bersungut-sungut karena dalam mengikut Kristus ternyata kita masih menghadapi berbagai kesulitan, penderitaan dan tekanan hidup yang berat. Itu sebabnya kita sering kehilangan arah tujuan utama kita yaitu Kristus; dan kita ingin kembali ke dunia lama yaitu perbudakan dosa yang mana kita merasa dapat melampiaskan secara bebas segala hawa-nafsu dan keinginan kita. Itu sebabnya rasul Paulus memberi nasihat kepada kita demikian: “Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri-hati” (Rom. 13:13). Dengan perkataan lain, ketika kita kehilangan tujuan utama dari kehidupan ini yaitu Kristus, maka kita akan berjalan menyimpang dari kehendak dan firman Kristus. Akibatnya kehidupan kita akan dipenuhi dengan berbagai pesta pora, kemabukan, percabulan, hawa nafsu, perselisihan dan iri hati.

Ketika umat Israel telah sampai di Kanaan, mereka tetap memiliki titik fokus agar iman mereka tetap bergerak secara dinamis dan kreatif. Tempat yang menjadi fokus utama sebagai arah tujuan dari peziarahan iman mereka di tanah Kanaan adalah Yerusalem. Dalam hal ini kota Yerusalem menjadi simbol persekutuan umat Israel. Tetapi dalam pemikiran teologis nabi Yesaya, makna persekutuan umat di Yerusalem pada hari kedatangan Tuhan tidak lagi hanya dibatasi oleh umat Israel saja. Yerusalem tidak lagi dipahami sebagai suatu tempat eksklusif bagi suatu umat tertentu saja. Sebab menjelang hari kedatangan Tuhan, kota Yerusalem menjadi tempat berkumpulnya seluruh bangsa dari berbagai belahan dunia yang mana mereka akan datang berduyun-duyun untuk memperoleh pengajaran Allah. Yes. 2:2-3 berkata: “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem”. Dalam nubuat nabi Yesaya tersebut sangat jelas dinyatakan bahwa menjelang hari kedatangan Tuhan, kota Yerusalem akan menjadi titik pusat yang mana semua orang dari berbagai bangsa dan bahasa akan datang berduyun-duyun untuk memperoleh hikmat dan pengajaran firman Tuhan. Kota Yerusalem akan menjadi daya magnit yang luar biasa sehingga Yerusalem mampu menjadi daya tarik bagi semua umat untuk berkumpul sebagai umat Allah. Mereka haus belajar hikmat dan pengajaran dari firman Allah. Hasil dari pengajaran dan hikmat yang dapat mereka peroleh di Yerusalem adalah: “maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes. 2:4). Pada intinya hasil pengajaran hikmat dan firman Allah di Yerusalem adalah kasih dan perdamaian dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu syaloom Allah sebab pada saat itu tidak ada lagi orang yang membuat senjata, dan tidak akan ada lagi peperangan atau perselisihan di antara umat manusia.

Nubuat nabi Yesaya tersebut kemudian menjadi suatu kenyataan. Sebab yang dimaksud dengan pengertian nama Yerusalem bukanlah kota secara fisik. Karena wujud dari Yerusalem yang baru adalah Kristus selaku Anak Domba Allah (Why. 21:22-23). Kristus adalah Raja Syaloom yang wafat di kota Yerusalem. Ini berarti semua bangsa termasuk umat percaya menjelang kedatangan Tuhan pada hakikatnya dipanggil oleh Allah untuk datang berduyun-duyun kepada Kristus. Mereka akan memperoleh pengajaran dan hikmat firman Allah dari Kristus. Pengajaran dari Kristus yang utama adalah juga kasih dan perdamaian. Sehingga apabila mereka mentaati pengajaran dari Kristus, maka mereka akan membuang segala dosa yang merintangi kasih dan perdamaian. Jadi sebagai umat yang telah ditebus, umat Kristen telah dipanggil oleh Allah untuk mewujudkan syaloom Kristus, sehingga ketika pada akhir zaman Kristus yang datang sebagai Hakim, kita dapat mempertanggungjawabkan seluruh karya kita kepadaNya. Ini berarti dalam masa menantikan kedatangan Tuhan, sesungguhnya kita dipanggil untuk berkarya dan mewujudkan syaloom Kristus. Kita tidak sekedar berjaga-jaga secara pasif dalam menantikan kedatangan Tuhan. Sebaliknya kita harus senantiasa berjaga-jaga secara aktif dalam seluruh sikap, tingkah-laku; dan juga harus selalu waspada dalam berkarya serta bekerja. Tanpa sikap yang selalu berjaga-jaga dan waspada, maka kita secara sadar atau tidak sadar tergoda untuk menyisipkan berbagai kepentingan diri dan egoisme kita sehingga akhirnya karya kita tersebut justru merusak syaloom Allah yang sesungguhnya.

Kualitas pekerjaan dan pelayanan kita selama menantikan kedatangan Tuhan haruslah selalu prima dan optimal. Sebab kedatangan Tuhan tidak pernah dapat diramalkan atau diduga terlebih dahulu. Tuhan Yesus berkata: “Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Mat. 24:44). Jika demikian, setiap waktu dan kesempatan yang kita miliki haruslah selalu menghasilkan suatu karya pelayanan yang bermutu dan teruji. Harapan dan upaya ini dapat menjadi suatu kenyataan apabila kita selalu mau berjaga-jaga setiap saat dan terus terarah kepada satu tujuan utama yaitu Tuhan Yesus Kristus. Jika demikian, apakah kehidupan dan pelayanan kita saat ini telah menampakkan syaloom Kristus, sehingga orang-orang yang berada di sekitar kita dapat merasakan kasih dan damai-sejahtera Allah? Apakah kita senantiasa mau waspada dan berhati-hati dalam setiap perkataan dan tingkah-laku kita? Apakah hidup kita selalu terarah kepada Kristus? Ataukah hidup kita mudah menyimpang dari Kristus, sehingga kita cenderung mengikuti kehendak dan keinginan dunia ini? Marilah kita memaknai masa Adven ini dengan kesediaan diri untuk menanggalkan semua keinginan duniawi; dan memperlengkapi diri kita dengan perlengkapan senjata terang. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar