Minggu, 20 Februari 2011

MEMPEROLEH KRISTUS BERARTI MENDAPAT SEMUANYA



Ayb. 42:1-6, 10-17; Mzm. 126; Ibr. 7:23-28; Mark. 10:46-52

Pengantar
    Saya sempat mengamati gejala yang sangat memprihatinkan di beberapa negara Eropa termasuk Australia di mana banyak orang 
meninggalkan iman Kristen. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh sekulerisme. Pencetus istilah sekulerisme, yakni George Holyoake tahun 1946 sebenarnya tidak pernah bermaksud memahami istilah sekulerisme sebagai suatu argumen atau ideologi untuk menentang iman Kristen. Lebih tepat sekulerisme dipahami sebagai pola kehidupan yang ditandai oleh kebebasan beragama dan juga sikap keagamaan yang tidak lagi menentukan keputusan politis. 
    Jadi dalam pengertian sekulerisme, kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya kunci untuk memahami realita dunia ini. Walau dengan  sikap  yang demikian tidak berarti paham sekulerisme harus identik dengan sikap ateisme, karena sebagian orang yang menganut nilai-nilai sekulerisme tetap mampu menjadi seorang yang religius dan setia 
mempraktekkan nilai-nilai keagamaan atau iman Kristen demi kesejahteraan masyarakat. Tetapi bagi beberapa orang sikap sekulerisme tersebut dapat bergeser menjadi sikap yang atheistik. Di mana mereka menganggap agama bahkan Yesus Kristus tidak lagi menentukan pemikiran dan keputusan hidup mereka. Mereka merasa mampu mengambil sikap dan keputusan yang benar tanpa harus dilandasi oleh iman kepada Kristus. Tampaknya kecenderungan terakhir inilah yang sedang berkembang di berbagai negara atau banyak orang karena mereka merasa tidak memperoleh sesuatu yang berarti dari Tuhan Yesus, sehingga mereka memilih untuk meninggalkanNya. Pertanyaan yang mendasar dari orang-orang yang merasa tidak memperoleh sesuatu dari Kristus adalah: “Apakah yang dapat diberikan Yesus Kristus di tengah-tengah dunia yang saat ini telah memiliki semua fasilitas, perlengkapan, teknologi dan sistem sosial yang serba lengkap?” Jawabnya kalau dunia dan sistem yang tersedia sudah lengkap, untuk apa kita harus percaya dan memohon kepada Kristus? Sebab bukankah untuk memenuhi berbagai kebutuhan spiritualitas seperti perasaan damai dan tenang, manusia modern juga dapat memperoleh latihan meditasi, yoga dan yang sejenis?

Sekuler Dan Sekulerisme
  
  Istilah “sekuler” berasal dari kata “saeculum” yang berarti zaman atau era. Pada abad pertengahan, kata “saeculum” dipakai untuk menunjuk kehidupan masa kini dan bukan kehidupan yang akan datang. Gerakan Reformasi yang dilakukan oleh Luther dan Calvin
abad XVI menegaskan bahwa umat beriman perlu disadarkan akan makna kehidupan pada masa kini, agar mereka tidak terus berpaling atau lari ke kehidupan masa depan (“sorga”). Sehingga mereka didorong untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab imannya di masa kini dengan sepenuh hati. Sikap iman yang demikian justru akan mendorong umat percaya menjadi orang-orang yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing. Jadi makna sikap “sekuler” pada hakikatnya sesuatu yang positif dan membangun sebab akan mendorong manusia untuk menghargai keberadaan dan nilai-nilai hidup pada masa kini.  Tetapi kemudian beberapa orang menjadikan sikap “sekuler” tersebut berubah menjadi sekulerisme yang intinya tidak memberi tempat sama sekali kepada peran Allah dalam kehidupan umat manusia. Kalau agama atau iman tetap dipertahankan karena dianggap dapat melayani kebutuhan fisik atau jasmaniah dalam kehidupan masa kini. Sikap sekulerisme telah mendorong manusia untuk memperhatikan dimensi hidup yang serba temporal dan terbatas pada masa kini (totally temporal and this-worldly). Orang-orang yang memiliki sikap sekulerisme kemudian menganggap ilmu pengetahuan, teknologi, fasilitas dan sistem kehidupan yang serba lengkap sebagai lengan yang mampu menggantikan peran Allah dan Kristus. Semua hasil teknologi, ilmu pengetahuan dan berbagai fasilitas pendung tersebut dianggap dapat menggantikan peran Allah dan Kristus. Sehingga apabila mereka telah menerima bantuan dari hasil ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mudah, maka mereka menganggap tidak lagi memerlukan pertolongan Allah dan Kristus. Dengan sikap yang demikian, para penganut sekulerisme telah menjadikan ilmu pengetahuan, teknologi atau fasilitas-fasilitas pendukung sebagai para ilah. Pada sisi lain, Allah dan Kristus dianggap telah lumpuh bahkan telah mati. Minimal mereka  telah menganggap Allah dan Kristus tidak lagi mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginan mereka. Seakan-akan keberadaan dan kuasa Allah atau Kristus harus diukur dari apa yang dapat mereka kehendaki atau ingini. Mereka lupa bahwa kehidupan yang mereka miliki sama sekali bukan berasal dari hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan fasilitas penunjang yang paling canggih sekalipun. Kehidupan setiap umat manusia merupakan wujud dari anugerah dan pemeliharaan Allah.

Deus Otiosus
    Pengaruh dari sekulerisme dapat membuat seseorang bersikap atheistis sebab dia menganggap bahwa seluruh proses dan peristiwa kehidupan terjadi karena suatu energi alam yang tidak personal. Kehidupan dan alam semesta ini kemudian terbentuk menjadi “generatio spontaneae” (kehidupan yang terjadi secara spontan). Namun sekulerisme tidak selalu harus membuat seseorang menjadi atheistis. Dalam konteks ini umat yang menganut sikap sekulerisme tetap mampu percaya akan keberadaan Allah. Namun sikap percaya di sini adalah sikap percaya yang bersifat deistis. Maksud dari sikap percaya yang deistis adalah mereka percaya 
penuh bahwa Allah adalah Pencipta seluruh alam semesta dan seisinya, tetapi Allah tidak campur-tangan dalam pemeliharaan kepada setiap mahluknya. Setelah Allah mencipta, Dia menganggur (pensiun). Inilah yang dimaksudkan dengan pengertian “Deus Otiosus” atau kadang-kadang juga disebut dengan “deus absconditus” sebab Allah dianggap tidak mengurusi permasalahan, kesusahan dan penderitaan umat manusia. Dalam pemahaman “deus otiosus” atau “deus absconditus”, keberadaan dan peran Allah tersembunyi dan jauh dari realita kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya Thomas Aquinas (1225-1274) menyebut “deus otiosus” identik dengan Allah yang tersembunyi (“hidden god”). Allah tidak lagi hadir dan berperan sehingga Dia membiarkan umatNya untuk mengalami penderitaan seorang diri. Jika Allah bersikap demikian, untuk apakah umat harus percaya dan menyembah Allah yang absen dalam realita kehidupan ini? Tentunya umat tetap perlu menyembah Allah yang telah menciptakan dan memberi hidup. Tetapi umat dalam kehidupan sehari-hari harus mampu berjalan sendiri menangani setiap permasalahan dan penderitaan yang terjadi. Jadi pemahaman “deus otiosus” hanya berhasil mendorong umat untuk percaya akan keberadaan Allah, tetapi mereka tidak lagi terdorong untuk mengasihiNya. Karena itu dengan sikap iman yang deistis (“deus otiosus”) umat cenderung memilih untuk mengandalkan ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai fasilitas canggih yang tersedia atau kuasa-kuasa lain yang dianggap mampu mengatasi setiap persoalan mereka. 

Mata Iman
    Keberadaan Allah yang tersembunyi merupakan fakta iman. Allah yang ilahi adalah Allah yang tidak tampak dan kadang-kadang tidak terlihat bagaimana peranNya dalam suatu peristiwa. Dalam kondisi yang demikian umat sering merasa Allah tidak lagi peduli dengan setiap persoalan dan pergumulan atau penderitaan mereka. Apalagi jika kita sering terbelenggu oleh beberapa “ideologi” seperti pandangan sekulerisme yang menisbikan seluruh peran Allah dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sikap tersebut dapat mendorong umat untuk menutup setiap ruang diskusi tentang makna iman dalam kehidupan sehari-hari. Sebab mereka merasa tidak 
berhasil memperoleh berkat dan pemeliharaan Allah yang konkret. Bagi mereka, doa permohonan tidak lagi menjadi sesuatu yang bermakna. Apabila Allah itu sungguh-sungguh hidup dan berkuasa, apakah Dia  masih mau peduli dengan setiap kesulitan dan permasalahan kita? Ataukah Dia adalah Allah yang telah pensiun (deus otiosus) dan tidak lagi mampu memelihara serta menyelamatkan umatNya? Mata jasmaniah kita seringkali buta untuk membaca tanda-tanda zaman di mana Allah berkarya dalam sejarah dan kehidupan umat manusia. Tetapi di Mark. 10:46-47 menyaksikan seorang buta bernama Bartimeus anak Timeus memiliki sikap yang berbeda. Walaupun dia buta sehingga hanya mengandalkan indera telinganya, Bartimeus mampu melihat kehadiran Yesus Kristus selaku Mesias yang dijanjikan oleh Allah. Itu sebabnya Bartimeus berseru: “Yesus, anak Daud, kasihanilah aku!” (Mark. 10:47, 48). Dia terus berseru memanggil Tuhan Yesus walaupun banyak orang yang menegornya supaya dia diam. Bartimeus memiliki mata iman yang memampukan dia untuk melihat kehadiran Allah yang tersembunyi di dalam diri Kristus, sehingga dia berseru memohon belas-kasihan agar Kristus berkenan peduli dan menolong serta menyembuhkan matanya. 

    Sikap Bartimeus tersebut tentu sangat kontras dengan sikap orang banyak khususnya para pemuka agama Yahudi. Mereka sering melihat begitu banyak karya mukjizat dan pengajaran Tuhan Yesus. Mungkin mereka sangat kagum akan kuasa ilahi yang hadir dalam diri Tuhan Yesus. Tetapi tidak berarti sikap mereka tersebut memperlihatkan sikap iman kepada Tuhan Yesus. Dengan demikian sikap iman merupakan suatu karunia yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, sehingga dia mampu melihat dengan jeli sesuatu yang tidak terlihat oleh mata inderawi. Sehingga dengan mata imannya seseorang dimampukan untuk membaca 
tanda-tanda kehadiran Allah dalam suatu peristiwa yang mungkin secara inderawi hanya sekedar suatu kejadian sehari-hari. Bukankah yang didengar oleh Bartimeus bukan sesuatu yang luar-biasa? Bartimeus hanya mendengar seseorang bernama Yesus dari Nazaret sedang lewat. Pada zaman itu orang banyak  tentu telah biasa mendengar dan melihat Yesus dari Nazaret berjalan-jalan di dekat jalan atau rumah mereka. Tetapi mereka tidak akan begitu mudah untuk percaya bahwa Yesus adalah sang Mesias. Dalam kisah Injil tidak setiap orang yang sakit dan menderita mau memohon agar mereka disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Kalau mereka berusaha datang kepada Tuhan Yesus untuk disembuhkan tidak berarti karena mereka percaya dan mengakui Dia selaku Juru-selamatnya. Mereka hanya butuh kuasaNya untuk menyembuhkan, tetapi tidak secara otomatis mereka bersedia menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan Yesus. Tetapi tidaklah demikian sikap Bartimeus. Setelah dia disembuhkan matanya oleh Tuhan Yesus, Bartimeus disebutkan “mengikut Tuhan Yesus dalam perjalananNya” (Mark. 10:52). Seruan Bartimeus yang memohon belas-kasihan dan kemurahan hati Tuhan Yesus tidak berakhir setelah dia disembuhkan, tetapi dilanjutkan dengan keputusannya untuk mengikut Tuhan Yesus. 

MukjizatNya Tidak Identik Dengan Diri Kristus
    Sikap sekulerisme yang sebagian mendorong orang untuk menjadi “atheistis” (tidak percaya kepada keberadaan Allah) dan sebagian mendorong orang untuk menjadi “deistis” (hanya percaya kepada Allah pencipta dan bukan pemelihara) seringkali tidak disadari oleh umat percaya (theistis) sebagai akibat ulah dan tingkah-laku mereka sendiri. Umat percaya sering mengecam 
orang-orang yang menjadi atheistis dan deistik, tetapi mereka tidak menyadari bahwa sikap dan tingkah-laku yang sering menjadi batu sandungan. Sebab orang-orang yang sering menganggap dirinya umat percaya (theistis) justru memperlakukan Allah dan Kristus hanya selaku “obyek” untuk memenuhi berbagai kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Tepatnya orang-orang yang merasa dirinya percaya sering menempatkan mukjizat kesembuhan sedemikian rupa, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka memperlihatkan sikap yang duniawi dan jauh dari sikap moral. Dalam hal ini orang-orang yang mengklaim percaya kepada Allah dalam hidup sehari-hari justru sering memperlihatkan sikap atheistis (jauh dari sikap iman) yang tidak bermoral. Padahal pada sisi lain cukup banyak orang yang menganggap dirinya seorang yang atheistis dalam kehidupan sehari-hari justru mereka memperlihatkan sikap yang sangat etis dan bermoral. Sehingga jelaslah bahwa sikap umat yang menganggap dirinya percaya (theisme) sering hanya terbatas pada harapan dan keinginan memperoleh berkat dan mukjizat dari Kristus. Mereka berdoa, beribadah dan melayani dengan sungguh-sungguh dengan harapan agar hidup mereka dikaruniai berbagai berkat dan mukjizat-mukjizat ilahi. Sehingga dengan pemberian berkat dan mukjizat-mukjizat dari Kristus tersebut mereka dapat berada di posisi yang lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sesama yang kurang memperoleh berkat dan mukjizat. Dengan demikian sikap “theisme” dari umat yang mengklaim diri sebagai umat percaya sebenarnya sering dilatar-belakangi oleh sikap rohani yang sangat materialistis. Di balik kehausan kerohaniannya, umat percaya justru sering memperlihatkan kehausan dan keserakahannya akan hal-hal yang duniawi. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau orang-orang yang menganut paham sekulerisme menuduh umat beragama sebagai kelompok orang-orang yang munafik dan malas bekerja. Bahkan menurut Frederick Nietzche, umat Kristen pada zaman itu dianggap sebagai kelompok yang bermental budak (herden-moral), sebab umat Kristen tidak memperlihatkan sikap hidup yang ulet, rajin dan bertanggungjawab. 

    Apabila kita memperlakukan Allah atau Kristus hanya sekedar sebagai obyek untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan pribadi yang duniawi, sebenarnya kita telah bersikap  secara atheistis dalam arti yang sesungguhnya. Sebab Allah dan Kristus hanya menjadi obyek dari segala kepentingan diri sendiri. Kita menyembah dan beribadah kepadaNya hanya bertujuan untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Sehingga yang kita harapkan atau inginkan dari Kristus hanyalah kuasa mukjizatNya. Kita seringkali secara faktual tidak terlalu mengharapkan relasi yang personal dan akrab dengan Tuhan Yesus. Seperti seseorang yang berbisnis yang 
tujuan utamanya adalah keuntungan yang besar. Dia akan selalu berusaha berlaku baik dan ramah kepada setiap para pelanggannya dengan harapan mereka berminat untuk membeli barang-barang yang ditawarkan. Namun di luar konteks penawaran barang, dia akan kembali kepada watak aslinya, yaitu sikap egoistis dan tidak peduli dengan orang lain.  Padahal sikap iman yang benar pada hakikatnya akan senantiasa menempatkan Allah dan Kristus selaku subyek ilahi yang berdaulat, penuh kuasa dan memiliki kehendak bebas sesuai dengan kemurahanNya. Mereka sungguh-sungguh percaya dan mengasihi Allah atau Kristus dalam sikap yang murni dan hati yang tulus walaupun dalam realita hidup Allah atau Kristus tidak senantiasa memenuhi seluruh harapan dan keinginan mereka. Sikap iman yang demikian tidak pernah mempersoalkan apa yang dapat mereka peroleh dari Kristus. Sebab yang mereka harapkan dari Kristus adalah anugerah keselamatanNya yang memampukan mereka untuk mengenal dan bertumbuh secara pribadi dalam kuasa kasihNya. Tepatnya sikap iman kepada Kristus lebih ditujukan kepada pengalaman akan penyataanNya selaku Tuhan dan Juru-selamat atas kuasa dosa dibandingkan hanya sekedar sebagai penyembuh ilahi atau pemberi berkat jasmaniah. Itu sebabnya mereka mampu bersyukur atas anugerah keselamatan dalam karya penebusan Kristus, walaupun secara duniawi mereka tidak memperoleh kekayaan yang berlimpah-limpah atau kesembuhan fisik yang prima. Bagi mereka makna keselamatan dalam karya penebusan Kristus telah cukup. Karya penebusan Kristus lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan seluruh berkat kekayaan atau kesembuhan atas penyakit jasmaniahnya.


Keunikan Imamat Kristus
    Karya keselamatan dan penebusan Kristus berkaitan erat dengan jabatanNya selaku Imam Besar. Surat Ibrani pasal 7 menjelaskan bagaimana jabatan imamat yang dimiliki oleh Kristus didasarkan pada peraturan Imam Melkisedek, dan bukan menurut peraturan Harun. Pengertian jabatan imam besar menurut Harun pada hakikatnya didasarkan kepada keturunan atau garis darah. Yang diperkenankan menjadi imam besar dalam peraturan Harun adalah mereka yang menjadi anak dan cucu  biologis dari Harun. 
Sehingga lingkup jabatan imam besar Harun hanya terbatas kepada lingkup umat Israel belaka. Tetapi tidaklah demikian jabatan imam besar menurut Melkisedek. Sebab tokoh Melkisedek adalah seorang tokoh yang tidak memiliki bapa, ibu dan silsilah. Surat Ibr. 7:3 menguraikan Melkisedek yaitu: “Ia tidak berbapa, tidak beribu , tidak bersilsilah,   harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah,  ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya”. Dengan demikian tokoh Melkisedek secara teologis menunjuk kepada tokoh Tuhan Yesus yang secara faktual  tidak memiliki ayah secara biologis. Jabatan ke-Imam-an Tuhan Yesus juga tidak didasarkan kepada garis silsilah.  Keberadaan Kristus juga tidak berawal dan hidupNya tidak berkesudahan sebagai Anak Allah. Selain itu Tuhan Yesus seperti imam Melkisedek tidak mengenal maut atau kematian. Hidup Kristus secara hakiki kekal dan sanggup menyelamatkan secara sempurna setiap orang yang percaya kepadaNya. Selaku Imam Besar yang saleh, tanpa cela dan tanpa noda - Kristus mampu menjadi seorang Pengantara di hadapan Allah. Sebab Kristus tidak seperti imam besar lainnya yang masih harus mengorbankan terlebih dahulu kurban untuk mendamaikan dosa-dosa pribadinya. Sehingga saat kematianNya di atas kayu salib Tuhan Yesus dapat menjadi penebus yang mendamaikan dosa-dosa seluruh umat manusia. Dengan lugas Ibr. 7:25 memberi kesaksian, yaitu: “Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan  dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah.  Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka”. 

     Apabila kedudukan dan misi khusus Tuhan Yesus datang ke dalam dunia adalah untuk menjadi pengantara yang sempurna atau Juru-selamat, maka kita tidak boleh mereduksinya hanya sebagai pemberi berkat dan pembuat mukjizat. Perjumpaan kita dengan Kristus harus membawa diri kita kepada tindakan untuk mengikuti Dia sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bartimeus. Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang tidak dilanjutkan dengan tindakan untuk mengikuti Dia sebenarnya sama seperti 
pengalaman romantisme iman belaka. Yang mana pengalaman iman yang demikian hanya indah untuk dikisahkan, tetapi secara faktual hanya sia-sia sebab tidak dapat diwujudkan dalam perbuatan nyata menjadi pengikut Kristus. Bukankah kita dapat melihat beberapa kisah kesaksian iman yang tampaknya sangat indah dan menyentuh hati, tetapi ternyata kehidupan mereka sehari-hari sangat bertentangan dengan nilai dan prinsip dari Tuhan Yesus? Padahal kesaksian iman kita juga perlu memberitakan tentang pengalaman suka-duka saat mengikut Kristus yaitu pengalaman iman yang sering sangat berat saat kita harus belajar menyangkal diri dan menderita bagi Dia. Dunia juga perlu mendengar bagaimana umat percaya seringkali mengalami perasaan gelisah dan tawar hati saat mengikut Kristus. Sebab pengalaman mengikut Kristus harus melalui berbagai  godaan dan tantangan, tetapi tahap demi tahap ternyata kita dikuatkan oleh kasih karuniaNya. Bukankah kadang-kadang kita merasa berjalan seorang diri saat mengikut Kristus dan tidak ada orang yang mampu mengerti kondisi pergumulan iman kita? Tetapi pada saat yang tepat ternyata Kristus berkenan menyatakan diriNya bahwa kita tidak sendirian berjuang dan berjalan mengikut Dia. Bahkan kadang-kadang kita merasa mata rohani kita terlihat sangat letih dan enggan melangkah mengikut Kristus, sebab kita tidak lagi mampu melihat kehadiran Kristus di tengah-tengah persoalan dan pergumulan kita. Tetapi ajaibnya hari demi hari kita dimampukan dan dilatih untuk semakin peka akan kehadiranNya. Pengalaman rohani yang demikian mengajar kepada kita bahwa Tuhan Yesus selalu mendoakan setiap umatNya dengan setia.  Sebagai seorang pengantara yang sempurna, Tuhan Yesus terus membela dan menopang diri kita  sehingga kehidupan kita yang penuh dengan cacat -cela atau dosa dibungkus oleh anugerah pengampunan Allah. Di dalam iman kepada Kristus, kita tidak dimampukan untuk “memiliki” semua hal, tetapi sebenarnya yang lebih utama lagi adalah bagaimana kita harus “menjadi” anak-anak Allah yang dipanggil untuk mengalahkan kuasa dunia ini. 

Tercelik Terhadap Penyataan Allah
    Sikap yang atheistis pada prinsipnya tidak mampu melihat dan mengimani kehadiran Allah atau karya Allah dalam sejarah kehidupan umat manusia. Penyebabnya karena mereka gagal melihat kehadiran Allah dalam berbagai peristiwa dan perjumpaan dengan sesama. Allah iman Kristen memang bukan Allah yang “pantheistis” yaitu Allah yang identik dengan setiap obyek dalam alam 
semesta ini. Tetapi Dia adalah Allah yang berkenan menghadirkan diriNya dalam setiap karya ciptaanNya. Itu sebabnya Allah iman Kristen adalah Allah yang maha hadir (omnipresent) dan mampu menggunakan setiap karya ciptaanNya untuk menyatakan diri atau karyaNya. Demikian pula bagi orang-orang yang hanya menganut keyakinan Allah hanya sebagai pencipta dan bukan sebagai pemelihara (pandangan Deisme) sering mengabaikan bagaimana melalui proses sejarah dan rangkaian peristiwa, Allah menyatakan pemeliharaanNya yang ajaib. Dari pada kita mempersoalkan wujud pemeliharaan Allah di tengah-tengah kekejaman dan ketidakadilan adalah lebih baik jika kita bersedia menjadi tangan, kaki, mulut dan mata bagi Kristus. Sebab makna “memperoleh Kristus” sebenarnya identik dengan panggilan untuk “mengikut Kristus” secara faktual. Sehingga saat kita menjadi pengikut Kristus, kita berperan sebagai hamba-hambaNya yang berjuang bersama Dia. Dengan sikap iman yang demikian, kita tidak akan mudah berkeluh-kesah dan putus-asa seperti Ayub saat dia didera oleh berbagai penderitaan. Namun pada sisi yang lain seperti Ayub yang akhirnya berhasil mengatasi pergumulan dan penderitaannya, seharusnya kita juga bersama Ayub mengaku di hadapan Allah dengan rendah hati, yaitu: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb. 42:5-6). Melalui proses perjumpaan dan kesediaan untuk mengikut Kristus dengan menyangkal diri, kita tidak lagi mengenal Kristus karena ajaran-ajaran atau doktrin tentang Dia; tetapi kita dimampukan untuk mengenal Kristus secara lebih personal, yaitu berjumpa dengan Kristus muka dengan muka. 

    Setiap orang termasuk mereka yang semula bersikap atheistis, deistis atau orang-orang yang telah terjebak dalam sekulerisme dan berbagai penderitaan yang melumpuhkan kekuatan iman - tetap tersedia memiliki pengharapan untuk “memperoleh Kristus”. Sebab Tuhan Yesus adalah Imam Besar dan Juru-selamat yang setia. Sebagai pengantara di hadapan Allah,  Kristus senantiasa menopang dan memampukan diri kita untuk mengikut Dia. Kasih  anugerah Kristus selalu melampaui setiap kelemahan dan keberdosaan kita. Sehingga setiap orang yang semula bersikap atheistis dan deistis karena pengaruh sekulerisme atau penderitaan pada akhirnyaakan  berkata seperti Ayub: “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb. 42:6). 

Panggilan
    Kalau karya keselamatan dan penebusan Kristus telah sempurna sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia yang terdalam, yaitu pemulihan atas  kuasa dosa - maka sebenarnya kita telah memperoleh segala-galanya dalam kehidupan ini. Tentu kita juga membutuhkan pertolongan Tuhan Yesus pada saat-saat yang kritis seperti di tengah-tengah penyakit, kegagalan dalam pekerjaan, kerinduan untuk memperoleh keturunan, komunikasi yang harmonis dengan sesama atau berada di tengah-tengah bahaya maut.
Tetapi sikap iman yang mengikut Kristus tidak lagi bersifat mendikte atau memaksa. Sebab yang utama dalam mengikut Kristus adalah tetap setia mengikut langkahNya dengan setia walau kita harus melewati berbagai jalan yang berbatu dan lembah yang curam. Pengalaman berjalan bersama Kristus adalah pengalaman yang memperkaya proses pertumbuhan iman kita sekaligus meneguhkan, sebab apapun keadaannya kita tidak pernah berjalan sendirian. Bagaimana sikap saudara terhadap diri Kristus? Apakah saudara hanya menghendaki kuasa mukjizat dan berkat-berkatNya, ataukah yang paling utama adalah kehadiran dan penyertaanNya? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar