Yes. 35:1-10, Mazm. 146:1-10, Yak. 5:7-10, Mat. 11:2-11
Sosok pribadi Yohanes Pembaptis tampil bagai batu karang yang kokoh di tengah-tengah padang gurun Israel. Suaranya yang tajam mengungkap kebenaran sering menukik tajam bergema tanpa rasa takut. Yohanes Pembaptis dengan berani menegur kehidupan orang Farisi dan orang Saduki di tepi sungai Yordan sebagai “keturunan ular beludak” (Mat. 3:7). Dia juga tidak segan menegur secara terbuka kehidupan raja Herodes yang mengambil Herodias, isteri saudaranya, dengan pernyataan: “Tidak halal engkau mengambil Herodias” (Mat. 14:4). Itu sebabnya Yohanes Pembaptis di Mat. 11:2 dipenjarakan. Tetapi dinding-dinding penjara yang keras dan dingin serta belenggu besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya dalam kurun waktu yang mungkin cukup lama, membuat Yohanes Pembaptis mulai bertanya di dalam hatinya tentang diri Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11:2-3).
Sosok pribadi Yohanes Pembaptis tampil bagai batu karang yang kokoh di tengah-tengah padang gurun Israel. Suaranya yang tajam mengungkap kebenaran sering menukik tajam bergema tanpa rasa takut. Yohanes Pembaptis dengan berani menegur kehidupan orang Farisi dan orang Saduki di tepi sungai Yordan sebagai “keturunan ular beludak” (Mat. 3:7). Dia juga tidak segan menegur secara terbuka kehidupan raja Herodes yang mengambil Herodias, isteri saudaranya, dengan pernyataan: “Tidak halal engkau mengambil Herodias” (Mat. 14:4). Itu sebabnya Yohanes Pembaptis di Mat. 11:2 dipenjarakan. Tetapi dinding-dinding penjara yang keras dan dingin serta belenggu besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya dalam kurun waktu yang mungkin cukup lama, membuat Yohanes Pembaptis mulai bertanya di dalam hatinya tentang diri Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11:2-3).
Mental batu karang dalam diri Yohanes Pembaptis mulai mengendur. Dia mulai bertanya-tanya dalam hati, yaitu: “Benarkah Yesus adalah Messias, yang akan datang membaptis manusia dengan Roh Kudus dan api?” Ataukah dia masih harus menantikan seorang Messias lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya tidak terjawab dalam diskusi dengan batinnya, sehingga dia kemudian menyuruh beberapa muridnya untuk bertanya kepada Yesus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Yohanes Pembaptis ingin memperoleh jawaban dan penegasan langsung dari Yesus agar keragu-raguannya tidak terus mengambang. Ternyata Yohanes Pembaptis yang terkenal dengan mental batu karang yang kokoh dari padang gurun tetap dapat ragu-ragu dengan imannya kepada Kristus ketika dia diperhadapkan oleh penderitaan dan kesusahan yang dialaminya.
Selaku umat percaya, kita juga dapat mengalami keadaan yang sama seperti Yohanes Pembaptis. Dalam situasi tertentu kita dapat tampil sebagai seorang yang begitu tegar, kokoh dan tidak tergoyahkan serta setia kepada Tuhan Yesus. Namun ketika kita terus didera oleh berbagai penyakit, penderitaan, dan kegagalan dalam usaha atau pekerjaan maka mulailah kita ragu-ragu kepada Tuhan Yesus. Kita mulai bertanya-tanya, benarkah Tuhan Yesus sungguh-sungguh Messias dan Juru-selamat kita? Iman kita kepada Kristus mulai goyah. Hati kita mulai bimbang, apalagi keadaan buruk dan penderitaan kita tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda jalan keluar. Rasa bimbang atau ragu-ragu tersebut akhirnya makin berkembang menjadi sikap putus-asa. Tak lama kemudian sikap putus-asa tersebut dapat berkembang menjadi sikap ketidakpercayaan. Demikian pula keadaan yang dialami oleh Yohanes Pembaptis di penjara. Namun sangat menarik bagaimanakah sikap dan jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan, keragu-raguan dan kebimbangan dari Yohanes Pembaptis? Ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak marah dan kecewa terhadap Yohanes Pembaptis. Kepada murid-murid Yohanes Pembaptis yang membawa tugas menyampaikan pertanyaan yang berisi keragu-raguan tersebut, Tuhan Yesus menjawab: “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:4). Jawaban Tuhan Yesus kepada murid-murid Yohanes Pembaptis pada prinsipnya bertujuan untuk mengingatkan segala karyaNya sebagai Messias, yaitu: orang buta dicelikkan, orang lumpuh dipulihkan, orang sakit kusta ditahirkan, orang yang tuli disembuhkan, orang yang mati dapat dibangkitkan, dan kepada orang miskin telah diberitakan kabar baik dan penghiburan dari Allah. Dalam menghadapi keragu-raguan Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus tidak memberikan jawaban verbalisme atau uraian teologis tentang ke-Messias-anNya. Tetapi Tuhan Yesus mengajak Yohanes Pembaptis dan murid-muridNya untuk menyaksikan seluruh karya-karya penyelamatan Allah telah terjadi di dalam kehidupanNya. Karya-karya Kristus yang telah dialami oleh umat Israel merupakan tanda dan bukti bahwa Dialah sang Messias, yang diutus oleh Allah.
Walaupun Yohanes Pembaptis sempat ragu-ragu tentang diri Kristus, ternyata tidak mengurangi pujian dan penghargaan Tuhan Yesus terhadap dia. Di Mat. 11:9 Tuhan Yesus menyatakan bahwa sesungguhnya Yohanes Pembaptis lebih dari pada nabi. Jadi Yohanes Pembaptis memang seorang nabi, namun dia juga lebih dari pada nabi. Padahal bagi umat Israel, jabatan seorang nabi pada hakikatnya adalah hamba Allah yang telah dipilih oleh Allah dengan anugerah khusus. Sehingga tidak berlebihan jikalau jabatan nabi sebagai sesuatu yang sangat mulia dan “tinggi”. Demikian pula dalam konteks Indonesia, jabatan sebagai nabi dianggap sebagai jabatan yang tertinggi dan hanya segelintir manusia yang boleh disebut sebagai “nabi Allah”. Tetapi kini Tuhan Yesus menyebut Yohanes Pembaptis dengan pujian bahwa dia “lebih dari pada nabi”. Lebih lanjut Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar padanya” (Mat. 11:11). Jelas dari sudut pandang Tuhan Yesus, sesungguhnya Yohanes Pembaptis memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kenabiannya melampaui seluruh para nabi yang ada; karena Yohanes Pembaptis disebut oleh Tuhan Yesus sebagai inkarnasi dari nabi Elia yang pernah dinubuatkan, dan dia akan datang kembali (bdk. Mal. 4:5-6). Sikap keragu-raguan Yohanes Pembaptis ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam koridor yang wajar sebagai seorang manusia. Namun kesetiaan dan ketangguhan iman Yohanes Pembaptis tidak berarti telah runtuh. Dia mampu membuktikan diri dalam kematiannya sebagai seorang martir. Yohanes Pembaptis akhirnya mati dipenggal karena permintaan Herodias yang merasa terusik dengan tegurannya, sehingga perselingkuhan antara Herodias dengan Herodes diketahui oleh publik.
Dari kisah Yohanes Pembaptis yang mati secara tragis dengan cara dipenggal oleh Herodes menimbulkan pertanyaan teologis, yaitu: “mengapa Tuhan Yesus tidak menolong dan menyelamatkan Yohanes Pembaptis?” Bukankah Tuhan Yesus telah mengingatkan para murid Yohanes Pembaptis tentang karya penyelamatanNya sebagai seorang Messias Allah? Jadi bukankah Tuhan Yesus mampu membebaskan Yohanes Pembaptis dari penjara dan belenggu yang mengikatnya, sehingga dia tidak harus mengalami kematian yang mengerikan? Atau seandainya Yohanes Pembaptis harus mati dengan cara dipenggal, bukankah Tuhan Yesus juga mampu untuk membangkitkan dia kembali sebagaimana yang terjadi dalam kisah Lazarus yang dibangkitkan dari kubur? Kalau mau jujur, bukankah lebih “bermanfaat” jikalau Tuhan Yesus membangkitkan Yohanes Pembaptis dari pada Dia membangkitkan Lazarus dari kematiannya? Mengapa Tuhan Yesus tidak memberi pertolongan apapun sehingga Yohanes Pembaptis mengalami kematian yang tragis itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga sering muncul dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa Tuhan terkesan diam dan tidak menunjukkan kuasa dan pertolonganNya kepada orang yang jelas-jelas hidup benar? Mengapa Tuhan terkesan membiarkan beberapa orang saleh mengalami hal-hal yang sangat buruk dan tragis?
Umat manusia pada umumnya sering memiliki sikap yang antusias dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih khusus lagi umat beriman sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan teologis yang berat agar mereka dapat memperoleh jawaban yang tuntas dan mendalam. Mereka bertanya, mengapa hal ini dapat menimpa kehidupan orang saleh? Dorongan pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak dapat dielakkan muncul dari sanubari manusia tentang bagaimana implemenatasi dari karya penyelamatan Allah dan kuasaNya. Tetapi setelah Yohanes Pembaptis menerima penjelasan dari Tuhan Yesus tentang karya-karya penyelamatanNya sebagai Messias, apakah dia masih tetap ragu dan bimbang kepada Tuhan Yesus karena secara faktual dia tetap berada di dalam penjara? Apakah Yohanes Pembaptis pada detik-detik kematiannya tetap ragu kepada Tuhan Yesus? Alkitab tidak pernah memberi keterangan tentang sikap perasaan dari Yohanes Pembaptis ketika dia akan menghadapi kematiannya. Tetapi satu hal yang mungkin adalah Yohanes Pembaptis lebih mengedepankan pertanyaan “bagaimana” dari pada pertanyaan “mengapa”. Maksudnya Yohanes Pembaptis akan lebih mengedepankan pertanyaan teologis, yaitu: “bagaimana dia harus menyikapi keadaannya yang terpuruk dengan tetap setia dan percaya akan kasih Allah”. Bagaimana dia tetap percaya tanpa syarat kepada Tuhan Yesus sebagai Messias walaupun dia sebentar lagi akan menghadapi peristiwa kematian yang sangat menyakitkan dan mengerikan. Dengan sikap “bagaimana” yaitu: bagaimana dia tetap bertekad setia kepada Kristus telah memampukan Yohanes pembaptis untuk menerobos (“breakthrough”) dari kebekuan misteri Allah yang tidak mudah dicerna dan dianalisa oleh pemikiran filosofis-teologis. Dengan sikap “bagaimana” Yohanes Pembaptis menyikapi realita hidup yang kejam dan sewenang-wenang dengan sikap iman, sehingga memampukan dia untuk lebih mengedepankan aspek tanggungjawabnya sebagai seorang nabi yang bersedia membayar suara kenabiannya dengan nyawa dan hidupnya. Jadi dengan sikapnya tersebut Yohanes Pembaptis telah membuktikan kebesaran dan keagungannya sebagai seorang nabi. Itu sebabnya Tuhan Yesus menyebut dia dengan suatu pujian yaitu: bahwa dia “lebih dari pada nabi”. Pujian Tuhan Yesus tersebut ternyata tidak berlebihan, karena Yohanes Pembaptis telah berhasil membutkikan iman dan kesetiaannya kepada Kristus.
Selaku umat percaya kita sering tidak mampu menghayati makna penantian kedatangan Tuhan. Karena kita sering terjebak dalam kebekuan spiritual dengan berbagai pertanyaan “teologis” kita yang tidak terjawab. Begitu banyak pertanyaan “mengapa” yang muncul dari pikiran dan perasaan kita tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata hanya mengambang tanpa ada jawaban dari Tuhan. Mengapa kita diperlakukan secara tidak adil. Mengapa kita mendapat musibah yang beruntun. Mengapa kita mengalami tragedi di saat kita melayani pekerjaan Tuhan. Semua pertanyaan “mengapa” tersebut sungguh-sungguh mengusik hati dan mulai menggerogoti sendi-sendi iman serta harapan kita kepada Allah. Akibatnya kita mulai bersungut-sungut dan mempersalahkan Tuhan. Itu sebabnya di Yak. 5:9, rasul Yakobus memberi nasihat demikian: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu”. Kita sering bersungut-sungut, berkeluh kesan dan marah kepada Tuhan karena kita merasa Tuhan telah mengabaikan dan tidak menolong diri kita. Itu sebabnya kita melampiaskan sungut-sungut kita dengan kemarahan kepada orang-orang di sekitar kita atau kita gemar menyalahkan keadaan. Dengan sikap yang demikian, sesungguhnya kita gagal menunjukkan kualias iman. Kita telah terjebak dalam spiritualitas yang palsu, yang mana kita merasa telah berbuat begitu banyak kebajikan dan pelayanan kepada Tuhan, lalu kini kita menuntut agar Tuhan segera bertindak menurut keinginan hati kita. Sebaliknya spiritualitas yang murni berarti kita dimampukan untuk menerobos dan melampaui segala hal yang tidak terjawab dengan mengedepankan komitmen iman yang tanpa syarat, sehingga kita berlaku tetap setia kepada Tuhan. Yak. 5:10-11 berkata: “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun”. Kita tetap dapat setia kepada Tuhan, walaupun tidak semua hal yang kita inginkan atau kita tanyakan telah terjawab dengan tuntas.
Ini tidak berarti makna kesetiaan kita kepada Tuhan sekedar dorongan perasaan religius seperti yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Tetapi kita percaya bahwa makna dan tujuan kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Kita harus melakukan tugas kita sebaik-baiknya di dunia ini dengan sikap iman yang setia dan kasih tanpa syarat kepada Tuhan Yesus, dan Allah akan mengaruniakan kehidupan yang kekal. Di Yes. 35:1-2 memberikan gambaran kehidupan eskatologis ketika Tuhan datang dalam kemuliaanNya, yaitu: “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan TUHAN, semarak Allah kita”. Mungkin musibah, penderitaan dan tragedi dapat kita alami selama kita masih di dunia ini. Tetapi tidak berarti dalam kehidupan kekal kita terus mengalami keadaan yang demikian. Justru sebaliknya kita dapat menyaksikan bagaimana padang gurun dan padang kering akan bergirang ketika kemuliaan Allah hadir. Allah yang mulia akan menyambut setiap orang percaya dan yang terbukti mampu berlaku setia kepadaNya. Sehingga pada saat kedatangan Tuhan setiap orang percaya akan bersorak-sorai. Sukacita dan kegembiraan orang percaya pada waktu itu sebagai bentuk rasa puas dan bahagia karena mereka telah dapat menembus dan melampaui segala derita yang pada waktu mereka hidup di dunia belum seluruhnya tersingkapkan dan tidak terjawab.
Jika demikian, selaku umat percaya kita tidak perlu kecil hati dan putus-asa ketika kita mengalami berbagai hal yang buruk karena ulah dari kuasa dunia ini; atau ketika kita harus menderita karena kejujuran, kebaikan dan integritas kita. Kisah Yohanes Pembaptis telah membuktikan bagaimana dia harus menderita dan mengalami kematian yang tragis karena suara kenabian dan integritasnya sebagai seorang nabi Allah. Itu sebabnya Yes. 35:3-4 memberi nasihat, demikian: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Pada intinya nabi Yesaya memberi nasihat agar setiap orang percaya tidak menjadi lemah dan lesu. Sebaliknya firman Tuhan tersebut makin meneguhkan agar setiap orang percaya tetap kuat dan teguh di dalam Tuhan Yesus, sebab Allah sendiri yang akan datang untuk membalas dengan ganjaranNya yang adil. Jadi bagaimanakah sikap saudara ketika saudara mengalami berbagai hal yang buruk, pahit karena saudara diperlakukan secara sewenang-wenang, kejam dan tidak adil? Apakah saudara terus-menerus dilanda oleh perasaan ragu kepada kebaikan dan penyertaan Tuhan ketika saudara sedang mengalami kegagalan dan sakit? Ataukah saudara sempat ragu, tetapi kemudian saudara makin teguh bersandar kepada Tuhan, bahkan saudara makin mampu menerima segala hal yang buruk itu dengan hati yang lapang karena percaya akan janji Tuhan? Karena itu Allah berfirman: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Dengan anugerah Tuhan kita akan menjadi kuat, dan karena itu kita tidak perlu takut dalam menghadapi kehidupan ini. Amin.
Selaku umat percaya, kita juga dapat mengalami keadaan yang sama seperti Yohanes Pembaptis. Dalam situasi tertentu kita dapat tampil sebagai seorang yang begitu tegar, kokoh dan tidak tergoyahkan serta setia kepada Tuhan Yesus. Namun ketika kita terus didera oleh berbagai penyakit, penderitaan, dan kegagalan dalam usaha atau pekerjaan maka mulailah kita ragu-ragu kepada Tuhan Yesus. Kita mulai bertanya-tanya, benarkah Tuhan Yesus sungguh-sungguh Messias dan Juru-selamat kita? Iman kita kepada Kristus mulai goyah. Hati kita mulai bimbang, apalagi keadaan buruk dan penderitaan kita tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda jalan keluar. Rasa bimbang atau ragu-ragu tersebut akhirnya makin berkembang menjadi sikap putus-asa. Tak lama kemudian sikap putus-asa tersebut dapat berkembang menjadi sikap ketidakpercayaan. Demikian pula keadaan yang dialami oleh Yohanes Pembaptis di penjara. Namun sangat menarik bagaimanakah sikap dan jawaban Tuhan Yesus terhadap pertanyaan, keragu-raguan dan kebimbangan dari Yohanes Pembaptis? Ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak marah dan kecewa terhadap Yohanes Pembaptis. Kepada murid-murid Yohanes Pembaptis yang membawa tugas menyampaikan pertanyaan yang berisi keragu-raguan tersebut, Tuhan Yesus menjawab: “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:4). Jawaban Tuhan Yesus kepada murid-murid Yohanes Pembaptis pada prinsipnya bertujuan untuk mengingatkan segala karyaNya sebagai Messias, yaitu: orang buta dicelikkan, orang lumpuh dipulihkan, orang sakit kusta ditahirkan, orang yang tuli disembuhkan, orang yang mati dapat dibangkitkan, dan kepada orang miskin telah diberitakan kabar baik dan penghiburan dari Allah. Dalam menghadapi keragu-raguan Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus tidak memberikan jawaban verbalisme atau uraian teologis tentang ke-Messias-anNya. Tetapi Tuhan Yesus mengajak Yohanes Pembaptis dan murid-muridNya untuk menyaksikan seluruh karya-karya penyelamatan Allah telah terjadi di dalam kehidupanNya. Karya-karya Kristus yang telah dialami oleh umat Israel merupakan tanda dan bukti bahwa Dialah sang Messias, yang diutus oleh Allah.
Walaupun Yohanes Pembaptis sempat ragu-ragu tentang diri Kristus, ternyata tidak mengurangi pujian dan penghargaan Tuhan Yesus terhadap dia. Di Mat. 11:9 Tuhan Yesus menyatakan bahwa sesungguhnya Yohanes Pembaptis lebih dari pada nabi. Jadi Yohanes Pembaptis memang seorang nabi, namun dia juga lebih dari pada nabi. Padahal bagi umat Israel, jabatan seorang nabi pada hakikatnya adalah hamba Allah yang telah dipilih oleh Allah dengan anugerah khusus. Sehingga tidak berlebihan jikalau jabatan nabi sebagai sesuatu yang sangat mulia dan “tinggi”. Demikian pula dalam konteks Indonesia, jabatan sebagai nabi dianggap sebagai jabatan yang tertinggi dan hanya segelintir manusia yang boleh disebut sebagai “nabi Allah”. Tetapi kini Tuhan Yesus menyebut Yohanes Pembaptis dengan pujian bahwa dia “lebih dari pada nabi”. Lebih lanjut Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar padanya” (Mat. 11:11). Jelas dari sudut pandang Tuhan Yesus, sesungguhnya Yohanes Pembaptis memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kenabiannya melampaui seluruh para nabi yang ada; karena Yohanes Pembaptis disebut oleh Tuhan Yesus sebagai inkarnasi dari nabi Elia yang pernah dinubuatkan, dan dia akan datang kembali (bdk. Mal. 4:5-6). Sikap keragu-raguan Yohanes Pembaptis ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam koridor yang wajar sebagai seorang manusia. Namun kesetiaan dan ketangguhan iman Yohanes Pembaptis tidak berarti telah runtuh. Dia mampu membuktikan diri dalam kematiannya sebagai seorang martir. Yohanes Pembaptis akhirnya mati dipenggal karena permintaan Herodias yang merasa terusik dengan tegurannya, sehingga perselingkuhan antara Herodias dengan Herodes diketahui oleh publik.
Dari kisah Yohanes Pembaptis yang mati secara tragis dengan cara dipenggal oleh Herodes menimbulkan pertanyaan teologis, yaitu: “mengapa Tuhan Yesus tidak menolong dan menyelamatkan Yohanes Pembaptis?” Bukankah Tuhan Yesus telah mengingatkan para murid Yohanes Pembaptis tentang karya penyelamatanNya sebagai seorang Messias Allah? Jadi bukankah Tuhan Yesus mampu membebaskan Yohanes Pembaptis dari penjara dan belenggu yang mengikatnya, sehingga dia tidak harus mengalami kematian yang mengerikan? Atau seandainya Yohanes Pembaptis harus mati dengan cara dipenggal, bukankah Tuhan Yesus juga mampu untuk membangkitkan dia kembali sebagaimana yang terjadi dalam kisah Lazarus yang dibangkitkan dari kubur? Kalau mau jujur, bukankah lebih “bermanfaat” jikalau Tuhan Yesus membangkitkan Yohanes Pembaptis dari pada Dia membangkitkan Lazarus dari kematiannya? Mengapa Tuhan Yesus tidak memberi pertolongan apapun sehingga Yohanes Pembaptis mengalami kematian yang tragis itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga sering muncul dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa Tuhan terkesan diam dan tidak menunjukkan kuasa dan pertolonganNya kepada orang yang jelas-jelas hidup benar? Mengapa Tuhan terkesan membiarkan beberapa orang saleh mengalami hal-hal yang sangat buruk dan tragis?
Umat manusia pada umumnya sering memiliki sikap yang antusias dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih khusus lagi umat beriman sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan teologis yang berat agar mereka dapat memperoleh jawaban yang tuntas dan mendalam. Mereka bertanya, mengapa hal ini dapat menimpa kehidupan orang saleh? Dorongan pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak dapat dielakkan muncul dari sanubari manusia tentang bagaimana implemenatasi dari karya penyelamatan Allah dan kuasaNya. Tetapi setelah Yohanes Pembaptis menerima penjelasan dari Tuhan Yesus tentang karya-karya penyelamatanNya sebagai Messias, apakah dia masih tetap ragu dan bimbang kepada Tuhan Yesus karena secara faktual dia tetap berada di dalam penjara? Apakah Yohanes Pembaptis pada detik-detik kematiannya tetap ragu kepada Tuhan Yesus? Alkitab tidak pernah memberi keterangan tentang sikap perasaan dari Yohanes Pembaptis ketika dia akan menghadapi kematiannya. Tetapi satu hal yang mungkin adalah Yohanes Pembaptis lebih mengedepankan pertanyaan “bagaimana” dari pada pertanyaan “mengapa”. Maksudnya Yohanes Pembaptis akan lebih mengedepankan pertanyaan teologis, yaitu: “bagaimana dia harus menyikapi keadaannya yang terpuruk dengan tetap setia dan percaya akan kasih Allah”. Bagaimana dia tetap percaya tanpa syarat kepada Tuhan Yesus sebagai Messias walaupun dia sebentar lagi akan menghadapi peristiwa kematian yang sangat menyakitkan dan mengerikan. Dengan sikap “bagaimana” yaitu: bagaimana dia tetap bertekad setia kepada Kristus telah memampukan Yohanes pembaptis untuk menerobos (“breakthrough”) dari kebekuan misteri Allah yang tidak mudah dicerna dan dianalisa oleh pemikiran filosofis-teologis. Dengan sikap “bagaimana” Yohanes Pembaptis menyikapi realita hidup yang kejam dan sewenang-wenang dengan sikap iman, sehingga memampukan dia untuk lebih mengedepankan aspek tanggungjawabnya sebagai seorang nabi yang bersedia membayar suara kenabiannya dengan nyawa dan hidupnya. Jadi dengan sikapnya tersebut Yohanes Pembaptis telah membuktikan kebesaran dan keagungannya sebagai seorang nabi. Itu sebabnya Tuhan Yesus menyebut dia dengan suatu pujian yaitu: bahwa dia “lebih dari pada nabi”. Pujian Tuhan Yesus tersebut ternyata tidak berlebihan, karena Yohanes Pembaptis telah berhasil membutkikan iman dan kesetiaannya kepada Kristus.
Selaku umat percaya kita sering tidak mampu menghayati makna penantian kedatangan Tuhan. Karena kita sering terjebak dalam kebekuan spiritual dengan berbagai pertanyaan “teologis” kita yang tidak terjawab. Begitu banyak pertanyaan “mengapa” yang muncul dari pikiran dan perasaan kita tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata hanya mengambang tanpa ada jawaban dari Tuhan. Mengapa kita diperlakukan secara tidak adil. Mengapa kita mendapat musibah yang beruntun. Mengapa kita mengalami tragedi di saat kita melayani pekerjaan Tuhan. Semua pertanyaan “mengapa” tersebut sungguh-sungguh mengusik hati dan mulai menggerogoti sendi-sendi iman serta harapan kita kepada Allah. Akibatnya kita mulai bersungut-sungut dan mempersalahkan Tuhan. Itu sebabnya di Yak. 5:9, rasul Yakobus memberi nasihat demikian: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu”. Kita sering bersungut-sungut, berkeluh kesan dan marah kepada Tuhan karena kita merasa Tuhan telah mengabaikan dan tidak menolong diri kita. Itu sebabnya kita melampiaskan sungut-sungut kita dengan kemarahan kepada orang-orang di sekitar kita atau kita gemar menyalahkan keadaan. Dengan sikap yang demikian, sesungguhnya kita gagal menunjukkan kualias iman. Kita telah terjebak dalam spiritualitas yang palsu, yang mana kita merasa telah berbuat begitu banyak kebajikan dan pelayanan kepada Tuhan, lalu kini kita menuntut agar Tuhan segera bertindak menurut keinginan hati kita. Sebaliknya spiritualitas yang murni berarti kita dimampukan untuk menerobos dan melampaui segala hal yang tidak terjawab dengan mengedepankan komitmen iman yang tanpa syarat, sehingga kita berlaku tetap setia kepada Tuhan. Yak. 5:10-11 berkata: “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun”. Kita tetap dapat setia kepada Tuhan, walaupun tidak semua hal yang kita inginkan atau kita tanyakan telah terjawab dengan tuntas.
Ini tidak berarti makna kesetiaan kita kepada Tuhan sekedar dorongan perasaan religius seperti yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Tetapi kita percaya bahwa makna dan tujuan kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Kita harus melakukan tugas kita sebaik-baiknya di dunia ini dengan sikap iman yang setia dan kasih tanpa syarat kepada Tuhan Yesus, dan Allah akan mengaruniakan kehidupan yang kekal. Di Yes. 35:1-2 memberikan gambaran kehidupan eskatologis ketika Tuhan datang dalam kemuliaanNya, yaitu: “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan TUHAN, semarak Allah kita”. Mungkin musibah, penderitaan dan tragedi dapat kita alami selama kita masih di dunia ini. Tetapi tidak berarti dalam kehidupan kekal kita terus mengalami keadaan yang demikian. Justru sebaliknya kita dapat menyaksikan bagaimana padang gurun dan padang kering akan bergirang ketika kemuliaan Allah hadir. Allah yang mulia akan menyambut setiap orang percaya dan yang terbukti mampu berlaku setia kepadaNya. Sehingga pada saat kedatangan Tuhan setiap orang percaya akan bersorak-sorai. Sukacita dan kegembiraan orang percaya pada waktu itu sebagai bentuk rasa puas dan bahagia karena mereka telah dapat menembus dan melampaui segala derita yang pada waktu mereka hidup di dunia belum seluruhnya tersingkapkan dan tidak terjawab.
Jika demikian, selaku umat percaya kita tidak perlu kecil hati dan putus-asa ketika kita mengalami berbagai hal yang buruk karena ulah dari kuasa dunia ini; atau ketika kita harus menderita karena kejujuran, kebaikan dan integritas kita. Kisah Yohanes Pembaptis telah membuktikan bagaimana dia harus menderita dan mengalami kematian yang tragis karena suara kenabian dan integritasnya sebagai seorang nabi Allah. Itu sebabnya Yes. 35:3-4 memberi nasihat, demikian: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Pada intinya nabi Yesaya memberi nasihat agar setiap orang percaya tidak menjadi lemah dan lesu. Sebaliknya firman Tuhan tersebut makin meneguhkan agar setiap orang percaya tetap kuat dan teguh di dalam Tuhan Yesus, sebab Allah sendiri yang akan datang untuk membalas dengan ganjaranNya yang adil. Jadi bagaimanakah sikap saudara ketika saudara mengalami berbagai hal yang buruk, pahit karena saudara diperlakukan secara sewenang-wenang, kejam dan tidak adil? Apakah saudara terus-menerus dilanda oleh perasaan ragu kepada kebaikan dan penyertaan Tuhan ketika saudara sedang mengalami kegagalan dan sakit? Ataukah saudara sempat ragu, tetapi kemudian saudara makin teguh bersandar kepada Tuhan, bahkan saudara makin mampu menerima segala hal yang buruk itu dengan hati yang lapang karena percaya akan janji Tuhan? Karena itu Allah berfirman: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Dengan anugerah Tuhan kita akan menjadi kuat, dan karena itu kita tidak perlu takut dalam menghadapi kehidupan ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar