Rabu, 09 Maret 2011

PAHLAWAN-PAHLAWAN IMAN



Hak. 4:1-10; Mzm. 123; I Tes. 5:1-11; Mat. 25:14-30

Pengantar
 Definisi “pahlawan” ternyata tidak mudah untuk dirumuskan. Beberapa kamus mendefinisikan “pahlawan” sebagai “orang yang pemberani dalam mengorbankan jiwa dan  raga untuk membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani”. Namun pada sisi lain kita makin disadarkan apa yang dimaksud dengan “membela kebenaran”. Karena makna “kebenaran” bagi setiap orang dan kelompok ternyata memiliki sudut pandangnya sendiri. Misal bagi golongan Gnostik, tokoh Yudas Iskariot yang menyerahkan Tuhan Yesus untuk disalibkan justru dianggap sebagai seorang pahlawan.
Bahkan menurut kesaksian Injil Yudas, para murid Yesus tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdiri di depanNya. Di Injil Yudas menyatakan: “Tetapi roh mereka (para murid) tidak berani berdiri di hadapanNya, kecuali Yudas Iskariot. Yudas mampu berdiri di hadapanNya, tetapi tidak dapat menatap mataNya, dan dia memalingkan wajahNya”. Gambaran tersebut  sebenarnya mau menyatakan bahwa hanya tokoh Yudas Iskariot memiliki kekuatan untuk berdiri di depan Yesus, tetapi tetap dengan rendah hati dan hormat sehingga dia tidak berani menatap mata Yesus tetapi dia selalu “memalingkan wajahnya”. Selain itu hanya Yudas Iskariot saja yang mengetahui tempat asal Tuhan Yesus, yaitu tempat di mana tidak ada kematian. Sebaliknya seluruh kesaksian Injil dan kitab-kitab di Perjanjian Baru menyatakan Yudas Iskariot sebagai seorang pengkhianat. Jika demikian, apakah tokoh Debora yang dikisahkan dalam kitab Hakim-Hakim pasal 4 memang layak dianggap sebagai “pahlawan iman”?
                Seorang “pahlawan iman”pastilah seorang yang membela kebenaran dengan segenap hatinya untuk menegakkan keadilan bagi setiap orang yang lemah dan tertindas. Artinya seseorang yang dianggap dapat menyandang gelar “pahlawan iman” adalah ketika dia tidak berkorban dengan penuh keberanian untuk membela pihak yang menjadi penindas bagi sesamanya. Makna “pahlawan iman” tidak pernah berada di posisi sebagai seorang penindas atau  penjajah. Pahlawan iman dalam pengertian ini justru menunjuk kepada seseorang yang berhati mulia, bersikap satria, adil, bersandar kepada kuasa Allah, setia kepada firmanNya dan membenci segala bentuk sikap  yang sewenang-wenang. Itu sebabnya dia bersedia mengorbankan diri sendiri demi kepentingan orang lain yang sedang menderita dan tidak berdaya karena pada hakikatnya dia mengasihi Allah dan sesamanya dengan segenap hatinya. Dengan sikap hidup yang demikian, dia senantiasa memberi motivasi moral dan teladan iman bagi para pengikutnya sehingga mereka mau  mengikuti jejaknya, yaitu hidup yang taat kepada kehendak Allah.
Pembela Bagi Yang Tertindas
Tokoh Debora saat itu melihat bahwa umat Israel berada dalam penindasan yang sangat berat. Umat Israel sedang ditindas dan dijajah oleh kerajaan Kanaan. Mereka tidak berdaya, sebab persenjataan bangsa Kanaan lebih maju. Sebab panglima  perang bangsa Kanaan yang bernama Sisera saat itu mampu memiliki  900 kereta besi. Pada zaman itu kereta besi  
 merupakan persenjataan militer yang sangat langka dan tidak setiap kerajaan atau negara dapat memilikinya. Umumnya kerajaan-kerajaan pada zaman itu hanya mengandalkan kepada pasukan kuda, kereta-kereta kayu atau pemanah yang mahir.  Sehingga apabila mereka dapat memiliki kereta besi, maka berarti mereka dapat lebih mudah untuk mengalahkan para lawan ketika bertempur dalam jarak dekat. Pada zaman dahulu kereta besi  umumnya dilengkapi dengan pisau pemotong yang dipasang di dekat bagian roda, sehingga apabila berdekatan dia dapat memotong roda kayu kereta lawan. Saat  lawan terjatuh, maka mereka dapat dengan mudah membunuhnya. Dengan kondisi yang demikian, maka umat Israel makin tidak berdaya saat mereka ditindas oleh bangsa Kanaan. Umat Israel tentunya hanya memiliki persenjataan yang terbatas. Itu sebabnya bangsa Kanaan dapat menindas dan menjajah mereka sampai 20 tahun lamanya.
                Dalam kondisi umat Israel yang tertindas dan tidak dapat berdaya selama 20 tahun, Debora menunjukkan pembelaan dan keberaniannya. Walaupun dia seorang wanita, tetapi dia memiliki spirit yang luar-biasa untuk menggerakkan  umat agar mereka tidak putus-asa dan menyerah kalah kepada bangsa Kanaan. Sikap Debora tersebut mengingatkan saya akan seorang pejuang dan pahlawan dari Perancis yaitu Jeanne d’Arc (Joan of Arc) yang lahir di Lorraine, Perancis pada tanggal 6 Januari 1412. Di Perancis, Jeanne d’Arc dijuluki “La Pucelle” yang artinya: sang dara (perawan). Jeanne mengaku mendapat wahyu dari Tuhan dan diutus untuk membebaskan kerajaan Perancis dari cengkeraman penjajahan Inggris. Kemenangan-kemenangan yang berhasil dicapai oleh Jeanne d’Arc akhirnya dapat menghantar Charles VII untuk dimahkotai sebagai raja Perancis di Reims. Tetapi akibat intrik dari istana, Jeanne d’Arc hanya diberi pasukan yang kecil sehingga dia tertangkap oleh tentara Inggris saat pertempuran di Compiegne. Jeanne d’Arc akhirnya dibakar hidup-hidup saat dia berusia 19 tahun karena juga dituduh melakukan bidaah selain alasan yang bersifat politis. Gereja Katolik melalui Paus Benediktus XV akhirnya melakukan kanonisasi kepada Jeanne d’Arc sebagai seorang kudus (Santa) pada tanggal 16 Mei 1920.
Berperan Di Tengah Kondisi Masyarakat Patriakhal
Kalau kita memperhatikan kondisi dan latar-belakang dari Debora, maka kita diingatkan bahwa Debora saat itu dibesarkan di tengah-tengah masyarakat yang patriakhal.  Sebagaimana kita pahami bahwa dalam masyarakat patriakhal sebenarnya tidak membuka kemungkinan bagi seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin, apalagi memimpin perang. Di Hak. 4:4  dicatat bahwa Debora sebenarnya hanya bertugas sebagai seorang nabiah yang secara khusus mengadili berbagai  
 permasalahan yang dihadapi oleh umat Israel. Tetapi karena kondisi umat Israel sedemikian buruk, maka Debora terpaksa melakukan tugasnya hanya di bawah pohon korma. Selain itu di Israel juga tidak ada tokoh atau pemimpin lain yang mampu berperan, sehingga kondisi patriakhal saat itu tidak mampu mencegah Debora untuk tampil sebagai seorang pemimpin utama. Sehingga dalam keadaan yang sulit dan kritis, Debora dapat tampil sebagai panglima perang dan memerintahkan  Barak untuk membawa pasukan umat Israel sebanyak 10.000 orang. Dari jawaban Barak, kita dapat melihat bagaimana sikap ketergantungan Barak kepada kepemimpinan Debora, yaitu: “Jika engkau turut maju akupun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju akupun tidak maju" (Hak. 4:8).  Hal ini membuktikan bahwa kondisi mental dan moral umat Israel secara keseluruhan begitu rapuh. Para tokoh atau pemimpin pria tidak ada satupun yang mampu untuk menyikapi dan mengendalikan keadaan. Mereka semuanya berdiam diri dan menunggu perintah atau komando dari Debora. Saat Debora berani maju berperang, maka merekapun ikut maju berperang dengan penuh semangat.
                Pada saat seseorang mengalami kesulitan, dia cenderung menyalahkan lingkungan dan keadaan sekitar. Tetapi seorang yang memiliki jiwa sebagai “pahlawan iman” justru mampu menggunakan keadaan sulit dan kritis sebagai landasan iman bagi dia untuk berperan secara lebih efektif.  Artinya selaku umat percaya, dia mampu melihat penyertaan dan tangan Tuhan justru pada saat yang tidak kondusif. Sehingga dia makin membuka diri untuk menjadi alat di tangan Tuhan yaitu  untuk menjadi pembebas bagi sesama yang sedang menderita. Walaupun mungkin secara sosial-politis, dia berada dalam posisi yang lemah; tetapi ternyata dia memiliki daya juang, semangat hidup, kemampuan inisiatif dan kreatif yang jauh lebih tinggi dari pada orang-orang di sekitarnya.  Dia mampu menjadikan hidupnya sebagai contoh atau teladan untuk diikuti oleh orang-orang di sekitarnya yang saat itu telah kehilangan semangat dan tanpa harapan.  Demikian pula dengan Debora atau tokoh Jeanne d’Arc dari Perancis. Menurut norma masyarakat pada umumnya pastilah akan menganggap mereka tidak mungkin mampu berperan sebagai seorang pemimpin yang ulung. Tetapi faktanya, mereka mampu membuktikan kualitas diri mereka sebagai seorang pemimpin yang kuat, tangguh, berani, dan sangat disegani oleh lawan. Bahkan keberanian, kepandaian dan ketabahan mereka begitu memukau dan menghasilkan suatu pemaknaan baru terhadap tujuan hidup suatu bangsa. Sehingga tidak berlebihan jikalau kisah Debora akhirnya dicatat dalam sejarah iman umat Israel, dan kisah Jeanne d’Arc dicatat dalam sejarah dunia.
Bukan Sekedar Strategi Perang
Di Hak. 4:12-14 mengisahkan bagaimana Debora bersama Barak memimpin peperangan melawan kerajaan Kanaan. Mereka mampu menguasai keadaan, walaupun Sisera panglima perang kerajaan Kanaan telah mengerahkan 900 kereta besi dan seluruh rakyatnya. Apabila kemudian  umat Israel berhasil menang dalam melawan bangsa Kanaan yang menindas mereka  adalah karena campur-tangan Allah yang mengacau-balaukan tentara Kanaan dan kereta besinya. Di Hak. 4:15 disaksikan:  
 “Tuhan mengacaukan Sisera serta segala keretanya, dan seluruh tentaranya oleh mata pedang di depan Barak, sehingga Sisera turun dari keretanya dan melarikan diri dengan berjalan kaki”.  Kita tidak mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengan “Tuhan mengacaukan”, sehingga tentara Sisera akhirnya menjadi kocar-kacir dan kalah. Dalam hal ini kitab Hakim-Hakim mau menyaksikan bahwa kemenangan Israel yang dipimpin oleh Debora dan Barak melawan bangsa Kanaan bukan karena sekedar strategi perang yang jitu.  Kemenangan mereka sangat ditentukan oleh pertolongan Allah yang membuat tentara Kanaan kehilangan kekuatan saat berhadapan dengan tentara Israel. Mungkin tentara Kanaan mengalami kekacauan yang sifatnya mental, sehingga mereka menjadi ciut hatinya atau kacau dalam mengatur  ulang dan gagal menyusun formasi tentara saat terjadi serangan yang telak dari umat Israel.  Selain itu,  Tuhan juga memakai Debora dan Barak untuk memimpin perang dengan perencanaan yang baik. Dia juga yang mengaruniakan hikmat dan kepandaian sehingga mereka dapat menyusun strategi yang cemerlang.  Sejarahwan Perancis juga kagum bagaimana tentara Perancis di bawah komando Jeanne d’Arc mampu membobol pengepungan tentara Inggris terhadap kota Orleans hanya selama 9 hari. Padahal Jeanne d’Arc seorang wanita yang buta huruf, tetapi diakui dia memiliki kecerdasan yang luar-biasa.  Di balik semua kehebatan Jeanne d’Arc, diyakini pertolongan Tuhan dalam kehidupannya.
                Dalam kehidupan kita sehari-hari, kuasa kegelapan sering menyerang kita dengan persenjataan yang serba canggih. Tentunya kita selaku umat percaya harus terus berlatih mengasah rohani, mempersiapkan diri, membuat perencanaan dan strategi yang baik agar  dapat menghadapi serangan dari kuasa kegelapan yang menyerang kita dalam berbagai bentuk.  Namun pada sisi lain, kita harus menyadari siapakah kita? Betapa banyak orang yang begitu yakin dengan pertumbuhan rohani dan kesalehannya sehingga mereka takabur dan tidak waspada. Penyebabnya karena mereka  mengabaikan pertolongan dan anugerah Allah yang seharusnya menjadi faktor penentu yang menjiwai seluruh kehidupan mereka. Seorang “pahlawan iman” adalah seorang yang sungguh-sungguh mengandalkan pertolongan dan anugerah Allah sedemikian rupa, sehingga hidup mereka sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh kehendak Tuhan; dan pada sisi lain mereka merespon anugerah Allah tersebut dengan sikap taat dan setia sampai akhir.  Ini berarti seorang “pahlawan iman” tidak pernah berhenti atau berkhianat di tengah jalan. Dia bukan seorang pecundang, kemudian dengan cepat berubah saleh saat ajal akan menjemputnya.  Bukankah beberapa orang segera berubah menjadi sangat rohaniah saat mereka akan meninggal, tetapi hampir seluruh masa dalam kehidupan mereka tidak dimaknai dengan tindakan iman dan kasih. Seorang “pahlawan iman” senantiasa mengakhiri seluruh perjuangan mereka dengan setia sampai akhir hidup mereka. Mungkin mereka memiliki beberapa kekurangan dan kelemahan, tetapi tidak sampai membuat mereka menyangkal atau berpaling meninggalkan Tuhan. Pertumbuhan iman mereka relatif sehat dan stabil, bahkan di saat-saat yang sangat kritis. Itu sebabnya gelar “pahlawan iman” tidak pernah dikenakan kepada kita yang masih hidup di dunia ini. Kita semua masih harus membuktikan, apakah kesetiaan dan kasih kita kepada Tuhan mampu bertahan sampai pada akhirnya. Apabila kita dapat menyelesaikan seluruh tugas kita dengan penuh iman dan kasih sampai akhir, maka berlakulah perkataan Tuhan Yesus: “Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhtaKu, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan BapaKu di atas takhtaNya” (Why. 3:21).
Hidup Yang Berkualitas
Pada umumnya seorang yang bergelar pahlawan karena dia  dianggap telah mampu melakukan hal-hal yang besar, mulia dan luar-biasa bagi bangsanya. Tetapi tidak berarti dalam kehidupan sehari-hari, kita harus selalu melakukan hal-hal yang spektakuler. Sebab dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kita hanya dituntut  untuk melakukan perkara-perkara kecil  
 dengan setia dan cinta yang besar. Namun sayangnya kita justru sering tidak setia dalam perkara-perkara yang kecil dan sederhana, seperti sering gagal dalam hal: setia menepati janji, setia mengerjakan tugas sampai selesai, peduli kepada orang-orang di sekitar kita, upaya mengembangkan diri dan memberdayakan sesama. Talenta-talenta rohaniah sebagaimana yang tercermin dalam buah Roh (Gal. 5:22-23) belum kita berdayakan secara optimal. Akibatnya kehidupan rohaniah kita belum berkualitas atau bertumbuh sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan dan sesama. Sebaliknya Debora mampu mengembangkan seluruh talenta yang dipercayakan Tuhan untuk kesejahteraan dan keselamatan bangsanya. Kondisi dan statusnya sebagai seorang wanita sama sekali tidak menghalangi semangat, kepedulian dan daya juangnya untuk tampil sebagai seorang pemimpin yang sangat berani, tangguh, penuh karisma dan beriman. Sikap Debora tersebut mengingatkan kita akan perumpamaan Tuhan Yesus di Mat. 25:14-30 tentang seorang tuan yang mempercayakan hartanya kepada 3 orang hambanya, yang masing-masing mendapat 5 talenta, 2 talenta dan 1 talenta menurut kesanggupannya masing-masing. Hamba yang memperoleh 5 talenta dan 2 talenta tidak tinggal diam. Mereka mengelola uang talenta yang dipercayakan tuan mereka dengan penuh tanggungjawab dan optimal. Sehingga hamba yang memperoleh 5 talenta dapat memperoleh keuntungan 100%, dan hamba yang memperoleh 2 talenta juga memperoleh keuntungan 100%. Tetapi hamba yang memiliki 1 talenta sama sekali tidak berbuat apapun juga. Dia hanya menyimpan uang talentanya itu agar tidak ada orang yang mencurinya. Akibatnya jumlah uang yang diterimanya tetap sama dan tidak mengalami perkembangan sedikitpun. Padahal makna hidup berkualitas akan terwujud ketika kita sungguh-sungguh mau mengelola seluruh potensi yang dipercayakan Tuhan kepada kita agar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sesamanya.
                Ini berarti melakukan hal-hal atau perkara sederhana dalam kehidupan sehari-hari tetap dalam koridor talenta yang telah dikaruniakan Tuhan kepada kita. Sebab Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk melakukan hal-hal “besar” yang melampaui kemampuan dan kesanggupan kita.   Dia hanya meminta agar kita mau mengelola seluruh potensi dan karunia yang ada secara optimal; sehingga kehidupan moral, keahlian, kemampuan intelektualitas dan rohaniah kita makin  berkembang. Apabila semua aspek dalam kepribadian kita berkembang secara sehat, maka kita akan dapat memberi sumbangsih atau kontribusi yang lebih besar kepada sesama yang membutuhkan.  Sebaliknya hidup kita akan menjadi beban bagi sesama ketika kita hanya mengembangkan sifat malas, tidak berani mengambil risiko, takut rugi, mau serba aman dan hidup yang serba enak. Pola hidup yang demikian tentunya tidak akan pernah menghasilkan suatu kehidupan yang bermutu tinggi. Sehingga pola hidup yang demikian tidak akan pernah mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi orang-orang di sekitar kita. Orang yang memiliki pola hidup yang demikian tentunya sangat menyebalkan. Rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika berkata: “karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar” (I Tes. 5:5-6). Latar-belakangnya adalah jemaat Tesalonika waktu itu memiliki kecenderungan untuk bersikap pasif dalam memaknai hari kedatangan Tuhan. Mereka mengabaikan tanggungjawab dalam bekerja dan melayani agar dapat hidup dalam suasana “damai” dan “aman”. Tepatnya jemaat Tesalonika saat itu tidak mengembangkan seluruh potensi, kemampuan atau kompetensi yang mereka miliki dalam menyongsong kedatangan hari Tuhan yang akan datang seperti pencuri di waktu malam.  Akibatnya mereka tidak dapat  berperan sebagai anak-anak terang yang menjadi berkat bagi masyarakat sekitarnya. Sehingga sampai akhir hidup, mereka tidak pernah dapat membuktikan kualitas iman dan kasihnya. Mereka gagal untuk mengabdikan diri  penuh kualitas sebagaimana yang telah dilakukan oleh Debora atau Jeanne d’Arc.  
Panggilan
Jika demikian, bagaimanakah sikap hidup kita selaku umat percaya? Apakah kita senantiasa setia dalam perkara-perkara yang kecil dan sederhana, serta kita lakukan secara konsisten sampai akhir hidup kita? Ataukah kehidupan kita hanya menginginkan hal-hal yang besar dan luar-biasa tetapi tidak pernah dibarengi dengan sikap yang konkret dalam mempraktekkan iman dan kasih kepada Kristus? Namun yang pasti, Tuhan kini memanggil kita untuk mengelola seluruh potensi dan kemampuan yang telah dianugerahkan agar kehidupan kita dapat menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkan. Berbahagialah kita jika kita  sungguh-sungguh melakukan tugas panggilan tersebut dengan setia sampai akhir hidup kita. Amin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar