Selasa, 17 Mei 2011

Realita Perceraian dalam Pernikahan Kristen

Kenyataan hidup yg kita hadapi tidak selalu berjalan dalam idelisme konsep artinya, prinsip yg kita yakini kebenarannya, sering hanya bernilai benar dalam tataran wacana tetapi tidak realistis dalam penerapannya. Kita mengatasnamakan "ketaatan" mempertahankan kebenaran secara konservatif namun tidak relevan dengan kebutuhan. Ketidak sesuaian ini berpotensi melahirkan perdebatan yg tidak pernah berhenti dalam gereja, sedangkan pihak yg menjadi korban perceraian hanya merana dalam kesepian dan kesedihan berkepanjangan sambil menikmati dampak sosial, psikologis dan ekonomi sampai pada batas waktu yg tidak menentu.



Bagaimana sikap kita memandang realita perceraian dalam pernikahan Kristen?


Studi Kasus ini murni dengan tujuan memperjelas pemaknaan teks Alkitab supaya semakin memperkaya referensi solusi konflik didalam gereja. Tidak ada sikap keberpihakan pada denominasi manapun, karena didalamnya adalah argumentasi kontektual, logis dan bertanggung jawab. Metode pendekatan yg dipakai adalah Alkitab menjelaskan Alkitab itu sendiri. 

A. Prinsip Dasar: 


"Tidak ada Konsep Perceraian dalam Rencana Allah"

Alkitab tegaskan bahwa Allah sangat menentang perceraian. Selama beberapa pria Israel menceraikan istri mereka, Allah menyatakan melalui nabi Maleaki: Sebab Aku membenci perceraian , ….. juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, ……Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat! (Maleakhi 2:16). 
Tak mengejutkan bagi siapapaun yang tahu sesuatu tentang karakter Allah yang penuh kasih dan keadilan, atau siapapun yang tahu sesuatu tentang bagaimana perceraian berakibat buruk kepada suami, istri dan anak-anak. Kita harus tanyakan tentang karakter moral dari siapapun yang mendukung perceraian. Allah adalah kasih (lihat 1 Yohanes 4:8), sehingga Ia benci perceraian.


Beberapa orang Farisi pernah bertanya kepada Yesus tentang keabsahan perceraian “untuk alasan apapun.” JawabanNya menyatakan bahwa pada dasarnya Ia tidak setuju perceraian. Kenyataannya, Allah tak pernah menghendaki perceraian untuk siapapun: 


Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:3-6). 


Menurut sejarah, ada dua kelompok pemikiran di antara para pemimpin agama Yahudi pada zaman Yesus. Kita selidiki dua kelompok pemikiran itu secara rinci, tetapi cukup dikatakan bahwa kelompok satu konservatif dan yang lain liberal. Kelompok konservatif percaya bahwa suami boleh menceraikan istrinya hanya karena alasan-alasan moral yang sangat serius. Kelompok liberal percaya bahwa suami boleh menceraikan istrinya karena alasan apapun, termasuk mendapatkan wanita yang lebih menarik. Pertentanganpertentangan itu manjadi dasar pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus.


Yesus menunjuk pada ayat-ayat Alkitab dari bagian-bagian awal kitab Kejadian yang menunjukkan bagaimana rencana awal Allah untuk menyatukan pria dan wanita bersama untuk selamanya, bukan untul sementara. Musa menyatakan bahwa Allah menciptakan dua jenis kelamin, sambil memikirkan pernikahan keduanya; pernikahan adalah ikatan yang signifikan, yang menjadi ikatan yang utama. Ketika pernikahan diteguhkan, kedudukannya menjadi lebih tinggi dibandingkan hubungan seseorang dengan orangtua. 


Suami meninggalkan orang tuanya untuk menggantungkan diri kepada istrinya.Lagipula, penyatuan seks antara suami dan istri menunjuk pada penyatuan yang Allah kehendaki. Jelas, Allah tidak menginginkan hubungan pernikahan sementara, yang menghasilkan keturunan. Saya ragu, ada nada kekecewaan yang dalam pada tanggapan Yesus terhadap orang-orang Farisi sampai pertanyaan itu dilontarkan. Allah sudah tentu tidak bermaksud agar suami menceraikan istrinya “karena alasan apapun.”
Allah pasti tidak ingin siapapun berbuat dosa dalam hal apapun, tetapi kita semua telah berdosa. Dengan penuh kasih, Allah mau menyelamatkan kita dari perbudakan dosa. Ia juga ingin mengatakan beberapa hal setelah kita melakukan apa yang tidak Ia inginkan. Dan, Allah tak pernah ingin siapapun untuk bercerai, tetapi perceraian tak dapat dihindarkan di antara manusia yang tidak berserah kepada Allah. Allah tidak terkejut pada perceraian pertama atau jutaan perceraian berikutnya. Sehingga Ia membenci perceraian dan juga Ia ingin mengatakan beberapa hal kepada mereka yang telah bercerai. 



Pada Mulanya (In the Beginning) 
Dengan peletakan dasar ini, kita dapat selidiki secara khusus pernyataan Allah tentang 
perceraian dan pernikahan kembali. Karena pernyataan-pernyataan paling kontroversial 
tentang perceraian dan pernikahan kembali menjadi bahan pembicaraan Yesus kepada 
orang-orang Israel, maka kita dapat mempelajari lebih dulu perkataan Allah tentang 
persoalan itu kepada orang-orang Israel ratusan tahun sebelumnya. Jika ditemukan ada 
pertentangan antara perkataan Allah melalui Musa dan perkataan Allah melalui Yesus, 
maka kita bisa yakin bahwa Hukum Taurat Allah telah berubah atau kita salah 
menafsirkan sesuatu dari perkataan Musa atau Yesus. Jadi, kita mulai dengan 
pengungkapan dari Allah mengenai perceraian dan pernikahan kembali.
Saya telah menyebutkan perikop itu dalam Kejadian 2 yang, menurut Yesus, memiliki 
relevansi dengan masalah perceraian. Kali ini, kita baca langsung dari kitab Kejadian: 
Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah 
seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia 
itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai 
perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan 
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga 
keduanya menjadi satu daging. (Kejadian 2:22-24). 
Itulah pernikahan pertama. Allah menciptakan wanita pertama dari manusia pertama 
dan untuk manusia pertama, dan Allah secara pribadi membawa perempuan itu kepada 
manusia itu. Dalam kata-kata Yesus, “Allah … telah mempersatukan [mereka]” (Matius 
19:6, tambahkan penekanan). Pernikahan pertama yang ditentukan oleh Allah menjadi 
pola bagi pernikahan-pernikahan selanjutnya. Allah menciptakan jumlah wanita sama 
dengan jumlah pria, dan Ia ciptakan mereka sehingga satu jenis kelamin merasa tertarik 
kepada jenis kelamin lainnya. Maka dapat dikatakan, Allah masih menata pernikahan dalam skala besar (walau ada lebih banyak calon pasangan untuk seseorang dibandingkan 
untuk Adam dan Hawa). Karena itu, seperti yang Yesus tunjukkan, tak satupun manusia 
dapat memisahkan apa yang telah Allah persatukan. Allah tak ingin pasangan nikah 
hidup terpisah, tetapi mereka akan mendapat berkat dalam kebersamaan hidup dalam 
saling ketergantungan. Pelanggaran atas kehendak Allah akan menghasilkan dosa. 
Sehingga dari Kejadian pasal 2, perceraian bukanlah kehendak Allah dalam pernikahan.
Hukum Taurat Allah yang Dituliskan dalam Hati (God’s Law Written in Hearts)
Saya juga berpendapat bahwa orang yang belum pernah membaca Kejadian pasal 2 
langsung tahu bahwa perceraian adalah keliru, karena janji pernikahan seumur hidup 
dilakukan di banyak budaya dari para penyembah berhala di mana mereka tak tahu 
tentang Alkitab. Sesuai tulisan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma: 
Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri 
sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak 
memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri . 
Sebab dengan itu mereka menunjukkan , bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di 
dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling 
menuduh atau saling membela. (Roma 2:14-15). 
 Kode etik Allah dituliskan di dalam hati setiap manusia. Ternyata, kode etik yang 
berbicara melalui kata hati menjadi aturan yang pernah Allah berikan kepada siapapun, 
kecuali kepada orang-orang Israel, sejak Adam sampai masa Yesus. Siapapun yang 
sedang berpikir untuk bercerai akan tahu bahwa ia harus memperhatikan kata-hatinya, 
dan cara untuk dapat mengatasi kata-hatinya adalah mencari pertimbangan yang baik 
untuk bercerai. Jika orang itu meneruskan proses perceraian tanpa pertimbangan yang 
baik, maka kata-hatinya akan menuduhnya, walaupun ia dapat menekan perasaan itu.
Sepanjang pengetahuan kita, selama duapuluh-tujuh generasi dari Adam sampai 
pemberian Hukum Taurat Musa kepada Israel sekitar tahun 1440 SM, hukum hati nurani 
adalah pewahyuan yang Allah berikan kepada setiap orang, termasuk orang-orang Israel, 
mengenai perceraian dan pernikahan kembali; Allah menganggapnya sudah cukup. 
(Ingat, Musa tidak menuliskan kisah penciptaan dalam Kejadian 2 sampai saat keluarnya 
bangsa Israel dari Mesir). Tentu, kita bisa berpendapat bahwa selama duapuluh-tujuh 
generasi sebelum Hukum Taurat Musa, termasuk zaman Air Bah Nuh, sebagian dari jutaan pernikahan selama ratusan tahun itu berakhir dengan perceraian. Kita bisa 
simpulkan bahwa Allah, yang tak pernah berubah, mau mengampuni orang yang 
menimbulkan rasa bersalah dari perceraian jika dia mengaku dan bertobat dari dosanya. 
Kita yakin bahwa orang dapat diselamatkan, atau dibenarkan oleh Allah melalui 
imannya, sebelum pemberian Hukum Taurat Musa, seperti halnya Abraham (lihat Roma 
4:1-12). Jika orang-orang dapat dibenarkan melalui iman mereka dari Adam sampai 
Musa, itu berarti mereka dapat diampuni dari suatu hal, termasuk dosa yang timbul dari 
perceraian. Maka, saat kita mencari solusi untuk perceraian dan pernikahan kembali, saya 
ragu: Apakah orang-orang, yang menimbulkan dosa perceraian sebelum Hukum Taurat 
Musa dan yang menerima pengampunan dari Allah, dipersalahkan oleh kata-hatinya 
(karena tidak ada hukum tertulis) sehingga mereka menimbulkan rasa bersalah jika 
mereka menikah lagi? Saya hanya menuliskan pertanyaan ini.
Bagaimana dengan korban-korban perceraian yang tidak berbuat dosa, orang yang 
diceraikan tanpa kesalahannya, tetapi hanya karena pasangan hidup yang egois? Apakah 
kata-hati mereka mencegahnya untuk tak menikah lagi? Tampaknya tak mungkin. Jika 
suami meninggalkan istrinya untuk wanita lain, apa yang membuat istrinya 
berkesimpulan bahwa ia tak berhak menikah lagi? Wanita itu telah diceraikan tanpa 
berbuat salah.
Hukum Taurat Musa (The Law of Moses)
Belum sampai pada kitab ketiga dari Alkitab, kita dapati penyebutan secara spesifik 
tentang perceraian dan pernikahan kembali. Isi Hukum Taurat Musa adalah larangan 
terhadap imam-imam yang menikahi wanita-wanita yang diceraikan: 
Janganlah mereka mengambil seorang perempuan sundal atau perempuan yang 
sudah dirusak kesuciannya atau seorang perempuan yang telah diceraikan oleh 
suaminya, karena imam itu kudus bagi Allah nya. (Imamat 21:7). 
Di dalam Hukum Taurat Musa, tak ada larangan tersebut bagi kaum pria Israel. Dan, 
ayat di atas bermakna bahwa (1) sudah ada wanita-wanita Israel yang diceraikan, dan (2) 
tiada yang keliru dengan pria-pria Israel bukan imam yang menikah sebelumnnya. 
Hukum yang dikutip di atas hanya berlaku bagi imam dan wanita yang diceraikan yang 
mungkin menikahi imam. Dalam Hukum Taurat Musa, tiada yang keliru dengan 
pernikahan ulang dari wanita yang diceraikan, selama wanita itu tak menikahi imam. Selain imam, tak ada yang keliru bila pria manapun menikahi wanita yang diceraikan.
Imam kepala (mungkin sebagai tipe terbaik Kristus) harus hidup menurut standar yang 
lebih tinggi dibandingkan imam biasa. Ia bahkan tak boleh menikahi seorang janda. Kita 
baca beberapa ayat nanti dalam Imamat: 
Seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan atau yang dirusak kesuciannya 
atau perempuan sundal, janganlah diambil, melainkan harus seorang perawan dari 
antara orang-orang sebangsanya. (Imamat 21:14). 
Apakah ayat itu membuktikan bahwa adalah dosa bila: (i) setiap dan semua janda 
Israel untuk menikah lagi, atau (ii) setiap dan semua pria Israel untuk menikahi janda? 
Tidak. Nyatanya, ayat itu bermakna bahwa janda manapun tidak berdosa bila menikahi 
pria manapun selama pria itu bukan imam kepala, dan ayat itu bermakna bahwa pria 
manapun, selain imam kepala, boleh menikahi janda. Ayat-ayat lain dalam Alkitab 
menegaskan legitimasi penuh dari janda yang menikah kembali (lihat Roma 7:2-3; 1 
Tim.5:14).
Ayat di atas juga, juga dengan ayat sebelumnya (Imamat 21:7), bermakna bahwa bila 
pria Israel (selain imam atau imam kepala) boleh menikahi wanita yang diceraikan atau 
bahkan wanita yang tidak lagi perawan, “yang tercemar karena pelacuran.” Ayat ini juga 
bermakna bahwa, sesuai Hukum Taurat Musa, tak ada yang keliru bagi wanita yang 
diceraikan untuk menikah lagi atau bagi wanita “yang tercemar karena pelacuran” untuk 
menikah, selama ia tidak menikahi seorang imam. Allah dengan kasih karunianya 
memberi kesempatan kepada orang yang cabul dan orang yang bercerai, meskipun Ia 
sangat menentang percabulan dan perceraian. 
Larangan Kedua terhadap Pernikahan Kembali (A Second Specific Prohibition 
Against Remarriage)
Berapa “kesempatan kedua” yang Allah berikan kepada wanita yang diceraikan? 
Dapatkah disimpulkan bahwa Allah memberikan kepada wanita yang diceraikan hanya
satu kesempatan lagi menurut Hukum Taurat Musa, yang memungkinkan hanya satu 
pernikahan kembali? Ini kesimpulan keliru. Bacalah dalam Hukum Taurat Musa, 
Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika 
kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak 
senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan 
itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika 
laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan 
menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, 
atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka 
suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil 
dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah 
kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri 
yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. (Ulangan 
24:1-4). 
Perlu dicatat, dalam ayat-ayat di atas, larangan dikenakan kepada wanita yang dua kali 
menikah (atau wanita yang pernah diceraikan dan pernah menjanda) yang menikahi 
kembali suami pertamanya. Tiada yang dapat dikatakan tentang rasa bersalahnya yang 
muncul karena menikah kedua kali, dan ketika ia diceraikan kali kedua (atau menjadi 
janda dari suami kedua), ia hanya dilarang kembali kepada suami pertama. Implikasi 
yang jelas adalah si wanita tadi bebas menikah lagi dengan pria manapun (yang mau 
mengambil kesempatan kepada wanita itu). Andaikata dia berdosa karena menikah 
kembali dengan pria lain, maka Allah tak mungkin perlu memberi instruksi khusus 
seperti itu. Yang dapat dikatakan adalah, “Orang yang diceraikan dilarang menikah 
kembali.”
Lagipula, jika Allah izinkan wanita itu menikah kedua kali, maka pria yang menikah 
dengannya, setelah perceraian pertama si wanita, tidak menimbulkan rasa bersalah. Dan 
jika si wanita diizinkan menikah ketiga kali, maka pria manapun, yang menikahinya 
setelah si wanita bercerai dua kali, tidak berdosa (jika ia tidak menjadi suaminya yang 
pertama). Jadi, Allah yang membenci perceraian mengasihi orang yang diceraikan, dan Ia 
dengan penuh kasih memberikan mereka kesempatan lain. 
Ikhtisar (A Summary)
Kita buat kesimpulan dari hal-hal yang telah didapatkan: Meskipun Allah mengatakan 
kebencianNya atas perceraian, Ia tak memberikan indikasi sebelum atau selama 
perjanjian lama bahwa pernikahan kembali adalah dosa, dengan dua pengecualian: (1) 
wanita, yang dua kali diceraikan atau yang sekali diceraikan dan sekali menjanda, yang menikahi kembali suami pertama, dan (2) perkara wanita yang diceraikan yang menikahi 
seorang imam. Lagipula, Allah tidak memberi indikasi bahwa menikahi seorang yang 
diceraikan adalah dosa bagi siapapun, kecuali bila dilakukan oleh imam.
Hal itu bertentangan dengan ucapan Yesus tentang orang yang diceraikan yang 
menikah kembali dan orang yang menikahi orang yang diceraikan. Yesus berkata bahwa 
orang-orang itu berzinah (lihat Matius 5:32). Jadi, kita salah-paham kepada Yesus atau 
Musa, atau Allah mengubah Hukum TauratNya. Saya curiga, kita bisa salah tafsir dengan 
ajaran Yesus, karena tampak aneh bila Allah tiba-tiba menyatakan sesuatu sebagai 
berdosa menurut moral yang diberlakukan selama seribu limaratus tahun dalam Hukum 
Taurat yang Dia berikan kepada Israel.
Sebelum kita atasi kontradiksi itu dengan jelas, saya ingin tekankan bahwa persetujuan 
dari Allah untuk menikah kembali menurut perjanjian lama tidak memberikan ketentuan 
yang berdasarkan alasan perceraian seseorang atau kadar rasa bersalah yang ditimbulkan 
oleh seseorang dalam perceraian. Allah tak pernah berkata bahwa orang yang diceraikan 
tidak memenuhi syarat untuk menikah kembali karena perceraiannya bukan karena alasan 
sah. Allah tidak berkata bahwa sebagian orang boleh menikah kembali oleh karena 
keabsahan perceraian itu. Namun penilaian sering dibuat oleh pelayan kini berdasarkan 
kesaksian sepihak. Misalnya, istri yang diceraikan mencoba meyakinkan pendetanya 
bahwa ia diizinkan menikah kembali karena ia menjadi korban perceraian. Mantan 
suaminya menceraikannya —ia tidak menceraikan suaminya. Tetapi, jika pendeta diberi 
kesempatan mendengarkan cerita dari bekas suaminya, ia bisa saja bersimpati kepada 
mantan suaminya. Mungkin istrinya galak dan layak disalahkan. 
Saya mengenal seorang suami dan istri yang melakukan provokasi untuk bercerai agar 
masing-masing dapat menghindari rasa bersalah karena ikut bercerai. Keduanya ingin 
mengatakan setelah perceraian bahwa pasangannyalah, bukan mereka berdua, yang mau 
bercerai, sehingga tindakan itu memberi pengesahan bagi masing-masing untuk menikah 
kedua kali. Kita bisa saja membodohi orang lain, tetapi kita tak dapat membodohi Allah. 
Misalnya, apa penghargaanNya bagi wanita yang, dalam ketidaktaatan pada Firman 
Tuhan, terus menolak hubungan seks dengan suaminya, lalu menceraikannya karena ia 
tak setia kepada istrinya? Apakah istri tak sedikitpun bertanggung-jawab atas perceraian? 
Kasus wanita yang dua kali diceraikan dalam Ulangan 24 tidak menyatakan tentang legitimasi kedua perceraiannya. Suami pertamanya mendapati ”ketidaksenonohan” pada 
wanita itu. Jika ”ketidaksenonohan” itu adalah perzinahan, maka wanita itu layak 
dihukum mati menurut Hukum Taurat Musa, yang menganjurkan bahwa pezinah harus 
dilempari batu (lihat Imamat 20:10). Jadi, jika perzinahan menjadi alasan bercerai, 
mungkin suami pertamanya tidak punya alasan tepat untuk menceraikannya. Di lain 
pihak, mungkin si wanita telah berzinah, dan si suami, bagaikan orang benar seperti 
Yusuf suami Maria, “bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Matius 1:19). 
Mungkin ada banyak skenario.
Suami keduanya konon telah “berbalik melawannya.” Sekali lagi, kita tidak tahu siapa 
yang patut disalahkan atau apakah mereka menanggung kesalahan bersama-sama. Tetapi 
hal itu takkan memberi perbedaan apapun. Kasih karunia Allah diberikan kepada istri 
untuk menikah kembali dengan siapapun yang mengambil kesempatan kepada wanita 
yang dua kali bercerai, kecuali suami pertamanya. 
Keberatan (An Objection)
Sering muncul keluhan “Tetapi jika orang tahu bahwa ia boleh menikah kembali 
setelah bercerai dengan suatu alasan, yang akan mendorongnya untuk bercerai karena 
alasan yang tidak sah.” Saya berpendapat mungkin saja hal itu berlaku pada kasus orang 
yang taat yang tidak berusaha untuk menyenangkan Allah, tetapi agaknya tak ada 
gunanya mencegah orang yang tidak berserah kepadaNya agar tak berbuat dosa. Namun, 
setiap orang yang mau berserah kepada Allah di dalam hatinya tak akan berniat untuk 
berbuat dosa. Orang itu mencoba menyenangkan Allah, dan orang seperti itu biasanya 
punya ikatan pernikahan kuat. Lagipula, pada masa perjanjian lama sepertinya Allah tak 
peduli kepada orang-orang yang bercerai karena alasan yang tidak sah yang disebabkan 
oleh aturan terbuka bagi pernikahan kembali, sebab Allah memberi aturan terbuka itu 
kepada orang-orang Israel.
Apakah kita tak perlu berkata kepada orang yang dosanya Allah mau ampuni, agar ia 
tak terdorong untuk berbuat dosa karena ia tahu ada pengampunan? Jika demikian, kita 
akan berhenti memberitakan Injil. Lagi-lagi, hal tersebut berpangkal pada kondisi hati 
setiap orang. Orang yang mengasihi Allah mau menaatiNya. Saya tahu, pengampunan 
Allah ada bagi saya jika saya memintanya, tak peduli dosa apa yang saya buat. Tetapi hal 
itu sama sekali tidak memotivasi saya untuk berbuat dosa, karena saya mengasihi Allah dan telah dilahirkan kembali. Saya telah diubahkan oleh kasih karuniaNya. Dan, saya 
mau menyenangkanNya. 
Bagai Allah, tak perlu lagi menambah konsekwensi negatif kepada banyak 
konsekwensi negatif dalam perceraian yang tak terhindarkan demi memotivasi setiap 
pasangan nikah untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Upaya yang sedikit memberi 
motivasi agar tetap dalam ikatan pernikahan adalah mengatakan kepada orang yang 
pernikahannya bermasalah agar ia lebih baik tak bercerai karena ia tak boleh menikah 
lagi. Walau orang itu mempercayai anda, hidup sendirian sepertinya menjanjikan 
kebahagiaan kepada orang itu, dibandingkan hidup dalam pernikahan yang terus 
dirundung malang. 
Paulus tentang Pernikahan Kembali (Paul on Remmariage)
Sebelum kita bahas tentang kesesuaian perkataan Yesus dengan Musa dalam hal 
pernikahan kembali, kita perlu tahu ada seorang dalam Alkitab yang sependapat dengan 
Musa; ia adalah rasul Paulus. Paulus menuliskan bahwa pernikahan kembali untuk orangorang yang bercerai adalah dosa, dan ia sepakat dengan perkataan Perjanjian Lama: 
Sekarang tentang para gadis. Untuk mereka aku tidak mendapat perintah dari 
Tuhan. Tetapi aku memberikan pendapatku sebagai seorang yang dapat dipercayai 
karena rahmat yang diterimanya dari Allah. Aku berpendapat, bahwa, mengingat 
waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya. 
Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan 
perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah 
engkau mencari seorang! Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Dan 
kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat dosa. Tetapi orang-orang yang 
demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan kamu dari 
kesusahan itu. (1 Korintus 7:25-28, tambahkan penekanan). 
Dalam perikop itu, nyata-nyata Paulus menunjuk kepada orang yang diceraikan. Ia 
menyarankan kepada orang yang kawin, orang yang tak pernah kawin, dan orang yang 
bercerai agar tetap dalam keadaannya seperti itu oleh karena penganiayaan yang diderita 
oleh orang-orang Kristen saat itu. Tetapi, Paulus jelas meminta agar orang yang 
diceraikan dan anak gadis tidak melakukan dosa jika mereka menikah.
Perlu dicatat bahwa Paulus tidak membatasi keabsahan pernikahan kembali dari orang yang bercerai. Ia tidak mengatakan pernikahan kembali hanya diizinkan jika orang-orang 
yang bercerai tidak mau disalahkan pada perceraiannya terdahulu. (Dan siapakah yang 
memenuhi syarat untuk menghakimi hal seperti itu, selain Allah?). Ia tidak mengatakan 
pernikahan kembali hanya boleh bagi mereka yang telah bercerai sebelum ia 
diselamatkan. Ia hanya berkata bahwa pernikahan kembali bukanlah dosa bagi orang 
yang diceraikan. 
Apakah Paulus Bersikap Lunak terhadap Perceraian? (Was Paul Soft on 
Divorce?)
Karena Paulus mendukung kebijakan yang penuh kasih-karunia terhadap pernikahan 
kembali, apakah itu berarti ia juga bersikap lunak terhadap perceraian? Tidak, secara 
umum Paulus jelas menentang tindakan perceraian. Pada awal pasal yang sama dari surat 
pertamanya kepada jemaat di Korintus, ia menerapkan aturan perceraian yang sesuai 
dengan sikap benci Allah terhadap perceraian: 
Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--
perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau 
ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan 
seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. Kepada orang-orang lain aku, 
bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak 
beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah 
saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang 
yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, 
janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu 
dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh 
suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, 
tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak 
beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau 
saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai 
sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak 
akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai 
suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu? Selanjutnya hendaklah 
tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada 
semua jemaat. (1 Korintus 7:10-17). 
Perlu dicatat, mula-mula Paulus berbicara kepada orang percaya yang menikah dengan 
orang percaya. Sudah tentu, mereka tidak boleh bercerai, dan Paulus menyatakan bahwa 
itulah perintah Tuhan, bukan perintahnya. Dan tentunya, hal itu selaras dengan segala 
sesuatu yang kita bahas dalam Alkitab sejauh ini.
Di sinilah hal itu jadi menarik. Paulus bersikap cukup realistis untuk menyadari bahwa 
kadang-kadang orang-orang percaya bisa bercerai. Jika hal itu terjadi, Paulus menyatakan 
bahwa orang yang menceraikan pasangannya harus tetap tidak menikah atau rujuk 
kembali dengan pasangannya. (Walaupun Paulus memberi perintah khusus itu kepada 
istri, saya anggap bahwa aturan yang sama berlaku juga bagi suami).
Tulisan Paulus tidak mengejutkan kita. Awalnya, Ia menegaskan peraturan Allah 
mengenai perceraian, tetapi ia cukup tahu bahwa peraturan Allah tidak selalu ditaati. Jadi 
ketika dosa perceraian terjadi antara dua orang percaya, ia memberi instruksi lanjutan. 
Orang yang menceraikan pasangannya harus tetap tidak menikah atau didamaikan dengan 
pasangannya. Hal itu adalah tindakan terbaik bagai perceraian antara orang-orang 
percaya. Selama mereka berdua tetap tidak menikah lagi, ada harapan untuk rujuk 
kembali, dan itulah jalan terbaik. Tentu saja, jika salah seorang menikah lagi, maka 
berakhirlah harapan dan kemungkinan rujuk kembali. (Dan jelas, jika mereka telah 
melakukan hal yang tak dapat diampuni melalui perceraian, ada alasan yang diberikan 
Paulus kepada mereka untuk tetap tidak menikah lagi atau didamaikan kembali).
Apakah anda berpendapat bahwa Paulus tahu bahwa petunjuknya yang kedua kepada 
orang percaya yang bercerai mungkin tidak selalu ditaati? Saya sependapat. Mungkin ia 
tidak memberi petunjuk lanjutan kepada orang percaya yang bercerai karena ia berharap 
agar orang percaya sejati mengikuti petunjuknya untuk tak bercerai, sehingga 
petunjuknya yang kedua diperlukan hanya untuk kasus yang jarang terjadi. Tentu saja, 
pengikut sejati Kristus, jika dapat masalah pernikahan, akan berbuat apa saja untuk 
menjaga pernikahan. Dan tentunya seorang percaya yang, setelah coba mempertahankan 
pernikahan, merasa tak punya pilihan kecuali bercerai, tentunya orang percaya itu, dari 
perasaan malu dan keinginannya untuk menghormati Kristus, tidak berpikir untuk 
menikah kembali dengan siapapun, dan masih berharap rujuk kembali. Bagiku, masalah sebenarnya dalam gereja masa kini dalam hal perceraian adalah banyak orang percaya 
yang sedang tersesat, orang-orang yang tak sungguh percaya kepada Tuhan Yesus dan 
berserah kepadaNya.
Dari tulisan Paulus dalam 1 Korintus 7, jelaslah Allah sangat berharap bagi orangorang percaya, di mana Roh Kudus berdiam di dalam diri mereka, dibandingkan yang 
Dia lakukan bagi orang-orang yang tidak percaya. Seperti kita baca, Paulus menuliskan 
bahwa orang percaya tak boleh menceraikan pasangannya yang tak percaya selama 
pasangannya itu bersedia tinggal bersama. Sekali lagi, petunjuk itu tidak mengejutkan, 
karena sesuai sekali dengan semua yang terdapat dalam Alkitab, terkait dengan pokok 
masalahnya. Allah menentang perceraian. Tetapi, Paulus berkata lagi bahwa jika orang 
yang tidak percaya ingin bercerai, maka Paulus membolehkannya. Paulus tahu bahwa 
orang yang tidak percaya tidak berserah kepada Allah, dan ia tidak mengharapkan orang 
yang tidak percaya untuk bertindak seperti orang percaya. Dapat saya tambahkan, ketika 
orang yang tidak percaya setuju untuk hidup bersama dengan orang percaya, maka ada 
indikasi baik bahwa orang yang tidak percaya berpeluang membuka diri terhadap Injil, 
atau orang percaya itu berbalik menjadi tidak percaya atau orang Kristen palsu.
Kini, siapa yang akan berkata bahwa orang percaya yang telah diceraikan oleh seorang 
tak percaya tidak bebas untuk menikah kembali? Paulus tidak mengatakan hal tersebut, 
seperti yang ia lakukan dalam kasus dua orang percaya yang diceraikan. Kita heran 
mengapa Allah menentang pernikahan kembali orang percaya yang telah diceraikan oleh 
seorang yang tidak percaya. Apa tujuannya? Namun tampaknya pemberian izin itu 
bertentangan dengan ucapan Yesus tentang pernikahan kembali: “Siapa yang kawin 
dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Matius 5:32). Hal tersebut 
membuat saya curiga bahwa kita salah menafsirkan penyampaian dari Yesus.
Masalah (The Problem)
Yesus, Musa dan Paulus sependapat bahwa perceraian adalah indikasi dosa dari satu 
pihak atau dua pihak yang bercerai. Pada umumnya, ketiganya konsisten menentang 
perceraian. Tetapi, masalahnya: Bagaimana kita mencocokkan apa yang dikatakan oleh 
Musa dan Paulus tentang pernikahan kembali dengan perkataan Yesus tentang 
pernikahan kembali? Kita tentu berharap ketiganya memiliki pendapat yang selaras 
karena semuanya diilhami oleh Allah untuk menyatakan perkataan mereka.Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka 
bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa 
saja?" Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia 
sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab 
itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, 
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh 
diceraikan manusia." Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya 
Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan 
isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa 
mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. 
Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena 
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." (Matius 19:3-9). 
Selama percakapan dengan Yesus, orang-orang Farisi menyebutkan bagian dari 
Hukum Taurat yang disebut sebelumnya, Ulangan 24:1-4. Tertulis, "Apabila seseorang 
mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak 
menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia 
menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh 
dia pergi dari rumahnya...” (Ulangan 24:1, tambahkan penekanan).
Pada masa Yesus, sudah ada dua kelompok pemikiran mengenai hal yang merupakan 
“ketidaksenonohan.” Sekitar duapuluh tahun sebelumnya, seorang rabbi bernama Hillel 
mengajarkan bahwa ketidaksenonohan adalah perbedaan yang bertentangan. Sebelum 
Yesus berdebat dengan orang-orang Farisi, penafsiran “Hillel” bahkan menjadi lebih 
liberal, yang membolehkan perceraian karena “alasan apa saja”, sebagaimana tampak 
pada pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus. Suami dapat saja menceraikan istrinya 
jika ia membuat masakan hangus, memberi terlalu banyak garam pada makanan, 
berjalan-jalan di muka umum sehingga lututnya terbuka, memotong rambutnya, berbicara 
kepada pria lain, berkata sesuatu yang tak baik tentang ibu mertuanya, atau bila ia 
mandul. Seorang suami dapat menceraikan istrinya jika ia melihat seseorang yang lebih 
menarik, sehingga menjadikan istrinya “tidak menarik.”
Rabbi lain yang terkenal, Shammai, yang hidup sebelum Hillel, mengajarkan bahwa “ketidaksenonohan” adalah sesuatu yang sangat tak bermoral, seperti perzinahan. Agak 
diragukan, di antara orang-orang Farisi di zaman Yesus, penafsiran liberal Hillel jauh 
lebih dikenal dibandingkan penafsiran Shammai. Orang-orang Farisi hidup dan 
mengajarkan bahwa perceraian adalah sah dalam hal apapun, sehingga perceraian tak 
terelakkan. Dalam cara menurut tradisi Farisi, orang-orang Farisi mengutamakan 
pentingnya pemberian surat cerai ketika menceraikan istrinya, agar “tidak melanggar 
Hukum Taurat Musa.” 
Jangan Lupa bahwa Yesus Berbicara kepada Orang-orang Farisi (Don’t Forget 
that Jesus’ was Speaking to Pharisees) 
Dengan mengingat latar-belakang itu, kita makin mengerti keadaan yang Yesus 
hadapi. Di depanNya berdiri para guru agama munafik yang, kebanyakan atau mungkin 
semua, telah bercerai sekali atau lebih, dan mungkin karena mereka telah temukan 
pasangan yang lebih menarik. (Menurut saya, bukan kebetulan bahwa perkataan Yesus 
tentang perceraian dalam Khotbah di Bukit secara langung mengikuti semua 
peringatanNya mengenai hawa-nafsu, yang juga menyebutnya sebagai bentuk 
perzinahan). Namun mereka membenarkan diri mereka sendiri, dengan mengklaim telah 
menaati Hukum Taurat Musa.
Pertanyaan mereka sendiri mengungkapkan kecenderungan mereka. Mereka percaya 
bahwa orang bisa saja menceraikan istrinya karena alasan apapun. Yesus 
mengungkapkan kekeliruan pemahaman mereka akan maksud Allah dalam pernikahan 
dengan merujuk pada kata-kata Musa tentang pernikahan pada Kejadian pasal 2. Allah 
tak pernah ingin terjadi perceraian apapun, “dengan alasan apapun”, namun para 
pemimpin Israel menceraikan istri-istri mereka persis seperti remaja mengakhiri 
“kebiasaan” mereka!
Saya curiga orang-orang Farisi sudah tahu pendirian Yesus tentang perceraian, ketika 
Ia menyatakan di depan banyak orang sebelumnya, sehingga mereka sudah siap membuat 
penyangkalan: “… apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai 
jika orang menceraikan isterinya?" (Matius 19:7).
Pertanyaan itu kembali mengungkapkan kecurigaan mereka. Pertanyaan itu dibuat 
sehingga berbunyi seolah-olah Musa memerintakan suami untuk menceraikan istri ketika 
ia menemukan “ketidaksenonohan,” dan memerlukan surat cerai, tetapi seperti dalam Ulangan 24:1-4, itu bukanlah perkataan Musa. Ia hanya memberi aturan untuk 
pernikahan ketiga oleh seorang wanita, dengan melarangnya untuk menikahi lagi suami 
pertamanya.
Karena Musa menyebut perceraian, pasti perceraian dibolehkan dengan satu alasan. 
Tetapi, perhatikan bagaimana kata yang Yesus pakai dalam jawabanNya, membolehkan, 
berbeda dengan pilihan kata dari orang-orang Farisi: memerintahkan. Musa 
membolehkan, tetapi tak pernah memerintahkan, perceraian. Musa membolehkan 
perceraian karena kekerasan hati bangsa Israel. Yakni, Allah membolehkan perceraian 
sebagai persetujuan dengan kasih karunia kepada keadaan berdosa manusia. Ia tahu 
seseorang tak akan setia kepada pasangannya. Ia tahu akan terjadi kejatuhan moral. Ia 
tahu hati orang yang disakiti. Sehingga Ia membolehkan perceraian. Bukan itu yang saya 
maksudkan dari awal, tetapi dosa membuat perceraian perlu dilakukan.
Berikutnya, Yesus menerapkan aturan Allah kepada orang-orang Farisi, dengan 
mendefiniskan kata “ketidaksenonohan” dari Musa: “Barangsiapa menceraikan isterinya, 
kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." ” (Matius 
19:9, tambahkan penekanan). Di mata Allah, zinah adalah satu-satunya alasan sah bagi 
suami untuk menceraikan istrinya, dan saya pahami itu. Apa yang bisa dilakukan oleh 
pria atau wanita yang bisa saja menjadi tindakan yang tak menyenangkan pasangannya? 
Ketika berzinah atau berselingkuh, si pria/wanita mengirimkan pesan yang jahat. Yesus 
tentu tak menyebut perzinahan ketika memakai kata “amoralitas.” Tentunya mencium 
dan mencumbu pasangan dengan bernafsu merupakan penyimpangan amoral, seperti 
halnya melihat-lihat gambar porno, dan penyimpangan seks lainnya. Ingatlah, Yesus 
menyamakan nafsu dengan perzinahan selama KhotbahNya di Bukit. 
Jangan lupa, kepada siapa Yesus berbicara, yakni kepada orang-orang Farisi yang 
menceraikan istri-istri mereka dengan alasan apapun dan dengan cepat menikah kembali, 
tetapi mereka tidak melakukan zinah, seperti yang dilarang Allah, demi berjaga agar 
mereka tidak melanggar perintah ketujuh. Yesus berkata bahwa mereka hanya 
membodohi diri. Perilaku mereka tak berbeda dengan perzinahan. Orang jujur paham 
bahwa seseorang, yang menceraikan istrinya agar dapat menikahi wanita lain, tengah 
berbuat zinah, tetapi bersembunyi di balik legalitas. 
Solusi (The Solution)Inilah kunci untuk menyelaraskan Yesus dengan Musa dan Paulus. Yesus memaparkan 
kemunafikan orang-orang Farisi. Ia tidak menetapkan peraturan yang melarang 
pernikahan kembali. Jika Ia menetapakan peraturan, maka Ia menentang pendapat Musa 
dan Paulus dan membingungkan jutaan orang yang bercerai dan jutaan orang yang 
menikah ulang. Jika, Yesus menetapkan aturan nikah kembali, maka apa yang harus 
dikatakan kepada orang yang telah diceraikan dan menikah kembali sebelum ia 
mendengar tentang peraturan Yesus? Apakah kita harus berkata bahwa ia sedang hidup 
dalam zinah dan menganjurkan dia untuk bercerai lagi, karena Alkitab ingatkan bahwa 
tak ada pezinah akan mewarisi Kerajaan Allah (lihat 1 Korintus 6:9-10)? Tetapi tidakkah 
Allah membenci perceraian? 
Apakah kita harus berkata kepadanya untuk berhenti berhubungan seks dengan 
pasangannya sampai mantan pasangannya meninggal untuk menghindari perzinahan? 
Tetapi tidakkah Paulus melarang pasangan yang sudah menikah untuk saling menolak 
hubungan seks? Tidakkah saran itu menimbulkan godaan seks dan bahkan memicu 
keinginan bekas pasangan untuk mati?
Apakah kita harus berkata kepada orang itu untuk menceraikan pasangannya kini dan 
menikahi pasangan aslinya (seperti anjuran sebagian orang), sesuatu yang dilarang dalam 
Hukum Taurat Musa dalam Ulangan 24:1-4? 
Bagaimana dengan orang yang diceraikan yang tidak kawin lagi? Jika ia hanya boleh 
menikah kembali jika bekas pasangannya melakukan amoralitas, yang akan bertanggung 
jawab untuk menentukan apakah amoralitas memang dilakukan? Untuk menikah 
kembali, apakah seseorang perlu membuktikan bahwa bekas pasangannya bersalah hanya 
karena hawa-nafsu, sedangkan orang lain perlu membawa saksi bagi perselingkuhan yang 
dilakukan oleh bekas pasangan tadi?
Seperti pertanyaan saya sebelumnya, bagaimana halnya dengan bekas pasangan yang 
berzinah karena dinikahi oleh seseorang yang tak mau berhubungan seks? Adilkah bila 
orang yang tak mau berhubungan seks dibolehkan menikah kembali selagi orang yang 
berzinah tidak diizinkan untuk kawin lagi?
Bagaimana dengan orang yang telah bersetubuh sebelum nikah? Bukankah perbuatan 
itu wujud ketidaksetiaaan kepada calon pasangan nanti? Tidakkah dosa orang itu sama 
dengan perzinahan, andaikan ia atau pasangan seksnya sudah menikah ketika berbuat dosa? Lalu, mengapa orang itu dibolehkan menikah?
Bagaimana dengan dua orang yang hidup bersama, tanpa ikatan pernikahan, yang 
kemudian “berpisah.” Mengapa mereka boleh menikahi orang lain setelah berpisah, 
hanya karena mereka tidak menikah resmi? Bagaimana mereka berbeda dengan orangorang yang bercerai dan menikah kembali?
Bagaimana dengan fakta bahwa “yang lama sudah berlalu” dan “yang baru sudah 
datang” ketika seseorang menjadi pengikut Kristus (lihat 2 Korintus 5:17)? Apakah itu 
berarti setiap dosa yang dilakukan kecuali dosa perceraian yang tidak sah?
Semua itu dan lebih banyak pertanyaan
1
 dapat dilontarkan, yang menjadi alasan kuat 
untuk berpendapat bahwa Yesus tak menetapkan aturan baru tentang pernikahan kembali. 
Tentu saja Yesus tahu konsekwensi dari aturan baruNya tentang pernikahan kembali jika 
sudah demikian adanya seperti sebelumnya. Cukup kita tahu bahwa Yesus hendak 
mengungkap kemunafikan orang-orang Farisi —orang-orang yang bernafsu, beragama 
dan munafik yang menceraikan istri dengan “alasan apapun” dan yang menikah kembali.
Tentu saja alasan, yang Yesus katakan bahwa mereka “berzinah” bukannya berkata 
bahwa yang perilaku mereka adalah keliru, adalah karena Ia ingin mereka sadari bahwa 
perceraian dengan alasan apapun dan pernikahan kembali tak berbeda dengan perzinahan, 
hal yang tak pernah mereka lakukan. Apakah kita akan simpulkan bahwa kepedulian 
Yesus adalah aspek seksual dari pernikahan kembali; dan apakah kita akan simpulkan 
bahwa Ia menyetujui pernikahan kembali selama ada penolakan hubungan seks? Jelas 
tidak. Jadi, kita tak perlu memintaNya untuk mengatakan hal yang tidak Ia kehendaki. 
Perbandingan yang Bijaksana (A Thoughtful Comparison)
Bayangkan ada dua pria. Pria pertama sudah menikah, taat beribadah, yang 
menyatakan mengasihi Allah dengan seluruh hatinya, dan yang mulai tergila-gila kepada 
gadis muda tetangga. Ia segera menceraikan istrinya, lalu menikahi gadis itu.
Pria kedua tidak beribadah. Ia tak pernah mendengar Injil dan hidup dengan gaya 
hidup penuh dosa, yang akhirnya membuat dia harus menikah. Beberapa tahun kemudian, 
sebagai bujangan, ia mendengar Injil, bertobat, dan mulai mengikuti Yesus dengan 
                                               
1
Misalnya, perhatikan komentar seorang pendeta yang diceraikan yang dirinya terisah dari tubuh Kristus ketika 
ia menikah lagi. Ia berkata, “Lebih baik saya membunuh istri saya daripada menceraikannya. Setelah 
membunuhnya, saya bisa minta ampun, menerima pengampunan, menikah lagi secara sah, dan meneruskan 
pelayanan saya.”sepenuh hatinya. Tiga tahun kemudian ia mencintai seorang wanita Kristen yang sangat 
berkomitmen yang ia temui di gereja. Mereka berdua setia mencari Tuhan dan melakukan 
konseling bersama, lalu menikah. Mereka menikah, dan melayani Tuhan dan saling 
melayani dengan setia sampai mati.
Kini, kita asumsikan kedua pria itu berbuat dosa dengan melakukan pernikahan ulang. 
Siapakah yang memiliki dosa yang lebih besar? Jelas, si pria pertama. Ia bagaikan 
pezinah.
Tetapi bagaimana si pria kedua? Apakah benar-benar ia telah berbuat dosa? Apakah ia 
tak berbeda dengan pezinah, seperti dikatakan kepada orang pertama? Saya tidak yakin. 
Haruskah kita berkata padanya perkataan Yesus tentang orang yang bercerai dan menikah 
kembali, dengan memberitahukan bahwa ia kini hidup dengan wanita yang bukan jodoh 
dari Allah, karena Allah menganggapnya masih menikah dengan istri pertamanya? 
Haruskah kita berkata padanya bahwa ia hidup dalam perzinahan?
Jawabannya jelas. Perzinahan dilakukan oleh orang yang telah menikah yang 
memandangi orang selain pasangannya. Jadi, menceraikan pasangan karena bertemu 
dengan orang yang lebih menarik sama dengan perzinahan. Tetapi orang yang belum 
kawin tak dapat berzinah karena ia tidak punya pasangan yang tidak setia, dan orang 
yang diceraikan tidak dapat berzinah karena ia tidak punya pasangan yang bisa ia 
khianati. Ketika kita pahami konteks Alkitab dan sejarah perkataan Yesus, kita tidak 
mendapat kesimpulan yang tak masuk akal dan yang bertentangan dengan Alkitab. 
Sementara itu, ketika murid-murid mendengar jawaban Yesus terhadap pertanyaan 
orang-orang Farisi, mereka menanggapi, “Jika demikian halnya hubungan antara suami 
dan isteri, lebih baik jangan kawin” (Matius 19:10). Ketahuilah, mereka telah bertumbuh 
dengan pengajaran dan pengaruh orang-orang Farisi, dan dalam budaya yang banyak 
dipengaruhi oleh orang-orang Farisi. Mereka tak pernah pikir bahwa pernikahan harus 
begitu lama. Nyatanya, beberapa menit sebelumnya, mereka juga mungkin percaya 
bahwa seseorang boleh menceraikan istrinya dengan alasan apapun. Sehingga mereka 
cepat menyimpulkan bahwa sebaiknya menghindari pernikahan bersama-sama, sehingga 
tidak beresiko untuk melakukan perceraian dan perzinahan.
Yesus menjawab, Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai 
saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari 
rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada 
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena 
Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti. (Matius 19:11-
12). 
Yakni, dorongan seks seseorang dan/atau kemampuan seseorang untuk mengendalikan 
dorongan itu lebih merupakan faktor penentu. Bahkan Paulus berkata, “Sebab lebih baik 
kawin dari pada hangus karena hawa nafsu.” (1 Korintus 7:9). Orang yang lahir tidak 
menikah atau yang dijadikan tak bisa menikah oleh pria (seperti dilakukan oleh pria yang 
membutuhkan pria lain yang dipercayakan untuk menjaga haremnya) tak punya dorongan 
seks. Orang yang menjadikan “dirinya sendiri tak bisa menikah demi kerajaan sorga” 
tampak menjadi orang yang diberi karunia khusus oleh Allah dengan pengendalian diri 
ekstra, yang menjadi alasan “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya 
mereka yang dikaruniai saja” (Matius 19:11). 
Khotbah di Bukit (The Sermon on the Mount)
Kita harus ingat bahwa selama KhotbahNya di Bukit, Yesus berbicara kepada banyak 
orang yang juga orang-orang yang hidupnya dipengaruhI oleh orang-orang Farisi, para 
penguasa dan guru bermuka dua di Israel. Saat kita pelajari dalam pelajaran awal kita 
tentang Khotbah di Bukit, jelaslah bahwa banyak perkataan Yesus tidak lebih sebagai 
koreksi dari ajaran sesat dari orang-orang Farisi. Yesus bahkan berkata kepada orang 
banyak bahwa mereka tidak akan masuk ke Kerajaan Sorga jika hidup keagamaan 
mereka tidak lebih benar dari hidup keagamaan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang 
Farisi (lihat Matius 5:20); ungkapan ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa ahliahli Taurat dan orang-orang Farisi akan masuk neraka. Di akhir khotbahNya, orang 
banyak terkejut sebagian karena Yesus mengajar “tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” 
(Matius 7:29).
Pada awal khotbahNya, Yesus mengungkapan kemunafikan mereka yang mengaku tak 
pernah berzinah, tetapi yang berhawa-nafsu atau yang bercerai dan menikah kembali. Ia 
memperluas arti perzinahan selain tindakan dosa secara fisik antara dua orang yang sudah 
menikah. PerkataanNya jelas bagi tiap orang jujur yang baru saja memikirkan hal itu. Ingat, sampai saat Yesus berkhotbah, sebagian besar orang dalam rombongan berpikir 
bahwa bercerai dengan “alasan apapun” dibolehkan. Yesus inginkan para pengikutNya 
dan siapapun tahu bahwa maksud Allah dari mulanya adalah standar yang jauh lebih 
tinggi. 
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: 
Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah 
dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, 
cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota 
tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. 
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, 
karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu 
dengan utuh masuk neraka. Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan 
isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: 
Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan 
isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia 
berbuat zinah. 
(Matius 5:27-32). 
Mula-mula, seperti saya sebutkan sebelumnya, perhatikan perkataan Yesus tentang 
perceraian dan pernikahan kembali yang tidak hanya secara langsung mengikuti 
FirmanNya tentang hawa-nafsu, dengan mengaitkan kedua hal itu, tetapi juga Yesus 
menyamakan kedua hal tersebut sebagai perzinahan. Sehingga kita lihat jalinan yang 
menelusuri seluruh bagian itu dalam Alkitab. Yesus membantu para pengikutNya untuk 
memahami hal yang menyertai tindakan penaatan perintah ketujuh. Penaatan perintah itu 
juga berarti tidak mengumbar hawa-nafsu, tidak bercerai dan tidak menikah kembali.
Setiap orang dalam rombongan orang Yahudi di zamanNya sudah tahu perintah 
ketujuh yang dibaca di sinagoga (tak seorangpun punya Alkitab), dan mereka mendengar 
pemaparan juga menyaksikan aplikasinya dalam kehidupan para guru, ahli-ahli Taurat 
dan orang-orang Farisi. Yesus lalu berkata, “tetapi Aku berkata kepada kalian”, tetapi Ia 
tidak menambahkan hukum-hukum baru. Ia hanya mengungkap maksud sebenarnya dari 
Allah.
Pertama, hawa-nafsu dilarang oleh perintah kesepuluh, dan bahkan tanpa perintah kesepuluh, siapapun yang memikirkan hawa-nafsu sadar bahwa mengingini hal yang 
Allah benci adalah keliru. 
Kedua, dari pasal-pasal awal kitab Kejadian, Allah memperjelas bahwa pernikahan 
adalah komitmen seumur hidup. Lagipula, siapapun yang memikirkan pernikahan akan 
berkesimpulan bahwa perceraian dan pernikahan kembali adalah perzinahan, terutama 
ketika seseorang bercerai untuk menikah kembali.
Tetapi dalam khotbah itu, sudah jelas Yesus hanya ingin menolong orang untuk 
memahami kebenaran tentang hawa-nafsu dan kebenaran tentang perceraian untuk alasan 
apapun dan pernikahan kembali. Ia tidak menetapkan hukum baru untuk pernikahan 
kembali yang sampai kini tidak “ada dalam kitab-kitab.”
Hal yang menarik adalah sedikit sekali orang dalam gereja yang pernah menafsirkan 
perkataan Yesus tentang mencungkil matanya atau memotong tangannya dalam arti 
sebenarnya, karena ide-ide itu muncul demikian yang bertentangan dengan bagian lain 
dalam Alkitab, dan ide-ide itu hanya menjadi dasar kuat untuk menghindari godaan seks. 
Namun, banyak orang di gereja berusaha menafsirkan perkataan Yesus dengan arti kata 
sebenarnya tentang orang yang menikah kembali yang melakukan zinah, bahkan ketika 
penafsiran itu bertentangan dengan Alkitab. Yesus bermaksud agar para pendengarNya 
menghadapi kebenaran, agar tidak banyak terjadi perceraian. Jika para pengikutNya 
menyimpan perkataanNya di dalam hati tentang hawa-nafsu, tidak akan ada amoralitas di 
antara mereka. Jika tak ada amoralitas, tak akan ada dasar sah bagi perceraian, dan tak 
akan ada perceraian, sesuai maksud Allah dari awal.
Bagaimana Suami Membuat Istrinya Berzinah? (How Does a Man Make His 
Wife Commit Adultery?)
Perhatikan ucapan Yesus, “Setiap orang yang menceraikan istrinya, kecuali karena 
zinah, ia menjadikan isterinya berzinah.” Ini membuat kita percaya bahwa Ia tidak 
memberikan aturan baru tentang pernikahan kembali, tetapi hanya mengungkapkan 
kebenaran tentang dosa suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan yang baik. Ia 
“menjadikan istrinya berzinah.” Jadi, sebagian orang berkata bahwa Yesus melarang 
istrinya menikah kembali, karena Ia menyebutnya sebagai perzinahan. Tetapi itu aneh. 
Penekanan ada pada dosa suami yang melakukan perceraian. Karena hal yang suami
lakukan, istrinya tak punya pilihan lain kecuali menikah kembali, yang bukan jadi dosa baginya ketika ia menjadi korban keegoisan suaminya. Tetapi, di mata Allah, karena 
suami meninggalkan istrinya dalam keadaan tak punya apa-apa dan tanpa pilihan lain 
kecuali menikah kembali, seolah-olah ia memaksa istrinya berselingkuh dengan pria lain. 
Jadi, orang yang menganggap suami belum berzinah dianggap bersalah karena 
perzinahan ganda, perzinahannya sendiri dan perzinahan istrinya. 
 Yesus tidak berkata bahwa Allah menganggap istri yang jadi korban sebagai bersalah 
karena zinah, karena hal itu tidak adil, dan nyatanya hal itu tak berarti bila istri yang jadi 
korban itu tak pernah kawin lagi. Bagaimana dapat Allah berkata bahwa ia berzinah jika 
ia tak menikah lagi? Bagaimanapun juga, hal itu tak masuk akal. Jelaslah, Allah 
menganggap suami bersalah karena perzinahannya, dan “perzinahan” istrinya, yang 
ternyata bukan perzinahan sama sekali bagi istrinya. Itulah pernikahan kembali yang 
sesuai aturan.
Dan bagaimana pernyataan Yesus bahwa “siapa yang kawin dengan perempuan yang 
diceraikan, ia berbuat zinah”? Hanya ada dua kemungkinan logis. Apakah Yesus 
menambahkan cuplikan ketiga tentang perzinahan terhadap pria yang beranggapan bahwa 
ia tak pernah berzinah (untuk alasan serupa seperti Ia menambahkan cuplikan kedua), 
atau Yesus sedang berbicara tentang pria yang mendesak seorang wanita untuk 
menceraikan suaminya demi menikahinya agar “tidak melakukan perzinahan.” Jika 
Yesus berkata bahwa setiap pria, yang menikahi wanita yang bercerai, sedang berzinah, 
maka setiap pria Israel selama ratusan tahun sebelumnya melakukan perzinahan yang, 
menurut Hukum Taurat Musa, menikahi wanita yang diceraikan. Nyatanya, setiap pria, 
dalam rombongan bersama Yesus pada hari itu, yang menikahi wanita yang diceraikan 
menurut Hukum Taurat Musa tiba-tiba merasa bersalah atas apa yang bukan salahnya 
satu menit sebelumnya, dan Yesus tentu telah mengubah aturan Allah saat itu. Lagipula, 
dengan merujuk pada kata-kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus bahwa 
menikahi orang yang bercerai bukanlah dosa, orang yang menikahi orang yang bercerai 
sebenarnya sedang melakukan dosa, dengan cara zinah.
Keseluruhan semangat dalam Alkitab membuat kita memuji pria yang menikahi 
wanita yang bercerai. Jika wanita itu jadi korban yang tak bersalah karena sikap egois 
bekas suaminya, saya salut kepada pria itu sama halnya dengan saya memuji pria yang 
menikahi janda, yang membuatnya ada di bawah pengawaan pria. Jika, wanita itu menanggung kesalahan karena perceraiannya sebelumnya, saya memujinya karena 
keserupaannya dengan Kristus dalam meyakini hal yang terbaik darinya, dan untuk kasih 
karunianya dalam berkorban untuk melupakan masa lalu dan menanggung resiko. 
Mengapa orang yang telah membaca Alkitab dan memiliki Roh Kudus di dalam dirinya 
berkesimpulan bahwa Yesus melarang seseorang untuk menikahi orang yang bercerai? 
Bagaimana pandangan tersebut sesuai dengan keadilan Allah, keadilan yang tak pernah 
menghukum orang karena menjadi korban, seperti kasus wanita yang diceraikan tanpa 
kesalahan di pihaknya? Bagaimana pandangan tersebut sesuai dengan pesan Injil, yang 
menawarkan pengampunan dan kesempatan lain bagi orang berdosa yang bertobat? 
Kesimpulan (In Summary)
Alkitab secara konsisten berkata bahwa perceraian selalu melibatkan dosa bagi satu 
pihak atau kedua pihak. Allah tak pernah mau siapapun untuk bercerai, tetapi dengan 
penuh kasih memberi ketentuan bagi perceraian ketika terjadi amoralitas. Ia juga dengan 
penuh kasih memberikan ketentuan bagi orang yang diceraikan untuk menikah kembali.
Jika bukan karena perkataan Yesus tentang pernikahan kembali, maka tak ada 
pembaca Alkitab pernah berpikir bahwa pernikahan kembali adalah dosa (kecuali karena 
dua kasus yang sangat jarang terjadi di masa perjanjian lama dan karena satu kasus yang 
sangat jarang terjadi di masa perjanjian baru, yakni pernikahan kembali setelah seseorang 
diceraikan dari seorang Kristen sebagai seorang Kristen). Namun, kita telah dapatkan 
cara logis untuk mencocokkan perkataan Yesus tentang pernikahan kembali dengan 
ajaran Alkitab. Yesus tidak mengganti aturan pernikahan kembali dari Allah dengan 
aturan yang lebih ketat yang melarang pernikahan kembali pada tiap kejadian, sebagai 
aturan yang mustahil ditaati oleh orang yang sudah bercerai dan menikah lagi (bagaikan 
menegakkan benang basah), dan aturan yang membuat bingung dan menyebabkan orang 
lain melanggar aturan lain dari Allah. Malahan, Ia mendukung orang untuk memahami 
sikap munafiknya. Ia menolong orang yang meyakini bahwa orang itu tak pernah 
berzinah untuk memahami bahwa ia sedang berzinah dengan cara lain, yakni hawa-nafsu 
dan sikapnya yang liberal terhadap perceraian. 
Sesuai ajaran Alkitab, pengampunan diberikan untuk orang berdosa yang bertobat, tak 
peduli apapun dosa yang dilakukannya, dan kesempatan kedua dan ketiga diberikan 
kepada orang berdosa, termasuk orang yang diceraikan. Tidak ada dosa dalam pernikahan kembali berdasarkan perjanjian baru, kecuali orang percaya yang diceraikan dari orang 
percaya lain, yang tak pernah terjadi karena orang percaya sejati tidak berbuat amoralitas, 
sehingga tak ada alasan untuk bercerai. Dalam peristiwa yang jarang terjadi itu, masingmasing pasangan harus tetap menyendiri atau saling berdamai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar