Minggu, 15 Mei 2011

TTg perceraian



Menurut Alkitab, kehendak Tuhan adalah 
pernikahan sebagai komimen seumur hidup.
"Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah 
dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Meskipun 
demikian, Tuhan menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang 
berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan 
beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya 
wanita (Ulangan 24:1-4).
Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati 
manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).

Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh 
Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa 
"kecuali karena zinah" adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan 
memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir 
Alkitab yang memahami "klausa
pengecualian" ini sebagai merujuk pada "perzinahan" yang terjadi pada masa 
"pertunangan." Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah 
menikah walaupun mereka masih "bertunangan." Percabulan dalam masa 
"pertunangan" ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.

Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan "perzinahan" bisa berarti 
bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan 
penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian 
diperbolehkan kalau terjadi perzinahan.
Hubungan seksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, 
"keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh 
sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat 
menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam ayat ini, Yesus juga 
memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa "kawin dengan perempuan lain" 
(Matius 19:9)
mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan kembali diizinkan dalam 
kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu ditafsirkan.
Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang 
diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb, izin 
untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan 
yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin saja ada 
contoh-contoh di mana "pihak yang bersalah" diizinkan untuk menikah kembali, 
namun konsep
tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.

Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai "pengecualian" lainnya, di mana 
pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan 
pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal 
pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam 
pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai. Orang-orang lainnya
mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau 
terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak 
mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk 
menebak Firman Tuhan.

Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian 
adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu 
hanyalah merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. 
Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu 
dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih 
dahulu mengampuni
banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni 
dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang 
bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah 
kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu 
cepat menikah kembali setelah
bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. 
Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka 
tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah kembali setelah bercerai 
mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu 
merupakan satu-satunya pilihan.

Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang 
mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. 
Alkitab sangat jelas bahwa Tuhan membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa 
pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang 
percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).
Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya. 
Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang 
dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak 
tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering 
kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal 
yang baik.

sumber : http://www.gotquestions.org/Indonesia/perceraian-menikah-kembali.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar