Ibrani 1:1-14
Semula gereja merayakan hari raya Natal setiap tanggal 6 Januari. Tetapi mulai abad IV gereja merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember. Dasar pemikiran atau alasan mengapa gereja merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember adalah karena kekristenan di Roma berhasil mengalahkan agama kafir, yang mana agama kafir di Roma waktu itu menyembah kepada dewa “Sol Invictus” yang artinya “matahari yang tak terkalahkan”. Tetapi dalam perkembangan sejarah, agama Kristen dapat “mengalahkan” agama kafir tersebut. Itu sebabnya tanggal 25 Desember dijadikan hari raya Natal untuk mengingat bahwa dewa “Sol Invictus” dapat dikalahkan. Dalam hal ini Kristus menjadi “Sol Justitiae” yang artinya matahari kebenaran. Penyebutan Kristus sebagai “Sol Justitiae” tersebut diambil dari kitab nabi Maleakhi yang berkata: “Tetapi kamu yang takut akan namaKu, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya” (Mal. 4:2).
Sangat menarik, bahwa sejak kelahiranNya Tuhan Yesus ditandai oleh bintang besar dari Timur yang menuntun orang Majus ke tempat kelahiranNya. Berita kelahiranNya juga ditandai oleh cahaya surgawi yang disampaikan oleh para malaikat kepada para gembala yang menggembalakan ternaknya di padang gurun Efrata. Dalam ucapan nubuatnya Simeon yang menantikan kedatangan Messias ketika ia melihat dan menggendong bayi Yesus, ia berkata: “sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari padamu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel” (Luk. 2:30-32). Dalam ucapan nubuat nabi Simeon, Yesus juga disebut sebagai “terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel”. Di perikop bacaan kita khusus pada Ibr. 1:3, Tuhan Yesus disebut: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firmanNya yang penuh kekuasaan”.
Gelar Tuhan Yesus sebagai “cahaya kemuliaan Allah” menunjukkan diriNya sebagai sumber cahaya Ilahi dan Dia memiliki kekuasaan untuk menopang segala yang ada dengan firmanNya. Itu sebabnya Tuhan Yesus bukan hanya sebagai penyampai kebenaran, tetapi Dia adalah sumber kebenaran itu sendiri. Kristus adalah juga “Sol Justitiae” yaitu matahari kebenaran, yang menjadi sumber terang yang mampu memimpin umat manusia menuju kepada kebenaran Allah. Kristus adalah pelaku kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Di Ibr. 1:8, dinyatakan kesaksian demikian: “Tetapi tentang Anak Ia berkata: TakhtaMu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanMu adalah tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan”.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering memisahkan diri Kristus sebagai “Cahaya Kemuliaan Allah” dengan diriNya yang bertindak sebagai “matahari kebenaran” yang memegang tongkat kebenaran dan keadilan Allah. Pemahaman Kristus sebagai “Cahaya kemuliaan Allah” merupakan pemahaman iman yang fundamental dalam kehidupan umat percaya. Tetapi penyebutan Kristus sebagai “matahari kebenaran” yang memegang tongkat kebenaran dan keadilan Allah merupakan prinsip dasar etika Kristen agar kita selaku umat Allah senantiasa bertindak benar dan adil kepada semua pihak. Ketika kita gagal untuk bertindak benar dan adil kepada sesama, tetapi bangga bahwa kita mampu mengakui Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah adalah hanya merupakan bentuk kemunafikan yang ditolak oleh Allah. Pengakuan bahwa Tuhan Yesus sebagai cahaya kemuliaan Allah harus diikuti secara konkret dalam sikap berlaku benar dan adil kepada setiap orang tanpa terkecuali.
Pada tahun 312 Konstantin maju berperang. Dalam perjalanan menuju medan perang, Konstantin melihat suatu cahaya yang menyilaukan dalam bentuk salib. Ia mendengar suara: “Dengan tanda ini, engkau akan menang”. Dengan penuh keyakinan Konstantin maju perang sambil memakai tanda salib. Akhirnya dia dapat memenangkan peperangan dan Konstantin berhasil menjadi kaisar Romawi. Saat Konstantin menjadi kaisar ia memberi kebebasan penuh kepada agama Kristen yang semula ditindas dan dianiaya secara sistematis oleh kaisar-kaisar Roma sebelumnya. Bahkan kaisar Konstantin menjadi agama Kristen sebagai agama negara. Dalam hal ini kaisar Konstantin pernah melihat cahaya kemuliaan Kristus berupa salib yang bersinar di langit. Tetapi salib yang memancarkan cahaya kemuliaan Kristus tersebut dipakai oleh kaisar Konstantin untuk berperang dan menaklukkan musuh-musuhnya. Kaisar Konstantin melihat kemuliaan Kristus, tetapi apakah dia telah bertindak benar dan adil dalam pengertian dia jauh untuk melakukan sikap kekerasan? Dalam hal ini kaisar Konstantin gagal untuk melihat diri Kristus sebagai “matahari kebenaran” yang memiliki kasih yang suci dan lembut.
Sikap kita selaku gereja seringkali masih seperti yang dilakukan oleh kaisar Konstantin. Selaku umat tebusan kita telah diperkenankan untuk melihat cahaya kemuliaan Kristus, yaitu cahaya iman. Tetapi kita sering masih memiliki sikap-sikap yang agresif untuk menaklukkan sesama yang tidak sepaham atau tidak seagama dengan cara-cara yang kurang ramah, tanpa rasa hormat dan kurang lembut. Pemberitaan Injil sering dilakukan dengan sikap kurang hormat, rendah-hati dan sikap kasih. Padahal dalam peristiwa Natal, Allah berkenan menunjukkan cahaya kemuliaanNya dengan kehadiran seorang bayi yang tampil secara sederhana, bahkan tanpa daya. Dalam bayi Yesus, Allah berkenan menyembunyikan dan membungkus cahaya kemuliaanNya sehingga tidak setiap orang dapat mengenalNya. Kehadiran dan cahaya kemuliaan Allah hanya diketahui oleh segelintir orang saja, yaitu orang-orang Majus dan para gembala di padang Efrata.
Selain kaisar Konstantin yang diperkenankan Allah untuk melihat cahaya kemuliaan Kristus, dapat disebut pula seorang pemuda Yahudi yang memiliki latar-belakang keagamaan yang fanatik. Dialah Saulus, yang kelak dipanggil dengan nama rasul Paulus. Di Damsyik, dalam perjalanannya mengejar orang-orang Kristen untuk ditangkap dan dianiaya dia melihat cahaya kemuliaan Kristus. Dikisahkan cahaya kemuliaan Kristus tersebut begitu menyilaukan dan sempat membutakan mata Saulus. Kemudian dia terjatuh dari kudanya. Tetapi kebutaan matanya, membuat mata rohaninya tercelik. Saulus terjatuh dari kudanya agar dia belajar bagaimana merendahkan diri di hadapan Allah. Saulus yang semula gemar mengejar, menangkap dan menganiaya orang-orang Kristen mengalami perubahan total. Peristiwa penampakan Tuhan di Damsyik membuat hatinya remuk. Sejak itu Saulus tidak lagi dikuasai oleh sikap agresif untuk menaklukkan sesamanya dengan kekerasan. Dengan kata lain, peristiwa di Damsyik Saulus telah mengalami cahaya kemuliaan Kristus yang membuat mata rohaninya dicerahkan dan dikuasai oleh kasih dan pengampunan Kristus.
Menurut saudara, di antara dua orang tokoh yaitu kaisar Konstantin dan rasul Paulus yang telah melihat cahaya kemuliaan Kristus; siapakah di antara mereka yang telah memberlakukan Kristus sebagai “matahari kebenaran”?........... Yang lebih penting lagi, siapakah di antara keduanya yang memiliki pengaruh yang abadi dalam menggemakan kasih Kristus kepada dunia ini? ............. Tentu jawabannya adalah: rasul Paulus. Cahaya kemuliaan Kristus telah mengubah karakter rasul Paulus menjadi orang yang menegakkan Kristus sebagai “matahari kebenaran dan keadilan” di dalam kasihNya yang merangkul dan menyelamatkan setiap orang. Kekuatan politis kaisar Konstantin terbatas dan hanya bertahan beberapa ratus tahun. Tetapi berita Injil yang disampaikan oleh rasul Paulus tetap abadi dan tulisannya menjadi bagian dari Alkitab kita. Perbedaan di antara mereka berdua adalah kaisar Konstantin melihat cahaya kemuliaan Kristus tanpa hati yang hancur dan pertobatan yang menyeluruh; sedangkan rasul Paulus melihat cahaya kemuliaan Kristus dengan sikap hati yang remuk dan kesediaan untuk bertobat.
Jika demikian, bagaimanakah sikap kita selaku gereja agar kita dapat memberlakukan Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah? Kita perlu waspada dengan dorongan yang mengarah kepada “triumphalisme” (paham superioritas untuk menaklukkan pihak lain). Bila dahulu agama-agama kafir menyembah kepada matahari sebagai “sol invictus” (matahari yang tak terkalahkan), maka kini banyak agama termasuk agama Kristen yang berusaha menyembah kepada kebenarannya sendiri. Karena agama-agama kini terdorong untuk menyembah kepada kebenarannya sendiri, maka wajah dari agama-agama yang ada menjadi wajah yang keras. Tidak mengherankan jikalau di abad XXI ini muncullah terorisme dengan nama agama dan memakai nama Tuhan untuk membunuh sesamanya. Karena kita perlu waspada dengan semua bentuk fundamentalisme dari tiap-tiap agama, termasuk fundamentalisme dari kalangan Kristen. Sebab fundamentalisme memiliki kecenderungan untuk menganggap diri sebagai satu-satunya yang telah melihat kemuliaan dan karena itu mereka menghalalkan segala macam cara untuk mengubah atau “menobatkan” orang lain.
Apabila kita selaku gereja dipanggil untuk memancarkan cahaya kemuliaan Kristus, maka kita dipanggil untuk senantiasa memancarkan cahaya kasih Allah kepada dunia yang gelap ini. Kuasa kegelapan dalam “sol invictus” masih menguasai kehidupan umat manusia. Sehingga kuasa untuk menaklukkan orang lain tetap mendorong umat manusia dalam berbagai golongan dan agama cenderung untuk melakukan kekerasan. Kita dipanggil untuk memerangi kuasa kegelapan tersebut bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan kekuatan kasih Kristus yaitu dengan membela kebenaran dan keadilan kepada sesama yang lemah dan tertindas. Selaku gereja kita wajib memposisikan diri sebagai pembela kaum yang lemah dan tertindas, tanpa pernah menjadi penindas dalam berbagai bentuk seperti di dalam keluarga, pekerjaan di kantor, dan pelayanan di gereja. Untuk mencapai tujuan itu, kita perlu memerangi “sol invictus” dalam kehidupan kita sehingga kita dapat terbebas dari segala bentuk superioritas, fundamentalisme, radikalisme agama dan triumphalisme. Semua sikap tersebut menghalangi sesama untuk melihat kemuliaan Kristus di dalam kehidupan umat Kristen. Amin.
Semula gereja merayakan hari raya Natal setiap tanggal 6 Januari. Tetapi mulai abad IV gereja merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember. Dasar pemikiran atau alasan mengapa gereja merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember adalah karena kekristenan di Roma berhasil mengalahkan agama kafir, yang mana agama kafir di Roma waktu itu menyembah kepada dewa “Sol Invictus” yang artinya “matahari yang tak terkalahkan”. Tetapi dalam perkembangan sejarah, agama Kristen dapat “mengalahkan” agama kafir tersebut. Itu sebabnya tanggal 25 Desember dijadikan hari raya Natal untuk mengingat bahwa dewa “Sol Invictus” dapat dikalahkan. Dalam hal ini Kristus menjadi “Sol Justitiae” yang artinya matahari kebenaran. Penyebutan Kristus sebagai “Sol Justitiae” tersebut diambil dari kitab nabi Maleakhi yang berkata: “Tetapi kamu yang takut akan namaKu, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya” (Mal. 4:2).
Sangat menarik, bahwa sejak kelahiranNya Tuhan Yesus ditandai oleh bintang besar dari Timur yang menuntun orang Majus ke tempat kelahiranNya. Berita kelahiranNya juga ditandai oleh cahaya surgawi yang disampaikan oleh para malaikat kepada para gembala yang menggembalakan ternaknya di padang gurun Efrata. Dalam ucapan nubuatnya Simeon yang menantikan kedatangan Messias ketika ia melihat dan menggendong bayi Yesus, ia berkata: “sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari padamu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel” (Luk. 2:30-32). Dalam ucapan nubuat nabi Simeon, Yesus juga disebut sebagai “terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umatMu Israel”. Di perikop bacaan kita khusus pada Ibr. 1:3, Tuhan Yesus disebut: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firmanNya yang penuh kekuasaan”.
Gelar Tuhan Yesus sebagai “cahaya kemuliaan Allah” menunjukkan diriNya sebagai sumber cahaya Ilahi dan Dia memiliki kekuasaan untuk menopang segala yang ada dengan firmanNya. Itu sebabnya Tuhan Yesus bukan hanya sebagai penyampai kebenaran, tetapi Dia adalah sumber kebenaran itu sendiri. Kristus adalah juga “Sol Justitiae” yaitu matahari kebenaran, yang menjadi sumber terang yang mampu memimpin umat manusia menuju kepada kebenaran Allah. Kristus adalah pelaku kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Di Ibr. 1:8, dinyatakan kesaksian demikian: “Tetapi tentang Anak Ia berkata: TakhtaMu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanMu adalah tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan”.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering memisahkan diri Kristus sebagai “Cahaya Kemuliaan Allah” dengan diriNya yang bertindak sebagai “matahari kebenaran” yang memegang tongkat kebenaran dan keadilan Allah. Pemahaman Kristus sebagai “Cahaya kemuliaan Allah” merupakan pemahaman iman yang fundamental dalam kehidupan umat percaya. Tetapi penyebutan Kristus sebagai “matahari kebenaran” yang memegang tongkat kebenaran dan keadilan Allah merupakan prinsip dasar etika Kristen agar kita selaku umat Allah senantiasa bertindak benar dan adil kepada semua pihak. Ketika kita gagal untuk bertindak benar dan adil kepada sesama, tetapi bangga bahwa kita mampu mengakui Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah adalah hanya merupakan bentuk kemunafikan yang ditolak oleh Allah. Pengakuan bahwa Tuhan Yesus sebagai cahaya kemuliaan Allah harus diikuti secara konkret dalam sikap berlaku benar dan adil kepada setiap orang tanpa terkecuali.
Pada tahun 312 Konstantin maju berperang. Dalam perjalanan menuju medan perang, Konstantin melihat suatu cahaya yang menyilaukan dalam bentuk salib. Ia mendengar suara: “Dengan tanda ini, engkau akan menang”. Dengan penuh keyakinan Konstantin maju perang sambil memakai tanda salib. Akhirnya dia dapat memenangkan peperangan dan Konstantin berhasil menjadi kaisar Romawi. Saat Konstantin menjadi kaisar ia memberi kebebasan penuh kepada agama Kristen yang semula ditindas dan dianiaya secara sistematis oleh kaisar-kaisar Roma sebelumnya. Bahkan kaisar Konstantin menjadi agama Kristen sebagai agama negara. Dalam hal ini kaisar Konstantin pernah melihat cahaya kemuliaan Kristus berupa salib yang bersinar di langit. Tetapi salib yang memancarkan cahaya kemuliaan Kristus tersebut dipakai oleh kaisar Konstantin untuk berperang dan menaklukkan musuh-musuhnya. Kaisar Konstantin melihat kemuliaan Kristus, tetapi apakah dia telah bertindak benar dan adil dalam pengertian dia jauh untuk melakukan sikap kekerasan? Dalam hal ini kaisar Konstantin gagal untuk melihat diri Kristus sebagai “matahari kebenaran” yang memiliki kasih yang suci dan lembut.
Sikap kita selaku gereja seringkali masih seperti yang dilakukan oleh kaisar Konstantin. Selaku umat tebusan kita telah diperkenankan untuk melihat cahaya kemuliaan Kristus, yaitu cahaya iman. Tetapi kita sering masih memiliki sikap-sikap yang agresif untuk menaklukkan sesama yang tidak sepaham atau tidak seagama dengan cara-cara yang kurang ramah, tanpa rasa hormat dan kurang lembut. Pemberitaan Injil sering dilakukan dengan sikap kurang hormat, rendah-hati dan sikap kasih. Padahal dalam peristiwa Natal, Allah berkenan menunjukkan cahaya kemuliaanNya dengan kehadiran seorang bayi yang tampil secara sederhana, bahkan tanpa daya. Dalam bayi Yesus, Allah berkenan menyembunyikan dan membungkus cahaya kemuliaanNya sehingga tidak setiap orang dapat mengenalNya. Kehadiran dan cahaya kemuliaan Allah hanya diketahui oleh segelintir orang saja, yaitu orang-orang Majus dan para gembala di padang Efrata.
Selain kaisar Konstantin yang diperkenankan Allah untuk melihat cahaya kemuliaan Kristus, dapat disebut pula seorang pemuda Yahudi yang memiliki latar-belakang keagamaan yang fanatik. Dialah Saulus, yang kelak dipanggil dengan nama rasul Paulus. Di Damsyik, dalam perjalanannya mengejar orang-orang Kristen untuk ditangkap dan dianiaya dia melihat cahaya kemuliaan Kristus. Dikisahkan cahaya kemuliaan Kristus tersebut begitu menyilaukan dan sempat membutakan mata Saulus. Kemudian dia terjatuh dari kudanya. Tetapi kebutaan matanya, membuat mata rohaninya tercelik. Saulus terjatuh dari kudanya agar dia belajar bagaimana merendahkan diri di hadapan Allah. Saulus yang semula gemar mengejar, menangkap dan menganiaya orang-orang Kristen mengalami perubahan total. Peristiwa penampakan Tuhan di Damsyik membuat hatinya remuk. Sejak itu Saulus tidak lagi dikuasai oleh sikap agresif untuk menaklukkan sesamanya dengan kekerasan. Dengan kata lain, peristiwa di Damsyik Saulus telah mengalami cahaya kemuliaan Kristus yang membuat mata rohaninya dicerahkan dan dikuasai oleh kasih dan pengampunan Kristus.
Menurut saudara, di antara dua orang tokoh yaitu kaisar Konstantin dan rasul Paulus yang telah melihat cahaya kemuliaan Kristus; siapakah di antara mereka yang telah memberlakukan Kristus sebagai “matahari kebenaran”?........... Yang lebih penting lagi, siapakah di antara keduanya yang memiliki pengaruh yang abadi dalam menggemakan kasih Kristus kepada dunia ini? ............. Tentu jawabannya adalah: rasul Paulus. Cahaya kemuliaan Kristus telah mengubah karakter rasul Paulus menjadi orang yang menegakkan Kristus sebagai “matahari kebenaran dan keadilan” di dalam kasihNya yang merangkul dan menyelamatkan setiap orang. Kekuatan politis kaisar Konstantin terbatas dan hanya bertahan beberapa ratus tahun. Tetapi berita Injil yang disampaikan oleh rasul Paulus tetap abadi dan tulisannya menjadi bagian dari Alkitab kita. Perbedaan di antara mereka berdua adalah kaisar Konstantin melihat cahaya kemuliaan Kristus tanpa hati yang hancur dan pertobatan yang menyeluruh; sedangkan rasul Paulus melihat cahaya kemuliaan Kristus dengan sikap hati yang remuk dan kesediaan untuk bertobat.
Jika demikian, bagaimanakah sikap kita selaku gereja agar kita dapat memberlakukan Kristus sebagai cahaya kemuliaan Allah? Kita perlu waspada dengan dorongan yang mengarah kepada “triumphalisme” (paham superioritas untuk menaklukkan pihak lain). Bila dahulu agama-agama kafir menyembah kepada matahari sebagai “sol invictus” (matahari yang tak terkalahkan), maka kini banyak agama termasuk agama Kristen yang berusaha menyembah kepada kebenarannya sendiri. Karena agama-agama kini terdorong untuk menyembah kepada kebenarannya sendiri, maka wajah dari agama-agama yang ada menjadi wajah yang keras. Tidak mengherankan jikalau di abad XXI ini muncullah terorisme dengan nama agama dan memakai nama Tuhan untuk membunuh sesamanya. Karena kita perlu waspada dengan semua bentuk fundamentalisme dari tiap-tiap agama, termasuk fundamentalisme dari kalangan Kristen. Sebab fundamentalisme memiliki kecenderungan untuk menganggap diri sebagai satu-satunya yang telah melihat kemuliaan dan karena itu mereka menghalalkan segala macam cara untuk mengubah atau “menobatkan” orang lain.
Apabila kita selaku gereja dipanggil untuk memancarkan cahaya kemuliaan Kristus, maka kita dipanggil untuk senantiasa memancarkan cahaya kasih Allah kepada dunia yang gelap ini. Kuasa kegelapan dalam “sol invictus” masih menguasai kehidupan umat manusia. Sehingga kuasa untuk menaklukkan orang lain tetap mendorong umat manusia dalam berbagai golongan dan agama cenderung untuk melakukan kekerasan. Kita dipanggil untuk memerangi kuasa kegelapan tersebut bukan dengan kekerasan fisik, tetapi dengan kekuatan kasih Kristus yaitu dengan membela kebenaran dan keadilan kepada sesama yang lemah dan tertindas. Selaku gereja kita wajib memposisikan diri sebagai pembela kaum yang lemah dan tertindas, tanpa pernah menjadi penindas dalam berbagai bentuk seperti di dalam keluarga, pekerjaan di kantor, dan pelayanan di gereja. Untuk mencapai tujuan itu, kita perlu memerangi “sol invictus” dalam kehidupan kita sehingga kita dapat terbebas dari segala bentuk superioritas, fundamentalisme, radikalisme agama dan triumphalisme. Semua sikap tersebut menghalangi sesama untuk melihat kemuliaan Kristus di dalam kehidupan umat Kristen. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar