Yes. 63:7-9; Mzm. 148; Ibr. 2:10-18; Mat. 2:13-23
Pengantar
Secara teologis kata “Imanuel” merupakan suatu definisi yang paling padat dan lengkap untuk menyatakan peristiwa inkarnasi Kristus menjadi manusia. Karena melalui kata “Imanuel” mengungkapkan misteri Allah yang terdalam di mana Dia berkenan hadir dalam seluruh pengalaman eksistensial umat manusia melalui manusia Yesus Kristus. Allah yang transenden dan adi-kodrati berkenan menjadi imanen dengan mengenakan kodrat manusiawi.
Ibr. 2:17 berkata: “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa”. Kesaksian Ibr. 2:17 mengandung 2 realitas yang paradoksal. Yang pertama menunjuk ketidaksamaan Kristus dengan umat manusia termasuk para malaikat sebab Dia adalah Anak Allah yang ilahi, mulia dan setara dengan Allah. Dan yang kedua adalah Anak Allah yang dengan rela untuk disamakan dengan kedudukan manusia. Dua dimensi dalam diri Kristus inilah yang ditempuh Allah agar Dia dapat hadir secara riil dalam kehidupan manusia sebagai “Imanuel”, Allah-beserta-kita. Karena itu sangatlah tepat kesaksian nabi Yesaya, yaitu: “Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya. Ia mengangkat dan menggendong mereka selama zaman dahulu kala” (Yes. 63:9). Di dalam diri Kristus, Allah tidak mengutus “utusanNya”, tetapi Dia sendiri yang hadir secara riil dan menyelamatkan umatNya. Makna “kematian” dalam pengertian di sini merepresentasikan suatu wujud destruktif dan musuh kehidupan. Apapun bentuk kematian senantiasa menyatakan bahwa daya perusak dan penghancur kehidupan memperoleh kemenangan. Karena itu setiap orang umumnya takut saat mereka berhadapan dengan segala bentuk kematian. Dalam peristiwa “kematian” berarti tidak ada lagi benih-benih kehidupan, harapan, kesempatan, arti dan tujuan hidup, sukacita, keselamatan serta damai-sejahtera. Selama kematian berkuasa, kehidupan menghilang dalam ketiadaan. Suasana “kematian” tersebut begitu luas jangkauannya sehingga menyentuh setiap aspek kehidupan. Mat. 2:16-18 menyaksikan bagaimana maut pula menghampiri dan mengancam sang Imanuel. Kuasa maut tidak absen dalam peristiwa Natal. Bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf saat itu sedang dikejar oleh kekuatan militer dari kerajaan Herodes. Natal yang seharusnya syahdu justru dipenuhi dengan darah dan air-mata. Realita ini sungguh mengejutkan kita. Bukankah kita senantiasa membayangkan peristiwa Natal sebagai suatu kondisi yang penuh dengan sukacita, damai dan jauh dari bahaya kematian? Tetapi sang Anak Allah yang memiliki kuasa di sorga dan di bumi saat dia hadir sebagai manusia ternyata juga harus berhadapan dengan bahaya dan kuasa maut. Padahal dalam inkarnasiNya, sang Anak Allah tersebut tidak hadir dalam suatu bentuk kekuatan yang berbahaya. Saat Kristus datang ke dalam dunia ini sama sekali tidak menggunakan kekuatan militer, kekuatan supra-natural yang dahsyat atau kekuatan politis. Dia hanya hadir dalam sosok seorang bayi yang kecil dan lemah.
Sindrom Ketakutan Dan Terancam
Secara natural setiap orang menyukai wajah seorang bayi dan tidak akan pernah merasa terancam dengan senyum serta ketidakberdayaannya. Namun bagi raja Herodes Agung, kedatangan Kristus dalam wujud seorang bayi sangatlah menakutkan dan mengancam bagi kelangsungan kerajaannya. Itu sebabnya Herodes Agung memerintahkan para tentaranya untuk membunuh semua bayi yang berumur 2 tahun ke bawah. Sindrom ketakutan bukan sekedar membawa efek yang kurang sehat bagi tubuh dan jiwa (psiko-somatis) yang bersangkutan seperti: sulit tidur (insomnia), kecemasan, perasaan gelisah dan tidak dapat menikmati kehidupan. Lebih dari pada itu sindrom ketakutan dapat mendorong seseorang untuk memikirkan dan merancang hal-hal yang buruk sebagai suatu upaya penyelesaiannya. Tepatnya perasaan takut dan terancam dapat mendorong seseorang untuk menemukan pola-pola solusi yang destruktif dan mematikan. Lalu timbullah rancangan jahat untuk mematikan setiap orang-orang yang dianggap lawannya. Pola solusi tersebut mengikuti suatu logika yang sederhana, yaitu: keinginan untuk melenyapkan atau menghancurkan sesuatu yang dianggap sebagai sumber ketakutan atau ancaman. Bila seseorang merasa terancam oleh kehadiran seseorang, maka dia akan cenderung ingin melenyapkan atau membunuh dengan suatu cara. Demikian pula halnya sikap Herodes Agung. Karena saat itu Herodes Agung merasa terancam dengan perkataan orang Majus, maka dia ingin membunuh bayi Yesus yang diramalkan akan menjadi raja. Di Mat. 2:2, orang-orang Majus bertanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia." Pertanyaan orang-orang Majus tersebut kemudian sampai di telinga raja Herodes Agung dan dia menanyai mereka lebih mendetail. Ternyata jawaban orang-orang Majus tersebut menyebabkan Herodes Agung merasa terancam. Sebab orang-orang Majus berkata bahwa bayi yang akan menjadi raja orang Yahudi telah lahir dengan tanda sebuah bintang di Timur.
Dengan mengerahkan tentara untuk membunuh semua bayi di bawah usia 2 tahun, Herodes Agung berharap dapat melenyapkan ketakutan dan perasaan terancamnya. Bila bayi Yesus juga dapat dibunuh bersama dengan para bayi lain di kota Betlehem, Herodes Agung menganggap musuh yang ditakutinya telah lenyap. Sindrom ketakutan dan perasaan terancam bukan hanya menghasilkan sikap yang irasional, tetapi juga tindakan yang kejam. Karena Herodes Agung tidak mampu membunuh bayi Yesus secara langsung, maka dia membunuh semua bayi berusia 2 tahun ke bawah di Betlehem. Padahal tujuan Herodes Agung jelas cuma satu, yaitu dapat segera membunuh bayi Yesus. Tetapi justru karena dia begitu bersemangat dan bernafsu untuk membunuh bayi Yesus, maka dia menetapkan untuk membunuh semua bayi di bawah 2 tahun sebagai jaminannya. Karena itu pembunuhan semua bayi di bawah usia 2 tahun di kota Betlehem memperoleh pembenaran atau legitimasinya. Dan kita tahu bahwa suatu pembenaran atau legitimasi terhadap suatu hal yang sungguh-sungguh nyata begitu kejam akan dianggap sebagai hal yang lumrah. Sindrom ketakutan dan perasaan terancam pada akhirnya memperoleh pembenaran yang membutakan hati-nurani dan pikiran yang sehat.
Hadir Dalam Ketidakberdayaan
Dari Mat. 2:16-18, kita dapat melihat bagaimana pendekatan Herodes Agung dengan pola kekerasan dan penggunaan kekuasaan. Namun tidaklah demikian sikap Allah dalam melaksanakan karya keselamatanNya. Allah lebih memilih jalan yang menghasilkan kehidupan dari pada jalan yang menghasilkan kematian. Itu sebabnya karya keselamatan Allah tidak dilakukan dengan penggunaan kekuasaan politis, militer dan ekonomis atau apapun juga yang akan menyebabkan kekerasan dan kematian bagi banyak orang. Allah lebih memilih untuk hadir dalam sosok seorang bayi yang mungil, kecil dan tidak berdaya. Karena kehadiran seorang bayi tidak akan pernah membahayakan dan mengancam siapapun. Sebaliknya kehadiran seorang bayi selalu memancarkan harapan dan sukacita. Penderitaan yang sangat berat yang dialami oleh suatu keluarga akan segera sirna saat mereka menyaksikan seorang bayi dilahirkan dengan selamat di tengah-tengah keluarga mereka. Seakan-akan seluruh ketakutan, kecemasan dan kegelisahan segera luntur saat istri mereka dapat melahirkan dengan selamat dengan bayi di sampingnya. Saya teringat saat istri melahirkan anak pertama kami. Sesungguhnya saat itu kami mengalami suatu kondisi yang begitu buruk dan penuh air mata. Tetapi ketika kami menyaksikan anak pertama kami lahir dengan selamat, khususnya saat menyaksikan wajahnya yang lucu dan “innocent” sepertinya seluruh beban yang menindih hidup kami terangkat. Kami diberi anugerah oleh Allah berupa kekuatan rohani yang baru untuk menapak kehidupan bersama dengan bayi yang baru lahir. Ketidakberdayaan seorang bayi justru menghasilkan kekuatan, keteguhan dan arti hidup yang lebih baru. Namun pada sisi lain perlu dipahami bahwa ketidakberdayaan seorang bayi juga mengandung risiko besar. Seorang bayi tidak mampu membela dan mempertahankan diri dari serangan atau bahaya. Demikian pula halnya dengan bayi Yesus. Walaupun Dia Allah, namun Dia juga harus tunduk dengan hukum alam yang telah ditetapkanNya. Fisik bayi Yesus tidak mungkin mampu melawan kekuatan tentara Herodes Agung. Jadi dalam hidupNya sebagai manusia, Kristus tunduk dengan kodrat manusiawi sebagaimana dimiliki oleh setiap orang kecuali dalam hal dosa.
Dengan demikian bayi Yesus saat hadir juga rentan dan menanggung risiko yang fatal. Dia dapat dilukai dan dibunuh. Perlindungan Maria dan Yusuf tidak akan memadai untuk menghadapi kekuatan militer dari raja Herodes Agung. Penyergapan tentara raja Herodes Agung bukan perkara yang sederhana. Sepertinya keberlangsungan karya keselamatan Allah saat itu berada dalam situasi yang kritis. Awal inkarnasi Kristus dapat menjadi akhir yang tragis. Sebenarnya jauh lebih mudah untuk membinasakan bayi Yesus dari pada mereka harus menghadapi diri Yesus saat Dia dewasa dengan seluruh kuasaNya. Karena itu Herodes Agung tidak seharusnya mengerahkan seluruh tentaranya untuk mencari dan membunuh bayi Yesus. Namun tindakan Herodes Agung tersebut dari sisi politis dapat menjadi sesuatu yang menggelikan dan memalukan, karena bagaimana mungkin untuk menghadapi seorang bayi yang tidak berdaya dia harus mengerahkan begitu banyak prajurit. Jadi ketidakberdayaan bayi Yesus dari sudut pandangan Herodes Agung ternyata dianggap begitu perkasa dan kuat sekaligus memperlihatkan kerapuhan dan kelemahan dalam diri Herodes Agung. Dalam konteks ini semakin terlihat siapakah yang paling tidak berdaya dan lemah. Secara kasat mata yang terlihat lemah adalah bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf. Namun secara substansial justru yang terlihat lemah adalah raja Herodes Agung bersama dengan kekuatan militernya. Makna “ketidakberdayaan” bukan diukur dari besarnya kekuatan yang berhasil dikerahkan, tetapi seberapa besar perasaan takut dan terancam yang mendasarinya. Semakin besar kekuatan militer, politis dan ekonomis yang dikerahkan karena perasaan takut dan terancam semakin membuktikan kerapuhan dan kelemahan diri seseorang.
Strategi Konfrontasi
Kedatangan Kristus ke dalam dunia telah dinyatakan dalam namaNya, yaitu: “Yesus”, yang artinya: “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka" (Mat. 1:21). Diri Yesus adalah pengejawantahan dari diri Yahweh yang artinya: Tuhan penyelamat. Dengan demikian misiNya jelas, yaitu untuk menyelamatkan dan membebaskan manusia dari belenggu kuasa dosa. Bila misi Allah sudah begitu jelas, bagaimanakah dengan pola strategiNya? Tentunya yang diharapkan adalah strategi yang dipilih haruslah suatu strategi yang efektif dan “powerful” sehingga dapat mewujudkan misi ilahi tersebut. Namun sungguh mengejutkan ternyata strategi yang dipilih Allah jauh dari efektivitas dan sama sekali tidak “powerful”. Karena strategi karya penyelamatan Allah memakai pola yang tidak popular. Sang Firman Allah berinkarnasi menjadi manusia dengan lahir sebagai seorang bayi yang tidak berdaya dan miskin. Bahkan kini untuk selamat dari serangan dan pengejaran tentara kerajaan Herodes Agung, bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf harus melarikan diri ke Mesir. Jelas pemilihan strategi yang jauh dari kuasa tersebut mencerminkan karakter Allah yang rendah-hati. Kekuasaan mutlak yang dimiliki Allah tidak pernah digunakan untuk mencapai tujuanNya, walaupun tujuan tersebut sangatlah mulia. Pola strategi Allah tersebut sering bertentangan dengan pola yang kita praktekkan. Ketika kita meyakini sesuatu yang baik dan mulia, maka kita akan menggunakan seluruh kekuatan yang ada untuk mencapai tujuan tersebut walaupun kadang-kadang juga disisipi dengan suatu “kekerasan” saat kita dihadang oleh orang-orang yang tidak sepaham. Di dalam inkarnasi Kristus, strategi Allah bebas murni dari pola kekerasan.
Selain pola strategi Allah bebas murni dari kekerasan, pola strategi Allah juga tidak pernah langsung menyerang ke arah kuasa kegelapan yang menjadi sumber masalah. Tepatnya dalam melaksanakan karya keselamatanNya, Allah tidak memilih untuk berkonfrontasi langsung dengan Iblis dan segenap kuasa kegelapan. Sebab itu perlawanan dengan kuasa kegelapan ditempuh Allah dengan inkarnasi Kristus menjadi manusia melalui kehadiran seorang bayi yang lemah. Allah juga tidak mengerahkan balatentara surgawi saat bayi Yesus berada dalam ancaman kematian. Timbul pertanyaan, mengapa Allah tidak melakukan konfrontasi langsung dengan Iblis dan segenap malaikatnya? Karena konfrontasi langsung dengan Iblis dan segenap malaikatnya akan mendorong Allah untuk menggunakan senjata yang mematikan. Padahal apapun bentuk senjata yang mematikan akan identik dengan suatu bentuk dari kekerasan. Konfrontasi langsung dengan Iblis dapat mendorong si pelawannya untuk menggunakan pola yang sama dengan Iblis. Mungkin kita sering memiliki maksud hati yang baik untuk melayani dan menghadirkan damai. Namun ternyata pelayanan dan perjuangan untuk menghadirkan damai-sejahtera tersebut gagal total. Penyebabnya karena pelayanan dan perjuangan untuk menghadirkan damai-sejahtera tersebut telah terjebak dalam konfrontasi langsung dengan lawan yang kita anggap sebagai perusuh atau “trouble-maker”. Yang mana konfrontasi langsung tersebut telah menyebabkan kita melakukan tindakan atau sikap yang justru bertentangan dengan prinsip dan nilai damai-sejahtera yang hendak kita perjuangkan. Akibatnya kita cenderung menentang setiap perusuh atau para “trouble-maker” dengan perasaan kesal, marah dan tidak sabar. Sikap kita tersebut bila dilihat dari jarak yang netral sebenarnya telah menisbikan perbedaan antara kita yang memperjuangkan damai-sejahtera dan para perusuh yang menyebabkan kekacauan. Saat kita menyerang para perusuh dengan hantaman kata-kata yang keras dan menusuk hati, sebenarnya posisi kita tidak berbeda jauh dengan para perusuh tersebut. Kelompok keagamaan tertentu mungkin bermaksud mulia untuk menyingkirkan segala bentuk kemaksiatan dalam kehidupan masyarakat. Namun ketika mereka melakukan kekerasan dan tindakan sewenang-wenang kepada pelaku kemaksiatan, sebenarnya mereka telah berkawan dengan Iblis. Posisi moral mereka tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang dianggap melawan perintah Allah, atau malahan lebih buruk lagi. Karena itu Allah tidak mengobrak-abrik dan menghancurkan kehidupan umat manusia yang berdosa dengan api yang membinasakan. Tetapi Allah datang melalui kehadiran Kristus, sang penyelamat dengan cara yang begitu lembut dan menyentuh hati.
Tersamar Dan Tersembunyi
Dari sudut ukuran manusiawi pola strategi Allah tersebut dapat dianggap tidak efektif dan lambat. Sebab inkarnasi Kristus sebagai bayi sampai Dia menjadi dewasa membutuhkan waktu yang relatif panjang. Selama rentang pertumbuhanNya sebagai manusia di kota Nazaret, kehidupan Yesus tidak pernah terekspos. Kita tidak tahu bagaimana peran dan karyaNya saat Dia masih kecil. Selama 30 tahun hidup Kristus di kota Nazaret serba tersamar dan tersembunyi. Yang mana ketersembunyianNya tersebut sering menimbulkan berbagai spekulasi seperti kisah Nicolas Notovitch, seorang jurnalis Rusia tahun 1894 yang menerbitkan dokumen dengan judul: “The Unknown Life of Jesus Christ”. Demikian pula kitab Injil juga berdiam diri tanpa suara ketika bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf selama berada di Mesir. Tidak diketahui dengan pasti berapa lama bayi Yesus bersama Maria dan Yusuf di Mesir. Mat. 2:19 menyaksikan: “Setelah Herodes mati, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi di Mesir”. Catatan sejarah menyaksikan bahwa Herodes Agung hidup sekitar tahun 37 – 4 sM. Setelah Herodes Agung wafat, dia digantikan oleh Herodes Arkhelaus untuk menjadi raja di Yudea. Itu sebabnya Yusuf membawa Maria dan Yesus ke Galilea, lalu mereka menetap di Nazaret (Mat. 2:22). Kemudian Yesus dikenal orang-orang di sekitarnya sebagai “Orang Nazaret”. Pola kerja dan karya keselamatan Allah bergerak secara alamiah. Sang Imanuel, Anak Allah dikenal sebagai “Orang Nazaret”, bukan “Orang Ilahi”. Gelar atau sebutan tersebut begitu sederhana dan bisa tanpa arti yang signifikan. Dengan kata lain atribut Yesus sebagai “Orang Nazaret” tersamar dan menyembunyikan jati-diriNya sebagai Anak Allah yang penuh kuasa. Namun apakah yang tersamar dan tersembunyi selalu tidak berarti apa-apa?
Kitab Injil tidak menyaksikan secara lengkap dan detil seluruh kehidupan Kristus selama Dia bertumbuh dari seorang bayi sampai berkarya sebagai Mesias. Sikap keberdiaman Injil tersebut bukan berarti kehidupan Kristus selama Dia bertumbuh sebagai seorang bayi, anak, dan remaja karena Dia tidak berbuat apa-apa. Sebenarnya sebutan Yesus sebagai “Orang Nazaret” telah mengungkapkan suatu kekayaan rohani. Karena melalui sebutan itu hendak menyaksikan bahwa sang Imanuel benar-benar menghayati peran dan kehidupan sehari-hari dengan berakar kepada realitas hidup yang nyata. Selain realitas hidup yang digeluti Yesus secara eksistensial adalah kota Nazaret, juga mau menyaksikan bagaimana keterkaitan yang mendalam antara diri Yesus dengan para penduduknya. Dengan demikian sebutan diri Yesus sebagai “Orang Nazaret” juga mau mengungkapkan kepedulian dan kerelaanNya untuk bergumul dengan semua kesulitan dan derita yang dialami oleh manusia sezamanNya. Jati diriNya selaku sang Imanuel, yaitu “Allah beserta kita” ditempatkan dalam konteks riil di realitas kehidupan umat di Nazaret. Bagi umat Nazaret waktu itu, melalui kehidupan Yesus mereka mengalami kehadiran “Allah beserta kita”. Makna sang Imanuel tidak berada dalam suatu konteks yang “a-historis”, tetapi sungguh-sungguh riil secara eksistensial. Dengan demikian apa yang tampaknya tersamar dan tersembunyi bukanlah sesuatu yang kosong dan tanpa arti, seperti aktivitas akar dan proses pertumbuhan suatu tanaman yang tidak kasat mata, namun mampu menghasilkan buah yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Selain itu apa yang tampaknya sederhana dan tidak berarti, justru sering memperlihatkan suatu kekayaan spiritualitas yang begitu dalam dan penuh arti.
Memaknai Hal Yang Biasa dan Rapuh
Melalui inkarnasi Kristus, gereja Tuhan tidak boleh membangun suatu teologi “supra-natural” yang menekankan kemahakuasaan Allah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Herodes Agung. Makna supranaturalitas Allah tidak identik dengan penggunaan kekuasaan politis, militer dan ekonomis untuk menekan pihak yang dianggap lemah dan tidak berdaya. Supranaturalitas Allah adalah kekuasaanNya yang membangun dan menyelamatkan sebagai sang Pencipta terhadap seluruh ciptaan dan mahluk. Namun supranaturalitas Allah tidak pernah digunakan Allah dengan model kekerasan yang menindas dan destruktif. Untuk itu Allah yang supranatural berkenan memilih pola yang biasa dan tampak rapuh. Dengan demikian gereja bersama umat perlu terus-menerus membangun suatu teologia yang natural agar umat semakin peka memaknai secara konstruktif hal-hal yang biasa dan tampak rapuh. Spiritualitas umat dalam menghadapi kuasa kegelapan tidak perlu tergoda untuk menggunakan suatu perlawanan yang langsung dan frontal, misal perlawanan dengan kekerasan. Karena perlawanan yang langsung dan frontal kepada Iblis atau kuasa kegelapan akan membawa umat terjebak dengan cara-cara duniawi. Umat akan dimampukan Allah untuk melawan Iblis dan kuasa kegelapan saat mereka melakukan hal-hal yang sederhana, biasa dan tampak rapuh dengan sikap kasih dan rasa hormat yang tinggi. Sebaliknya ketika kita tidak peka dan peduli dengan orang-orang di sekeliling kita yang menderita, maka seluruh doa dan pelayanan kita menjadi sia-sia belaka. Dalam hal ini kita perlu belajar apa arti Kristus hidup dan bergulat bersama dengan orang-orang di Nazaret, sehingga Dia disebut sebagai “Orang Nazaret”.
Jika demikian, apakah pengalaman bersama dengan Allah (Imanuel) juga menjadi daya inspirasi dan pengakuan yang tulus dari orang-orang di sekeliling kita? Apakah jati-diri dan peran kita dalam konteks riil diakui dan dihargai oleh orang-orang di sekitar? Sebutan apakah yang akrab dikenakan oleh orang-orang di sekitar kita? Tentunya sebutan atau atribut terhadap konteks hidup kita yang dimaksud bukan sekedar suatu ungkapan yang dangkal dan semu, tetapi suatu ungkapan tulus yang mau menyatakan betapa dalam keterlibatan dan kesetiaan kita kepada sesama di sekeliling kita. Mereka akan mengucapkan atau menyebut atribut diri kita dengan suatu perasaan bahagia dan wajah yang tersenyum. Karena itu saya yakin sebutan Yesus sebagai “Orang Nazaret” selalu diucapkan oleh warga di Nazaret atau yang mengenalNya dengan wajah yang berbinar-binar tanda sukacita. Demikian pula spiritualitas bersama sang Imanuel seharusnya memampukan kita untuk terlibat secara eksistensial di dalam konteks hidup yang riil, sehingga kehidupan kita seperti Kristus. Kehidupan kita ditandai oleh sikap empati dan kasih yang tanpa syarat sehingga setiap sesama dapat menyaksikan kehadiran Allah yang menyertai diri kita.
Panggilan
Dalam hidup sehari-hari kita sering menghadapi ancaman kematian dalam berbagai bentuk seperti menerima surat pemutusan hubungan kerja, vonis medis, kehilangan orang yang dikasihi, pengkhianatan cinta-kasih, runtuhnya suatu usaha dan lenyapnya seluruh harta-milik. Namun apakah kita tergoda untuk menggunakan pola strategi yang dilakukan oleh Herodes Agung? Ataukah kita bersikap seperti Allah yang tetap menggunakan pola dan strategi yang mengutamakan kasih, kelembutan dan tanpa kekerasan? Kita hanya menyambut sang Imanuel yakni Yesus Kristus bilamana kita hidup seperti Dia yang tidak pernah tergoda untuk menggunakan strategi dan pola kekerasan. Bagaimanakah sikap saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar