Minggu, 04 Desember 2011

Berharap Akan Keadilan


Yes. 11:1-10 ; Maz. 72:1-7, 18-19; Rom. 15:4-13 ; Mat. 3:1-12
Pengantar
               
Zaman kita saat ini disebut banyak orang telah memasuki era post-modernisme. Salah satu ciri dari post-modernisme adalah hilangnya “keserbatunggalan”, juga hilangnya suatu “kepastian” terhadap suatu kebenaran. Makna kebenaran dan keselamatan tidak lagi dihayati berasal dari satu keyakinan/kepercayaan tertentu; tetapi kebenaran atau keselamatan terbentuk dari hubungan, interaksi dan ketergantungan terhadap setiap teks/bidang yang ada ada di sekelilingnya.
Itu sebabnya dalam pemikirarn “post-mo” tidak boleh ada “klaim” kebenaran oleh suatu agama..Dalam pemikiran “post mo” terbuka pintu masuk ke dalam diskusi dan penghargaan  terhadap berbagai keyakinan atau agama. Pluralisme agama berarti sikap penghargaan dan pengakuan keunikan setiap agama dalam tingkatan yang setara, yang mana setiap agama memiliki jalan keselamatan. Jadi dalam konteks “post-mo” Kristus bukan satu-satunya jalan keselamatan, tetapi Kristus hanyalah salah satu jalan keselamatan. Demikian pula berlaku bagi agama-agama lain. Islam bukan satu-satunya agama yang membawa rahmat dan agama Allah di atas muka bumi ini. Hindu juga bukan satu-satunya agama yang membawa manusia kepada “Aham Brahman Ashmi, Tat-Twam-Asi”. Budha juga bukan satu-satunya agama yang membawa manusia kepada pencerahan diri untuk mencapai bodhi-sattva dalam aliran Mahayana, dan “arahat dalam aliran Theravada. Tidak ada “keserbatunggalan” dalam kebenaran agama. Sebab kini yang dituntut oleh umat manusia bukan pernyataan “agamaku yang paling benar”, tetapi “apakah melalui penghayatan iman dalam agamaku, aku dapat membuktikan kebenaran Allah yang menghadirkan keselamatan kepada sesama dan seluruh ciptaan”. Karena itu nilai keadilan tidak lagi dibatasi oleh klaim suatu agama, tetapi apakah melalui iman yang aku hayati dapat membawa keadilan bagi setiap  orang dan mahluk.

Zaman Post-Modernisme
                Segi positif dari pemikiran “post-mo” adalah agar kita tidak menjadi umat Tuhan yang eksklusif dan tidak bersikap superioritas kepada agama yang berbeda. Sehingga kita diajak dengan sikap rendah-hati dan mau belajar kekayaan spiritual dari berbagai keyakinan dan agama yang ada di sekitar kita. Dengan sikap yang demikian kita akan dapat memperoleh makna kebenaran yang lebih luas, komprehensif dan holistik; bukan suatu kebenaran atau pengertian keselamatan yang dangkal dan sempit. Sikap ini sebenarnya sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus tentang bagaimana kita memberlakukan makna kasih kepada sesama. Tetapi pada sisi lain kita harus hati-hati dan kritis dengan pemikiran “post-mo”.  Karena dalam pemikiran “post-mo” makna kebenaran hanya terwujud dalam interaksi dengan berbagai keyakinan/agama yang ada, maka dapat terjadi orang Kristen kemudian sibuk mencari interaksi “kebenaran” yang sifatnya eksternal belaka. Dengan pemahaman demikian, maka makna kebenaran dipahami sebagai suatu hasil sinkretisme dari berbagai keyakinan, kepercayaan atau agama. Akibatnya dia memandang dan memperlakukan keyakinan iman Kristen menjadi serba relatif. Kristus hanya dihayati sebagai salah satu jalan keselamatan. Tidak ada keselamatan yang pasti! Karena dia tidak yakin akan keselamatannya yang pasti, maka dia juga tidak mampu menyerap dan memberlakukan nilai-nilai iman Kristen secara komprehensif. Dia juga tidak memiliki hubungan personal dengan Tuhan Yesus. Akibatnya dia mengimani Kristus dan firmanNya secara dangkal. Sikap relativisme tersebut tentu merugikan pertumbuhan rohani dan iman kita. Makna kebenaran dan keselamatan kekal tidaklah cukup hanya dilihat dalam interaksi secara eksternal dengan keyakinan/kepercayaan yang ada di sekitarnya. Tetapi juga kebenaran dan keselamatan Allah perlu dilihat dalam interaksi secara internal dalam hubungan kita secara pribadi dengan Kristus.

                Jadi kita tidak pernah mungkin mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Kristus, ketika kita memandang Dia dengan sikap yang relatif atau sikap yang tidak pasti. Justru kita akan mampu memberikan penghargaan dan kasih yang tulus kepada sesama serta penganut agama yang ada di sekitar, ketika kita secara eksistensial telah memiliki hubungan yang sangat pribadi dan khusus dengan Tuhan Yesus. Kita dipanggil mengasihi Kristus dan percaya kepadaNya sebagai satu-satunya jalan keselamatan; yang mana iman dan kasih kita tersebut kita manifestasikan dengan sikap rendah-hati kepada sesama.  Iman kepada Kristus merupakan ungkapan kepercayaan yang personal dan khusus kepada Kristus; sedang kasih merupakan ungkapan iman yang personal sekaligus universal dan tanpa batas. Dalam iman dan kasih kita kepada Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan,  justru akan memampukan kita untuk  mau rendah-hati, belajar dan terbuka terhadap berbagai kebenaran yang ada di sekitar kita. Fanatisme terhadap suatu agama, karena spiritualitas iman yang dibangun hanya berdasarkan pemutlakan ayat yang sempit dan subyektif. Sangat berbeda bila kita membangun spiritualitas iman berdasarkan anugerah dan hubungan kasih dengan Allah. Itu sebabnya iman Kristen menandaskan hal yang sangat mendasar kualitas hubungan atau relasi personal dengan Kristus. Tanpa hubungan personal dengan Kristus sang Firman Hidup, maka semua “firman Allah” dalam Kitab Suci dapat menjadi “ayat-ayat setan”. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (II Kor. 3:6). Menghayati firman Allah tanpa relasi kasih Allah, akan mematikan.  Firman Allah yang tertulis di setiap Kitab Suci hanya terdiri dari huruf-huruf yang mati. Tetapi firman Allah yang tertulis tersebut akan menjadi bermakna dan membawa selamat saat ditempatkan dalam hubungan dengan Kristus sang Firman Hidup. Kristus adalah roh dari setiap firman, seperti keberadaan roh dalam setiap aspek kemanusiaan kita. Tanpa roh, maka seluruh kemanusiaan kita menjadi mati dan tidak berarti.

Kristus Adalah Jalan Keselamatan
                Keyakinan iman Kristen terhadap Kristus sebagai satu-satunya jalan bukanlah tanpa dasar teologis. Di Mat. 3:7-12 menyaksikan bagaimana Yohanes Pembaptis menyampaikan firman Tuhan agar umat Israel bertobat. Teguran Yohanes Pembaptis tersebut juga ditujukan kepada orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki yang menganggap dirinya sebagai pelayan-pelayan Allah telah memperoleh keselamatan. Inti dari seruan dan teguran Yohanes Pembaptis adalah agar mereka membuktikan hasil dari  buah pertobatan dari pada sekedar suatu kegiatan ritual-ibadah. Juga agar mereka tidak menganggap keselamatan dari Allah diterima secara otomatis hanya karena mereka berasal dari keturunan Abraham. Jadi siapapun yang tidak menghasilkan buah pertobatan, maka: “kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api” (Mat. 3:10).  Dalam konteks itulah Yohanes membaptis mereka dengan air, yaitu agar mereka mengaku dosa dan bertobat agar mereka memperoleh pengampunan dari Allah. Namun yang sangat menarik, Yohanes Pembaptis kemudian di hadapan orang banyak membuat suatu pernyataan: “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasutNya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Mat. 3:11). Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa setelah dia akan segera muncul seorang yang lebih berkuasa dari padanya. Orang yang dimaksudkan oleh Yohanes Pembaptis sangatlah jelas, yaitu Dialah Yesus dari Nazaret di Galilea (Mat. 3:13).

                Padahal tentang diri Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus menyebut Yohanes Pembaptis selain sebagai seorang nabi, tetapi juga “dia lebih dari pada nabi” (Mat. 11:9). Kini di tepi sungai Yordan Yohanes Pembaptis menyebut Yesus sebagai “yang lebih berkuasa dari padaku” (Mat. 3:11). Logikanya, kedudukan Tuhan Yesus jauh lebih tinggi dari pada nabi; tetapi juga Kristus melebihi Yohanes Pembaptis dan juga Dia lebih berkuasa dari segala yang ada, sehingga Yohanes Pembaptis sendiri menyatakan bahwa dia tidak layak melepaskan kasutNya.  Yohanes Pembaptis memberikan alasan teologis atas sikapnya memuliakan Kristus, yaitu: “Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api”. Dalam hal ini Yohanes Pembaptis mengakui di depan publik bahwa dia hanya dapat membaptis mereka dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi hanya Kristus saja yang mampu membaptis umat manusia dengan Roh Kudus dan dengan api. Selain itu hanya Kristus saja yang mampu memerankan sebagai seorang hakim yang ditentukan oleh Allah untuk mengadili umat manusia. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis berkata: “Alat penampi sudah di tanganNya. Ia akan membersihkan tempat pengirikanNya dan mengumpulkan gandumNya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakarNya dalam api yang tidak terpadamkan” (Mat. 3:12). Peran Kristus sebagai Hakim Allah di akhir zaman disaksikan secara figuratif, yaitu seperti seorang yang menampi bulir-bulir gandum  dengan alat penampi, agar dia dapat memisahkan dan membuang kulit-kulit/sekam gandum. Lalu dia akan mengumpulkan bulir-bulir gandum ke tempatnya, sedang sekam gandum itu akan dibakarnya. Demikian pula wewenang dan kuasa Kristus. Dia ditentukan oleh Allah sebagai penampi untuk  memisahkan “yang benar” dengan “yang tidak benar”, “yang kudus” dengan “yang fasik” sehingga kepada mereka yang benar di hadapan Allah akan dikaruniai keselamatan sedangkan bagi mereka yang jahat dan fasik akan dibinasakan.

Identitas Mesias Yang Dinubuatkan
                Pemberitaan Yohanes Pembaptis tentang diri Kristus bahwa Dialah yang memiliki segala kuasa dan memiliki wewenang untuk membaptis umat percaya dengan Roh Kudus dan api  sebenarnya didasarkan kepada nubuat nabi Yesaya. Yang mana di Yes. 11:1 identitas Messias, yaitu orang yang diurapi oleh Allah ditegaskan berasal dari keturunan Isai, yaitu ayah dari raja Daud.  Menurut Alkitab identitas Messias bukan sekedar dia berasal dari keturunan dari Abraham. Pernyataan ini tentu benar, tetapi masih bersifat umum. Sebab secara spesifik, identitas Messias ditegaskan berasal dari keturunan raja Daud. Itu sebabnya nubuat nabi Yesaya tentang Messias dimulai dengan pernyataan pembuka: “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (Yes. 11:1). Barulah setelah itu nabi Yesaya menguraikan karakter-karakter utama yang dimiliki oleh sang Messias pada ayat berikutnya. Di Yes. 11:2 diuraikan sifat/karakter utama sang Messias yaitu: seluruh hidupNya dikuasai oleh Roh Tuhan, memiliki roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan Tuhan. Dengan karakter tersebut, sang Messias akan mampu menghakimi seluruh umat manusia dengan penuh keadilan. Dia menjadi pembela bagi orang-orang yang lemah dan tertindas. Pada sisi lain sang Messias akan bersikap tegas kepada orang-orang fasik, sehingga dengan kuasa firmanNya sang Messias disebutkan: “ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik” (Yes. 11:4).

                Gambaran karakter sang Messias yang bernada “keras” tersebut perlu dipahami dalam peran utamaNya sebagai Hakim Allah. Nubuat nabi Yesaya tersebut tidak dimaksudkan sang Messias gemar menggunakan kekerasan sebagai pola kerja dan strategi pelayanannya. Sebab yang diutamakan dari pemerintahan sang Messias pada akhirnya adalah suatu kehidupan yang penuh syalom. Sehingga di Yes. 11:6-9 digambarkan suatu keadaan yang tanpa permusuhan, dengan gambaran figuratif, yaitu: “serigala akan tinggal bersama domba, macan tutul akan berbaring di samping kambing, anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput, singa akan makan jerami seperti lembu, anak yang menyusu bermain dekat liang ular tedung”. Jadi pada intinya pemerintahan kerajaan sang Messias hanyalah bertujuan: “Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunungKu yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9). 
               
Hakim Allah
                Nubuat nabi Yesaya tersebut secara khusus menunjuk kepada diri Tuhan Yesus. Dalam hal ini Yohanes Pembaptis juga menegaskan bahwa hanya Messias saja yang berhak dan memiliki wewenang untuk membaptis dengan Roh Kudus dan api. Sehingga ketika Yesus meminta agar Yohanes membaptis Dia, Yohanes Pembaptis menyatakan: “Akulah yang perlu dibaptis olehMu” (Mat. 3:14). Jadi Kristus telah ditentukan oleh Allah menjadi Juru-selamat, sekaligus Dia menjadi  Hakim Allah yang akan mengadili umat manusia kelak pada akhir zaman. Karena Kristus berperan sebagai Hakim Allah, maka tidak mengherankan jikalau dalam khotbahnya Yohanes Pembaptis berseru: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 3:1-2). Makna kedatangan Kerajaan Sorga berarti pula suatu peristiwa eskatologis di mana Kristus akan menghakimi umat manusia. Karena itu sebelum Kerajaan Sorga tersebut datang, maka manusia harus segera bertobat dengan menanggalkan kehidupan lamanya.

                 Dengan demikian arti dari pertobatan dalam konteks ini bukan sekedar suatu ziarah spiritual yang mana umat mampu menjelajah dimensi kebenaran dari berbagai keyakinan dan agama-agama yang ada di sekitarnya. Lebih dari pada itu pertobatan juga berarti spiritualitas yang mau dengan kerendahan hati mengakui pemerintahan kerajaan sang Messias, yaitu pemerintahan Kristus dan bersedia hidup sesuai dengan hukum utama yaitu kasih dan keadilan.  Manakala kita mengakui dan percaya Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan tidak berarti kita merendahkan atau menafikkan nilai keberadaan agama dan keyakinan di luar iman Kristen. Percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan Hakim yang adil justru membuka ruang dan dimensi spiritualitas yang lebih luas bagi pemerintahanNya untuk menguasai kehidupan kita, sehingga kehidupan kita sepenuhnya dikuasai oleh kasih dan keadilanNya. Makna iman kepada Kristus justru menjadi manifestasi dari spiritualitas dari umat percaya yang ditandai oleh sikap pertobatan, yaitu kesediaan untuk membuang segala bentuk superioritas diri, kesombongan rohani dan segala hawa nafsu duniawi. Dengan spiritualitas iman yang demikian kita dimampukan untuk berlaku adil terhadap kehadiran berbagai agama, keyakinan dan kepercayaan. Kita tidak memandang agama atau kepercayaan yang berbeda sebagai suatu ancaman dan musuh, tetapi sebagai para sahabat yang sedang mencari dan menghayati kebenaran Allah. Karena itu selaku umat percaya kita selalu memberi tempat dan ruang bagi mereka secara leluasa beribadah dan mengekspresikan keyakinannya. Kita bersyukur negara-negara yang umumnya dilandasi oleh nilai-nilai iman Kristen memperlihatkan sikap yang ramah terhadap berbagai agama. Undang-undang dan pelaksanaan hukum di negara-negara “Kristen” tersebut menegaskan jaminan dan perlindungan terhadap setiap agama dan kepercayaan, sehingga mereka dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan sejahtera. Namun sayangnya di negara kita justru memperlihatkan kondisi yang sebaliknya. Secara yuridis, negara kita menegaskan perlindungan dan jaminan terhadap agama dan kepercayaan; tetapi dalam praktek kita menjumpai penindasan dan kekerasan terhadap agama dan kepercayaan yang dianggap berbeda. Sayangnya pula pemerintah dan aparat keamanan sering bertindak lemah dan tidak mampu memberi perlindungan sebagaimana dicanangkan oleh UUD 1945 pasal 29.

Klaim Kebenaran
                Dalam realita hidup memang kita sadari bahwa spiritualitas yang dimaksud memang tidak mudah dimanifestasikan. Dengan sikap prihatin kita menyaksikan beberapa anggota jemaat atau kalangan orang Kristen tertentu yang bersikap arogan dan merasa diri superior kepada sesamanya. Kita juga melihat bagaimana umat dari berbagai kepercayaan dan agama-agama gemar membuat “klaim-klaim kebenaran” dengan menistakan agama lain. Dalam konteks ini hakikat kebenaran Kristus yang dinyatakan dalam iman Kristen tidak boleh menjadi sekedar “klaim kebenaran”. Hakikat kebenaran Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan tidak boleh menjadi propaganda agama. Kebenaran Kristus dan karya keselamatanNya hanya boleh dibuktikan dalam tindakan kasih kepada sesama.  Sebagaimana karakter utama dari Kristus adalah roh hikmat dan pengertian, maka selaku umat Kristen kita harus selalu mengedepankan sikap arif dan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai persoalan kehidupan ini. Juga sebagaimana karakter utama dari Kristus adalah sikap yang takut akan Allah dengan memberlakukan keadilan, maka kita selaku umatNya juga dipanggil untuk melawan setiap jenis dosa dan menjadi pembela bagi setiap orang yang tertindas. Di tengah-tengah dunia yang cenderung mengobarkan api kebencian dan permusuhan, maka kita dipanggil oleh Kristus untuk mengobarkan api cinta-kasih, pengampunan dan kemurahan hati. Sehingga seluruh hidup dan pelayanan kita pada hakikatnya bertujuan untuk  menciptakan keadaan syalom yaitu keselamatan dan damai-sejahtera Allah. Sikap yang sama juga dinyatakan oleh rasul Paulus, yaitu: “Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rom. 15:5-6).

                Makna kerukunan yang dimaksud oleh rasul Paulus tersebut tentu bukan dimaksudkan suatu keadaan harmonis yang sifatnya internal dalam komunitas jemaat dan keluarga anggota jemaat. Tetapi makna kerukunan yang terjadi dari syalom Kristus pada prinsipnya sebagai bentuk spiritualitas yang mampu menerima keberadaan dari tiap-tiap sesamanya. Kita dipanggil untuk mampu menerima keberadaan sesama yang berbeda seperti suku, ras/etnis, agama, kebudayaan, tingkat pendidikan dan ekonomi didasari oleh kasih Kristus. Di Rom. 15:7 rasul Paulus berkata: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah”.  Makna kata “terimalah” berasal dari kata: προσλαμβάνω (proslambanō), berarti: “to take to oneself, that is, use (food), lead (aside), admit (to friendship or hospitality): - receive (mengambil untuk diri sendiri, menggunakan (makanan), memimpin, mengakui (untuk persahabatan atau keramahan), dan menerima. Dengan demikian arti dari “proslambanō” menunjuk kepada kemampuan spiritualitas seseorang untuk menerima diri sendiri dan juga kemampuan untuk menerima orang lain secara timbal-balik. Tepatnya semakin kita mampu menerima diri sendiri berdasarkan anugerah dan kasih Allah, maka kita dimampukan untuk menerima sesama yang berbeda. Itu berarti orang-orang yang terperangkap dengan klaim keberanaran agama atau keyakinannya adalah orang-orang yang menghadapi masalah psikologis dan rohani dengan diri mereka. Mereka umumnya tidak mampu menghargai dan menerima diri sendiri secara utuh. Hidup mereka jauh dari kasih dan anugerah Allah.  Karena itu dalam masa Adven ini kita dipanggil untuk semakin membuka diri terhadap karya Kristus sehingga pemerintahanNya makin menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan kita secara efektif. Melalui karya dan pemerintahan Kristus, kita dimampukan untuk menghadirkan syalom dalam setiap ruang kehidupan ini. Syalom Kristus tersebut akan menciptakan karya Allah yang membebaskan setiap tirani, belenggu dan kejahatan di atas muka bumi ini.

Panggilan
                Kita dipanggil untuk makin percaya bahwa Dialah satu-satunya jalan keselamatan dan Hakim Allah yang akan mengadili setiap umat manusia. Pada pihak lain dengan sikap iman yang personal dan khusus kepada Kristus, selaku jemaat Tuhan kita dipanggil untuk menciptakan kerukunan dengan semua pihak tanpa pernah membedakan latar-belakang budaya, agama dan etnis. Melalui kehidupan kita, orang-orang di sekitar yaitu para anggota keluarga, sesama dalam pekerjaan dan pergaulan, sesama anggota jemaat dan sesama anggota masyarakat dapat melihat kehidupan kita sebagai cermin dari kehidupan Kristus. Sebab Kristus hadir bukan untuk menciptakan ancaman terhadap yang berbeda dengan diriNya sendiri. Dia datang untuk mendamaikan setiap tembok permusuhan dan menghadirkan jembatan kehidupan melalui pengorbanan nyawaNya di atas kayu salib. Di sini kita dapat melihat perbedaan Kristus dengan agama yang dilembagakan melalui agama Kristen. Hakikat Kristus selalu melampaui gerejaNya, dan tidak setiap gereja mengekspresikan kedirian Kristus secara tepat. Karena itu setiap gereja dan umat percaya dipanggil untuk senantiasa berubah dan diubah oleh Kristus. Semakin kita berubah dan diubah oleh Kristus, maka kita akan semakin mampu bertindak penuh kasih dan adil. Kepastian keselamatan di dalam Kristus, memastikan langkah hidup kita untuk menghadirkan keadilan dan damai-sejahtera yang tanpa syarat.

                Jika demikian apakah saudara kini bersedia menjadi tangan Kristus untuk mengkomunikasikan kasihNya? Juga apakah saudara bersedia menjadi mulut Kristus untuk memberitakan firman Allah dan membela keadilan bagi sesama yang tertindas? Apakah seluruh hidup kita tertuju hanya kepadaNya?  Di dalam Kristus, Allah telah menghadirkan kerajaanNya yang adil dan penuh keselamatan. Kini melalui hidup kita, Allah memanggil kita untuk menghadirkan kerajaan Kristus di tengah-tengah zaman yang merelatifkan kebenaran dan keadilan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar