Minggu, 04 Desember 2011

MENJADI DEWASA DI TAHUN BARU UNTUK MENDAPAT BERKAT


Bil. 6:22-27, Mzm. 8, Gal. 4:4-7, Luk. 2:15-21


Dalam bacaan firman Tuhan kita dinyatakan: “Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibuNya” (Luk. 2:21). Apa yang dikisahkan oleh Injil Lukas ini tentang diri Tuhan Yesus adalah mau menyatakan bahwa Kristus sebagai wujud inkarnasi dari Firman Allah sungguh-sungguh taat kepada hukum Taurat. Kristus bukan hanya sekedar menjadi seorang manusia di antara sesamanya, tetapi juga Kristus telah berinkarnasi menjadi manusia yang bersedia taat kepada hukum Allah sebagaimana yang dihayati dalam keagamaan umat Israel.  Inkarnasi Kristus menjadi manusia pada hakikatnya terjadi dalam suatu konteks, dan konteks kehidupan tersebut adalah umat Israel yang telah memperoleh karunia Allah berupa ketentuan hukum Taurat. Sehingga dalam inkarnasiNya Kristus bersedia taat kepada ketentuan hukum Taurat. Itu sebabnya dalam usiaNya ke delapan hari sesuai dengan hukum Taurat Kristus sebagai anak laki-laki Israel harus disunatkan. Di Im. 12:3 Allah berfirman: “Dan pada hari yang kedelapan haruslah dikerat daging kulit khatan anak itu” (lihat juga Kej. 17:12).  Lalu pada saat penyunatan itu Yusuf dan Maria menamakan Kristus dengan nama “Yesus” yaitu nama yang telah disebut oleh malaikat Tuhan sebelum Kristus dikandung oleh Maria.  
Dengan demikian dalam berita kesaksian Luk. 2:21, Alkitab  mau menyatakan bahwa inkarnasi Kristus menjadi manusia pada hakikatnya ditandai oleh sikap ketaatan dan sikap merendahkan diri kepada ketentuan hukum Allah yang berlaku. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal. 4:4) Jadi Kristus yang adalah Firman Allah bukan hanya bersedia untuk merendahkan diriNya menjadi manusia, tetapi lebih dari pada itu Kristus sungguh-sungguh taat kepada ketentuan firman Allah yang berlaku waktu itu.   

                Makna sunat dalam kehidupan agama umat Israel pada hakikatnya sebagai tanda dari perjanjian Allah dengan umatNya yang berdosa. Di Kej. 17:10 Allah berfirman kepada Abraham, yaitu: “Inilah perjanjianKu yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda  perjanjian antara Aku dan kamu”.  Dalam perjanjian tersebut, Allah bersedia untuk mengikatkan diriNya dengan umat yang sebenarnya tidak layak hidup di hadapanNya. Sebab bagaimanapun juga setiap manusia telah berdosa dan tidak layak di hadapanNya. Itu sebabnya melalui upacara sunat dipakai oleh Allah untuk mengikat perjanjian antara umat Israel dengan diri Tuhan, sebab melalui pengeratan kulit khatan anak laki-laki dipakai sebagai simbol pengeratan atau pemotongan dari segala hal yang bercela. Dalam budaya Timur Tengah kulit khatan yang terdapat di kelamin orang laki-laki dianggap sebagai simbol kenajisan dan kecemaran. Sehingga pengeratan (penyunatan) terhadap kulit khatan kelamin seorang pria dimaknai sebagai pemotongan dari segala bentuk kecemaran dosa.  Itu sebabnya sebelum perintah sunat, Allah berfirman kepada Abraham, yaitu: “Akulah Allah yang Mahakuasa, hiduplah di hadapanKu dengan tidak bercela” (Kej. 17:1).  Tujuannya agar setiap orang yang menyebut umat Tuhan hidup dalam kekudusan, sebab mereka telah menyunatkan diri baik secara fisik maupun secara batin. Jadi melalui upacara sunat sebenarnya mau menyatakan bahwa setiap manusia telah berdosa di hadapan Tuhan, tetapi dalam kasih karunia Tuhan, Allah berkenan mengangkat manusia menjadi umatNya asalkan mereka bersedia “bersunat hati” yang diawali oleh sunat fisik. Selain itu melalui upacara sunat tersebut dihayati oleh umat Allah sebagai tanda pengakuan akan ke-Tuhan-an Allah, yaitu hanya Allah saja yang Mahakuasa; sehingga setiap umat dipanggil untuk setia kepada Allah dan kehendakNya.
Manakala Tuhan Yesus disunat dalam usia 8 hari menurut ketentuan hukum Taurat sesungguhnya mau menyatakan bahwa Kristus bersedia ditempatkan sebagai bagian dari kelompok manusia yang berdosa. Kristus menjadi bagian dari kehidupan umat manusia yang berdosa, sekaligus Dia juga menjadi bagian dari umat Allah yang diikat oleh perjanjian kasih-karunia dengan Allah. Dengan demikian Kristus telah memposisikan diriNya sebagai anggota dari umat manusia yang berdosa. Tetapi pada sisi yang lain Kristus tetap hidup kudus tanpa cela. Dia hidup di tengah-tengah orang berdosa, tetapi Dia sama sekali tidak berdosa. Itu sebabnya surat Ibrani berkata: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Kristus dapat merasakan kelemahan-kelemahan diri kita sebagai orang yang berdosa dan Dia juga pernah dicobai oleh Iblis, tetapi Kristus mampu membuktikan diriNya untuk tetap hidup kudus dan benar di hadapan Allah. Sehingga Kristus mamput memenuhi peranNya secara sempurna sebagai seorang Imam Besar yang mampu mendamaikan dan menyelamatkan umat manusia dengan Allah. Sesuai dengan nama yang diberikan oleh malaikat Tuhan kepada Yusuf, yaitu nama “Yesus” yang artinya: “yang menyelamatkan umatNya dari kuasa dosa”. Sebab nama “Yesus” dalam tradisi umat Israel berakar pada nama “Yahweh” yang berarti: “Tuhan penyelamat umatNya”. Sehingga dalam peristiwa penyunatan Tuhan Yesus, pada hakikatnya Allah di dalam Kristus memproklamasikan diriNya sebagai sang Penyelamat yang kini telah hadir dan berkarya dalam kehidupan manusia.  Rasul Paulus berkata: “Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal. 4:5). 

                 Apabila melalui upacara sunat umat Israel diikat dalam perjanjian kasih karunia dengan Allah, maka secara khusus dalam iman kepada Kristus kita selaku umat Allah oleh anugerah Allah telah diangkat menjadi anak-anak Allah. Kita memang menjadi umat Allah karena perjanjian anugerah Allah, tetapi di dalam iman kepada Kristus secara khusus kita diperkenankan menjadi “anak-anak perjanjian Allah”. Sehingga kepada kita yang percaya kepada Kristus, Allah mengaruniakan hak waris kerajaan Allah, sehingga Allah di dalam Kristus dapat menjadi Bapa kita. Rasul Paulus berkata: “Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.  Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: ‘ya Abba, ya Bapa!’ Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah” (Gal. 4:5-7).  Dengan demikian makna Kristus yang taat kepada ketentuan hukum Taurat melalui upacara sunat pada hakikatnya adalah untuk menebus segenap dosa kita, sehingga kita dapat menjadi benar di hadapan Allah. Sehingga dalam iman kepada Kristus kita diperkenankan untuk menjadi ahli waris kerajaan Allah. Sebagai ahli waris kerajaan Allah, kita diangkat  oleh Kristus sebagai anak-anak Allah. Jadi makin bertambah jelas bahwa ketaatan Kristus kepada hukum Taurat dan juga Dia disunat menurut ketentuan hukum Taurat bukan karena Kristus berada di bawah kuasa dosa atau hidup bercela; tetapi sesungguhnya Dia taat kepada hukum Taurat agar Dia dapat menebus kita dari kuasa dosa. Di dalam Kristus kita bukan lagi berstatus sebagai seorang hamba yang taat kepada hukum Allah karena rasa takut akan hukuman Allah; tetapi kita taat kepada hukum Allah karena kita diangkat sebagai anak-anak Allah yang bebas dari rasa takut.  Kita mentaati hukum dan kehendak Allah didasarkan oleh kasih kepada Tuhan sebagaimana kasih seorang anak kepada bapanya.  

                Manakala kita menengok kehidupan kita di tahun-tahun yang telah lewat, seringkali kegagalan kita sebagai umat percaya disebabkan karena kualitas ketaatan kita kepada Tuhan bukan didasarkan kepada kasih. Sebab ketaatan kita seringkali masih bersifat lahiriah. Makna “sunat” kita pahami dan hayati secara fisik belaka. Itu sebabnya kegiatan ibadah dan pelayanan yang kita lakukan sering hanya menyentuh pada bagian permukaan dari spiritualitas kita. Tetapi bagian inti dan yang terdalam dari spiritualitas iman kita sama sekali belum diresapi oleh kasih Tuhan. Itu sebabnya betapa banyak orang Kristen yang tampaknya hidup saleh dan mentaati firman Tuhan bukan karena ketulusan dan kesucian hatinya, tetapi karena dia takut terhadap hukuman dan murka Allah. Akibatnya kehidupan kekristenan mereka tidak pernah membawa kepada suatu sukacita dan damai-sejahtera. Di Luk. 2:20 disaksikan bagaimana sikap para gembala setelah mereka mendengar berita kelahiran Kristus dan menyaksikan bayi Kristus. Para gembala tersebut kemudian dipenuhi oleh sukacita dan dorongan untuk memuliakan Allah, yaitu: “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka”.  Sukacita, kegembiraan dan dorongan untuk memuliakan Allah lahir dari hati mereka yang  paling dalam karena mereka telah mengalami makna perjumpaan dengan Kristus. Ketaatan para gembala untuk melakukan perintah dari malaikat Tuhan sungguh-sungguh karena kasih dan ketulusan hati mereka. Sikap iman dan spiritualitas para gembala tersebut seharusnya menjadi model setiap umat percaya dalam menghayati ketaatan kepada kehendak dan firman Tuhan. Sebagai orang Israel para gembala bukan hanya telah disunat secara fisik, tetapi dalam perjumpaannya dengan bayi Kristus kini mereka juga mengalami makna “sunat hati”.

                Seharusnya pada awal tahun ini kehidupan kita makin mengalami makna dari “sunat hati”. Apabila kita bersunat hati, maka kita akan sungguh-sungguh mau mengerat segala hal yang najis dan kotor yang telah terjadi dalam kehidupan kita sebelumnya. Apabila kehidupan kita dilandasi oleh kasih dan perjumpaan dengan Tuhan, maka pastilah kita dimampukan untuk mengerat berbagai hal yang najis dan buruk dalam karakter dan kepribadian kita. Namun dalam kenyataan hidup makna pergantian tahun seringkali hanya ditandai oleh berbagai yang artifisial, yaitu segala sesuatu yang hanya tampak indah di permukaan tetapi bagian dalam yang buruk dan kotor justru diperkuat dan disembunyikan. Itu sebabnya manusia sering gemar dengan segala hal yang bersifat ritual keagamaan, seperti mereka sangat memperhatikan sunat fisik, hari-hari raya, berbagai bentuk ibadah; tetapi kehidupan mereka tidak pernah ditandai oleh transformasi iman. Apabila mereka semula pemarah, maka mereka tetap tidak mampu mengendalikan nafsu amarahnya; apabila mereka suka berzinah, maka mereka tetap tidak mampu melawan hawa nafsu seksualnya; apabila mereka gemar berlaku sewenang-wenang, maka mereka tetap tidak memiliki hati yang berbelas kasihan kepada sesamanya.  Dengan pola hidup dan spiritualitas yang tidak transformatif, maka mereka tidak pernah mampu menikmati berkat-berkat yang telah disediakan oleh Tuhan.  Mereka sepertinya berhasil memperoleh banyak hal, tetapi anehnya hidup mereka tidak pernah bahagia dan mengalami damai-sejahtera dari Tuhan. Mereka sepertinya sukses memperoleh banyak barang-barang duniawi; tetapi kehidupan spiritualitasnya sangat miskin, dangkal dan kosong. Dalam perayaan liturgi mereka menundukkan kepala menerima berkat Allah; tetapi jiwa dan roh mereka tetap gelisah, tidak bahagia, dan tidak tenteram. Mereka sibuk dengan berbagai kegiatan ibadah dan pelayanan, tetapi mereka tidak hidup dalam bimbingan Roh.

                Padahal dalam perayaan liturgi atau ibadah, berkat Allah dinyatakan: “Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau; Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil. 6:24-26). Berkat Allah tersebut tidak cukup disambut hanya dengan gerakan fisikal seperti kepala yang tertunduk, tetapi apakah hati dan roh kita dengan tulus tertunduk untuk taat kepada kehendak Allah. Berkat Allah juga tidak akan kita terima manakala kita hanya bersunat secara jasmaniah belaka, tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah kita telah bersunat secara rohaniah. Jika demikian spiritualitas iman kita akan menjadi dewasa atau matang ketika kehidupan kita di pergantian tahun yang baru ini senantiasa ditandai oleh sunat hati. Manakala spiritualitas kita terus menerus ditransformasi oleh sunat hati, maka pastilah berkat Tuhan yang tidak dapat diberikan oleh dunia akan kita alami secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya iman kita akan tetap tidak pernah bertumbuh, bahkan sikap iman kita akan cenderung bersikap kekanak-kanakan apabila kehidupan rohani kita hanya dipenuhi oleh berbagai aspek dari “sunat fisik”. Dengan status bersunat fisik, kita tidak akan pernah menerima berkat-berkat Allah.
Jika demikian, bagaimanakah sikap saudara dalam menghayati pergantian tahun ini? Marilah kita meneladani sikap para gembala yang taat kepada kehendak Allah dengan penuh rasa sukacita dan memuliakan Allah. Kita juga dipanggil untuk  meneladani sikap Tuhan Yesus yang sejak semula bersedia merendahkan diriNya serta taat kepada ketentuan kehendak Allah agar Dia dapat merangkul dan memberdayakan setiap orang yang lemah. Tujuannya agar kita juga bersedia untuk merangkul setiap orang yang lemah, tidak berdaya dan gagal dalam kehidupan ini sehingga kita mampu memberdayakan mereka dalam perjumpaan mereka secara pribadi dengan Tuhan. Sebab memang dengan kekuatan, akal-budi, pengertian, kebijaksanaan dan keagamaan kita sendiri, kita tidak dapat memberdayakan sesama kita. Tetapi kita akan dimampukan untuk memberdayakan sesama kita, manakala kita memfasilitasi sesama kita untuk berjumpa secara pribadi dengan sang Juru-selamat. Maukah saudara untuk menjadi fasilitator dan pembimbing bagi setiap sesama yang lemah dan tidak berdaya agar mereka dapat berjumpa dengan Kristus? Mereka perlu berjumpa dengan Kristus agar mereka dapat mengalami sunat hati, yaitu kehidupan yang terus-menerus ditransformasi atau diperbaharui oleh kuasa penyelamatan Kristus. Untuk tujuan itu kita juga perlu bersunat hati sehingga kehidupan Kristus yang telah merendahkan diri dan taat kepada kehendak Allah juga tampak secara nyata dalam setiap aspek kehidupan kita. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar