Senin, 21 Februari 2011

ANAK ALLAH YANG MERENDAHKAN DIRI


Yes. 42:1-9; Mzm. 29; Kis. 10:34-43; Mat. 3:13-17

Pengantar
                 Dalam kebaktian Minggu ini dirayakan oleh gereja-gereja Tuhan untuk mengingat peristiwa baptisan Tuhan Yesus di sungai Yordan. Keempat Injil mencatat kisah bagaimana Kristus yang adalah Anak Allah bersedia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Apabila kita melihat latar-belakang ucapan Yohanes Pembaptis di Mat. 3:11, yaitu: “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasutNya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api”.
Dari pernyataan  tersebut kita dapat melihat sikap Yohanes Pembaptis yang menempatkan kedudukan Kristus lebih tinggi dari pada dirinya. Yohanes Pembaptis menyebut Tuhan Yesus sebagai “yang lebih berkuasa dari padaku” sehingga dia tidak layak untuk melepaskan kasutNya. Sebab bagi Yohanes Pembaptis hanya Tuhan Yesus saja yang dapat membaptis manusia dengan Roh Kudus dan api. Hanya Tuhan Yesus saja yang dapat membawa pemulihan dan penebusan dosa oleh kuasa Roh  Kudus. Sedangkan dirinya hanya diutus oleh Allah untuk membaptis umat Israel dengan air sebagai tanda pertobatan. Tetapi kemudian muncul pertanyaan, “bukankah Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis dengan menggunakan air di sungai Yordan?” Apabila memang Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis dengan air, bukankah berarti baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus tersebut juga sebagai tanda pertobatan?  Jadi apakah dengan pemahaman teologis tersebut baptisan Tuhan Yesus mau menunjukkan bahwa Tuhan Yesus juga berdosa sebagaimana umat manusia pada umumnya?

Yesus Juga Memiliki Dosa?
                Alkitab menyaksikan Kristus adalah sang Firman yang menjadi manusia, yang dalam bahasa Ibrani, kata “manusia” digunakan kata “sarx” yang artinya: daging. Kata “sarx” atau “daging” dipakai secara khusus untuk menunjuk kecenderungan dalam dosa atau menentang kehendak Allah. Bandingkan dengan Gal. 5:17, rasul Paulus  berkata: “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki”. Dengan logika demikian, bukankah saat Yesus, sang Firman menjadi daging (manusia), Dia juga memiliki kecenderungan atau potensi untuk berbuat dosa? Gereja telah menggumuli masalah kemungkinan Yesus sebagai manusia dapat berdosa telahdigumuli dalam konsili Chalcedon tahun 451. Sikap gereja dalam konsili Chalcedon sesuai dengan kesaksikan Alkitab yang didasarkan pada  II Korintus 5:21, 1 Yohanes 3:5, 1 Petrus 2: 22, Ibrani 4:15 menegaskan: inkarnasi sang Firman menjadi manusia dalam diri Yesus tidak berdosa. Tepatnya konsili Chalcedon menegaskan dengan rumusan: “impeccability of Jesus”. Kata “impeccability” berasal dari kata Latin, yaitu: in yang berarti tidak, dan peccare yang artinya berdosa. Jadi secara harafiah dari “impeccability of Jesus” adalah: ketidakberdosaan Yesus.

                Lebih mendasar lagi ketidakmungkinan Yesus berdosa adalah karena Yesus Kristus memiliki kesatuan pribadi (unio personalis) dengan Allah. Di Yoh. 10:30, Yesus berkata: “Aku dan Bapa adalah satu”, tetapi juga di dalam diri Yesus terdapat persatuan 2 hakikat manusiawi dan ilahi. Jadi karena Yesus satu hakikat dengan Allah, maka hakikatNya sebagai manusia tidak dapat meniadakan hakikat ilahiNya yang kudus dan setara dengan Allah. Dengan sangat tepat, penulis Ibrani merumuskan keberadaan Yesus yang tanpa dosa (impeccability), yaitu: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”.  Kesaksian Alkitab jelas, yaitu bahwa Yesus tidak pernah berbuat dosa, tetapi sebagai manusia Dia mampu turut merasakan kelemahan-kelemahan atau dosa kita.

Pemahaman dan Kesadaran Yohanes Pembaptis
                Problematika teologis ini sebenarnya disadari oleh Yohanes Pembaptis. Ketika Tuhan Yesus datang dari Galilea untuk menjumpai Yohanes Pembaptis agar Dia dibaptis, maka Yohanes Pembaptis segera mencegah Dia, katanya: “Akulah yang perlu dibaptis olehMu, dan Engkau yang datang kepadaku?” (Mat. 3:14). Dari lubuk hatinya Yohanes Pembaptis  menyadari bahwa Kristus lebih berkuasa dari pada dirinya, sebab Dia kelak akan membaptis umat manusia yang percaya dengan Roh Kudus dan api. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis menegaskan bahwa dirinya yang seharusnya dibaptis oleh Kristus. Dia tidak merasa layak untuk membaptis Tuhan Yesus. Sebab kita tahu, bahwa posisi dari orang yang dibaptis senantiasa lebih rendah karena dia harus berlutut di hadapan orang yang membaptisnya. Tidak ada orang yang dibaptis dengan posisi berdiri sama tinggi dengan orang yang membaptisnya, sehingga dengan posisi yang demikian, pada saat Tuhan Yesus dibaptis Dia juga harus berlutut di hadapan Yohanes Pembaptis yang berdiri. Padahal peristiwa baptisan Tuhan Yesus terjadi di sungai Yordan, yang berarti baptisan Tuhan Yesus tersebut terjadi di depan umum atau dilihat oleh khalayak ramai. Jadi di hadapan orang banyak Tuhan Yesus harus berlutut di depan Yohanes Pembaptis untuk menerima baptisan air yang kita tahu sebagai tanda pertobatan.

                Kita tidak pernah tahu bagaimana formulasi baptisan Yohanes Pembaptis. Tetapi yang pasti dalam peristiwa baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus tidak mungkin disertai pengakuan dosa sebagaimana dilakukan oleh orang banyak pada waktu itu. Baptisan Yohanes Pembaptis memang baptisan untuk pertobatan bagi setiap orang yang berdosa, tetapi Tuhan Yesus yang bersedia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis pada hakikatnya dilakukan oleh Tuhan Yesus dengan dasar teologis, yaitu: “Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Mat. 3:15). Tuhan Yesus yang adalah Anak Allah bersedia dibaptis agar Dia dapat memenuhi atau menggenapkan seluruh kehendak Allah. Jadi makna dari baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus pada hakikatnya sebagai wujud dari sikap ketaatanNya yang mutlak kepada kehendak Allah; walaupun Dia adalah Anak Allah, Tuhan Yesus bersedia memposisikan diriNya sama dengan umat manusia yang berdosa. Kristus bersedia merendahkan diriNya di tengah-tengah kehidupan umat manusia.

Media Pengurapan Sebagai Messias
                Melalui peristiwa baptisan tersebut, Allah mengurapi Yesus dengan RohNya. Mat. 3:16-17 menyaksikan peristiwa  tersebut sebagai berikut: “Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atasNya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan”. Dengan peristiwa baptisan di sungai Yordan tersebut dipakai oleh Allah bukan sebagai media bagi Yesus untuk mengaku dosa dan bertobat sebagaimana yang dilakukan oleh orang banyak; tetapi justru dipakai oleh Allah untuk mengurapi dan menahbiskan Yesus menjadi seorang Messias. PengurapanNya sebagai Messias diteguhkan oleh suara Allah yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan”. Melalui pengurapanNya sebagai Messias, Yesus kini menyandang gelar “Messias” atau “Kristus” sebab Dia telah diurapi oleh Allah dengan RohNya. Tetapi bukankah dalam sejarah iman umat Israel, Allah juga mengurapi hamba-hambaNya untuk menjadi seorang “Messias”? Bukankah raja-raja dan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama juga adalah “orang yang diurapi Allah dengan RohNya”? Jika demikian, di manakah letak kekhususan Yesus sebagai seorang Messias?

                Hamba-hamba Allah yang telah diurapi dalam kesaksian Perjanjian Lama pada hakikatnya juga seorang “Messias” sebab mereka diurapi oleh Tuhan untuk menjadi nabi atau raja bagi umatNya. Tetapi mereka semua membutuhkan juru-selamat. Mereka sebenarnya juga sangat mengharapkan kedatangan seorang Messias yang secara khusus akan diurapi oleh Allah untuk menyelamatkan dan menebus diri mereka. Itu sebabnya para nabi tersebut menubuatkan kedatangan seorang Messias, yaitu orang pilihan Allah sendiri dan kepadaNyalah Allah berkenan, sehingga Allah akan meletakkan RohNya kepada Dia. Di Yes. 42:1, nabi Yesaya menubuatkan kedatangan sang Messias tersebut dengan pernyataan: “Lihat, itu hambaKu yang Kupegang, orang pilihanKu, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh RohKu ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa”. Sosok sang Messias dalam nubuat nabi Yesaya diyakini oleh para rasul dan gereja perdana menunjuk secara khusus kepada Tuhan Yesus.

                Nubuat nabi Yesaya tersebut sesuai dengan pernyataan Allah dalam peristiwa baptisan Tuhan Yesus yang mana Allah berfirman: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan”. Sebab dalam nubuat nabi Yesaya juga disebut: “orang pilihanKu yang kepadanya Aku berkenan”. Selain itu nubuat nabi Yesaya sesuai dengan kesaksian Injil, khususnya   kesamaan pernyataan bahwa Tuhan Yesus melihat Roh Allah turun ke atasNya. Dalam hal ini interpretasi kitab Injil bahwa Tuhan Yesus sebagai penggenap dari nubuat nabi Yesaya sungguh-sungguh dengan dasar teologis yang sangat spesifik. Sebab gambaran hamba Tuhan di Yes. 42:3 tersebut memiliki karakter dan identitas diri yang khusus dari sang Messias, yaitu: “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum”. Bukankah ciri karakter dari Tuhan Yesus terbukti mampu memenuhi isi nubuat nabi Yesaya tersebut, yaitu bahwa Ia tidak memutuskan buluh yang patah terkulai dan Ia tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya? Selain itu hanya Kristus saja yang mampu melakukan tugasNya sebagai seorang Messias yang khusus dipilih oleh Allah yaitu: “untuk membuka mata orang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara” (Yes. 42:7). Karya dari sang Messias tersebut akan membawa suatu penyelamatan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia yang berada dalam kegelapan dosa. Karena itu kita dapat melihat korelasi yang begitu koheren dan solid antara nubuat nabi Yesaya dengan kisah Injil tentang peristiwa pengurapan Yesus sebagai Kristus dalam baptisanNya di sungai Yordan.

Karakter Mesianis
                Dari berita nubuat nabi Yesaya di Yes. 42 dan dari kesaksian Mat. 3:16-17, kita dapat melihat bahwa Kristus selaku Messias yang dipilih khusus oleh Allah memiliki jabatan ilahi yang sangat tinggi sebab Roh Allah hadir secara penuh di dalam keseluruhan diriNya. Dia adalah Anak Allah yang kepadaNya Allah berkenan. Dia juga memiliki kuasa untuk membaharui dan menyelamatkan seluruh kehidupan umat manusia. Walaupun Yesus adalah sang Messias, Dia tetap memiliki karakter yang senantiasa merendahkan diri dan taat kepada kehendak Allah. Di dalam diriNya terdapat perpaduan spiritualitas yang ilahi antara kekuasaanNya sebagai Anak Allah yang tak terhingga dengan kerendahan hatiNya yang begitu total. Itu sebabnya dalam nubuatnya nabi Yesaya, sang Messias memiliki ciri identititas diri sebagai berikut: “Ia tidak akan berteriak atau menyaringkan suara, atau memperdengarkan suaranya di jalan” (Yes. 42:2).   Ungkapan ini mau menyatakan bahwa sang Messias yang kelak hadir dalam diri Kristus sama sekali tidak pernah ingin mendemonstrasikan kuasaNya untuk  memperoleh pujian dari manusia. Sebaliknya yang Yesus utamakan adalah Dia senantiasa rendah-hati dan peduli untuk menolong dan menyelamatkan setiap orang yang telah patah terkulai dan mereka yang tidak mempunyai harapan apapun. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya.

                Dengan demikian lingkup karyaNya yang menyelamatkan tidak lagi dibatasi hanya kepada umat Israel saja, tetapi meluas ke seluruh umat manusia yaitu bangsa-bangsa di seluruh muka bumi. Di Yes. 42:6-7, nabi Yesaya menubuatkan karakter sang Messias, demikian: “Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara.  Lingkup karya keselamatan Tuhan Yesus selaku Messias yang universal ini juga merupakan faktor pembeda yang signifikan dengan para “Messias” lainnya. Sebab para Messias di Perjanjian Lama umumnya hanya berorientasi kepada keselamatan umat Israel. Sedangkan karya Kristus senantiasa memiliki sifat dan orientasi untuk menjangkau seluruh umat manusia, agar di dalam kehidupan seluruh umat manusia tercipta keselamatan dan pembaharuan dari Allah. Melalui Kristus, Allah berkenan membangun dan menciptakan perjanjian keselamatan antara diriNya dengan umat manusia.

Pengampunan Dosa Di Dalam NamaNya
                Itu sebabnya setelah kebangkitan Kristus, gereja perdana yang di Kis. 10 diwakili oleh Petrus memberitakan karya keselamatan Kristus yang menjangkau dan menyelamatkan seluruh umat. Di dalam Kristus, karya keselamatan Allah tidak lagi dimiliki secara eksklusif atau khusus oleh umat Israel saja. Rasul Petrus berkata: “Sesungguhnya aku telah mengerti  bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya” (Kis. 10:34-45).  Kemudian makna dari “orang-orang yang takut akan Allah dan mengamalkan kebenaran” dipertegas maksudnya oleh rasul Petrus sebagai orang yang mau percaya kepada Kristus. Di Kis. 10:43 rasul Petrus kemudian berkata: “Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepadaNya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena namaNya”.  Ini berarti setiap orang yang sedang patah terkulai tersedia pengharapan, pemulihan dan pengampunan Allah di dalam nama Kristus. Tujuannya adalah agar mereka yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah dapat memiliki perjanjian keselamatan; dan juga agar mereka dapat memiliki kehidupan yang serupa dengan Kristus yang selalu merendahkan diri serta taat kepada kehendak Allah.

                Melalui karya keselamatan Kristus, Allah merencanakan suatu kehidupan umat yang universal tanpa membedakan suku dan bangsa untuk mempraktekkan suatu spiritualitas yang rendah-hati dan mengutamakan ketaatan kepada firmanNya yaitu kasih Allah. Dalam karya keselamatan Kristus tersebut, terciptalah suatu umat yang saling mengasihi dan saling merendahkan diri sebagaimana Kristus telah merendahkan diriNya pada saat Dia dibaptis di sungai Yordan. Untuk maksud itulah Kristus membentuk jemaat/gerejaNya agar mereka selaku orang-orang yang telah ditebus oleh darahNya dapat terlebih dahulu menampakkan ciri dan karakter sebagai “orang-orang pilihan yang berkenan kepada Allah”. Tetapi bagaimanakah kehidupan kita selaku jemaatNya? Apakah kehidupan dan spiritualitas kita telah menampakkan sikap yang rendah hati seperti Kristus. Ataukah kita lebih cenderung menampakkan sikap yang arogan di dalam kehidupan pribadi, keluarga, jemaat dan masyarakat?

Spiritualitas Kerendahan Hati
                Spiritualitas yang merendahkan diri tidaklah mudah, sebab membutuhkan proses pembaharuan atau transformasi hidup yang sangat berat. Dalam diri kita senantiasa memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk menonjolkan diri walaupun sebenarnya tidak ada yang layak dan cukup berharga untuk ditonjolkan. Kalau kita kaya raya, maka kita cenderung  menonjolkan harta milik yang kita punya. Padahal masih banyak yang lebih kaya dari pada kita. Kalau kita pandai, maka kita cenderung untuk menunjukkan kehebatan “intelektualitas” dan daya kritis kita. Padahal masih banyak juga orang-orang yang memiliki kepandaian dan sangat jenius dalam berbagai bidang. Kalau kita berkedudukan tinggi dan berpengaruh, maka kita cenderung untuk menunjukkan seberapa besar kuasa kita untuk mengatur segala sesuatu. Padahal cukup banyak orang yang memiliki pengaruh dan jabatan yang begitu besar dalam bidang politis, ekonomi dan sosial. Seolah-ola tanpa “persetujuan” dari kita, maka segala hal yang dilakukan oleh sesama pasti serba  tidak beres dan cacat. Tetapi bagaimana seandainya kita tidak kaya, tidak pandai dan tidak berpengaruh; apakah kita akan bersikap rendah hati? Belum tentu! Kita juga akan dapat menunjukkan “kehebatan” diri dengan cara lain, misalnya: kita menunjukkan kepada orang lain kalau kita punya fisik dan otot yang kuat, kita dapat menunjukkan sikap yang “mengasihani diri”,  kita menunjukkan sikap kitayang cenderung “rendah-diri” (minder). Kita juga dapat memperlihatkan “kehebatan” diri  kita dengan mencari siasat  menunjukkan kesalahan dan kelemahan orang lain.  Pokoknya ada seribu jurus untuk memperlihatkan “kehebatan” diri kita di hadapan sesama. Semua sikap tersebut pada prinsipnya merupakan respon kita terhadap realitas kehidupan. Yang mana respon kita tersebut mencerminkan kualitas dari isi spiritualitas kita. Semakin spiritualitas kita jauh dari pembaruan hidup, maka pastilah kita akan gagal menghargai sesama sebagai pribadi yang unik. Sebaliknya semakin kita mengalami pembaruan hidup, maka spiritualitas kita mampu menempatkan sesama sebagai para pribadi yang dikaruniai dan dicintai Allah dengan kasihNya yang agung.

                Tuhan Yesus walaupun Messias yang penuh dengan kuasa dan Roh Allah, dengan tulus Dia bersedia untuk merendahkan diriNya di sungai Yordan. Dalam perendahan diriNya, Kristus menjangkau dan merangkul semua umat agar mereka memperoleh perjanjian keselamatan dari Allah.  Kristus tidak pernah membiarkan orang-orang yang putus harapan dan kehilangan semangat menjadi binasa. Karena itu dengan perendahan diriNya, Kristus dapat menolong dan memulihkan setiap orang yang telah putus-asa dan kehilangan semangat hidup. Sikap Kristus tersebut perlu kita kembangkan dan sebarkan di berbagai aspek kehidupan ini. Kita harus selalu waspada terhadap setiap sikap yang memperlihatkan arogansi diri, termasuk diri kita sendiri.  Karena sikap arogan akan membuat orang-orang di sekitar kita menjadi patah arang. Buluh yang sudah patah terkulai, kita putuskan; dan sumbu yang sedang pudar nyalanya, nyala apinya segera kita matikan. Penyebabnya karena hidup kekristenan kita belum dipulihkan oleh kuasa kasih Kristus. Selama pola dan nilai-nilai kehidupan kita masih diwarnai oleh kuasa duniawi, maka kekristenan kita tidak dapat menjadi alat keselamatan Allah yang efektif. Akibatnya kehidupan kita selaku umat percaya belum sepenuhnya menjadi agen-agen perubahan yang membaharui setiap orang di sekitar kita.

Panggilan
                Kini dalam merenungkan peristiwa baptisan Kristus, kita selaku jemaat Tuhan juga perlu membuka diri untuk terus  diubah oleh Allah sehingga kehidupan dan spiritualitas kita makin ditandai oleh kerendahan hati yang memulihkan dan menyembuhkan setiap orang yang kita jumpai. Kita tahu bahwa kerendahan hati merupakan spiritualitas yang universal dalam kehidupan ini. Tentunya nilai kerendahan hati yang didasari dalam iman kepada Kristus seharusnya memiliki standard yang lebih luas dan dalam dari pada yang dilakukan oleh orang-orang dunia ini. Kerendahan hati kita bersumber dari kasih Allah yang dinyatakan dalam pengorbanan Kristus yang telah mengampuni seluruh dosa kita. Dengan demikian spiritualitas kerendahan hati kita bersumber kepada kasih dan pengampunan Allah. Hidup kita dibentuk oleh Allah untuk berlaku seperti Kristus, sehingga kita mampu meninggalkan seluruh model duniawi yang pernah menguasai batin dan kepribadian kita. Jika demikian, melalui peristiwa baptisan Kristus, kita akan dimampukan untuk hidup dalam kekudusan dan kerendahan hati.  Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar