Jumat, 04 Maret 2011

The Power of Compassion

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Mat. 14:13-23


Kita telah memahami bahwa kuasa Kerajaan Sorga lebih dahsyat dibandingkan dengan kuasa dunia dan terbukti, seorang raja besar seperti Herodes pun takut dan gemetar. Hari ini kita kembali dibukakan akan kuasa Kerajaan Sorga melalui mujizat lima roti dua ikan. Alkitab mencatat Tuhan Yesus melakukan mujizat ini karena didasari oleh belas kasihan. The power of compassion itulah yang mendorong Tuhan Yesus mengajar, menyembuhkan, dan memberi makan. Namun, manusia berdosa memanipulasi ayat ini dan berpikir egois. Orang sulit memahami the true compassion sebab orang tidak pernah mengerti bahwa without true love, there is no true compassion.
I. True Love True Compassion
Belas kasihan sejati itu muncul dari cinta kasih sejati, yakni kasih Ilahi karena Allah adalah kasih. Kasih Allah berbeda dengan kasih manusia. Kasih Allah adalah kasih yang mau berkorban bahkan Ia tetap mengasihi meski orang menolak Dia. Kasih yang sejati selalu memikirkan dan melakukan yang terbaik untuk obyek kasihnya, ia selalu menginginkan obyek kasihnya itu menjadi lebih baik, lebih suci, lebih agung, dan semua hal yang sifatnya membangun. Inilah kasih Ilahi yang sejati. Kasih Ilahi mengajar kita untuk berkorban dan menjadi berkat bagi orang lain.
Sebaliknya, kasih manusia selalu menuntut pengorbanan dari obyek kasihnya tetapi ia sendiri tidak mau berkorban. Sebagai ilustrasi, ketika orang berkata, “I love crab“ itu berarti celaka bagi si kepiting, sebab ia akan segera naik ke penggorengan. Demikian pula halnya dengan orang yang berkata, “Aku cinta kamu“ sesungguhnya yang dimaksud “cinta“ disini bukan cinta pada obyeknya tetapi lebih tepatnya, ia mencintai diri sendiri, semua untuk kepentingan diri sendiri. Cinta dunia bersifat egois, tidak mau berkorban dan hanya mementingkan diri. Dunia hanya ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri, selalu menuntut orang lain berkorban tetapi dia sendiri tidak mau berkorban.
“Kasih“ paling banyak disebut dalam Kekristenan namun celakanya, Kekristenan terjebak dengan konsep dunia, di balik kata “kasih“ ada motivasi-motivasi yang sangat mengerikan. Inilah dunia berdosa. Orang tidak memahami esensi kasih maka tidaklah heran kalau orang sulit memahami belas kasihan. Ingatlah, Kristus telah mengasihi kita terlebih dahulu, kasih-Nya yang begitu besar itulah yang seharusnya mendorong kita mengasihi orang lain dengan murni. Biarlah kita mengevaluasi diri kita, sudahkah kita mengasihi dengan kasih Ilahi? Maukah kita berkorban untuk mereka yang menjadi obyek kasih kita?
Belas kasihan merupakan implikasi praktis dari kasih yang sejati. Hanya mereka yang memiliki kasih sejatilah dapat mengimplikasikan belas kasihan. Dunia berdosa tidak pernah memahami akan hal ini, dunia mencintai kalau ia merasa diuntungkan dan tidak mau berkorban untuk orang lain. Orang selalu ingin mendapat belas kasihan, selalu ingin mendapat tanpa pernah memberi. Belas kasihan yang dinyatakan oleh Kristus berbeda dengan dunia:
Dunia telah kehilangan rasa belas kasihan, dunia hanya ingin mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Celakanya, hal ini telah diajarkan dan melekat dalam pemikiran manusia dan yang sekarang dikenal dengan istilah ekonomi. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani, oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti peraturan. Jadi, pengertian ekonomi adalah bagaimana kita mengatur rumah tangga sedemikian rupa demi kesejahteraan bersama. Ekonomi Allah berarti Allah menetapkan manusia di tengah taman untuk mengusahakan dan memelihara taman untuk menjadi sumber kesejahteraan bersama. Ekonomi suatu bangsa adalah bagaimana pemerintah mengatur ekonomi untuk kesejahteraan suatu bangsa. Namun, ekonomi hari ini tidak ada yang memikirkan tentang kesejahteraan, kesejahteraan hanya sekedar janji manis di mulut belaka. Dunia tidak pernah mengajarkan kita untuk berkorban demi mendatangkan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, dunia mengajarkan bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bayangkan, kalau setiap orang ingin mendapatkan untung besar betapa celakanya dunia ini, tidak ada hati yang berbelas kasihan tapi yang ada justru banyak orang menjadi korban. 
Dengan alasan miskin, orang tidak mau berkorban dan berbagi pada orang lain. Sadarkah kita bahwa miskin yang paling fatal adalah miskin rohani bukan miskin secara materi. Ketika kerohanian kita miskin maka seluruh hidup kita pun sangatlah miskin. Allah itu adil, tidak pernah ada orang yang kekurangan karena hidupnya berbagi. Betapa mengenaskan orang yang hidupnya selalu merasa miskin. Dunia sukar berbelas kasihan, dunia hanya ingin mendapat keuntungan dan keuntungan. Biarlah sebagai anak Tuhan, kita diubahkan tidak menjadi seperti dunia tetapi hendaklah hidup kita berbagi dan menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah pada kita satu hal, yakni how to give, how to have a mercy. Ketika kita mempunyai hati yang penuh dengan berbelas kasih, disana ada kuasa Tuhan yang menyertai.
II. Compassion that Sacrifice
Karena belas kasihan, Tuhan Yesus menyembuhkan orang sakit, mengajar, dan memberi makan lebih dari 5000 orang. Orang banyak itu mengikut Yesus hingga hari menjelang malam dan mereka belum makan maka timbul rasa belas kasihan dalam diri para murid. Yang menjadi pertanyaan adalah darimanakah muncul compassion itu? Kemungkinan karena para murid merasakan hal yang sama seperti yang dialami orang banyak itu, mereka juga merasa lapar. Dunia psikologi menyebutnya sebagai compassion of analogy. Memang bukanlah hal yang salah kalau kita memiliki compassion of analogy, kita dapat menghibur dan menguatkan orang lain yang mengalami hal yang sama seperti yang kita alami.
Belas kasihan yang dinyatakan oleh Kristus berbeda dengan belas kasihan yang dinyatakan oleh dunia. Dalam Kekristenan ada finalitas yang melampaui dari apa yang dunia pikirkan. Di satu sisi, para murid ini ada rasa belas kasihan namun di sisi lain, mereka pikir mustahil memberi makan sebab jumlah mereka banyak. Karena itulah, mereka mengusulkan supaya orang banyak itu pergi ke desa terdekat untuk mencari makan. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus justru meminta semua makanan yang ada pada mereka saat itu. Dapatlah dibayangkan bagaimana perasaan para murid saat itu? Mereka sendiri lapar dan sekarang, makanan yang sedikit itu diminta oleh Tuhan Yesus. Dengan kata lain, sebenarnya mereka tidak ingin berbagi. Hal yang serupa pernah diminta Tuhan Yesus pada orang muda yang kaya, supaya ia menjual hartanya dan dibagi pada orang miskin tetapi ia tidak rela berkorban. Inilah belas kasihan sejati, yakni kerelaan kita berkorban untuk orang lain. Hal seperti ini tidak pernah didapati di dunia, inilah finalitas Kekristenan.
Karena kasih, Kristus berbelas kasihan, Ia memberi makan lebih dari 5000 orang dengan lima roti dan dua ikan. Dengan tangan-Nya sendiri, Tuhan Yesus memecah-mecahkan roti dan membagikannya; semua yang ada padanya diberikan kepada orang lain. Hari itu, kalau kita berada di tempat itu, apa yang kita pikirkan saat itu? Dunia seringkali berpikir mujizat Yesus itu “wah“ (hebat) dan enak. Dunia begitu senang dengan hal-hal yang sifatnya materialis dan celakanya, ayat ini dimanipulasi demi kepuasaan diri. Orang tidak pernah memahami apa esensi dari “the true compassion.“ Apakah kita pernah berpikir betapa menderitanya tangan Tuhan Yesus mencabik-cabik roti. Alkitab mencatat ada 5000 orang laki-laki, jika ditambah wanita dan anak-anak berarti jumlah keseluruhan mencapai sepuluh ribu lebih dan kalau satu orang makan lebih dari 5 ketul roti itu berarti lima puluh ribu kali, Tuhan Yesus harus melakukan cabikan. Inilah belas kasihan sejati. Demi orang banyak itu makan, Tuhan Yesus tidak memilih cara yang mudah padahal secara kapasitas, Tuhan Yesus bisa melakukannya – Ia dapat membuat roti dan ikan itu banyak dan terbagi dengan sendirinya, tetapi hal itu tidak Ia lakukan. Tuhan Yesus mempunyai hati yang berbelas kasihan dan hal itu telah dinyatakan-Nya. Tuhan Yesus telah berkorban, Ia menderita demi orang lain dapat makan namun tidak ada seorang pun yang memahami penderitaan Kristus ini. Orang hanya berpikir untuk kesenangan diri sendiri.
Perhatikan, janganlah melihat mujizat dari sisi “wah;“  pernahkah kita menyadari bahwa mujizat itu keluar dari satu penderitaan yang luar biasa? Hari ini banyak orang katanya “berbelas kasihan“ tetapi mereka tidak mau berkorban, tidak mau menderita. Celakanya, Kekristenan tidak pernah memahami apa arti belas kasihan sejati. Kristus datang ke tengah dunia untuk menderita demi menebus dosa manusia; Kristus harus melewati penderitaan yang sangat luar biasa. Kristus melakukan belas kasihan dengan kuasa-Nya yang begitu besar merubah seluruh hidup kita. Pernahkah kita menyadari bahwa belas kasihan ini muncul sejak awal penciptaan? Allah tidak menciptakan manusia di hari pertama dimana bumi masih kosong dan membiarkan manusia seorang diri saja. Tidak! Allah sudah siapkan alam semesta dan segala isinya untuk manusia, Dia berikan yang terbaik untuk manusia. Celakanya, manusia tidak berterima kasih atas belas kasihan Tuhan tetapi manusia malah menuntut  berkat, manusia merasa semua itu sebagai hak yang harus ia miliki. Orang menganggap semua berkat-berkat Tuhan itu sebagai hal yang biasa. Sadarlah, kita ini adalah manusia berdosa, tanpa penebusan dari Tuhan, kita akan binasa. Renungkanlah betapa limpah berkat Tuhan yang dicurahkan atas kita, hari ini kalau kita masih hidup itu harusnya membuat kita bersyukur senantiasa. Dia juga memimpin hidup kita detik demi detik – semua hal yang kita alami bukanlah suatu kebetulan tetapi semua itu sudah ada dalam rancangan-Nya. Sayangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, sampai suatu hari kalau semua hal yang kita anggap biasa itu dicabut oleh Tuhan barulah kita sadar, kalau itu bukanlah hal yang biasa. Siapakah manusia sehingga Tuhan mau berbelas kasihan pada kita, orang yang berdosa? Kalau Tuhan telah terlebih dahulu berbelas kasihan pada kita, biarlah itu menjadi teladan bagi kita; kita mempunyai hati yang berbelas kasih pada orang lain, kita mau berkorban demi orang lain.
III. Keeping Clean Heart & Motivation
Setelah Tuhan Yesus membuat mujizat, Alkitab mencatat, Ia menyingkir ke tempat sunyi (ay. 13, 23). Namun ketika Ia menyingkir ke tempat sunyi, orang banyak mengikut Dia. Hati-hati dengan pemberian judul perikop dalam Alkitab sebab kisah tentang Tuhan Yesus yang memberi makan 5000 orang tidak berhenti sampai di ayat 21 saja. Sepintas, ayat 13 ini sepertinya mengindikasikan bahwa kepergian Tuhan Yesus karena berita kematian Yohanes Pembaptis dan Yesus takut dibunuh. Salah! Celakanya, orang kemudian menafsirkan bahwa orang Kristen boleh lari ketika ia takut mati. Perhatikan, Tuhan Yesus menyingkir ke tempat sunyi itu bukan karena Ia takut mati. Tidak! Dia datang ke tengah dunia justru untuk mati; Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa untuk menjadi tebusan. Lebih tepatnya, Tuhan Yesus menyingkir ke tempat sunyi karena waktu-Nya belum tiba. Pada bagian pertama, kita melihat bagaimana Herodes gemetar dan takut melihat kuasa Yesus yang dahsyat, jadi, tidak tepat kalau dikatakan Tuhan Yesus menyingkir karena alasan takut. Kuasa Kristus jauh lebih besar dari kuasa Herodes bahkan pengikut Tuhan Yesus jauh lebih banyak dari pengikut Herodes.
Setelah mujizat besar yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus, Dia memerintahkan murid-murid-Nya pergi ke seberang dan Ia menyuruh orang banyak itu pulang dan Ia sendiri pun pergi ke tempat sunyi untuk berdoa. Hari ini, kita tidak pernah menjumpai kejadian serupa, bukan? Yang adalah ketika orang selesai melakukan mujizat maka ia ingin supaya orang mengikut dia dan mengelu-elukannya. Apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ini menjadi kunci penting untuk kita memahami kemurnian kuasa dari belas kasihan. Belas kasihan sejati kalau tidak dibentengi dengan dasar pemahaman yang kuat akan memukul balik diri sendiri dengan motivasi yang salah. Orang yang mendapat belas kasihan tanpa sadar, ia akan mengagungkan orang yang memberi belas kasihan dan natur manusia berdosa ingin menjadi juruselamat dan “allah“ kecil.
Hari ini banyak orang katanya berbelas kasihan dengan memberikan sumbangan berupa uang atau makanan tetapi dengan motivasi lain dibalik semua itu, yakni membeli “ketuhanan diri.“ Belas kasihan sejati harus dikerjakan secara murni tanpa ada penyelewengan motivasi. Tuhan Yesus sangat memahami hal ini, para murid sangat riskan akan menjadi sombong karena dampak “jiwa ketuhanan“ ini karena itulah, Tuhan Yesus memerintahkan mereka untuk menyingkir ke tempat sunyi dan tidak sampai disitu, di tengah perjalanan, mereka dihantam gelombang yang sangat besar sehingga membuat mereka lupa akan mujizat besar yang dilakukan Tuhan Yesus sebelumnya. Inilah cara Tuhan memurnikan motivasi para murid sebaliknya, Tuhan Yesus naik ke atas gunung dan berdoa untuk memurnikan motivasi. Inilah Kekristenan.
Biarlah kita mengevaluasi diri, ketika kita memberi kepada orang lain, apa yang menjadi motivasi kita? Ingat, Tuhan melihat motivasi dalam diri kita. Biarlah setiap kebajikan dan belas kasihan yang kita lakukan itu kita kerjakan dengan motivasi murni, clean heart, clean motivation. Sebuah peribahasa Tionghoa mengatakan hubungan yang baik dan langgeng seperti air putih yang sehat dan bersih, ia akan selalu terus dibutuhkan; kita akan merasa lega dan tidak merasa haus. Belas kasihan yang sejati haruslah didasari oleh motivasi dan hati yang murni. Setelah kita melakukan kebajikan, ada waktunya kita menyendiri dan berdoa memohon supaya Tuhan memurnikan hati kita dan kita sendiri tidak terkena dampak negatif tetapi kita menjadi berkat bagi banyak orang. Memang, hal ini tidaklah mudah tetapi percayalah, Tuhan akan memberikan kekuatan dan memampukan kita melakukan semua itu. Kuasa belas kasihan ini menjadi bagian dari setiap anak Tuhan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar