Rabu, 09 Maret 2011

Sabar Dalam Penantian Syalom Yang Sesungguhnya



Yes. 35:1-10, Mzm. 146:5-10,  Yak. 5:7-10, Mat. 11:2-11

Pengantar
                  Ciri khas pribadi Yohanes Pembaptis tampil bagai batu karang yang kokoh di tengah-tengah padang gurun Israel. Suaranya yang tajam dan kuat mengungkap kebenaran Tuhan sering menukik tajam bergema tanpa rasa takut. Dia menyerukan pertobatan kepada seluruh umat Israel dengan menghasilkan buah-buah pertobatan. Namun dengan rendah hati, Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa dia tidak layak untuk “membuka tali kasut” Mesias yang akan datang. Sebab Mesias yang akan datang tersebut membaptis dengan  Roh Kudus dan api.
 Dengan  berani pula Yohanes Pembaptis menegur kehidupan orang Farisi dan orang Saduki di tepi sungai Yordan sebagai “keturunan ular beludak” (Mat. 3:7). Dia juga tidak segan menegur secara terbuka kehidupan raja Herodes yang mengambil Herodias, isteri saudaranya, dengan pernyataan: “Tidak halal engkau mengambil Herodias” (Mat. 14:4). Itu sebabnya Yohanes Pembaptis di Mat. 11:2 dipenjarakan. Tetapi dinding-dinding penjara yang keras dan dingin serta belenggu besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya dalam kurun waktu yang mungkin cukup lama, membuat Yohanes Pembaptis mulai ragu dan bertanya di dalam hatinya tentang diri Kristus: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11:2-3).

                Mental batu karang dalam diri Yohanes Pembaptis sepertinya mulai mengendur. Dia mulai bertanya-tanya dalam hati, yaitu:  “Benarkah Yesus adalah Mesias, yang akan datang membaptis manusia dengan Roh Kudus dan api?” Ataukah dia masih harus menantikan seorang Mesias lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya tidak terjawab dalam diskusi dengan batinnya, sehingga dia kemudian menyuruh beberapa muridnya untuk menemui Tuhan Yesus dengan mengajukan pertanyaan: “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Yohanes Pembaptis ingin memperoleh jawaban dan penegasan langsung dari Yesus agar keragu-raguannya tidak terus mengambang. Yohanes Pembaptis yang terkenal dengan mental batu karang yang kokoh dari padang gurun ternyata dapat membuat dia ragu-ragu dengan imannya kepada Kristus,  ketika dia diperhadapkan oleh penderitaan dan kesusahan yang dialami selama di dalam penjara.

Goyah Saat Diterpa Kesusahan
                Selaku umat percaya, kita juga sering mengalami keadaan yang sama seperti Yohanes Pembaptis. Dalam situasi tertentu kita  dapat tampil sebagai seorang yang begitu tegar, kokoh dan tidak tergoyahkan serta tampak setia kepada Tuhan Yesus. Di hadapan sesama, kita tampak sebagai pribadi yang vokal, berani, kokoh dan penuh wibawa. Yang mana suara kita tampak lantang dan membuat ciut orang-orang di sekeliling kita.  Namun ketika kita terus didera oleh berbagai penyakit, penderitaan, dan kegagalan dalam usaha atau pekerjaan maka mulailah kita ragu-ragu kepada Tuhan Yesus. Kita mulai bertanya-tanya, benarkah Tuhan Yesus sungguh-sungguh Mesias dan Juru-selamat kita? Iman kita kepada Kristus mulai goyah. Hati kita mulai bimbang, apalagi keadaan buruk dan penderitaan kita tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda jalan keluar atau secercah harapan. Rasa bimbang atau ragu-ragu tersebut akhirnya makin berkembang menjadi sikap putus-asa. Tak lama kemudian sikap putus-asa tersebut dapat berkembang menjadi sikap ketidakpercayaan. Demikian pula keadaan yang dialami oleh Yohanes Pembaptis di penjara. Padahal kita tahu bahwa sikap ragu-ragu dan tidak percaya merupakan suatu sikap yang tidak berkenan di hadapan Allah. Saat Simon Petrus menjadi ragu dan kuatir berjalan di atas air, Tuhan Yesus menegur dia dengan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" (Mat. 14:31). Keragu-raguan dan kuatir dalam relasi manusia dengan Allah bukan sekedar suatu sikap yang manusiawi, tetapi justru menunjuk sikap ketidakpercayaan yang serius. Lawan dari sikap iman bukan hanya “atheisme”, tetapi juga adalah sikap ragu-ragu dan kuatir.  

                Jika demikian, bagaimanakah sikap Tuhan Yesus terhadap pertanyaan, keragu-raguan dan kebimbangan dari Yohanes Pembaptis? Ternyata Tuhan Yesus sama sekali tidak marah dan kecewa terhadap Yohanes Pembaptis. Kepada murid-murid Yohanes Pembaptis yang membawa tugas menyampaikan pertanyaan yang berisi keragu-raguan tersebut, Tuhan Yesus menjawab: “Pergilah  dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta  menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang  yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku” (Mat. 11:4). Jawaban Tuhan Yesus kepada murid-murid Yohanes Pembaptis pada prinsipnya bertujuan untuk mengingatkan segala karyaNya sebagai Messias, yaitu: orang buta dicelikkan, orang lumpuh dipulihkan, orang sakit kusta ditahirkan, orang yang tuli disembuhkan, orang yang mati dapat dibangkitkan, dan kepada orang miskin telah diberitakan kabar baik dan penghiburan dari Allah. Dasar jawaban Tuhan Yesus yang terjadi dalam diriNya tersebut merupakan penggenapan nubuat nabi Yesaya, yaitu: “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.  Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara” (Yes. 35:5-6). Nubuat nabi Yesaya tersebut tidak hanya dikutip dengan fasihnya, tetapi dibuktikan secara nyata di dalam diri Tuhan Yesus. Jadi dalam menghadapi keragu-raguan Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus tidak memberikan jawaban verbalisme atau uraian teologis tentang ke-Messias-anNya. Tetapi Tuhan Yesus mengajak Yohanes Pembaptis dan para muridnya untuk menyaksikan seluruh karya-karya penyelamatan Allah telah terjadi di dalam kehidupanNya. Karya-karya Kristus yang telah dialami oleh umat Israel merupakan tanda dan bukti bahwa Dialah sang Messias, yang diutus oleh Allah.

Lebih Dari Pada Sekedar Seorang Nabi
                Walaupun Yohanes Pembaptis sempat ragu-ragu tentang diri Kristus, ternyata tidak mengurangi pujian dan penghargaan Tuhan Yesus terhadap dia. Di Mat. 11:9 Tuhan Yesus menyatakan bahwa sesungguhnya Yohanes Pembaptis lebih dari pada nabi. Jadi Yohanes Pembaptis memang seorang nabi, namun dia juga lebih dari pada nabi. Padahal bagi umat Israel, jabatan seorang nabi pada  hakikatnya adalah hamba Allah yang telah dipilih oleh Allah dengan anugerah khusus. Karena itu tidak berlebihan jikalau jabatan nabi sebagai sesuatu yang sangat mulia dan “tinggi”. Demikian pula dalam konteks Indonesia, jabatan sebagai nabi dianggap sebagai jabatan yang tertinggi dan hanya segelintir manusia yang boleh disebut sebagai “nabi Allah”. Tetapi kini Tuhan Yesus menyebut Yohanes Pembaptis dengan pujian bahwa dia “lebih dari pada sekedar nabi”. Bagi Tuhan Yesus, kedudukan Yohanes Pembaptis menempati kedudukan di atas seluruh para nabi. Apakah dengan pernyataan Tuhan Yesus tersebut, Yohanes Pembaptis menempati posisi yang lebih tinggi dari pada Musa dan Elia? Tentunya pernyataan Tuhan Yesus tersebut sangat mengejutkan para murid dan orang-orang yang mendengarnya. Karena umat Israel sepanjang zaman menempatkan Musa sebagai nabi yang terutama dan istimewa. Hanya kepada Musa sajalah, Allah berkenan menyatakan diriNya secara langsung, muka dengan muka. Lebih lanjut Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar padanya” (Mat. 11:11).

                Jelas dari sudut pandang Tuhan Yesus, sesungguhnya Yohanes Pembaptis memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kenabiannya melampaui seluruh para nabi yang ada. Sosok diri Yohanes Pembaptis disebut oleh Tuhan Yesus sebagai inkarnasi dari nabi  Elia yang pernah dinubuatkan, dan dia akan datang kembali (bdk. Mal. 4:5-6). Kehadiran Yohanes Pembaptis merupakan wujud dari harapan eskatologis yang disampaikan oleh nabi Maleakhi.  Pada sisi lain sikap keragu-raguan Yohanes Pembaptis ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam koridor yang wajar sebagai seorang manusia. Sebab kesetiaan dan ketangguhan iman Yohanes Pembaptis tidak berarti telah runtuh. Keragu-raguan Yohanes Pembaptis tidak membawa dia kepada sikap menolak dan tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis pada mampu membuktikan diri dalam kematiannya sebagai seorang martir. Demi ketaatan dan kesetiaannya, Yohanes Pembaptis akhirnya mati dipenggal karena permintaan Herodias yang merasa terusik dengan tegurannya. Dalam konteks inilah yang membedakan Yohanes Pembaptis dengan beberapa orang yang ragu-ragu akan ke-Mesias-an Tuhan Yesus. Keragu-raguan mereka berakhir dengan sikap ketidakpercayaan kepada Tuhan Yesus.

Tanpa Pertolongan Allah?
                Dari kisah Yohanes Pembaptis yang wafat secara tragis dengan cara dipenggal oleh Herodes menimbulkan pertanyaan teologis, yaitu: “mengapa Tuhan Yesus tidak menolong dan menyelamatkan Yohanes Pembaptis?” Bukankah Tuhan Yesus telah menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis memiliki kedudukan yang melampaui para nabi? Menurut logika manusiawi seharusnya Tuhan  Yesus memiliki kewajiban untuk melindungi Yohanes Pembaptis sehingga dia dapat melaksanakan karya Allah secara lebih luas? Bukankah Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk membebaskan Yohanes Pembaptis dari penjara dan belenggu yang mengikatnya, sehingga dia tidak harus mengalami kematian yang mengerikan? Atau seandainya Yohanes Pembaptis memang harus mati dengan cara dipenggal, bukankah Tuhan Yesus juga mampu untuk membangkitkan dia kembali sebagaimana yang terjadi dalam kisah Lazarus yang dibangkitkan dari kubur? Kalau mau jujur, bukankah lebih “bermanfaat” jikalau Tuhan Yesus membangkitkan Yohanes Pembaptis dari pada Dia membangkitkan Lazarus dari kematiannya? Mengapa Tuhan Yesus tidak memberi pertolongan apapun sehingga Yohanes Pembaptis mengalami kematian yang tragis itu?  Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga  sering muncul dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa Tuhan terkesan diam dan tidak menunjukkan kuasa dan pertolonganNya kepada orang yang jelas-jelas hidup benar? Mengapa Tuhan Yesus terkesan membiarkan beberapa orang saleh mengalami hal-hal yang sangat buruk dan tragis?

                Umat manusia sepanjang zaman umumnya sering memiliki sikap yang antusias dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lebih khusus lagi umat beriman sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan teologis yang dalam agar mereka dapat memperoleh jawaban yang tuntas dan mendalam.  Mereka bertanya, mengapa hal ini dapat menimpa kehidupan orang saleh?  Dorongan pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tidak dapat dielakkan muncul dari sanubari manusia tentang bagaimana implemenatasi dari karya penyelamatan Allah dan kuasaNya. Tetapi setelah Yohanes Pembaptis menerima penjelasan dari Tuhan Yesus tentang identitas dan karya-karya penyelamatanNya sebagai Messias, apakah dia masih tetap ragu dan bimbang kepada Tuhan Yesus karena secara faktual dia tetap berada di dalam penjara? Apakah Yohanes Pembaptis pada detik-detik kematiannya tetap ragu kepada Tuhan Yesus?

Sikap Iman
                Alkitab tidak pernah memberi keterangan eksplisit tentang sikap perasaan dari Yohanes Pembaptis ketika dia akan menghadapi kematiannya. Tetapi satu hal yang mungkin adalah dalam menyikapi pergumulannya, Yohanes Pembaptis lebih mengedepankan pertanyaan “bagaimana” dari pada  pertanyaan “mengapa”. Maksudnya Yohanes Pembaptis lebih mengedepankan pertanyaan teologis,  yaitu: “bagaimana secara rohaniah dia dapat menyikapi keadaannya yang terpuruk dengan tetap setia dan percaya akan janji Allah yang dinyatakan dalam diri Kristus”. Bagaimana dia tetap percaya tanpa syarat kepada Tuhan Yesus sebagai Messias walaupun dia sebentar lagi akan menghadapi peristiwa kematian yang sangat menyakitkan dan mengerikan.  Dengan sikap spiritualitas “bagaimana” yaitu: bagaimana dia tetap bertekad setia kepada Kristus telah memampukan Yohanes pembaptis untuk menerobos (“breakthrough”) dari kebekuan misteri Allah yang tidak mudah dicerna dan dianalisa oleh pemikiran filosofis-teologis. Pola spiritualitas “bagaimana” Yohanes Pembaptis menyikapi realita hidup yang kejam dan sewenang-wenang dengan sikap iman yang tanpa syarat, sehingga memampukan dia untuk lebih mengedepankan aspek tanggungjawabnya sebagai seorang nabi yang bersedia membayar suara kenabiannya dengan nyawa dan hidupnya. Jadi dengan sikapnya tersebut Yohanes Pembaptis telah membuktikan kebesaran dan keagungannya sebagai seorang nabi. Itu sebabnya Tuhan Yesus  menyebut Yohanes Pembaptis dengan  suatu pujian yaitu: dia “lebih dari pada nabi”. Pujian Tuhan Yesus tersebut tidak berlebihan, karena Yohanes Pembaptis telah berhasil membutkikan iman dan kesetiaannya kepada Kristus. Jadi kebesaran Yohanes Pembaptis di hadapan Allah bukan karena pengaruh pernyataan Tuhan Yesus, tetapi juga karena hidupnya yang setia tanpa syarat.

                Selaku umat percaya kita sering tidak mampu menghayati makna penantian kedatangan Tuhan. Karena kita sering terjebak dalam kebekuan spiritual dengan berbagai pertanyaan “teologis” kita yang tidak terjawab.  Begitu banyak pertanyaan “mengapa” yang muncul dari pikiran dan perasaan kita tetapi pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata hanya mengambang tanpa ada jawaban dari  Tuhan. Misalnya timbul pertanyaan, seperti: mengapa kita diperlakukan secara tidak adil. Mengapa kita mendapat musibah yang beruntun. Mengapa kita mengalami tragedi di saat kita melayani pekerjaan Tuhan. Semua pertanyaan “mengapa” tersebut sungguh-sungguh mengusik hati dan mulai menggerogoti sendi-sendi iman serta harapan kita kepada Allah. Akibatnya kita mulai bersungut-sungut dan mempersalahkan Tuhan. Di Yak. 5:9, rasul Yakobus memberi nasihat demikian: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu”.  Kita sering bersungut-sungut, berkeluh kesah dan marah kepada Tuhan karena kita merasa Tuhan telah mengabaikan dan tidak menolong diri kita. Itu sebabnya kita melampiaskan sungut-sungut kita dengan kemarahan kepada orang-orang di sekitar kita dan  juga kita gemar menyalahkan keadaan.

                Dengan sikap yang demikian, sesungguhnya kita gagal menunjukkan kualitas iman. Kita telah terjebak dalam spiritualitas yang palsu, yang mana kita merasa telah berbuat begitu banyak kebajikan dan pelayanan kepada Tuhan, lalu kini kita menuntut agar Tuhan segera bertindak menurut keinginan hati kita. Sebaliknya spiritualitas yang murni berarti kita dimampukan untuk menerobos dan melampaui segala hal yang tidak terjawab dengan mengedepankan komitmen iman yang tanpa syarat, sehingga kita berlaku setia kepada Tuhan sampai pada akhirnya. Yak. 5:10-11 berkata: “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun”. Kita tetap dapat setia kepada Tuhan, walaupun tidak semua hal yang kita inginkan atau kita tanyakan telah terjawab dengan tuntas. Misteri Allah yang kita alami dalam kehidupan ini tidak seluruhnya tersingkapkan secara logis. Tetapi satu hal yang pasti, Allah pasti menyertai kita dengan setia di tengah-tengah tragedi dan penderitaan yang tidak terjawab. Tepatnya Allah tidak pernah absen dalam setiap penderitaan, kematian dan tragedi kehidupan ini.
               
Tujuan Hidup Yang Lebih Kekal
                Ini tidak berarti makna kesetiaan kita kepada Tuhan sekedar dorongan perasaan religius seperti yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Kita percaya bahwa makna dan tujuan kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Kita harus melakukan tugas kita sebaik-baiknya di dunia ini dengan sikap iman yang setia  dan kasih tanpa syarat kepada Tuhan Yesus, dan Allah akan mengaruniakan kehidupan yang  kekal. Di Yes. 35:1-2 memberikan gambaran kehidupan eskatologis ketika Tuhan datang dalam kemuliaanNya, yaitu: “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan TUHAN, semarak Allah kita”.  Mungkin musibah, penderitaan dan tragedi dapat kita alami selama kita masih di dunia ini. Tetapi tidak berarti dalam kehidupan kekal kita akan mengalami keadaan yang demikian. Justru sebaliknya! Kita dapat menyaksikan bagaimana padang gurun dan padang kering akan bergirang ketika kemuliaan Allah hadir. Allah yang mulia akan menyambut setiap orang percaya dan yang terbukti mampu berlaku setia kepadaNya. Karena itu pada saat kedatangan Tuhan setiap orang percaya akan bersorak-sorai. Sukacita dan kegembiraan orang percaya saat kedatangan Tuhan tersebut sebagai bentuk rasa puas dan bahagia karena mereka telah dapat menembus dan melampaui segala derita yang pada waktu mereka hidup di dunia belum seluruhnya tersingkapkan dan tidak terjawab.

                Jika demikian, selaku umat percaya kita tidak perlu kecil hati dan putus-asa ketika kita mengalami berbagai hal yang buruk karena ulah dari kuasa dunia ini; atau ketika kita harus menderita karena kejujuran, kebaikan dan integritas kita. Kisah Yohanes Pembaptis telah membuktikan bagaimana dia harus menderita dan mengalami kematian yang tragis karena suara kenabian dan integritasnya sebagai seorang nabi Allah. Itu sebabnya Yes. 35:3-4 memberi nasihat, demikian: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!"   Pada intinya nabi Yesaya memberi nasihat agar setiap orang percaya tidak menjadi lemah dan lesu. Sebaliknya firman Tuhan tersebut makin meneguhkan agar setiap orang percaya tetap kuat dan teguh di dalam Tuhan Yesus, sebab Allah sendiri yang akan datang untuk membalas dengan ganjaranNya yang adil. Jadi bagaimanakah sikap saudara ketika saudara mengalami berbagai hal yang buruk, pahit karena saudara diperlakukan secara sewenang-wenang, kejam dan tidak adil?

Panggilan
                Spiritualitas kita tidak sepenuhnya stabil. Ada saat di mana spiritualitas dan iman kita tampak begitu mantap dan kuat. Tetapi ada saat di mana spiritualitas dan iman kita tampak begitu rapuh, goyah dan  serba bimbang. Semua kenyataan tersebut menyadarkan betapa rapuh kemanusiaan kita. Juga betapa kuatnya kuasa dosa bekerja dalam kehidupan kita. Karena itu tidak ada jaminan bagi siapapun untuk senantiasa hidup benar dan kudus di hadapan Allah. Kita semua membutuhkan anugerah dan karunia Allah untuk melaksanakan kemanusiaan kita secara berarti dan benar di hadapanNya. Sosok Yohanes Pembaptis yang “melebihi kapasitas seorang  nabi” dapat tampil rapuh dan bimbang. Apalagi dengan diri kita. Tetapi kondisi tersebut tidak boleh menyebabkan kita membenarkan kegagalan kita untuk bersikap setia dan taat kepada Allah. Kita tidak boleh bersikap lunak terhadap keragu-raguan dan kebimbangan iman kepadanya. Karena keragu-raguan atau sikap bimbang akan membuka pintu bagi sikap ketidakpercayaan dan penolakan terhadap kasih-karunia Allah dalam kehidupan kita. Apabila berbagai pertanyaan dan pergumulan teologis kita tidak sepenuhnya tidak terjawab, tidak berarti menjadi alasan bagi kita untuk meragu-ragukan keberadaan dan kuasa Allah dalam realitas kehidupan ini. Pertanyaan dan pergumulan teologis kita yang terjawab tersebut tetap kita tempatkan dalam sikap iman bahwa Allah adalah Tuhan yang rahmani. Tidak semua misteri dan kebijaksanaan Allah dapat kita pahami secara lengkap dan memuaskan. Namun di tengah-tengah keragu-raguan tersebut, kita juga dapat mengimani bahwa Allah berkenan menerima seluruh keberadaan dan kelemahan kita bagaikan seorang bapa terhadap keberadaan anak-anaknya. Sikap iman kita bukanlah kepada Tuhan yang penuntut. Kekudusan Allah tak pernah lepas dari kasihNya yang tanpa syarat.

                Jika demikian, apakah saudara akan cenderung dilanda oleh perasaan ragu kepada kebaikan dan penyertaan Tuhan ketika saudara sedang mengalami kegagalan dan sakit? Ataukah saudara sempat ragu, tetapi kemudian saudara semakin diteguhkan untuk bersandar kepada Tuhan, bahkan saudara semakin dimampukan untuk menerima segala hal yang buruk itu dengan hati yang lapang karena percaya akan janji Tuhan? Karena itu Allah berfirman: “Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" (Yes. 35:3-4). Yakinlah dengan anugerah Tuhan kita akan menjadi kuat, dan karena itu kita tidak perlu takut dalam menghadapi realitas kehidupan yang sering tidak adil dan tragis.  Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar