Yes. 60:1-6, Mzm. 72:1-7, 10-14; Ef. 3:12; Mat. 2:1-12
Bagi rasul Paulus realita kesesakan hidup dialaminya dalam bentuk berada dalam sebuah penjara. Menurut para ahli tafsir surat Efesus ditulis oleh rasul Paulus ketika ia berada dalam penjara di kota Roma. Dia ditahan dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menunggu pemeriksaan pengadilan di hadapan kaisar Nero. Namun penjara yang mengurung rasul Paulus sedikit istimewa, yaitu dia ditahan dalam sebuah rumah atau mungkin dalam bahasa sekarang rasul Paulus berada dalam tahanan rumah sehingga teman-teman sepelayanan dapat mengunjungi dia sewaktu-waktu. Walaupun demikian harus tetap diingat saat itu dia tetap berstatus sebagai seorang tahanan atau seorang yang secara resmi dipenjarakan sebab seluruh kegiatan kehidupan sehari-hari senantiasa diawasi oleh seorang penjaga atau pengawal prajurit Romawi. Itu sebabnya di Ef. 3:1 rasul Paulus memberi kesaksian, demikian: “Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah” (Ef. 3:1). Rasul Paulus memang sedang terkurung dalam penjara, tetapi satu hal yang indah yaitu bahwa dalam kesesakan hidupnya dia tidak pernah memandang dirinya sebagai korban yang bernasib malang; tetapi dia justru memandang keadaan dirinya yang terpenjara sebagai suatu kesaksian untuk orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dia dipenjara dan mengalami kesesakan hidup bukan karena perbuatannya yang memalukan, jahat dan melukai hati sesame; tetapi dia dipenjara karena dia telah menyaksikan kebenaran dan kasih Allah di dalam Kristus. Esensi penderitaan dan kesesakan hidup yang dialami oleh rasul Paulus terjadi karena dia justru sangat mengasihi Allah, Kristus dan sesamanya. Itu sebabnya dia memberitakan tentang kasih Allah yang telah dinyatakan di dalam karya Kristus agar setiap orang yang mendengar pemberitaannya dapat memperoleh keselamatan dan pengampunan dari Allah.
Ternyata ketiga bentuk penderitaan atau kesesakan hidup yang terjadi baik karena kesalahan diri kita sendiri ataupun disebabkan oleh orang lain maupun penderitaan karena suatu musibah memiliki persamaan. Sebab penderitaan atau kesesakan hidup yang disebabkan karena kesalahan diri sendiri dan menjadi korban kesalahan orang lain, serta musibah yang menimpa kita senantiasa menghasilkan berbagai perasaan negatif dan destruktif. Penderitaan atau kesesakan hidup yang disebabkan kesalahan diri sendiri umumnya mendatangkan perasaan menyesali diri. Sedang penderitaan dan kesesakan hidup yang disebabkan oleh kesalahan orang lain mendatangkan kemarahan, kebencian dan dendam. Lalu penderitaan yang disebabkan oleh suatu musibah, bencana atau kecelakaan mendorong kita untuk menyesali nasib atau membuat kita merasa bernasib malang. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita sering berada di antara perasaan menyesali diri sendiri dan kemarahan atau kebencian kepada orang lain, juga perasaan diri sebagai orang malang. Tetapi bukankah antara perasaan menyesali diri dan kemarahan kepada orang lain serta perasaan diri sebagai orang malang memiliki persamaan yang hakiki? Bukankah perasaan menyesali diri sebenarnya merupakan bentuk dari kemarahan kepada diri sendiri yang memiliki esensi yang sama dengan kemarahan kepada orang lain? Juga perasaan diri sebagai orang malang sebagai suatu ungkapan bahwa kita menganggap Allah tidak adil dalam kehidupan ini. Apabila kita sering marah kepada diri sendiri, bukankah kita juga lebih cenderung untuk mudah marah kepada orang lain dan juga marah kepada Allah? Sebab kemarahan atau penyesalan terhadap diri sendiri merupakan suatu bukti bahwa sebenarnya kita tidak mampu menerima diri sendiri dan kehidupan ini dengan penuh syukur kepada Tuhan.
Kesesakan hidup yang dialami oleh rasul Paulus tidak terjebak di antara ketiga bentuk penderitaan tersebut. Rasul Paulus menderita bukan karena dia terpenjara dalam perasaan bersalah dan menyesali diri. Rasul Paulus juga tidak menderita karena menjadi korban kejahatan orang lain. Selain itu dia juga tidak menderita disebabkan musibah, atau bencana yang tidak terduga. Sebaliknya dia menghayati penderitaan dan kesesakan hidupnya dalam terang Kristus. Rasul Paulus menghayati penderitaannya sebagai wujud kasih dan pengabdiannya yang tulus kepada Kristus. Karena itu di tengah-tengah penderitaannya, rasul Paulus justru menemukan kekuatan dan kasih karunia dari Allah yang begitu berlimpah. Dalam kesesakan hidupnya di penjara, rasul Paulus mampu mengubah penderitaan yang dia alami secara kreatif sehingga dia memiliki kesempatan yang luas untuk menulis berita Injil kepada orang-orang yang bukan Yahudi. Jadi di tengah-tengah penderitaannya, rasul Paulus justru menemukan rahasia kebenaran Allah yang telah diterimanya sebagai wahyu, sehingga mendorong dia untuk menyampaikan berita Injilnya kepada orang-orang non Yahudi yang semula tidak mengenal Allah. Di Ef. 3:8 rasul Paulus berkata: “Kepadaku yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu”. Dinding-dinding penjara dan belenggu yang mengikat kakinya justru dipakai oleh rasul Paulus untuk menyatakan karya keselamatan Allah yang membebaskan kepada umat yang semula tidak mengenal dan jauh dari keselamatan Allah. Dalam hal ini rasul Paulus telah membuktikan makna dari panggilan Tuhan, yaitu untuk “memancarkan kemuliaan Kristus di tengah kesesakan hidup”. Kesesakan hidup yang terjadi tidak membuat dia makin terpuruk dan tenggelam, sebaliknya rasul Paulus berhasil mengubah atau mentransformasi penderitaannya menjadi media berkat keselamatan bagi banyak orang.
Transformasi spiritualitas yang dialami oleh rasul Paulus terjadi karena secara personal dia telah mengalami terang keselamatan Allah yang telah datang dan nyata dalam diri Kristus. Dia mengalami bagaimana Kristus sangat mengasihinya dan telah menganugerahkan kewibawaan dan tugas sebagai seorang rasul. Secara eksistensial rasul Paulus telah mengalami kasih dan anugerah keselamatan dari Kristus walaupun pada sisi lain dia sangat menyadari sebagai orang yang paling hina di antara segala orang kudus yaitu jemaat Tuhan. Jadi anugerah Tuhan telah memampukan dia untuk bangkit dan menjadi terang. Pengalaman anugerah Tuhan yang dialami oleh rasul Paulus tersebut sesuai dengan panggilan dari kitab nabi Yesaya yang berkata: “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu” (Yes. 60:1). Semula rasul Paulus hidup dalam kegelapan dan kekelaman dosa. Dia tidak sanggup untuk melepaskan diri dari belenggu dosa walaupun dia telah berusaha melaksanakan seluruh hukum dan peraturan agama. Tetapi kasih-karunia Allah yang ajaib berkenan bersinar menerangi kehidupannya. Sebagaimana nabi Yesaya pernah berkata: “Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang Tuhan terbit atasmu, dan kemuliaanNya menjadi nyata atasmu” (Yes. 60:2). Demikian pula rasul Paulus mengalami bagaimana terang dan kemuliaan Tuhan bersinar menerangi kehidupannya yang kelam dan penuh dosa. Transformasi spiritualitas di tengah-tengah penderitaan dan kesesakan dosa yang dialami oleh umat manusia bukan terjadi karena dia berhasil memperoleh “pencerahan” atau “penerangan” yang timbul dari kekuatan pengertian atau akal-budinya sendiri; tetapi pencerahan dan penerangan itu terjadi karena anugerah, pemberian dan kemurahan Allah. Bahkan dalam iman Kristen, pencerahan dan penerangan budi dari Allah tersebut bukan sekedar berwujud suatu gagasan, ide, pandangan, pemikiran filosofis atau ajaran; tetapi penerangan dan pencerahan Allah pada hakikatnya telah dinyatakan dalam pribadi dan karya Tuhan Yesus. Sebab dalam inkarnasi Kristus, Firman atau Hikmat Allah berkenan menjadi manusia sejarah yang secara eksistensial hadir dalam kesejarahan hidup manusia. Sehingga dari tengah-tengah sejarah umat manusia yang sering kelam dalam kuasa dosa, kini dapat terpancar keluar suatu terang kemuliaan Allah yang memberi harapan dan keselamatan. Itu sebabnya nubuat nabi Yesaya di Yes. 60:3 yang berkata: “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit atasmu” akhirnya menjadi suatu kenyataan. Sebab nubuat nabi Yesaya tersebut menunjuk kepada kedatangan para orang Majus yang datang dari Timur untuk menyembah kepada Kristus yang baru lahir (Mat. 2:1). Khususnya nubuat nabi Yesaya di Yes. 60:6 menunjuk kepada kedatangan para orang Majus dengan persembahannya kepada bayi Kristus, sebab nubuat nabi Yesaya berkata: “Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyur Tuhan”.
Dengan demikian cahaya kemuliaan Allah yang semula transenden, yaitu yang semula berada dalam kekekalan dan di luar sejarah hidup manusia kini di dalam Kristus menjadi “imanen”. Cahaya kemuliaan Allah tersebut kini juga berada di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan kesesakan hidup umat manusia. Justru ketika kita sedang menderita dan mengalami kesesakan hidup sesungguhnya hidup kita tidak terlalu jauh dari cahaya kemuliaan Allah. Pada saat kita mengalami pergumulan, beban hidup dan kesusahan karena ketulusan hati dan integritas diri kita; maka sesungguhnya hidup kita sangat dekat dengan Kristus yang mengasihi kita. Sehingga “kedekatan” hidup kita dengan cahaya kemuliaan Allah yaitu Kristus tersebut, kini kita dapat memiliki pengharapan yang tidak pernah pudar dan menghasilkan daya kreatif kasih; sehingga kita dapat menjadi berkat bagi sesama pada saat kita sedang mengalami kesesakan hidup. Kita dapat berbuat segala hal yang kreatif dalam mengungkap kasih Allah yang menyelamatkan di tengah-tengah kesesakan hidup kita. Realita kesesakan hidup tidak lagi dipahami sebagai suatu hambatan dan penghalang bagi gerak diri kita untuk menjadi berkat keselamatan bagi orang-orang yang dekat maupun jauh dari kehidupan kita. Justru kesesakan hidup sering dapat memampukan kita untuk menemukan “jalan-jalan alternatif” yaitu pola dan jalan yang tidak pernah dipikirkan oleh orang lain. Bagi rasul Paulus, jalan alternatif tersebut adalah menulis surat selama dia berada dalam penjara di Roma. Sehingga tulisan rasul Paulus yaitu surat Efesus ini kemudian dapat dibaca oleh semua orang dari segala lapisan, bahkan dari waktu ke waktu sehingga sampai tangan kita. Sebenarnya pola berpikir kreatif tersebut juga dikenal dalam dunia sekuler seperti: pengrajin yang menggunakan berbagai alat dan mesin mobil yang tidak terpakai untuk dirancang menjadi lampu hias yang sangat mahal harganya, sabut kelapa yang semula tidak berharga diubah menjadi “keset” (untuk membersihkan alas kaki), tempurung kelapa diubah menjadi berbagai peralatan rumah-tangga dan barang antik, sampah setelah diseleksi didaur ulang atau diubah menjadi pupuk tanaman, potongan tunggul suatu pohon (pangkal akar) diubah menjadi berbagai barang antik, dan potongan kayu diubah menjadi lukisan pahat yang sangat artistik. Semua barang tersebut semula tidak berharga dan dibuang; tetapi ternyata barang-barang bekas atau yang tidak bernilai itu dapat diubah menjadi barang yang sangat bernilai dan bermanfaat dalam kehidupan ini. Demikian pula kesesakan, penderitaan dan kepahitan hidup juga dapat diubah secara kreatif menjadi sesuatu yang indah dan berharga. Bahkan lebih dari pada sekedar tindakan yang kreatif; di dalam cahaya kemuliaan Kristus kita dapat mengubah setiap kesesakan, penderitaan dan kepahitan hidup tersebut menjadi berkat keselamatan bagi banyak orang.
Karena itu ketika kita sering berkeluh-kesah, meratapi nasib dan marah kepada orang-orang di sekeliling kita sebenarnya merupakan tanda bahwa kesesakan yang kita alami disebabkan karena kesalahan dan kelemahan diri kita sendiri. Dari sikap kita yang sering berkeluh kesah, meratapi nasib dan marah kepada orang-orang di sekitar kita sebenarnya menunjukkan bahwa tingkat spiritualitas kita belum mencapai pertumbuhan yang “standard”. Tepatnya tingkat spiritualitas kita masih tergolong “rendah” sehingga kita gagal untuk memancarkan cahaya kemuliaan Kristus di tengah-tengah kesesakan hidup kita. Sehingga kehidupan kita senantiasa ditandai oleh kegelapan dan kekelaman dosa. Jika demikian, kita tidak boleh membiarkan diri terus larut dalam kekelaman dan kegelapan dosa kita. Firman Tuhan berkata: “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu” (Yes. 60:1). Apabila kita belum mampu bangkit, kemungkinan yang pasti adalah karena kita belum mengikutsertakan Kristus dalam seluruh aspek kehidupan kita. Sebab apabila kita telah mengikutsertakan atau menghadirkan Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah, maka pastilah semua kekelaman dan kegelapan dosa kita akan segera sirna. Jika demikian, kita sekarang memiliki pengharapan dan kepastian keselamatan yang kokoh. Apabila dalam realita hidup kita sering mengalami “kegelapan menutupi bumi dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa” tetapi kini janji keselamatan Allah telah terwujud dalam Kristus, yaitu: “terang Tuhan terbit atasmu, dan kemuliaanNya menjadi nyata atasmu” (Yes. 60:2).
Jika demikian, marilah kita di awal tahun ini makin menempatkan Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah yang menerangi setiap langkah dan perjalanan hidup kita ke depan. Dalam hal ini Kristus bagaikan obor yang akan menerangi setiap langkah yang akan kita tempuh asalkan kita memegang obor itu erat-erat dan tidak pernah dilepaskan dari genggaman tangan kita. Api obor Kristus tidak akan pernah pudar nyalanya, dan juga tidak akan pernah habis bahan bakarnya. Karena itu di tengah-tengah kekelaman dan kegelapan dunia ini setiap orang sangat membutuhkan Kristus sebagai Juru-selamatnya. Untuk itu kita perlu membuka diri menjadi alat di tangan Allah untuk memberitakan karya keselamatan Kristus kepada mereka, sehingga kita dapat memenuhi nubuat nabi Yesaya yang berkata: “Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling, mereka semua datang berhimpun kepadamu; anak-anakmu laki-laki datang dari jauh, dan anak-anakmu perempuan digendong” (Yes. 60:4). Bagaimana respon saudara saat ini? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar