Senin, 21 Februari 2011

MENGASIHI KRISTUS, WALAU BELUM MELIHAT


Kis. 2:22-32; Mzm. 16; I Petr. 1:3-9; Yoh. 20:19-31

 

Saat kita membaca sikap respon para murid di Yoh. 20:19, dapat timbul suatu perasaan yang agak mengganjal. Di Yoh. 20:19 menyaksikan: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi”. Dalam kesaksian tersebut sangat jelas para murid Yesus berada dalam suasana takut sehingga Injil Yohanes menguraikan secara detil pintu-pintu rumah yang mereka diami itu dalam keadaan terkunci. Para murid Yesus waktu itu merasa takut dengan orang-orang Yahudi. Padahal bukankah para murid Yesus juga orang-orang Yahudi?
 Jadi yang dimaksud “orang-orang Yahudi” tersebut sebenarnya adalah pemimpin agama Yahudi. Setelah penganiayaan dan penyaliban Yesus, para pemimpin agama Yahudi mencurigai setiap orang yang menjadi pengikut Yesus dari Nazaret. Apalagi kini telah tersebar bahwa Yesus yang disalibkan itu bangkit dari kematianNya.  Dalam konteks tersebut, apabila kita mencermati isi perikop Injil Yohanes secara teliti, maka kita dapat menjumpai sikap yang kontradiktif antara berita dari Yoh. 20:8 dan 18 dengan maksud Yoh. 20:19. Sebab di Yoh. 20:8 dinyatakan bahwa setelah para murid masuk ke kubur Yesus yang telah kosong, maka disebutkan: “ia melihatnya dan percaya”. Lalu di Yoh. 20:18 para murid tersebut  diteguhkan dengan kesaksian dari Maria Magdalena yang telah melihat Kristus yang bangkit, yaitu: “Aku telah melihat Tuhan! Dan juga bahwa Dia telah mengatakan hal-hal itu kepadanya”. Jadi ide dari Yoh. 20:8 dan Yoh. 18 pada prinsipnya saling berhubungan dan saling meneguhkan bahwa para murid Yesus menjadi percaya akan kebangkitan Kristus. Tetapi anehnya tidak lama kemudian sikap percaya para murid Yesus tersebut di Yoh. 20:19 berubah menjadi perasaan takut, sehingga pintu-pintu rumah di mana mereka berada harus dikunci. Mengapa kepercayaan dan iman para murid ternyata begitu rapuh kepada Yesus yang bangkit, sehingga akhirnya mereka lebih dikuasai oleh perasaan takut kepada para pemimpin agama Yahudi? Jika demikian, apa makna dari sikap percaya para murid Yesus manakala mereka secara faktual lebih banyak memperlihatkan perasaan takut kepada manusia?

                Seringkali definisi sikap percaya dilawankan dengan pernyataan negatif, yaitu sikap “tidak percaya”. Sehingga makna percaya kepada Allah (theistis) diperlawankan dengan sikap tidak percaya atau menolak Allah (atheistis). Dengan paradigma demikian, kehidupan umat manusia sering dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu kelompok umat yang “theistik” dengan kelompok orang yang “atheistik”. Yang termasuk dalam kelompok “theistik” adalah para penganut agama-agama dunia dan orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap agama suku; sedang yang masuk kelompok “atheistik” adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki agama atau kepercayaan apapun. Tetapi dalam pemikiran Yuhan Yesus, sebenarnya sikap tidak percaya ternyata tidak selalu dalam bentuk sikap yang “atheistik” secara agamawi. Di Mat. 14:22-33 disaksikan bagaimana Yesus dapat berjalan di atas air. Para murid sangat ketakutan dan mengira mereka melihat hantu. Segera  Petrus  berkata kepada Yesus: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepadaMu berjalan di atas air” (Mat. 14:28). Tuhan Yesus memenuhi permintaan Petrus untuk pergi ke tempat Yesus berdiri di atas air. Akhirnya Petrus dengan kuasa Tuhan Yesus dapat berjalan di atas air. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, maka takutlah Petrus dan mulailah ia tenggelam (Mat. 14:30). Bagaimanakah sikap Tuhan Yesus terhadap sikap Petrus yang takut saat dia berjalan di atas air? Tuhan Yesus segera menegur Petrus demikian: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Mat. 14:31). Jadi sikap tidak percaya dalam pemikiran Tuhan Yesus dimaknai bukan sekedar untuk menunjuk sikap “tidak percaya”. Tetapi makna “tidak percaya” kepada Tuhan apabila kehidupan kita diliputi oleh perasaan  bimbang dan takut. Jika demikian, bukankah sangat kontradiktif sikap para murid yang semula percaya kepada Tuhan Yesus yang bangkit, tetapi faktanya mereka masih hidup dalam perasaan takut terhadap para pemimpin agama Yahudi. Iman para murid kepada Tuhan Yesus yang bangkit ternyata belum merupakan iman yang matang. Sebab kepercayaan mereka terhadap Yesus yang bangkit masih berada di area  antara “percaya” namun juga “belum sepenuhnya percaya”. Itu sebabnya para murid masih dikuasai oleh perasaan takut dan tidak memiliki keberanian untuk menyaksikan Kristus yang bangkit kepada khalayak ramai.

Gambaran perasaan takut dari para murid di Yoh. 20:19 bukan hanya ditunjukkan dengan pintu-pintu yang terkunci;  tetapi juga para murid yang sedang ketakutan itu menjadi tidak terlalu jeli dan peka sehingga mereka tidak menyadari bahwa masih ada seorang murid Yesus lain yang saat itu tidak bersama-sama dengan mereka.  Setelah Tuhan Yesus menampakkan diri kepada mereka semua, barulah para murid menyadari bahwa ternyata Tomas saat itu tidak bersama-sama dengan mereka. Itu sebabnya di Yoh. 20:24 menyaksikan: “Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu,  yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ”.  Padahal Yoh. 20:19 jelas menyaksikan: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi”. Mari kita membayangkan apabila hari mulai larut malam, tetapi salah seorang dari anggota keluarga kita ada yang belum pulang. Bagaimana reaksi atau sikap saudara ketika salah seorang dari anggota keluarga kita belum bersama-sama dengan kita? Umumnya kita akan segera menanyakan dan berusaha untuk mencarinya. Tetapi di Yoh. 20:19 para murid Yesus ternyata tidak sempat berpikir untuk bertanya tentang keadaan salah seorang murid Yesus yang saat itu tidak bersama-sama dengan mereka. Tampaknya perasaan takut mereka lebih besar dari pada sikap kepeduliaan mereka terhadap sesama yang lain. Ketika kita sedang dilanda oleh perasaan takut,  maka yang menjadi fokus pikiran kita saat itu adalah diri kita sendiri; sehingga kita tidak lagi mampu untuk peka dan memikirkan keadaan orang lain di sekitar kita. Saat kita dicengkeram oleh perasaan takut , maka kita akan cenderung menjadi orang-orang yang “egosentris” sebab seluruh waktu dan tenaga akan kita curahkan hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Makna dari “pintu-pintu terkunci” juga menunjukkan keadaan hati dari para murid yang saat itu sedang tertutup atau terkunci dari dalam sehingga mereka tidak lagi mampu memikirkan kehadiran orang lain, apalagi untuk memikirkan dan percaya kepada kuasa kebangkitan Kristus.

Namun pada saat pintu rumah dan pintu hati para murid sedang terkunci rapat oleh karena perasan takut, justru di situlah Kristus yang bangkit menyatakan diriNya di tengah-tengah mereka. Yoh. 20:19b berkata: “Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: Damai sejahtera bagi kamu!” Sapaan Kristus yang bangkit itu akhirnya dapat memecahkan kebekuan egosentrisme dan perasaan takut  yang sedang dialami oleh para muridNya. Mereka diajak oleh Tuhan Yesus untuk mengubah ketakutan dan sikap yang egosentris menjadi situasi untuk menerima “selamat dan damai dari Allah” (syaloom Allah). Kristus yang bangkit pada hakikatnya hendak menghadirkan keselamatan dan damai sejahtera dari Allah, bukan perasaan takut. Sebab selama para murid masih hidup dalam sikap ketakutan dan egosentrisme, maka pastilah mereka akan condong untuk hidup bagi diri mereka sendiri. Tetapi ketika ketakutan dan egosentisme para murid diubah oleh Allah menjadi damai-sejahtera dan keselamatan, maka mereka dapat melakukan tugas pengutusan.  Sangat menarik, setelah pernyataan damai-sejahtera dan keselamatan (syaloom) dari Tuhan Yesus di Yoh. 20:20-21, ternyata diikuti oleh tugas pengutusan, yaitu: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”. Iman para murid diubah oleh Tuhan Yesus menjadi iman yang transformatif dan matang. Perubahan kualitas iman dialami  para murid saat mereka dikaruniai oleh Tuhan Yesus damai sejahtera dan keselamatan (syaloom) Allah. Jenis iman yang demikian yang mampu membuka pintu-pintu rumah yang terkunci untuk keluar menjadi para utusan Allah yaitu memberitakan Kristus yang bangkit. Kualitas iman yang demikian juga yang mampu mengubah pintu-pintu hati yang terkunci rapat,  menjadi hati yang siap terbuka untuk mengkomunikasikan karya keselamatan dan kasih Allah kepada dunia ini. Itu sebabnya di Kis. 2:22-32 disaksikan bagaimana rasul Petrus dengan penuh keberanian dan roh hikmat dapat menyampaikan berita kuasa kebangkitan Kristus kepada umat Israel. Di Kis. 2:32 rasul Petrus tegas menyatakan: “Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua adalah saksi”. Sikap rasul Petrus tersebut sungguh berbeda dengan sikapnya bersama para murid lain sebelum mereka mengalami kehadiran dari Kristus yang bangkit. Dahulu mereka bersembunyi di balik pintu yang terkunci; tetapi sekarang mereka berani memproklamirkan diri dengan pernyataan: “kami semua adalah saksi”. Para murid menjadi berani untuk bersaksi dan menjadi utusan Kristus karena mereka telah melihat Tuhan Yesus yang telah bangkit dan yang juga telah mengaruniakan “syaloom” Allah.

Tetapi problem internal yang terjadi di antara para murid di Yoh. 20:24-29 belum sepenuhnya selesai. Bagi para murid  yang telah melihat dan menyentuh luka-luka Kristus yang bangkit  serta yang menerima “syaloom” Allah, umumnya mereka semua dapat berubah menjadi para saksi kebangkitan Kristus yang berani. Namun bagaimana dengan Tomas atau Didimus yang saat itu tidak bersama-sama dengan mereka? Tomas saat itu belum mengalami  kehadiran Kristus yang bangkit. Dia juga belum pernah menyentuh luka-luka Kristus dan juga belum menerima “syaloom” Allah dari Kristus. Karena itu Tomas berkata: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tanganNya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambungNya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh. 20:25). Tomas membutuhkan bukti fisik dari kebangkitan Kristus sebelum dia mengaku percaya. Dalam hal ini Tomas mengedepankan sikapnya yang lebih realistik dan rasional terhadap masalah kebangkitan Kristus. Dia tidak mau terlalu tergesa-gesa menunjukkan sikap percaya terhadap berita yang berkembang sekitar peristiwa kebangkitan Kristus. Tomas ingin tetap bersikap kritis rasional agar dia dapat membedakan secara pasti apakah berita tentang kebangkitan Kristus suatu fakta yang dapat diperiksa secara inderawi, ataukah berita kebangkitan Kristus sebenarnya hanyalah suatu ilusi atau halusinasi dari teman-temannya yang saat itu sedang ketakutan terhadap tekanan para pemimpin agama Yahudi. Figur diri Tomas yang tidak  mudah percaya terhadap berita kebangkitan Kristus tidak perlu dihakimi sebagai orang yang kurang beriman. Injil Yohanes sepertinya mau membuat perbandingan, yaitu antara sikap para murid Yesus yang percaya tetapi mereka secara faktual  tetap hidup dalam ketakutan dengan membandingkan sikap Tomas yang tidak mudah percaya tetapi dia ingin menyelidiki peristiwa kebangkitan Kristus dengan pengalamannya sendiri. Manakah sikap yang lebih dewasa:  sikap para  murid yang di satu pihak percaya tetapi mereka ternyata hidup dalam ketakutan dengan sikap Tomas yang tidak mudah percaya tetapi ingin menyelidiki terlebih dahulu? Dengan pernyataan Tomas yang berkata: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tanganNya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambungNya, sekali-kali aku tidak akan percaya” sebenarnya bukan berarti Tomas telah menutup pintu hatinya terhadap misteri kebangkitan Kristus. Sebab Tomas akan percaya, kalau dia terlebih dahulu dapat melihat dan menyentuh tubuh kebangkitan Kristus. Tetapi kepercayaan Tomas lebih ditentukan oleh daya nalar atau pikirannya dari pada daya spiritualitasnya.

Pada zaman sekarang sikap Tomas tersebut mungkin gambaran dari orang-orang Kristen yang mau percaya kepada kebangkitan Kristus jikalau terlebih dahulu dapat meneliti dan “membuktikan”  secara arkeologis. Karena itu mereka cenderung mudah percaya dan menerima tanpa sikap kritis setiap penjelasan dari para ahli yang bernaung dalam payung “arkeologi”. Mereka lupa bahwa yang dimaksud dengan “bukti-bukti arkeologis” pada prinsipnya juga membutuhkan penafsiran subyektif terhadap suatu obyek penggalian. Lebih rumit dan mustahil apabila obyek arkeologis tersebut  mencoba meneliti dan menyingkapkan misteri kebangkitan Kristus. Apabila para arkeolog tersebut memiliki sikap Tomas, maka mereka akan mudah digiring untuk menerima kesimpulan-kesimpulan yang belum teruji (hipotesa) untuk diidentikkan begitu saja sebagai  bukti penemuan ilmiah.  Tentunya kita sangat menghargai upaya ilmu arkeologis dan ilmu  pengetahuan untuk menyelidiki sejarah seputar kehidupan Tuhan Yesus. Tetapi ketika ilmu arkeologi dan ilmu pengetahuan terlalu gegabah membuat “klaim” bahwa kebenaran sejarah keselamatan Allah ditentukan oleh hasil penelitian mereka, maka kita harus waspada. Sebab kebenaran sejarah keselamatan Allah sama sekali tidak ditentukan oleh hasil penelitian arkeologi dan ilmu pengetahuan, tetapi ditentukan oleh berita firman Tuhan yaitu Alkitab. Upaya pembuktian secara arkeologis tentang misteri kebangkitan Kristus sebagaimana yang dituntut oleh Tomas sebenarnya merupakan upaya manusia untuk mencoba merangkum misteri ilahi dalam otak manusia yang sangat terbatas.  Kita sering berusaha menyingkapkan rahasia Allah sang Pencipta dengan otak manusia yang menjadi ciptaan. Sehingga iman kepada Tuhan sering kita anggap sebagai suatu rangkuman dari berbagai kebenaran yang berhasil kita pikirkan, teliti dan pahami. Sikap Tomas yang  ragu-ragu mencerminkan pola sikap Rene Descartes (31 Maret  1596 – 11 Februari 1650, yaitu: "Cogito, ergo sum("I think, therefore I am") atau: “Dubito, ergo cogito, ergo sum” ("I doubt, therefore I think, therefore I am"). Sebenarnya pola berpikir Rene Descartes perlu dipakai untuk memahami dan menyingkapkan realitas kehidupan ini, tetapi ketika dipakai untuk memecahkan rahasia kehidupan termasuk rahasia Allah maka filsafat Descartes telah melupakan satu hal yang sangat penting, yaitu bukan “aku berpikir maka aku ada”; tetapi: “aku telah eksis sebelum aku dapat berpikir”. Bukankah yang riel terlebih dahulu dalam kehidupan ini bukanlah pikiran, tetapi keberadaan diri kita? Bagaimanakah kita dapat berpikir, jikalau kita tidak pernah ada dan hidup sebagai manusia? Keberadaan dan kehidupan kita tidak diawali dengan pikiran manusia,  tetapi keberadaan dan kehidupan kita dapat terjadi karena karunia dari Tuhan.

Jikalau demikian, kuasa kebangkitan Kristus juga bukan ditentukan oleh daya nalar dari pikiran manusia. Tetapi juga ditentukan oleh bagaimana sikap iman kita kepada Tuhan sebagai dasar utama dari kehidupan ini. Selaku umat percaya kita perlu bersikap kritis dan meragukan berbagai klaim “kebenaran”. Dalam hal ini kita harus berpijak kepada fakta-fakta dan membuat analisis yang kritis, tetapi kemampuan kita tersebut tidak boleh dijadikan tolok ukur untuk  menentukan kebenaran yang mutlak. Sebab pikiran atau daya nalar kita tidak pernah mampu berdiri sendiri. Di hadapan misteri Allah khususnya dalam peristiwa kebangkitan Kristus, daya nalar kita sangat terbatas. Kita membutuhkan iman yang dianugerahkan oleh Allah. Itu sebabnya setelah Tomas berjumpa dengan Kristus yang bangkit, dia berkata: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh. 20:28). Pengakuan iman Tomas akhirnya bukan ditentukan oleh hasil survey dan analisa logisnya tetapi karena pengalaman imannya yang faktual di mana dia berjumpa dengan Kristus yang telah bangkit. Menanggapi sikap Tomas tersebut, Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yoh. 20:29). Sikap iman bukanlah sikap yang “irasional”. Sebaliknya sikap iman merupakan anugerah yang memampukan kita untuk melampaui (transenden) daya nalar, sehingga mata rohani kita dapat melihat kehadiran Allah yang hidup dan berkarya di tengah-tengah realitas hidup ini. Sehingga dengan sikap iman, kita didorong dan dimampukan untuk mengasihi Allah dan Kristus yang bangkit. Rasul Petrus berkata: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihiNya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihatNya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamaan jiwamu” (I Petr. 3:8-9). Kini, apakah saudara juga mau percaya dan mengasihi Kristus yang bangkit itu walaupun saat ini saudara belum melihatNya secara fisik? Kita perlu  mengasah daya nalar atau pikiran kita, tetapi kita juga perlu terus-menerus mengasah spiritualitas kita agar kita makin peka dengan kehendak Tuhan dan panggilanNya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar