Senin, 21 Februari 2011

MENJADI MANUSIA BARU YANG TERUS MENERUS DIPERBAHARUI


Kis. 10:34-43; Mzm. 118:14-24; Kol. 3:1-14; Yoh. 20:1-8
 Di Kitab Kisah Para Rasul 10:9-16, disaksikan rasul Petrus mengalami suatu penampakan saat dia sedang berdoa. Dia melihat sebuah kain lebar yang turun dari langit, dan kain lebar tersebut tergantung pada keempat sudutnya. Petrus melihat seperti sebuah kain layar lebar telah berada di hadapannya, dan di dalam kain layar yang lebar itu dia melihat berbagai jenis hewan berkaki empat, binatang menjalar dan berbagai burung. Lalu dia mendengar suatu suara agar Petrus mengambil salah seekor hewan tersebut untuk disembelih untuk dimasak dan dimakan. Lalu Petrus memberikan jawaban bahwa dia tidak mau mengambil salah satu hewan yang terdapat di kain lebar tersebut, karena hewan-hewan tersebut tergolong binatang yang diharamkan menurut hukum Taurat.

Di kitab Ulangan, yaitu di Ul. 14:3-21 Musa memberi peraturan tentang jenis binatang yang boleh dimakan (halal) dan jenis binatang yang tidak boleh dimakan (haram). Sehingga berbagai hewan yang dilihat oleh Petrus di kain layar lebar tersebut merupakan kumpulan dari berbagai jenis hewan yang haram untuk dimakan seperti: unta, kelinci hutan, marmot karena  mereka binatang memamah biak tetapi tidak berkuku belah; babi hutan karena berkuku belah namun tidak memamah biak; burung rajawali, ering janggut, elang laut, elah merah, elang hitam, burung dendang, burung gagak, burung unta, burung hantu, camar dan elang, burung pungguk, burung ranggung, bangau, kelelawar, dan sebagainya. Dengan penjelasan demikian, apakah pesan utama dari Kis. 10:9-16? Tepatnya, apa makna dari penglihatan Tuhan kepada Petrus dengan menunjukkan kain layar lebar yang berisi berbagai jenis binatang untuk dimakan? Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan jawaban terhadap pengalaman penglihatan yang telah dialami oleh rasul Petrus, yaitu:
a.       Allah mengizinkan orang Kristen untuk makan segala daging dari binatang yang semula dilarang atau diharamkan oleh hukum Taurat; sebab menurut iman Kristen semua makanan dan daging halal adanya.
b.      Allah menguji hati Petrus, apakah dia setelah mengenal Kristus dia tetap menjadi seorang yang kokoh berpegang kepada peraturan hukum Taurat.
c.       Penglihatan yang dialami oleh Petrus tentang berbagai jenis binatang haram dimaksudkan agar Petrus mau peduli dengan keselamatan Allah kepada bangsa-bangsa kafir  yang berada di luar persekutuan umat Israel.

Manakala kita cermat membaca untuk memahami makna dari Kis. 10, maka makna dari penglihatan yang dialami oleh Petrus sama sekali tidak menunjuk kepada persoalan teologis tentang apakah Allah kini mengizinkan orang Kristen diperbolehkan makan daging hewan yang semula diharamkan oleh hukum Taurat. Penglihatan yang dialami oleh Petrus tersebut juga bukan untuk menguji hati Petrus, apakah setelah dia mengenal Kristus, dia masih tetap berpegang dan menerapkan hukum Taurat. Di Kis. 10:34, kita dapat melihat bagaimana sikap Petrus mengartikan penglihatan yang dialaminya, yaitu: “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.  Jadi penglihatan yang dialami oleh rasul Petrus pada hakikatnya mau menyaksikan tentang karya keselamatan Allah tidak lagi tertutup hanya untuk kepentingan umat Israel. Sebab karya keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus, kini terbuka pula untuk semua orang dari berbagai suku dan bangsa. Di dalam karya Kristus, karya keselamatan Allah tidak lagi menjadi hak milik atau hak prerogatif umat Israel saja. Sebaliknya di dalam karya penebusan Kristus, Allah berkenan mengaruniakan anugerah keselamatanNya kepada bangsa-bangsa manapun asalkan mereka mau mengamalkan atau mewujudkan kebenaran yang telah diterimaNya yaitu kebenaran tentang pengampunan dosa di dalam nama Kristus. Itu sebabnya dalam Kis. 10 disaksikan tentang Kornelius, seorang perwira pasukan Italia yang menerima Injil Kristus karena pemberitaan rasul Petrus. Sehingga Kornelius yang semula berstatus “bukan Yahudi” berarti dia tidak tergolong sebagai umat Allah, tetapi kini dia telah diterima menjadi umat Allah karena sikap imannya kepada Kristus. Akhirnya Kornelius dibaptiskan dalam nama Kristus.

Dalam kesaksian Kis. 10 sangat jelas menyatakan karya keselamatan Allah yang menghasilkan pembaharuan hidup, sehingga Kornelius dapat percaya dan menerima Kristus sebagai Juru-selamatnya. Kornelius yang semula melakukan perbuatan baik dan amal-ibadah menurut pengertiannya sendiri, telah berubah menjadi Kornelius yang melakukan perbuatan baik dan amal-ibadahnya kepada Tuhan karena kasihnya setelah dia ditebus oleh Kristus. Kornelius dahulu mencari perkenanan Allah dengan berbagai kebajikan; tetapi kini Kornelius melakukan berbagai kebajikan karena karya penebusan Kristus. Semula Kornelius merasa telah hidup benar di hadapan Allah karena hidupnya yang saleh; tetapi kini di hadapan Kristus, Kornelius mau mengaku dosa-dosanya dan merasa tidak layak sehingga dia membutuhkan Kristus sebagai Juru-selamatnya. Itu sebabnya dia kemudian bersedia untuk dibaptiskan. Bukankah dalam setiap peristiwa baptisan, orang yang akan dibaptis diwajibkan untuk mengaku dosa dan ketidakmampuannya untuk hidup benar menurut pengertian, usaha dan kekuatannya sendiri? Namun di sisi lain dalam kesaksian Kis. 10, pihak yang mengalami pembaharuan hidup sebenarnya bukan hanya Kornelius. Sebab proses pembaharuan hidup juga dialami oleh rasul Petrus. Karena Petrus  mengalami pembaharuan hidup, dia kemudian dapat menyatakan ungkapan: “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya” (Kis. 10:34). Makna ungkapan dari rasul Petrus pada hakikatnya mau menyatakan bahwa di dalam karya penebusan Kristus, Allah tidak lagi membedakan orang siapakah di antara mereka yang menjadi umat pilihan Allah karena keturunan atau hubungan darah. Pengertian umat pilihan Allah tidak lagi didasarkan kepada hak istimewa suatu bangsa, dalam hal ini umat Israel. Tetapi umat pilihan Allah ditentukan oleh sikap iman; yaitu apakah mereka mau beriman kepada Kristus ataukah mereka menolakNya. Apa artinya menjadi umat pilihan Allah seperti umat Israel, tetapi mereka menolak dan tidak percaya kepada Kristus. Jadi dalam kasus penglihatan yang dialami oleh Petrus, dia mengalami proses pembaharuan hidup. Perspektif iman yang dimiliki oleh rasul Petrus sungguh-sungguh berubah. Semula rasul Petrus memiliki paradigma teologis bahwa karya keselamatan Allah hanya ditujukan secara eksklusif kepada umat Israel. Tetapi setelah perjumpaannya dengan Kornelius, paradigma teologis rasul Petrus menjadi terbuka. Sebab karya keselamatan Allah di dalam Kristus kini terbuka untuk semua orang dari berbagai suku dan bangsa.

Pembaharuan hidup yang dialami oleh rasul Petrus sebenarnya mencerminkan proses pembaharuan hidup yang dialami oleh jemaat Kristen perdana. Semula lingkungan jemaat Kristen perdana hanya terbatas kepada orang-orang Yahudi, tetapi lambat-laun  mereka kemudian makin menyadari bahwa karya keselamatan Allah telah terbuka pula kepada umat yang bukan Yahudi. Perubahan perspektif atau wawasan iman ini sangat penting dan menentukan arah perjalanan gereja Tuhan di atas muka bumi ini. Kita tidak dapat membayangkan apabila para tokoh dan rasul-rasul Kristus waktu itu masih bersikap eksklusif sebagai orang Yahudi. Mereka akan membatasi karya keselamatan dan penebusan Kristus hanya untuk sebagian kecil orang Yahudi yang mau percaya kepada Kristus. Pastilah sikap mereka akan menyebabkan gereja Tuhan tidak akan pernah berkembang ke seluruh pelosok bumi. Dalam situasi demikian, gereja-gereja Tuhan hanya eksis dan berkembang di lingkungan tanah Palestina saja. Tetapi ketika para tokoh dan jemaat Kristen perdana me ngalami perubahan perspektif iman dan pembaharuan hidup, maka gerak perjalanan gereja Tuhan juga berubah total. Gereja-gereja yang mewartakan karya keselamatan Allah di dalam penebusan Tuhan Yesus kini dapat lebih leluasa menjangkau seluruh umat manusia sehingga mereka dapat mengenal dan percaya kepada Kristus. Jadi kita dapat melihat peristiwa pembaharuan hidup sangat menentukan makna hidup dan identitas diri kita selaku umat percaya. Tanpa pembaharuan hidup, maka segala ibadah, pelayanan, pengajaran gereja dan persekutuan yang kita bangun dengan sangat serius akan menjadi serba sia-sia. Tanpa pembaharuan hidup, maka berita Alkitab tentang kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitanNya juga percuma. Apa artinya kita sering terharu saat menyaksikan tayangan film tentang penderitaan dan kematian Kristus di atas kayu salib, tapi hidup kita sama sekali tidak mengalami pembaharuan dan pertobatan? Apa artinya kita sangat takjub dan terpesona dengan peristiwa kebangkitan Kristus yang luar biasa dan penuh misteri, tetapi kehidupan kita tetap dilandasi oleh pola pikir yang duniawi dan penuh hawa-nafsu?

Selaku orang Kristen, kita sering mudah dibuat bingung dan panik dengan berbagai dugaan yang muncul di sekitar kematian dan kebangkitan Kristus. Kita bingung dengan kasus beredarnya teori “Da Vinci Code”. Kita kemudian menjadi agak panik dengan beredarnya film “The Lost Tomb of Jesus” atau buku “The Dynasty of Jesus”. Semua dugaan tersebut seharusnya dihadapi dengan sikap tenang dan obyektif tetapi juga berani untuk mengupas dan membahasnya secara kritis.  Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah kita justru sering mengabaikan panggilan untuk sungguh-sungguh berproses dalam pembaharuan hidup. Betapa banyak di antara kita yang mengabaikan pembaharuan hidup yang belum terlihat secara nyata dalam sikap, sifat, kebiasaan dan karakter serta berbagai kecenderungan hawa nafsu yang sangat tercela. Di Kol. 3:1, rasul Paulus berkata: “Karena itu kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah”. Karya kebangkitan Kristus seharusnya tidak hanya dibuktikan secara arkeologis belaka; sebab yang lebih utama lagi adalah bagaimana membuktikan peristiwa dan kuasa kebangkitan Kristus dengan pembaharuan hidup yang semakin nyata. Jadi makna pembaharuan hidup yang dimaksud di sini adalah: “mencari perkara di atas, di mana Kristus duduk di sebelah kanan Allah”, yaitu dengan: “matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi yaitu percabulan, kenajisan, hawa-nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Dalam hal ini pembaharuan hidup pada hakikatnya menyangkut soal perubahan hidup yang eksistensial atau transformasi spiritualitas atas berbagai kelemahan kepribadian yang bersifat kronis dan umumnya terus mengkristal dalam sikap karakter yang tidak terpuji serta tingkah-laku yang menjadi batu sandungan bagi setiap orang di sekelilingnya.

Saat ini kita selaku gereja Tuhan berada dalam suatu peristiwa yang begitu penting dan penuh makna, yaitu Paskah yang mengungkapkan kuasa Allah dan misteri dari peristiwa kebangkitan Kristus. Karena itu sangatlah tepat bagi kita untuk bercermin diri untuk melihat secara kritis fakta-fakta yang sebenarnya masih sangat memprihatinkan. Fakta-fakta tersebut adalah: kita selaku jemaat umumnya telah ambil bagian dalam tugas pelayanan dengan setia, mempersembahkan diri kita kepada Tuhan sehingga kita mau menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan uang untuk melayani Tuhan serta beribadah kepadaNya. Selain itu kita juga sering mengikuti berbagai pembinaan iman dan belajar kekayaan firman Tuhan. Kita menjadi orang-orang yang sangat aktif melayani. Tetapi apakah yang telah kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari? Apakah persembahan diri dalam bentuk pikiran, tenaga, waktu dan uang tersebut juga membawa pembaharuan hidup? Apakah ibadah dan pelayanan kita menghasilkan kehidupan yang transformatif? Apakah segala perbuatan kita yang sebenarnya suci, indah dan mulia itu telah membawa suatu perubahan yang mendasar dalam kehidupan kita? Ataukah ternyata berbagai sifat, karakter, kebiasaan dan tingkah-laku kita yang buruk atau tercela tetap tidak pernah berubah? Dalam hal ini kita tetap menyukai percabulan, serakah, tinggi hati, kejam dan tidak pernah bersalah ketika kita menyakiti hati banyak orang. Bukankah yang sering terjadi kesungguhan kita dalam beribadah dan melayani ternyata tidak serta merta merupakan suatu proses untuk mematikan dalam diri kita segala sesuatu yang duniawi yaitu percabulan, kenajisan, hawa-nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala? Tepatnya dalam kehidupan sehari-hari kita lebih sering menjadi pribadi yang mendua (ambivalen), yaitu: ibadah, pelayanan dan pembinaan tetap kita lakukan dengan baik; tetapi pada saat yang sama segala sesuatu yang duniawi juga terus kita pertahankan dan tetap kita pelihara dengan setia.

Manakala kita hidup dalam sikap yang mendua-hati, tentunya kehidupan spiritualitas kita telah gagal untuk mempraktekkan integritas diri. Pertanyaan yang penting untuk direnungkan adalah: bagaimana kita dapat menjadi saksi kebangkitan Kristus ketika kita dinilai tidak memiliki integritas diri. Bagaimana dunia mau menerima kesaksian kita ketika kredibilitas kita dipersoalkan. Dunia dan sesama di sekitar kita tidak lagi mau percaya (trust) kepada semua kesaksian kita. Sebab dunia hanya mau mendengar perkataan, nasihat dan pengajaran kita sebagai para saksi kebangkitan Kristus manakala kehidupan kita ditandai oleh integritas diri di mana ucapan dan tindakan kita sungguh-sungguh sesuai dengan firman Tuhan. Orang-orang di sekitar kita mau mendengar dan menerima kesaksian kita tentang Kristus yang bangkit dan menebus dosa umat manusia ketika hidup kita ditandai oleh pembaharuan hidup. Artinya tanpa bukti pembaharuan hidup, maka segala kesaksian kita tentang peristiwa kebangkitan Kristus hanya dianggap sebagai suatu omong-kosong yang menyebalkan. Dalam hal ini kita hanya dapat membuktikan perihal makam Kristus yang kosong secara arkeologis, tetapi kita gagal membuktikan kuasa kebangkitanNya yang membaharui kehidupan pribadi kita. Itu sebabnya spiritualitas kita sering hanya ditandai oleh sikap sedih, bingung dan panik sebagaimana yang dilakukan oleh Maria Magdalena ketika ia melihat batu penutup kubur Yesus telah terguling. Maria Magdalena berseru dengan perasaan bingung dan panik, yaitu: “Tuhan telah diambil orang dari kuburNya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan” (Yoh. 20:2). Tetapi ketika spiritualitas kita ditandai oleh pembaharuan hidup dalam integritas diri sehingga kita dipercaya atau kredibel, maka kita dapat menjadi saksi-saksi kebangkitan Kristus yang sangat efektif dan transformatif. Ciri spiritualitas kristiani tersebut mengingatkan saya akan seorang Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pernah dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian setelah kematiannya dalam kecelakaan pesawat tahun  1961. Dialah Dag Hammarskjold dari Swedia.
                                       Dag Hammarskjold memiliki kepribadian mulia yang ditandai oleh pembaharuan hidup yang dilandasi oleh nilai-nilai iman Kristen. Itu sebabnya spiritualitasnya tampak jelas dalam setiap jejak keputusan, perjuangan, pemikiran dan pola pendekatannya sebagai seorang Sekretaris Jenderal PBB. Dia terus mengupayakan perdamaian dunia dan keadilan dengan kuasa kasih Kristus, agar setiap orang mau menghargai setiap sesamanya yang berbeda secara etnis, suku, bangsa dan agama. Dia berkata:

“From generations of soldiers and government officials on my father's side I inherited a belief that no life was more satisfactory than one of selfless service to your country - or humanity. This service required a sacrifice of all personal interests, but likewise the courage to stand up unflinchingly for your convictions. From scholars and clergymen on my mother's side, I inherited a belief that, in the very radical sense of the Gospels, all men were equals as children of God, and should be met and treated by us as our masters in God".

Ciri spiritualitas Dag Hammarskjold yang diwarisi dari ayah dan ibunya adalah pelayanan yang tanpa mementingkan diri sendiri sehingga dapat mempersembahkan kepada negara dan kemanusiaan suatu persamaan sebagai anak-anak Allah. Jadi spiritualitas Dag Hammarskjold adalah multi-kultural yang menggemakan spiritualitas rasul Petrus yang menyatakan bahwa Allah tidak pernah membedakan umat manusia karena faktor suku, kebangsaan dan keagamaan di Kis. 10:34. Sikap Dag Hammaskjold terus menggemakan agar umat manusia dapat hidup dalam perasaan persaudaraan yang universal. Dalam sambutannya di Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia di Evanston tahun 1954, Dag Hammarskjold berkata:

“Salib, meskipun merupakan fakta yang unik yang menjadi dasar pengharapan gereja-gereja Kristen; tidaklah boleh memisahkan iman kekristenan dari iman lainnya. Melainkan harus menjadi suatu unsur dalam kehidupan mereka, yang memampukan mereka untuk mengulurkan tangan kepada orang beriman lain dalam perasaaan persaudaraan yang universal”.

                Selaku umat Allah di dalam Kristus, kita juga terpanggil untuk menciptakan dan menghadirkan perasaan persaudaraan yang universal sebagai wujud dari pembaharuan hidup. Panggilan iman tersebut perlu kita wujudkan secara nyata, karena kita selaku gereja Tuhan telah dibangkitkan bersama dengan Kristus. Karena itu mari kita wujudkan pembaharuan hidup dengan sikap kasih dan pengampunan agar orang-orang seperti “Kornelius” di sekitar kita juga dapat mendengar, percaya dan menerima Kristus selaku Juru-selamatnya. Bagaimanakah sikap saudara? Apakah saudara kini telah mengalami peristiwa pembaharuan hidup di dalam kasih Kristus? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar