Minggu, 04 Desember 2011

SUKACITA UNTUK SEMUA


Yes. 62:6-12; Mzm. 97; Tit. 3:4-7; Luk. 2:1-7, 8-20 

Pengantar
Kisah Natal yang dirayakan oleh gereja-gereja Tuhan pada umumnya ditandai oleh suasana sukacita dan kegembiraan. Tetapi apakah perayaan Natal yang penuh dengan sukacita dan kegembiraan, juga merupakan peristiwa faktual yang menyenangkan bagi Maria dan Yusuf? Atas perintah kaisar Agustus, Maria dan Yusuf harus pergi sementara waktu dari kota Nazaret ke Betlehem untuk melaksanakan pendaftaran sensus penduduk. Sebagaimana kita lihat jarak kota Nazaret ke Betlehem sekitar 80-90 mil atau sekitar 150-170 km, maka perjalanan Yusuf dan Maria bukanlah suatu perjalanan yang menyenangkan.
Selain perjalanan tersebut sangat jauh dengan cara berjalan kaki atau naik keledai, juga keadaan Maria pada waktu itu sedang hamil tua. Dari sudut ini sebenarnya kisah Natal yang dialami oleh para pelaku karya keselamatan Allah, yaitu Maria dan Yusuf bukanlah suatu kisah yang membawa sukacita atau kebahagiaan.  Kesulitan dan penderitaan dalam perjalanan   dari Nazaret ke Betlehem yang dialami oleh Maria terjadi sebagai konsekuensi jawaban Maria yang bersedia untuk mengandung dari Roh Kudus (Luk. 1:38). Seandainya Maria menolak panggilan dari malaikat Gabriel untuk mengandung dari Roh Kudus, Maria tidak akan mengalami penderitaan yang seberat ini. Mungkin dia tetap akan berangkat ke Betlehem tetapi bukan dalam keadaan hamil. Seandainya dia menolak perkataan malaikat Gabriel, Maria juga tidak perlu menanggung risiko berupa sanksi sosial dan keagamaan  dengan kehamilannya yang di luar kewajaran.
Makna kebahagiaan dan sukacita sering dipahami jikalau kita selalu mengambil keputusan yang serba aman, tidak beresiko atau berhadapan dengan  kesulitan.  Dalam konteks ini makna sukacita dan bahagia dipahami jikalau ritme kehidupan ini selalu berjalan serba datar, menjauh dari tantangan, dan mulus tanpa masalah. Tetapi seandainya pula Maria dan Yusuf menolak panggilan Allah demi rasa aman mereka, maka karya keselamatan Allah dalam inkarnasi Kristus juga tidak akan terwujud. Dunia dan umat  manusia tidak akan pernah mengalami kehadiran Allah dalam sejarah kehidupan mereka. Umat manusia sepanjang zaman tidak akan dapat mengalami sukacita sorgawi dengan datangnya sang Raja Kehidupan. Justru melalui kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh Maria dan Yusuf, terbukalah wilayah yang luas tanpa batas anugerah keselamatan dari Allah bagi umat manusia.  Sehingga melalui kerelaan dan sikap iman yang diperlihatkan oleh Maria telah mewujudkan perkataan nabi Yesaya: “Sebab inilah yang telah diperdengarkan TUHAN sampai ke ujung bumi! Katakanlah kepada puteri Sion: Sesungguhnya, keselamatanmu datang”  (Yes. 62:11). Sukacita Natal dapat kita  alami secara penuh karena keselamatan dari Allah telah datang!
Keselamatan Allah Telah Datang
Makna sukacita dalam kehidupan sehari-hari seringkali dilepaskan dari keselamatan Allah. Sukacita dalam kehidupan sehari-hari justru seringkali dikaitkan dengan keberhasilan untuk memiliki. Semakin banyak kita memiliki, maka semakin banyak pula kita bersukacita. Tetapi semakin banyak yang kita miliki hilang, maka hilang pula sukacita yang kita miliki. Ketika  nilai saham yang kita miliki merosot jatuh, maka hilanglah segala sukacita yang pernah kita miliki. Ketika investasi atau harta kekayaan yang kita miliki disita, maka hancurlah segala kebanggaan dan kebahagiaan hidup kita. Dengan demikian makna sukacita dan kebahagiaan yang kita miliki berubah-ubah seiring dengan apa yang kita dapatkan dan apa yang tidak kita dapatkan. Justru peristiwa Natal hendak menegaskan bahwa nilai atau makna sukacita dan kebahagiaan kita bukanlah ditentukan oleh seberapa banyak yang kita miliki, tetapi ditentukan oleh seberapa besar kita menyambut keselamatan Allah yang telah datang. Peristiwa Natal justru merupakan momen yang penuh makna saat kita mampu melepaskan segala hal yang kita milliki agar terbukalah ruang hati yang luas untuk menyambut  peristiwa inkarnasi firman Allah menjadi manusia. Saat hati kita penuh sesak dengan berbagai barang atau milik secara dunia,  maka kita tidak dapat menyambut sukacita dan kebahagiaan Natal.
                Dalam bukunya yang berjudul “Authentic Happiness” (Kebahagiaan yang otentik), Martin Seligman, yang mana dia termasuk sebagai salah satu pendiri dari psikologi positif menyatakan bahwa kebahagiaan terdiri dari “emosi-emosi positif” (positive emotions) dan “aktivitas-aktivitas positif” (positive activities) yang terentang dari masa lampau, kini dan masa mendatang. Sehingga manakala masa lampau dan masa kini kita penuh dengan kepuasan, rasa bangga dan ketenteraman; serta sikap kita memandang masa depan dengan sikap yang optimistik, berpengharapan dan keyakinan maka niscayalah kita akan berbahagia. Efek dari kebahagiaan yang demikian akan membebaskan diri kita dari penghalang-penghalang emosi, sehingga kita dapat lebih mampu menikmati pekerjaan dan aktifvitas-aktivitas yang lebih kreatif. Dengan cara hidup yang demikian, kita akan dapat mengalami makna hidup yang lebih penuh sebab kita mengarahkan tujuan hidup yang lebih besar dari pada tujuan-tujuan jangka pendek. Pemikiran Martin Seligman tersebut pada satu segi tentunya bermanfaat bagi kita untuk menghayati dan menemukan makna sukacita atau kebahagiaan. Tetapi pandangan Martin Seligman dan seperti para pemikir yang lain umumnya menempatkan makna sukacita atau kebahagiaan sebagai hasil upaya manusia untuk mengelola emosi-emosi secara positif agar dapat menghasilkan kegiatan atau tindakan yang positif. Mereka memandang kebahagiaan sebagai hasil dan upaya manusiawi. Tetapi tidaklah demikian dengan berita Natal. Kebahagiaan dan sukacita pada hakikatnya merupakan anugerah keselamatan dari Allah. Di Tit. 3:4-6, menyatakan: “Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita”.  Justru di saat kita gagal untuk berpikir positif dan hidup yang tidak tenteram serta penuh penderitaan, di situlah kita diperkenankan mendengar tentang kemurahan hati dan kasih Allah. Saat hidup kita terpuruk dan tidak berharga, kita memperoleh pengharapan sebab Allah mengasihi kita dalam inkarnasi Kristus.
Penguasa Kehidupan
Injil Lukas menyaksikan bahwa kaisar Agustus telah mengeluarkan suatu perintah yang  memerintahkan untuk mendaftarkan semua orang di seluruh wilayah kerajaannya. Atas perintah kaisar Agustus tersebut, Maria akhirnya melahirkan Yesus di kota Betlehem. Jika demikian, apakah ini berarti kelahiran Yesus di kota Betlehem terjadi karena perintah kaisar Agustus?  Bukankah seandainya kaisar Agustus tidak pernah memerintahkan pendaftaran penduduk, maka kemungkinan besar Maria akan melahirkan Yesus di kota Nazaret?  Jika demikian, bukankah yang menjadi penguasa dan yang menentukan riwayat hidup Yesus Kristus adalah kaisar Agustus? Tetapi apabila kita mencermati lebih teliti, maka kita disadarkan bahwa perintah kaisar Agustus tersebut justru merupakan penggenapan dari rencana Allah. Di Mikha 5:1 terdapat nubuat Allah: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala”.   Allah telah merencanakan karya keselamatanNya yaitu inkarnasi Kristus di Betlehem ribuan tahun sebelum kaisar Agustus lahir dan memerintah. Dengan demikian, kaisar Agustus dalam berita Alkitab sebenarnya hanya dipandang sebagai alat di tangan Allah. Perintah kaisar Agustus untuk mendaftarkan semua penduduk di wilayah kerajaan Romawi pada hakikatnya terjadi di bawah kendali otoritas kehendak dan rencana Allah. Sehingga melalui perintah kaisar Agustus tersebut mendorong Maria untuk pergi meninggalkan kota Nazaret ke Betlehem. Ini berarti yang menjadi penguasa kehidupan kita bukanlah pemerintah atau penguasa, tetapi Allah.
Sekilas pemerintah atau penguasa dunia ini mampu mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan kita. Padahal keputusan-keputusan atau kebijaksanaan mereka dalam konteks tertentu merupakan wujud dari rencana Allah bagi kehidupan kita. Namun sayangnya, manusia seringkali menjadikan orang-orang yang berkuasa sebagai tempat untuk bersandar dan sumber berkat. Pada zamannya kaisar Agustus mengklaim dirinya sebagai “kurios” (penguasa atau tuan) bagi seluruh penduduknya. Sebaliknya banyak penduduk yang mendewa-dewakan atau memuja-muja kebesaran kaisar Agustus. Sehingga banyak orang akan merasa bahagia dan sukacita jikalau mereka memiliki hubungan yang dekat dengan para  penguasa. Mereka merasa diri lebih aman, tenteram dan terjamin keselamatannya karena merasa dilindungi atau dijaga oleh para penguasa. Pola berpikir seperti inilah yang kelak menghasilkan sikap kolusi. Sebab dalam kolusi, orang-orang yang ingin dekat dan memperoleh keuntungan dari pemerintah bersedia untuk membayar uang pelicin atau uang haram. Sebagai gantinya, pemerintah atau penguasa yang merasa diuntungkan dapat menganggap mereka sebagai “orang-orang terdekat dan terpercaya”. Itu sebabnya dari sikap kolusi dapat berkembang menjadi sikap nepotisme. Lingkaran sikap kolusi dan nepotisme selalu berujung kepada tindakan yang korup. Kini berita Natal justru memproklamirkan bahwa Allah adalah Tuhan yang menjadi pelindung dan Juru-selamat sejati umat manusia. Peristiwa Natal mengkontraskan 2 penguasa, yaitu kaisar Agustus dengan Yesus Kristus!  Keduanya sama-sama raja, tetapi kelak terbukti hanya Kristuslah sang Raja Kehidupan yang mampu mengaruniakan keselamatan, ketenteraman dan kebahagiaan yang sejati. Sehingga tidak mengherankan jikalau Mazmur 97:1 mengungkapkan pujian kepada Allah yang adalah Raja: “TUHAN adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita!” Yang dipuji oleh bumi dan banyak pulau bukanlah para raja dan penguasa dunia, tetapi Allah yang adalah Raja Kehidupan.
Yang Berkenan Kepada Allah
Sebagai Raja Kehidupan, Allah memiliki hak dan kedaulatan penuh atas hidup manusia. Namun kedaulatan Allah sebagai Raja senantiasa dilandasi oleh rahmatNya yang bebas. Itu sebabnya dalam peristiwa Natal, rahmat Allah justru dinyatakan kepada orang yang berkenan kepadaNya yaitu para gembala di padang Efrata. Para gembala mendengar nyanyian para malaikat memuji Allah: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Luk. 2:11).  Sukacita dan damai-sejahtera yang dinyatakan dalam nyanyian para malaikat ditujukan kepada orang “yang berkenan kepada Allah”. Ungkapan kata “yang berkenan” (eudakia) dalam Injil Lukas juga dipakai dalam peristiwa baptisan Kristus di sungai Yordan (Luk. 3:22). Makna ungkapan “eudakia” berarti: “good-will” (kehendak mulia), “good-pleasure” (kesukaan), “favor” (kemurahan), “feeling of complacency of God” (perasaan puas akan Allah), “satisfaction” (kepuasan), “happiness” (kebahagiaan), “delight of men” (kegembiraan). Dengan demikian berita sukacita dan damai-sejahtera Natal pada haikatnya ditujukan kepada orang-orang yang berkehendak mulia, yang hidup dalam kemurahan hati, yang puas dengan pemeliharaan Allah dan bahagia dalam  menyambut  berkat Allah. Jadi makna “orang-orang yang berkenan kepada Allah” tidak serta merta identik dengan orang-orang yang termaginalisasi. Sebab orang-orang yang termaginalisasi umumnya hanya dikaitkan dengan orang-orang yang miskin, orang-orang yang terasing dan tidak berdaya secara ekonomis atau hukum. Padahal belum tentu setiap orang yang  miskin, orang-orang terasing dan tidak berdaya secara ekonomis atau hukum berstatus “berkenan kepada Allah”. Tepatnya orang-orang yang berkenan kepada Allah menunjuk kepada setiap orang yang hidup benar,  yang bersandar kepada Allah, hidup sederhana, bersyukur atas pemeliharaan Tuhan dan berbahagia atas rahmatNya. Jadi makna “orang yang berkenan kepada Allah” lebih menunjuk kepada kualitas iman dan spiritualitas kasih dari umat percaya.
                Dengan demikian berita keselamatan Natal yang membawa sukacita ditujukan kepada setiap orang yang berkenan kepada Allah: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang  berkenan kepada-Nya" (Luk. 2:11).  Berita keselamatan Natal senantiasa melampaui  batas-batas: ekonomis, suku, etnis, bahasa, pandangan hidup dan agama. Peristiwa Natal tidak pernah bergerak secara eksklusif, tetapi selalu menyebar secara inklusif “di antara manusia yang berkenan kepada Allah”.  Kalaupun berita keselamatan Natal pada sisi lain layak dianggap “eksklusif”, maka yang dimaksudkan “eksklusif” di sini karena keselamatan Allah ditujukan hanya kepada “orang-orang yang berkenan kepadaNya”. Berita keselamatan Natal tidak pernah ditujukan kepada orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai “kurios” (tuan dan penguasa) atas hidup orang lain sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaisar Agustus.  Sukacita dan damai-sejahtera Natal juga tidak mungkin diterima oleh setiap orang yang puas diri, sombong, takabur dan memandang rendah sesamanya.
Sukacita Untuk Kemuliaan Allah
Sikap para gembala yang telah memperoleh kabar gembira dari para malaikat disaksikan: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita."  Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu (Luk. 2:15-17). Mereka bersukacita dengan apa yang telah mereka terima dan alami. Namun lebih dari pada itu, mereka juga berkomitmen membagikan sukacita keselamatan untuk kemuliaan Allah. Para gembala menjadi para pemberita Injil pertama agar kemuliaan Allah yang telah mereka lihat juga dapat dialami oleh orang lain. Ini berarti sukacita  dan damai-sejahtera Natal bukanlah sesuatu yang sifatnya pasif dan konsumtif. Seharusnya kita bersukacita karena kita dapat membagikan kepada orang lain sehingga mereka dapat berbahagia dan mengalami keselamatan Allah. Bahkan orang yang berkenan kepada Allah mampu menggunakan penderitaan dan tragedi hidupnya sebagai sumber inspirasi yang memberi kekuatan kepada orang lain. Victor Frankl seorang Yahudi yang di Austria (26 Maret 1905 - 2 September 1997) dapat mengilhami kita bagaimanakah mampu bersukacita dan hidup yang bermakna untuk kemuliaan Allah. Pada tahun 1942 dia bersama  keluarga dan orang-orang Yahudi lainnya diangkut dengan gerbong kereta api dari kota kelahirannya di Wina, Austria menuju di sebuah kota yang bernama Auschwitz. Mereka dijajar menjadi 2 kelompok kiri dan kanan. Ternyata mereka yang berada di kelompok sebelah kiri semuanya dimasukkan ke dalam kamar gas atau eksekusi tembak. Victor Frankl baru menyadari bahwa yang termasuk di kelompok sebelah kiri adalah ayah, ibu, isterinya yang sedang mengandung dan kakaknya laki-laki. Jumlah yang dieksekusi pada hari itu mencapai 1300 orang. Selama dalam tahanan Victor Frankl seringkali mengalami berbagai kekejaman, penghinaan, kelaparan dan kedinginan. Tetapi semangat hidupnya tidak pernah pudar. Dia belajar bahwa manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan, yaitu kebebasan untuk memilih atau kemauan akan arti kehidupan. Itu sebabnya dalam bukunya yang berjudul “Man’s Search for Meaning”, Victor Frankl  mengemukakan psikologinya yang disebut “Logotherapy” sebab mengulas tentang arti dari eksistensi manusia dan kebutuhan manusia akan makna hidup.
                Menurut pengakuan Victor Frankl, sumber kekuatan rohaninya diperoleh saat dia menemukan sobekan kertas di jasad temannya. Sobekan kertas tersebut berisi Ul. 6:4-5, yaitu: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!  Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”.  Ayat Alkitab ini menginspirasi Victor Frankl bahwa makna kasih kepada Allah harus dihayati dengan penuh arti walau kehidupan ini sering sewenang-wenang dan dapat mencabut nyawanya. Victor Frankl mampu mengatasi (mentransendensikan) seluruh penderitaannya, sehingga dia mampu memberi respon yang memperkaya rohani dan pemikirannya. Dia tetap mampu bersukacita dan menemukan arti di tengah-tengah kekelaman dan kekejaman hidup. Setelah dia bebas dari tahanan, Frankl kemudian berperan aktif memberi kekuatan, motivasi dan dorongan untuk menemukan arti hidup bagi banyak orang. Bukankah melalui kisah hidup dari Victor Frankl tersebut kita dapat belajar apa artinya sukacita untuk kemuliaan Allah? Berita Natal juga mendorong dan memanggil kita untuk menemukan arti hidup yang telah dianugerahkan Allah melalui peristiwa inkarnasi Kristus. Tetapi juga berita Natal mendorong dan memanggil kita agar kita tetap menjadi berkat dan sumber inspirasi bagi orang lain di tengah-tengah kekelaman penderitaan yang kita alami. Jika kita telah menerima keselamatan Allah yang telah datang dan nyata di dalam Kristus, maka seharusnya   sukacita dan damai-sejahtera kita tidak lagi ditentukan oleh apa yang kita miliki. Semua yang kita miliki suatu saat akan lenyap dan hilang. Tetapi tidak berarti sukacita dan damai-sejahtera Kristus harus ikut lenyap selama kita mau menjadikan Dia sebagai satu-satunya Tuhan dan Raja atas kehidupan  kita.  Di dalam kuasa iman kepada Kristus, kita dimampukan untuk mengatasi (mentransendensikan) diri kita sehingga berbagai kesusahan, permasalahan, dan tekanan hidup tidak pernah berhasil melumpuhkan atau melumpuhkan kita. Sebaliknya kita makin dimampukan untuk menjadi berkat keselamatan dan sukacita bagi orang-orang di sekitar kita.
Panggilan
Sukacita dan damai-sejahtera kita ditentukan oleh sejauh mana kita mampu memberi respon iman terhadap segala peristiwa hidup yang paling berat dan menyedihkan. Ketika kita mampu memberi respon iman yang tepat dengan berlandaskan kepada anugerah keselamatan Allah, maka tidak ada penderitaan, kegagalan, kekejaman dan ketidakadilan hidup ini yang mampu merampas sukacita dan damai-sejahtera kita.  Karena itu sebagai orang-orang yang telah memperoleh kemurahan kasih Allah, kita dipanggil untuk menjadi pemberita-pemberita keselamatan yang membawa sukacita dan damai-sejahtera Kristus. Bagaimanakah jawaban saudara? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar