Minggu, 04 Desember 2011

HARAPAN BAGI YANG TELAH RUNTUH


Yes. 52:7-10, Mzm. 98, Ibr. 1:1-4, Yoh. 1:1-14


 
Ketika kita berada dalam situasi yang serba gelap, kelam dan tanpa pengharapan; maka kita membutuhkan cahaya yang diharapkan dapat memberikan suatu pengharapan dan pencerahan. Sinar cahaya tersebut umumnya tidak bersumber dari “kegelapan” atau “kekelaman”. Tetapi sinar cahaya yang mampu menerangi dan memberi pencerahan hidup manusia senantiasa berasal dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dalam pemikiran dan kepercayaan yang monistik seperti Hinduisme dan Budhisme, cahaya ilahi tersebut diyakini bersumber dari dalam diri manusia. Sebab hakikat manusia yang terdalam adalah dia berasal dari percikan ilahi. Namun dalam pemikiran iman Kristen, hakikat manusia bukan berasal dari percikan sang ilahi. Manusia memang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi manusia bukan Allah. Manusia hanyalah mahluk ciptaan yang bersifat sangat fana dan berdosa. Sehingga setiap diri manusia berada dalam kondisi kefanaan dan keberdosaan. Itu sebabnya setiap manusia tidak mungkin mampu menghasilkan sesuatu yang suci, ilahi dan bersifat kekal. Untuk itu manusia membutuhkan pertolongan dan penyelamatan dari luar dirinya. Manusia membutuhkan intervensi dari Allah yang hakikatnya berada di “luar” diri manusia.
Yang mana hakikat Allah bersifat kekal, mulia, suci dan benar; serta hakikatNya melampaui seluruh keberadaan hidup manusia. Hakikat dan kedirian Allah tidak dapat terungkapkan dengan kata-kata, ungkapan, ide dan pikiran manusia; sebab Dialah sang Khalik dan pemilik kehidupan secara mutlak.  Namun dalam iman Kristen, Allah yang tak terhampiri dan keberadaanNya melampaui segala yang ada, adalah Allah yang penuh dengan kasih. Bahkan hakikat diri Allah sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam Kristus adalah kasih. Allah itu kasih (I Yoh. 4:8).

                Itu sebabnya Injil Yohanes tidak memulai kesaksian Injilnya dari kelahiran Kristus, tetapi Injil Yohanes memulai kesaksiannya dengan “pra-eksistensi” Kristus yang telah berada sejak kekal bersama dengan Allah. Kristus dalam hakikat diriNya adalah Firman Allah. Dia sejak kekal telah bersama dengan Allah. Hubungan Allah dengan Kristus merupakan relasi Allah dengan sabdaNya. Yoh. 1:1-2 berkata: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah”. Dengan demikian keilahian Kristus sebagai Tuhan, bukan karena Kristus telah berhasil mencapai kesempurnaan sehingga Dia dimuliakan dan menjadi ilahi atau Tuhan. Tetapi keilahian Kristus dipahami karena pada hakikatnya Dia adalah Firman Allah yang telah sejak kekal bersama dengan Allah, dan Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta serta sumber segala yang hidup (Yoh. 1:3-4). Sehingga dalam wujud inkarnasiNya sebagai manusia, Kristus mampu membuktikan diriNya sebagai pengejawantahan diri dari Sang Firman. Allah dan FirmanNya tentunya saling berbeda, tetapi pada satu saat yang sama sang Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1). Di dalam inkarnasiNya sebagai manusia, Kristus sungguh-sungguh berada di dalam sejarah kehidupan umat manusia, dan Dia berkenan menjadi bagian dari manusia yang senantiasa mengalami pergumulan hidup yang sulit dan penderitaan. Sehingga dengan inkarnasi Kristus, Firman Allah sebagai sumber hidup dan terang manusia (Yoh. 1:4-5) masuk dalam sejarah hidup manusia yang gelap, kelam dan tanpa pengharapan serta keselamatan agar kehidupan umat manusia ditransformasi dan diperbaharui. Sehingga kini di dalam inkarnasi Kristus, umat manusia memiliki pengharapan, jaminan keselamatan dan hidup kekal. Manusia tidak lagi berada sendirian berjuang dengan upaya dan pengumpulan amal-ibadahnya untuk menyelamatkan diri.  Karena Allah dengan FirmanNya telah masuk dan berinkarnasi dalam sejarah hidup manusia. Sehingga di dalam inkarnasi Kristus, Allah telah menyediakan pengharapan dan keselamatan bagi setiap orang yang telah runtuh dalam arti yang seluas-luasnya.

                Kita mengetahui bahwa upaya manusia dengan ritual agama dan amal-ibadahnya telah gagal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yaitu kehidupan yang lebih berkualitas dan beradab. Justru kini agama-agama telah dijadikan legitimasi/pembenaran untuk melakukan berbagai perbuatan yang keji, pembantaian, tindakan-tindakan yang merusak dan menghancurkan kemanusiaan. Karena hakikat manusia berdosa, maka manusia pada dirinya tidak mungkin mampu berlaku benar di hadapan Allah. Setiap manusia membutuhkan pertolongan dan keselamatan yang dikerjakan sendiri oleh Allah. Itu sebabnya Allah mengaruniakan Kristus, agar melalui kehidupan dan karya Kristus hidup kita makin diperbaharui, dikuduskan, diteguhkan dan berada dalam keselamatan. Sehingga tepatlah kesaksian Alkitab bahwa inkarnasi Kristus sesungguhnya merupakan wujud dari kasih-karunia Allah yang paling agung. Yoh. 1:16-17 berkata: “Karena dari kepenuhanNya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus”.  Dengan demikian hakikat dan makna keselamatan dalam iman Kristen bukan merupakan upaya, hasil perjuangan dan prestasi rohani manusia; tetapi keselamatan dapat dialami oleh manusia karena telah dianugerahkan oleh Allah. Kristus adalah anugerah dan kasih karunia Allah bagi seluruh umat manusia. Itu sebabnya dalam inkarnasiNya sebagai manusia Kristus yang ilahi berkenan menjadi daging. Firman itu telah menjadi manusia (Yoh. 1:14). Sehingga nilai “kemanusiaan” atau kedirian manusia yang terbungkus oleh daging dan darah tidak lagi ditempatkan sebagai sesuatu hina dan rendah. Hakikat manusia yang mulia tidak lagi dipahami karena hidup manusia berkaitan dengan aspek rohaniahnya, tetapi juga dengan aspek jasmaniahnya.  Hidup manusia secara total secara fisik dan rohani diangkat oleh karya Kristus dalam predikat yang mulia sebagai anak-anak Allah.

                Paradigma teologis ini tentunya sangat berbeda dengan pandangan yang dipengaruhi oleh Platonisme. Sebab dalam pemikiran Plato, hakikat manusia yang termulia, kekal, adikodrati dan terdalam adalah dimensi rohnya. Sedang dimensi atau aspek jasmaniah yang dimiliki oleh manusia senantiasa bersifat rendah, kotor, najis dan berdosa. Karena itu untuk menjelaskan pemikirannya Plato memberi ilustrasi tentang mitologi kereta yang ditarik oleh 2 ekor kuda bersayap dan sedang  terbang di angkasa; yang mana kereta dengan seorang sais tersebut melambangkan fungsi dari jiwa manusia yang rasional. Sedangkan salah satu dari kuda bersayap tersebut adalah lambang dari “kebenaran” yang lebih cenderung untuk lari dan terus terbang ke atas, yaitu ke “dunia ide”. Sebaliknya kuda bersayap yang di sebelahnya adalah lambang dari “keinginan” atau “nafsu” yang cenderung lari ke bawah, yaitu ke “dunia gejala”. Sehingga di angkasa waktu itu terjadi suatu tarik-menarik antara kuda “kebenaran” dengan kuda “keinginan”. Kadang-kadang kereta ditarik ke atas ke “dunia ide”, tetapi tak lama kemudian kereta ditarik ke bawah ke “dunia gejala”. Tetapi dalam pergumulan dan tarik-menarik tersebut, akhirnya kuda “keinginan” atau nafsu manusialah yang menang, sehingga kereta tersebut jatuh ke “dunia gejala”; dan jiwa dipenjarakan di dalam dunia fisik yang sifatnya materi.  Dengan demikian dalam pemikiran Plato, seakan-akan inkarnasi Kristus yang adalah Firman Allah tersebut kini terpenjara dalam dunia daging yaitu menjadi manusia. Demikian pula setiap manusia juga dipahami oleh Plato sebagai “roh-roh” yang semula ilahi tetapi karena mereka lebih cenderung dan tertarik kepada dunia keinginan atau nafsu, maka roh-roh tersebut kemudian terpenjara di dalam tubuh. Jadi keselamatan dipahami ketika setiap orang mampu melepaskan diri dari keinginan/nafsu jasmaniahnya sedemikian rupa, sehingga akhirnya roh yang semula bersifat ilahi tersebut dapat kembali ke tempat asalnya, “yang ilahi”, yaitu Allah. Inkarnasi menjadi manusia dalam pemikiran Plato hanyalah suatu kegagalan dan kehinaan.

                Manakala konsep berpikir Platonisme tersebut diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, maka manusia harus melepaskan diri dari berbagai hal yang sifatnya jasmaniah. Manusia yang benar adalah bilamana dia hanya terarah kepada dimensi hidup yang serba rohaniah. Konsekuensi teologisnya adalah manusia akan cenderung untuk menarik diri dari berbagai pergumulan dunia. Ketika manusia menghadapi berbagai persoalan hidup yang terjadi,  maka dia akan lebih cenderung untuk melarikan diri dari persoalan-persoalan hidup yang dialaminya; lalu dia kemudian berkonsentrasi kepada hal-hal rohaniah belaka. Akibatnya dalam konteks pemikiran dan keyakinan ini setiap orang akan mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya secara utuh. Dalam konteks ini manusia hanya memprioritaskan diri dengan berbagai ritual keagamaan dan tindakan menyucikan diri, tetapi dia mengabaikan aspek yang tidak kalah penting yaitu persoalan hidup sebagai insane manusia. Tidak demikian sikap Allah di dalam Kristus. Dia berinkarnasi menjadi manusia, dan sungguh-sungguh mengalami berbagai persoalan hidup manusia secara riel dan langsung. Bahkan melalui Kristus, Allah rela untuk merasakan penderitaan. Di dalam Kristus, Allah berempati dengan umatNya yang sedang menderita serta hidup tanpa pengharapan. Sehingga realita penderitaan, kesedihan, kesakitan, dukacita, dan pergumulan manusia bukan sekedar dilihat dan dimengerti oleh Allah. Tetapi di dalam Kristus, Allah sungguh-sungguh ikut merasakan dan mengalami semua penderitaan kita tersebut.  Sehingga di dalam Kristus, Allah berada di tengah-tengah setiap orang yang sedang menderita dan hidup tanpa pengharapan. Allah tidak sekedar sebagai “yang transenden”, tetapi di dalam Kristus, Allah berkenan menjadi “yang imanen”. Allah beserta dan tinggal bersama dengan manusia. Allah di dalam Kristus adalah sang Imanuel. Dengan demikian inkarnasi Kristus menjadi manusia dalam pemikiran dan iman Kristen justru merupakan wujud dari kasih-karunia dan keselamatan Allah yang memberikan jaminan hidup kekal dan pengharapan.

                Dengan inkarnasi Kristus yang memberi pengharapan dan keselamatan, maka genaplah nubuat nabi Yesaya yang menyatakan bahwa umat Allah dapat bersorak-sorai. Di Yes. 52:9-10, nabi Yesaya bernubuat demikian: “Bergembiralah, bersorak-sorailah bersama-sama, hai reruntuhan Yerusalem! Sebab Tuhan telah menghibur umatNya, telah menebus Yerusalem. Tuhan telah menunjukkan tanganNya yang kudus di depan mata semua bangsa; maka segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita”. Semula umat Israel pada waktu sedang terpuruk sebab mereka berada dalam pembuangan di Babel. Kota Yerusalem telah menjadi reruntuhan. Umat Allah tercerai-berai dan hidup tanpa pengharapan. Maka dengan anugerahNya Allah berjanji akan memulihkan umatNya. Tetapi kemudian umat Allah menerima suatu kabar baik, yaitu kabar selamat bahwa Allah yang adalah Raja (Yes. 52:7) akan berkenan menjadi penebus dan pemulih bagi umat yang telah hidup dalam kekelaman. Janji nubuat nabi Yesaya tersebut kini telah terpenuhi dalam kehadiran Kristus. Sehingga seharusnya di dalam iman Kristus, kita tidak lagi membiarkan diri terpuruk dalam kekelaman dosa, atau hidup yang tanpa pengharapan. Sebab di tengah-tengah realita hidup yang sulit, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pergumulan dan penderitaan, serta tanpa pengharapan ini Allah di dalam Kristus telah berada di tengah-tengah kita. Dia tidak lagi jauh, tetapi Dia sangat dekat dan berada dalam setiap persoalan dan pergumulan kita. Makna iman ini membuat kehidupan kita menjadi bermakna dan memiliki tujuan. Sehingga kita dapat melihat setiap pergumulan, penderitaan, kesusahan, kegagalan dan dukacita dengan perspektif yang baru. Sebab pergumulan, penderitaan bahkan kematian yang akan kita alami tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengancam kehidupan kita. Sebaliknya setiap pergumulan, penderitaan dan kematian serta tragedi hidup yang dialami oleh umat percaya kini telah dikuduskan dalam terang penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Sehingga kita tetap dapat bersukacita di tengah-tengah dukacita, kita tetap dapat bergembira ketika kita kehilangan sesuatu yang berarti, kita tetap dapat memiliki kekuatan ketika hidup kita dihempaskan oleh dunia secara sewenang-wenang, dan kita tetap dapat memiliki pengharapan ketika seharusnya kita berputus-asa.

                Jadi makin nyatalah bahwa inkarnasi Kristus pada hakikatnya telah menguduskan setiap kelemahan, ketidakberdayaan , kegagalan dan penderitaan yang dialami oleh setiap manusia. Sehingga melalui inkarnasi Kristus, Allah mentransformasikan segala hal yang destruktif menjadi sesuatu yang konstruktif. Allah mengubah segala hal yang hina, kotor dan berdosa menjadi sesuatu yang mulia dan suci. Itu sebabnya sebagai orang  percaya, kita tidak boleh melarikan diri dari setiap persoalan hidup yang sedang kita alami. Kita tidak boleh menjadikan dimensi rohaniah sebagai suatu pembenaran diri untuk melarikan diri atau sekedar suatu kompensasi dari tugas-tanggungjawab yang seharusnya kita pikul. Sehingga tidak benarlah apabila seseorang gagal dalam bisnis atau suatu pekerjaan, lalu dia kemudian beralih menjadi seorang penginjil atau “pendeta” dengan suatu anggapan dia telah “bertobat”. Juga tidaklah benar apabila seseorang mengalami kesulitan dan kegagalan dalam relasi dengan sesamanya, lalu dia memutuskan diri untuk menjadi seorang biarawati atau biarawan sebab dianggap sebagai jalan untuk lebih mendekat kepada Tuhan, tetapi dia dapat menjauh dari komunikasi dengan orang lain. Makna hidup rohaniah atau spiritualitas bukan ditempuh dengan cara meleburkan dengan berbagai ritual keagamaan. Sebaliknya hidup rohaniah atau sikap hidup yang dilandasi oleh spiritualitas justru senantiasa dia berani untuk berada di dalam dunia riel, dunia sehari-hari, dunia sekuler.  Namun keberadaannya di dunia riel atau dunia sehari-hari tersebut tidaklah statis tetapi dinamis, juga tidak pasif tetapi kreatif dan transformatif. Sehingga dengan iman kepada Kristus, kita justru dipanggil untuk mentransformasikan setiap aspek dengan karya keselamatan Allah yang telah dilaksanakan di dalam Kristus.
               
                Apabila Firman Allah telah berinkarnasi menjadi Kristus dan tinggal di antara manusia, apakah kehidupan kita selaku umat percaya juga telah berinkarnasi untuk hadir secara riel dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita juga telah hadir secara transformatif sehingga kita dapat menjadi tangan Kristus yang terulur untuk menolong dan menyelamatkan setiap orang yang sedang kehilangan harapan dan tanpa daya? Apakah setiap ucapan dan perkataan kita telah mencerminkan dari sabda Kristus yang senantiasa menghasilkan pembaharuan, peneguhan dan pengharapan bagi setiap orang yang mendengarnya? Setiap umat Kristen tanpa terkecuali dipanggil untuk mampu berinkarnasi di tengah-tengah dunia nyata sehari-hari; dan senantiasa mampu hadir secara transformatif. Sebagaimana Kristus tidak sekedar berinkarnasi, tetapi Dia hadir untuk membaharui, memberi keselamatan dan mendatangkan pengharapan bagi setiap orang yang runtuh. Demikian pula dengan kehidupan kita selaku umat percaya. Karena melalui peristiwa Natal, kita selaku umat percaya kini telah dikuduskan untuk menjadi alat di tangan Allah sesuai dengan tugas panggilan dan tanggungjawab yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Jadi apakah kita telah melaksanakan setiap tugas panggilan dan tanggungjawab kita dengan setia, sehingga kita dapat menyatakan karya keselamatan Allah di dalam Kristus di setiap bidang kehidupan ini? Sebab di dalam peristiwa inkarnasi Kristus, setiap bidang kehidupan telah dikuduskan dan diperbaharui oleh karya keselamatan Allah. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar