Kamis, 24 Maret 2011

Menjadikan Tuhan sebagai relasi bisnis

Menjadikan Tuhan sebagai relasi bisnis


Sikap sekulerisme yang sebagian mendorong orang untuk menjadi “atheistis” (tidak percaya kepada keberadaan Allah) dan sebagian mendorong orang untuk menjadi “deistis” (hanya percaya kepada Allah pencipta dan bukan pemelihara) seringkali tidak disadari oleh umat percaya (theistis) sebagai akibat ulah dan tingkah-laku mereka sendiri. Umat percaya sering mengecam

orang-orang yang menjadi atheistis dan deistik, tidak menyadari bahwa sikap dan tingkah-laku sering menjadi batu sandungan. Sebab mereka sering menganggap dirinya umat percaya (theistis) justru memperlakukan Allah dan Kristus hanya selaku “obyek” untuk memenuhi berbagai kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. 

Tepatnya orang-orang yang merasa dirinya percaya sering menempatkan mukjizat kesembuhan sedemikian rupa, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memperlihatkan sikap yang duniawi dan jauh dari sikap moral. Dalam hal ini orang-orang yang mengklaim percaya kepada Allah dalam hidup sehari-hari justru sering memperlihatkan sikap atheistis (jauh dari sikap iman) yang tidak bermoral. 
Padahal pada sisi lain cukup banyak orang yang menganggap dirinya seorang yang atheistis dalam kehidupan sehari-hari justru mereka memperlihatkan sikap yang sangat etis dan bermoral. Sehingga jelaslah bahwa sikap umat yang menganggap dirinya percaya (theisme) sering hanya terbatas pada harapan dan keinginan memperoleh berkat dan mukjizat dari Kristus. Mereka berdoa, beribadah dan melayani dengan sungguh-sungguh dengan harapan agar hidup mereka dikaruniai berbagai berkat dan mukjizat-mukjizat ilahi. Sehingga dengan pemberian berkat dan mukjizat-mukjizat dari Kristus tersebut mereka dapat berada di posisi yang lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sesama yang kurang memperoleh berkat dan mukjizat. Dengan demikian sikap “theisme” dari umat yang mengklaim diri sebagai umat percaya sebenarnya sering dilatar-belakangi oleh sikap rohani yang sangat materialistis. 

Dibalik kehausan kerohaniannya, umat percaya justru sering memperlihatkan kehausan dan keserakahannya akan hal-hal yang duniawi. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau orang-orang yang menganut paham sekulerisme menuduh umat beragama sebagai kelompok orang-orang yang munafik dan malas bekerja. Bahkan menurut Frederick Nietzche, umat Kristen pada zaman itu dianggap sebagai kelompok yang bermental budak (herden-moral), sebab umat Kristen tidak memperlihatkan sikap hidup yang ulet, rajin dan bertanggungjawab.

Apabila kita memperlakukan Allah atau Kristus hanya sekedar sebagai obyek untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan pribadi yang duniawi, sebenarnya kita telah bersikap secara atheistis dalam arti yang sesungguhnya. Sebab Allah dan Kristus hanya menjadi obyek dari segala kepentingan diri sendiri. Kita menyembah dan beribadah kepadaNya hanya bertujuan untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Sehingga yang kita harapkan atau inginkan dari Kristus hanyalah kuasa mukjizatNya. Kita seringkali secara faktual tidak terlalu mengharapkan relasi yang personal dan akrab dengan Tuhan Yesus. Seperti seseorang yang berbisnis yang

tujuan utamanya adalah keuntungan yang besar. Dia akan selalu berusaha berlaku baik dan ramah kepada setiap para pelanggannya dengan harapan mereka berminat untuk membeli barang-barang yang ditawarkan. Namun di luar konteks penawaran barang, dia akan kembali kepada watak aslinya, yaitu sikap egoistis dan tidak peduli dengan orang lain. 

Padahal sikap iman yang benar pada hakikatnya akan senantiasa menempatkan Allah sebagai subyek yang berdaulat, penuh kuasa dan memiliki kehendak bebas sesuai dengan kemurahanNya. Mereka sungguh-sungguh percaya dan mengasihi Allah dalam sikap yang murni walaupun dalam realitanya, Allah tidak senantiasa memenuhi seluruh harapan dan keinginan mereka. Sikap iman yang demikian tidak pernah mempersoalkan apa yang dapat mereka peroleh dari Kristus. Sebab yang mereka harapkan dari Kristus adalah anugerah keselamatanNya yang memampukan mereka untuk mengenal dan bertumbuh secara pribadi dalam kuasa kasihNya. 

Tepatnya sikap iman kepada Kristus lebih ditujukan kepada pengalaman akan penyataanNya selaku Tuhan dan Juru-selamat atas kuasa dosa dibandingkan hanya sekedar sebagai penyembuh ilahi atau pemberi berkat jasmaniah. Itu sebabnya mereka mampu bersyukur atas anugerah keselamatan dalam karya penebusan Kristus, walaupun secara duniawi mereka tidak memperoleh kekayaan yang berlimpah-limpah atau kesembuhan fisik yang prima. Bagi mereka makna keselamatan dalam karya penebusan Kristus telah cukup. Karya penebusan Kristus lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan seluruh berkat kekayaan atau kesembuhan atas penyakit jasmaniahnya.
entah sampai kapan kita akan memperlakuan Tuhan hanya sebagai mitra bisnis saja????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar