Senin, 21 Februari 2011

BATU HIDUP UNTUK RUMAH ROHANI


Kis. 7:55-60; Mzm. 31:1-5, 15-16; I Petr. 2:1-10; Yoh. 14:1-14
 Setiap membangun rumah atau gedung apapun kita selalu membutuhkan batu dalam berbagai ukuran yaitu untuk membangun pondasi rumah dan gedung ataupun mungkin membangun dinding rumah. Karena batu merupakan benda padat yang keras, maka batu-batu yang disusun dan disatukan dalam cairan semen dapat menjadi struktur dan konstruksi yang memperkuat bangunan rumah tersebut. Pada masa sekarang fungsi batu untuk bangunan telah digantikan campuran beton. Sebagaimana kita tahu campuran beton terdiri batu-batuan, besi dan semen. Sebelum Kristus lahir, manusia sudah berhasil membangun bangunan tinggi dan menakjubkan.
Sebagai contoh bangunan kota Petra di Yordania. Bangunan kota Petra yang terbuat dari batu-batu di Wadi  Araba, sebuah lembah bercadas di Yordania sehingga kota ini sangat sulit untuk ditembus musuh dan aman dari bencana alam seperti badai pasir. Dahulu wilayah Petra menjadi ibukota kerajaan Nabatean. Kota Petra didirikan pada 9 sM - 40 M oleh Raja Aretas IV. Bangunan kota ini didirikan dengan cara menggali dan mengukir cadas setinggi 40 meter. Keadaan ini dimungkinkan karena kota Petra dikelilingi gunung yang berbatu. Di sini ada gunung setinggi 1.350 meter dari permukaan laut. Inilah kawasan tertinggi di areal ini yang disebut “Gunung Harun” (Jabal Harun) atau “Gunung Hor” atau “El-Barra”. Gunung Harun pada masa kini paling sering dikunjungi orang. Para pengunjung percaya, di puncak “Jabal Harun” inilah, Harun meninggal dan dimakamkan oleh Musa, saudaranya. Kita juga  dapat melihat “Meteora”, yaitu: 6 gedung biara dari gereja Orthodoks Yunani (Greek Orthodox Monasteries) di Kalambaka, Yunani. Ajaibnya gedung-gedung biara “Meteora” tempat para rahib Kristen bertapa tersebut dibangun di atas puncak bukit berbatu yang sangat tinggi, sehingga untuk menuju ke biara-biara di Meteora sangatlah sulit dan berbahaya. Untuk membawa orang dan makanan ke atas, maka semuanya harus ditarik atau dikatrol oleh tali. Bangunan 6 biara di Meteora sangat kuat dan tetap berdiri tegak sejak awal abad 11 Masehi karena didirikan di bukit-bukit batu karang.  Kita juga dapat melihat bangunan candi Borobudur juga seluruhnya terbuat dari batu. Candi Borobudur  merupakan candi Budha, yaitu Budha Mahayana yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Candi ini didirikan sekitar abad VIII pada masa pemerintahan dinasti Syailendra. Semua bangunan tersebut di atas tetap kokoh dan kuat sepanjang zaman, sebab dibangun di atas pondasi batu. Sehingga sangatlah tepat pengajaran Tuhan Yesus yang mana Dia berkata: “Setiap orang yang  mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu” (Mat. 7:24-25).

Di I Petr. 2, Tuhan Yesus disimbolkan sebagai “batu penjuru yang hidup dan mahal”. Umat percaya dipanggil untuk mendasarkan kehidupannya di atas batu yang hidup yaitu Tuhan Yesus Kristus. Di I Petr. 2:6, Tuhan Yesus disebut sebagai “batu yang terpilih dan batu penjuru yang mahal” (a chosen and precious cornerstone); sehingga barangsiapa yang  percaya kepadaNya tidak akan dipermalukan. Disebut sebagai batu pilihan, karena diri Tuhan Yesus telah dipilih secara khusus oleh Allah. Dia telah ditentukan oleh Allah menjadi pondasi kehidupan dan keselamatan, sehingga orang yang percaya kepadaNya akan sama seperti bangunan yang didirikan di atas batu. Dan sebagai batu penjuru, Tuhan Yesus menjadi dasar pertama dan yang utama sehingga Dialah yang menentukan seluruh posisi bangunan keseluruhannya. Ini berarti makna Tuhan Yesus sebagai “batu yang terpilih dan batu penjuru yang mahal” pada hakikatnya merupakan panggilan agar setiap jemaat mau menjadikan Tuhan Yesus sebagai Juru-selamat yang menentukan seluruh posisi dan tujuan dari kehidupannya sekaligus juga mau menjadikan Tuhan Yesus sebagai dasar dari seluruh kehidupan mereka. Ini berarti pusat dan arah kehidupan umat manusia khususnya umat Kristen adalah diri Tuhan Yesus Kristus; bukan lagi sistem keagamaan berupa:  ritual ibadah dan pengajaran atau filosofi religius,  juga bukan hikmat dan pengertian manusia untuk mencapai keselamatan. Itu sebabnya di kitab Wahyu, Tuhan Yesus menyebut diriNya, yaitu sebagai: “Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Why. 1:8). Dalam pemahaman ini Tuhan Yesus menyebut diriNya sebagai “Alfa dan Omega” yang kita tahu menunjuk kepada huruf  pertama dan huruf terakhir dalam bahasa Yunani. Jadi makna dari Kristus sebagai “Alfa dan Omega” pada hakikatnya mau menyatakan Dialah yang memiliki kuasa di sorga dan di bumi. Kristus pula yang mengawali seluruh kehidupan dan juga Dia sebagai tujuan paripurna dari seluruh kehidupan ini. Seluruh kehidupan pada hakikatnya bergerak ke arah Kristus sebagai “titik Omega”. Dengan kehadiran, pelayanan dan karya penebusanNya Kristus telah membawa sejarah dan kehidupan manusia sepenuhnya berada dalam genggaman tanganNya. Sejarah dan kehidupan umat manusia tidak berjalan secara liar dan acak, tetapi bergerak secara dinamis ke  arah Kristus sebagai pusat tujuan “akhir zaman” (eskatologis). Kristus akan menjadi Hakim yang mengadili setiap orang. Itu sebabnya sikap percaya kepada Kristus pada hakikatnya tidak mungkin dapat ditawar atau dikompromikan dengan kepercayaan atau agama manapun.

Selain itu surat I Petr. 2:5 menyimbolkan jemaat yang percaya kepada Kristus sebagai “batu-batu hidup” untuk pembangunan suatu rumah rohani, yaitu: “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani, yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah”.  Di surat I Petr. 2:5 setiap orang percaya kepada Kristus disimbolkan sebagai “batu-batu hidup untuk kepentingan pembangunan rumah rohani”. Kita mengetahui bahwabangunan kota Petra di Yordania bukan hanya dibangun di atas pondasi batu, tetapi juga dinding dan atapnya terbuat dari batu-batu yang kokoh. Juga bangunan biara gereja Orthodoks Meteora di Yunani, dinding-dinding dan atapnya terbuat dari batu. Demikian pula struktur dan bahanbangunan candi Borobudur. Seluruh dinding dan atap candi Borobudur terbuat dari batu. Karena semua bahan terbuat dari batu dan didirikan di atas batu maka semua bangunan tersebut mampu bertahan selama berabad-abad dan tidak pernah roboh oleh gempa dan badai. Demikian pula kehidupan spiritualitas jemaat. Manakala spiritualitas dan iman mereka kokoh dan kuat seperti batu, maka kehidupan mereka dapat menjadi struktur dari bangunan rohani yang tidak pernah punah  atau hancur walau mereka harus melewati berbagai terpaan dan pukulan yang terjadi dalam kehidupan ini. Tampaknya penggunaan istilah “pembangunan rumah rohani” di I Petr. 2  menunjuk kepada konstruksi bangunan Bait Allah. Kini bangunan Bait Allah telah hancur karena dihancurkan oleh tentara Romawi tahun 70 Masehi sehingga hanya menyisakan  “tembok ratapan” (wailing wall).  Tetapi dari penggalian arkeologis  dan dengan bantuan teknologi, para ahli dapat mengetahui secara akurat detil ukuran dan berat dari batu-batu di dinding tembok ratapan tersebut.  Batu-batu penyanggah di tembok ratapan ternyata beratnya bisa mencapai 2 – 8 ton. Bahkan salah satu batu yang terbesar di bagian Utara Bait Allah panjangnya dapat mencapai 13 meter dengan berat sekitar 570 ton! Dalam hal ini kehidupan setiap anggota jemaat yang percaya kepada Kristus diumpamakan seperti “batu-batu hidup” yang tersusun rapi dalam bangunan “Bait Allah”, yaitu “tubuh Kristus”. Manakala dinding dan tiang penyanggah Bait Allah terbuat dari “batu-batu yang mati”, maka kita semua yang percaya kepada Kristus dipanggil untuk menjadi “batu-batu hidup” sehingga oleh kuasa penebusanNya kita dapat menjadi media bagi pelayanan imamat yang kudus. Ini berarti kehidupan dan spiritualias umat beriman dipahami secara fungsional. Mereka dapat disebut sebagai “batu-batu hidup” dalam bangunan tubuh Kristus apabila spiritualitas mereka dapat tersusun secara rapi dan efektif menunjang seluruh karya keselamatan Allah. Tetapi apabila mereka hanya berfungsi sebagai “batu-batu yang mati” sebagai simbol sikap tidak percaya dan tidak hidup sebagai umat tebusan, maka Kristus akan berubah menjadi batu sandungan atau batu sentuhan. I Petr. 2:8 berkata: “Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada Firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan”. 

                Makna kehidupan dan spiritualitas jemaat yang berfungsi sebagai “batu-batu hidup” dalam pembangunan rumah rohani yaitu tubuh Kristus diuraikan secara rinci dalam surat I Petr. 2:9 yaitu: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib”. Pemilihan Allah terhadap kita sebagai “bangsa yang terpilih” sama sekali bukan karena kita layak untuk dipilih oleh Allah. Kita sebenarnya tidak layak untuk dipilih oleh Allah. Pemilihan Allah kepada kita didasarkan karena Kristus yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi batu penjuru yang mahal agar kita dapat berperan sebagai “batu-batu hidup” dalam pembangunan rumah rohani yaitu terlibat dalam karya keselamatan Allah.  Makna menjadi “imamat yang rajani” jelas menunjuk peran kita sebagai seorang imam dan raja. Dalam jabatan “imamat am”, kita dipanggil untuk mempersembahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan; dan tugas jabatan sebagai “raja”, karena kita dipanggil untuk mampu memimpin diri sendiri dalam ketaatan dan kesetiaan untuk melakukan kehendak Allah. Karena kita dipanggil untuk menjadi “batu-batu hidup” maka spiritualitas kita wajib ditandai oleh kekudusan, yaitu suatu kehidupan yang “disendirikan secara khusus” yaitu kehidupan tidak lagi dipengaruhi oleh pola-pola duniawi. Sehingga dengan peran dan fungsi yang demikian, kita dapat menjadi umat kepunyaan Allah sendiri. Jadi keempat jabatan rohani, yaitu: bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus dan umat kepunyaan Allah merupakan kualifikasi dari spiritualitas umat yang secara efektif menjadi “batu-batu hidup”. Manakala setiap umat yang percaya memiliki keempat kualifikasi jabatan dan fungsi rohani itu pastilah kehidupan mereka akan dikendalikan secara menyeluruh oleh Kristus, sang batu penjuru. Sebaliknya ketika kita mengabaikan keempat kualifikasi jabatan dan fungsi rohani itu, maka kehidupan kita akan ditandai oleh: “kejahatan, tipu-muslihat, kemunafikan, kedengkian,dan  fitnah” (I Petr. 2:1). Dalam situasi di mana kita hidup dalam kuasa dosa, maka Tuhan Yesus tidak lagi menjadi batu penjuru yang menentukan arah dan posisi hidup kita tetapi Dia berubah menjadi batu sandungan, sehingga kita akan tersandung dan hidup  di bawah murka Allah.

                Ini berarti selama kita masih hidup di dalam dunia ini, selaku umat Allah kita dipanggil untuk menciptakan pembangunan rumah rohani, yaitu “persekutuan umat percaya” di mana setiap diri kita mampu memerankan fungsi sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus dan umat kepunyaan Allah sendiri. Fungsi dan peran sebagai “batu-batu hidup” tersebut perlu kita lakukan dengan setia walaupun kita sedang menghadapi tekanan,  bahaya dan penderitaan bahkan ancaman kematian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering hanya dapat memerankan sebagai “batu-batu hidup” dalam pembangunan rumah rohani ketika kita dalam keadaan sejahtera, aman dan tanpa permasalahan yang berarti. Tetapi manakala kita sedang menghadapi suatu bahaya, penderitaan apalagi bahaya maut maka spiritualitas kita sering berubah dari “batu-batu hidup” menjadi “batu-batu yang mati”. Orientasi iman kita yang semula menjadikan Kristus sebagai batu penjuru atas seluruh kehidupan kita berubah drastis menjadi “batu sandungan”. Tidaklah demikian sikap  Stefanus selaku hamba Kristus. Stefanus berani menyatakan kesaksian imannya dengan teguh. Dia menegur sikap para pemimpin agama Yahudi yang tetap mengeraskan hati dengan menolak Kristus. Penolakan para pemimpin agama Yahudi terhadap diri Kristus dinyatakan oleh Stefanus dengan pernyataan: “Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu” (Kis. 7:51). Akibatnya para pemimpin agama Yahudi tersebut sangat marah dan menyambut teguran Stefanus dengan gertakan gigi. Lalu mereka segera menyeret Stefanus dan menghukum dia dengan hukum rajam sampai mati. Sebelum Stefanus wafat, disebutkan: “Tetapi Stefanus yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah” (Kis. 7:55). Kemudian ucapan terakhir yang disampaikan sebagai doa permohonan oleh Stefanus adalah: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (Kis. 7:60). Stefanus mengikuti teladan Tuhan Yesus yang tetap mengutamakan pengampunan kepada para musuhnya. Jadi nyatalah bahwa Stefanus berhasil menjadi “batu-batu hidup” yang mana sampai saat terakhir dia tetap menjadikan Kristus sebagai batu penjurunya. Kualitas iman dan spiritualitas Stefanus sebagai “batu yang hidup” telah teruji sampai akhir hidupnya. Dia juga terbukti mampu setia menjadikan Kristus sebagai “batu penjuru” atas seluruh kehidupannya. Sehingga dia dianugerahi oleh Allah untuk menyaksikan kemuliaanNya dan jaminan keselamatan berupa “rumah rohani”, yaitu kehidupan sorgawi. Seandainya Stefanus waktu itu gagal untuk menjadi rumah rohani selama dia hidup di dunia ini, maka pastilah dia juga tidak akan memperoleh rumah rohani di sorga.
               
                Di Yoh. 14:1-3 Tuhan Yesus berjanji akan menyediakan tempat di sorga atau “rumah rohani” yang paripurna bagi setiap orang yang percaya. Karena itu Tuhan Yesus menasihati kita agar kita tidak gelisah di tengah-tengah dunia yang keras dan kejam ini. Sebagaimana yang dialami oleh Stefanus, saat ini kita juga dapat menyaksikan berbagai peristiwa kekerasan dan kekejaman di sekeliling kita. Sebagaimana dahulu para pemimpin agama Yahudi melakukan kekerasan dan kekejaman atas nama Tuhan, demikian pula pada masa kini kita juga dapat melihat begitu banyak kekerasan dan kekejaman atas nama Allah. Para pelaku kekerasan dan kekejaman tersebut selalu merasa telah melakukan segala hal yang dianggap berkenan di hati Allah. Tahukah saudara bahwa saat ini kebenaran setiap agama sedang diuji. Apabila dalam prakteknya agama-agama  melakukan kekerasan dan kekejaman, maka mereka telah membuktikan “ketidakbenarannya”. Makna “kebenaran” dari agama-agama sebagai rumah rohani kini tidak hanya ditentukan oleh pengajaran dan istilah-istilah yang serba rohani. Tetapi yang terutama adalah apakah pengaruh spiritualitas dan pengajaran agama tersebut dalam kehidupan nyata terbukti mampu menciptakan damai-sejahtera, menolak setiap kekerasan dalam bentuk apapun, memberi penghargaan yang sangat tinggi atas nilai-nilai kehidupan dan perbedaan keyakinan atau agama yang berbeda. Inilah tugas setiap orang yang beragama, yaitu menjadi batu-batu hidup untuk pembangunan rumah rohani bagi seluruh umat manusia.  Karena itu saat ini bagi setiap kita wajib memerankan fungsi dan perannya sebagai “batu-batu hidup” yang sungguh-sungguh bertumpu di atas “batu penjuru” yaitu Tuhan Yesus Kristus. Sebab Kristus bukan hanya  satu-satunya “jalan” untuk menuju rumah rohani yaitu sorga, tetapi juga Dia adalah “kebenaran dan hidup”. Di dalam iman kepada Kristus, kita dapat menemukan kebenaran yang  membebaskan, dan kehidupan yang kekal. Sehingga tanpa Kristus, umat manusia akan tersesat dan binasa. Namun apabila setiap orang telah berjumpa dengan Kristus secara pribadi, sesungguhnya mereka telah melihat kehadiran Allah dalam kehidupan ini. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Sekiranya  kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal BapaKu. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia” (Yoh. 14:7). Jika demikian, apakah kita bersedia untuk memerankan sebagai “batu-batu hidup” untuk pembangunan rumah rohani? Apakah kita juga bersedia menjadikan Kristus sebagai batu penjuru, sehingga tujuan dan dasar hidup kita hanya berpijak kepada Dia walau kita mendapat tawaran fasilitas untuk meninggalkan Kristus? Sayangnya betapa sering kita masih menjadikan “pribadi-pribadi” tertentu sebagai batu penjuru kita. Kita harus selalu kritis dan waspada terhadap “orang-orang tertentu” yang mengklaim diri sebagai memiliki hubungan khusus dengan Kristus atau orang-orang yang merasa mendapat wahyu khusus dari Tuhan. Mereka tidak pernah dapat menggantikan kedudukan Kristus sebagai batu penjuru. Jika demikian, mengapa dasar dan arah hidup kita ditentukan oleh kekuatan manusia? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar