“Dua hal aku mohon kepadaMu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah daripadaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalMu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri dan mencemarkan nama Allahku.”
Pada awalnya Agur bin Yake ini menyadari soal masa bodoh dan kesadaran hidup ini adalah titik awal yang penting. Maka dia mengatakan “Saya bodoh” bukan dalam pengertian intelektualnya rendah, tetapi dalam pengertian dia merasa menjalani hidup tanpa menyadari dengan sungguh-sungguh apa yang terpenting dalam hidup itu. Tanpa menyadari sungguh-sungguh hidup ini mau apa. Itu sebab kita menemukan di ayat 5-6 kemudian dia mengambil sikap: hidupku harus ditinjau, dilihat, dikaitkan dan diinteraksikan dengan firman Tuhan, bagaimana berespons kepada firman Tuhan.
Aku orang yang bodoh kata Agur. Sebab selama ini aku mengejar hal-hal yang kukira penting ternyata itu tidak penting di dalam hidup ini. Yang kita kejar itu bukan our “true self,” bukan diri kita yang sejati, tetapi kita lebih banyak mengejar apa yang menjadi atribut di dalam hidup kita. Berhadapan dengan manusia yang lain, semua kita masih bisa memakai segala macam atribut. Atribut kesuksesan, atribut kekayaan, atribut kehebatan. Di hadapan manusia segala atribut kita merupakan hal-hal yang terpenting dan menjadi perbandingan bahkan sumber iri manusia satu sama lain. Tetapi di hadapan Tuhan saya percaya segala atribut itu bukan merupakan hal-hal yang penting. Itu sebab Agur menetapkan satu sikap bagaimana firman Tuhan harus meneropong seluruh hidup kita, itu suara yang benar, itu suara yang harus kita dengarkan. Maka dia mengatakan, “I am ignorant,” bukan karena dia masa bodoh terhadap hidup ini tetapi dia tidak punya kesadaran apa yang dia kejar, apa yang dia mau raih, apa yang dia mau capai, apa yang dipikir merupakan hal yang penting, justru makin dikejar makin membuatnya cape karena dia makin lari menjauh darinya.
Mazmur 23 memperlihatkan satu kontras yang indah. Daud mengatakan Tuhan adalah Gembala yang baik yang merawat dan memeliharanya. Bukan saja Tuhan membawanya ke padang rumput yang hijau dan air yang tenang, Tuhan membimbing dia melewati lembah kekelaman. Mazmur ini ditutup dengan kalimat yang menarik: kebajikan dan kemurahan akan mengikutinya seumur hidup. Daud menyadari when God is my Shepherd, I shall not in want anymore. Bukan aku tidak perlu kebajikan, bukan aku tidak perlu kebenaran, bukan aku tidak perlu semua itu. Tetapi sdr lihat attitude-nya. Biar semua itu yang mengejar aku, bukan aku yang mengejarnya. Tuhan menjadi yang terpenting di depan. Dia tahu semua kebutuhanku itu, tetapi perbedaannya terjadi, bukan aku menghabiskan waktu sepanjang hidup mengejar semua itu, tetapi sebaliknya semua itu yang mengikuti aku.
Itu sebab kita menemukan paradoks terjadi di dalam bijaksana Agur. Saatnya dia sadar dari sikap masa bodoh itu, kesadaran muncul. Yang penting bukan mengejar atribut itu, yang terpenting adalah bagaimana hidupku di hadapan Tuhan.
Sekarang kita melihat Agur melangkah lebih indah. Di ayat 7-9 dia menuliskan permohonan yang amat penting, satu bagian doa yang luar biasa. Tuhan, aku sekarang memohon kepadaMu sebelum aku mati, biarlah ini menjadi hal yang terpenting dalam hidupku. Agur meminta dua hal di dalam doanya. Yang pertama jangan pernah ada keluar kata dusta dan hal yang tidak baik dari mulut saya. Kedua, aku berdoa jangan beri aku kekayaan atau kemiskinan supaya kalau aku kaya aku tidak sombong dan lupa Tuhan, atau kalau aku miskin akhirnya aku mencuri dan menghina Tuhan. Dua hal ini janganlah ada di dalam hidup saya. Doa yang luar biasa. Doa mengenai “Integrity dan Simplicity.” Simplicity. Apa itu simplicity? Dalam bahasa Indonesia kata itu diterjemahkan dengan kesederhanaan atau kesahajaan. Simplicity tidak boleh sembarangan men-simplify definisi kata ini. Hidup kita harus simplicity tetapi tidak boleh di-simplify. Itu dua hal yang berbeda, bukan? Hidup sederhana tidak berarti menyederhanakan hidup.
Simplicity bukan berarti menyederhanakan hidup, dalam pengertian sdr tidak memerlukan banyak hal dsb, lalu kemudian menjadi bersahaja dan hidup di gunung, dsb. Bukan seperti itu. Kita tidak boleh mengerti simplicity seperti itu. Kita juga tidak boleh mengerti simplicity sebagai suatu hidup yang anti dengan banyak kelimpahan. Saya lebih melihat simplicity di dalam pengertian walaupun itu orang yang kaya, memiliki segala macam kekayaan dan kelimpahan harta, namun dia memiliki kondisi hati yang tidak diikat oleh hal-hal seperti itu. Itulah simplicity. Kenapa? Karena kalau kita hidup secara sederhana, makan secara sederhana, tetapi sambil menjalani hidup seperti itu kita iri hati kepada kemujuran orang lain, tidak ada gunanya juga. Tidak ada guna juga kita hidupnya berkelebihan namun terus saja complaint. Jadi di sini bukan soal banyak atau tidak banyak harta, bukan soal sederhana atau tidak sederhana tetapi soal bagaimana isi dan keadaan hati kita.
Kalau kita membaca seluruh Amsal, kita akan menemukan Amsal sangat positif bersikap terhadap kekayaan. Amsal mengatakan yang penting jangan ingin memperoleh kekayaan secara instant. Quick wealth is too good to be true, jadi jangan berkeinginan seperti itu. Amsal juga memberi contoh jangan kaya karena memakai timbangan yang curang. Amsal juga mengatakan tidak guna kalau kita menjadi kaya tetapi kemudian kehilangan kondisi sukacita. Dia mengatakan lebih baik tinggal di ujung atap rumah daripada tinggal dalam rumah megah dengan isteri yang cerewet. Da[atkan kekayaanmu secara prudence, kata Amsal, dengan kerja keras dan jangan hidup boros, pengeluaran lebih besar daripada pemasukannya. Harta itu berkat dari Tuhan.
Dalam Amsal 30 Agur membicarakan hal yang indah, aku minta Tuhan, jangan berikan kepadaku kekayaan dan jangan berikan kepadaku kemiskinan. Jadi minta di tengah- tengah saja. Tengah-tengah yang bagaimana?
Amsal tidak bilang di dalam kekayaan, orang pasti akan menghina Tuhan. Tidak semua ornag yang kaya menghina Tuhan. Dan tidak semua orang yang miskin itu berarti akan mencemarkan nama Tuhan. Jadi bukan soal kaya atau miskinnya. Tetapi dari permintaannya itu Amsal menyadari di dalam keadaan hidup seperti itu bisa terjadi godaan yang besar. Yang miskin akhirnya mencuri apakah karena dia miskin? Ataukah karena serakah? Kalau karena dia miskin lalu dia mencuri, itu berarti keluar kalimat logisnya: semua orang miskin pasti pencuri. Kalau kita bilang seperti itu, kita sudah salah. Karena banyak orang miskin yang tidak mencuri. Kalau begitu pertanyaannya, seseorang mencuri karena apa? Karena serakah, bukan? Saya tidak setuju Robert Kiyosaki mengatakan akar segala kejahatan adalah karena kurang uang. Alkitab bilang akar dari kejahatan bukan karena kurang uang tetapi cinta uang. Jadi temptationnya terjadi di dalam keadaan yang ekstrim itu, terlalu kaya atau terlalu miskin akan membuat saya mengalami suatu godaan yang terlalu besar. Godaan kondisi hati yang tidak pernah merasa cukup. Godaan keserakahan. Godaan kekuatiran, yang membuat kita akhirnya tidak bersandar kepada Tuhan. Godaan untuk menjadi sombong dan berpikir kita mendapatkan semua kekayaan ini karena usaha kita sendiri. Godaan-godaan seperti itu yang Agur tidak mau terjadi di dalam hidupnya. Itu sebab dia mau mengambil sikap hidup bagaimana simplicity di hadapan Tuhan.
Kita semua setuju dan mengaku kita punya lebih daripada yang kita butuh. Kita berada di dalam kondisi “makan di mana kita selesai kebaktian ini”? Tidak ada di antara sdr yang hadir pada hari ini akan berkata, “Apa makan kita hari ini?” Kita punya lebih daripada yang kita butuh. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kita sering tidak puas dengan kondisi ini? Ada dua jawabannya. Yang satu sifatnya sedikit positif, dan yang satu saya rasa ada negatifnya. Kita punya lebih daripada yang kita butuh, tetapi kita merasa itu belum cukup karena kita pikir kita butuh lebih daripada yang kita punya. Ini bahaya. Karena akhirnya kita ingin terus tambah lagi dan tambah lagi. Yang satu lagi: kita punya lebih daripada yang kita butuh, tetapi kita merasa belum cukup, karena buat jaga-jaga. Ada dua hal yang kita kuatirkan sehingga kita rasa kita butuh lebih daripada yang kita punya. Yang pertama kalau terjadi hal-hal yang tidak terduga: interest rate naik, kehamilan yang tidak diplanning, sakit, di PHK. Itu sebab kita mau berjaga-jaga supaya ketika hal-hal yang tidak terduga terjadi kita sudah siap. Yang kedua, buat masa depan anak. Bagi sdr yang tidak punya anak tidak punya kekuatiran ini. Untuk masa depan anak membuat kita ingin menyimpan, tidak salah keinginan itu. Amsal juga mengajar kita untuk punya bijaksana ini. Amsal menyuruh kita belajar dari semut yang bekerja di musim panas untuk menyimpan makanannya saat musim dingin. Alkitab mengajar kita bijaksana mengatur keuangan. Cuma pertanyaannya, perlu seberapa banyak uang yang harus kita simpan buat anak sampai kita tidak kuatir lagi? Jawabannya tidak ada yang bisa memberi patokannya, bukan? Karena itu buat saya yang terpenting adalah bagaimana menyadari kondisi hati yang seperti itu, kuatir itu, serakah itu, sombong itu, perasaan tidak percaya kepada Tuhan, itu semua bisa menjadi sumur yang tidak ada dasarnya. Berapa banyakpun yang kita masukkan ke sana tidak ada yang bisa menenangkan kita. Berjaga buat anak, ada rumah, ada buat biaya sekolahnya, untuk melamar, dsb. Pertanyaan saya, sampai berapa banyak kita bisa jaga-jaga untuk anak? Kita kuatir bagaimana kalau kita meninggal lalu dia menjadi miskin. Kalau memang terjadi seperti itu lalu apa kita akhirnya bangkit dari kubur kita? Kita tidak bisa apa-apa lagi, bukan? Saya pernah menanyakan hal ini di dalam Bible Study, apakah kalau kita memberi dan memenuhi semua yang kita pikir itu yang diperlukan oleh anak kita, apakah kita sudah merebut hak dia untuk berjuang buat hidupnya sendiri? Itu sebab kita perlu berjaga-jaga, kita perlu menyimpan, tetapi kembali lagi Agur ingin mengajak kita memiliki satu kondisi hati yang tepat dan benar di sini. Benar dalam pengertian kita tidak memiliki batasan dan ukuran mengenai berapa banyak yang namanya cukup itu, tetapi Agur memberi batas di bawah, supaya keinginan itu tidak menjadi keinginan yang tidak punya dasar. Ditutup dengan perasaan simplicity seperti ini: biarlah aku menikmati apa yang menjadi bagianku. Give me enjoyment apa yang menjadi bagianku. Jangan biarkan saya berada di dalam kondisi yang ekstrim, akhirnya itu mengkaburkan hatiku. Terlalu miskin membuat hatiku terlalu kuatir dan karena tidak bersandar kepada Tuhan akhirnya melakukan tindakan yang tidak baik, mengambil apa yang bukan milik saya sehingga saya menghina Tuhan. Terlalu kaya membuat saya terlalu percaya diri, menjadi sombong dan menjadi serakah dan merasa semua kesuksesan itu karena kekuatan saya sehingga saya merasa tidak perlu Tuhan di dalam hidup saya. Maka Agur menaruh batasan menjadi alasnya: simplicity of life.
Pertama, simplicity of life yang benar adalah kita sebagai orang Kristen tidak boleh memperTuhankan materi sekaligus juga tidak boleh mem-persetan-kan materi.
Menjadikan harta sebagai Tuhan yang mengganti hidup kita, itu salah. Sebaliknya mengatakan materi itu jahat dan kita harus menjauhinya, itu juga sikap yang tidak benar. Kedua, Belajar hidup secara simplicity, mengerti yang kita perlukan dan butuhkan dan menikmati serta menghargainya. Jangan terlalu banyak kali iri, ngedumel untuk hal yang kita idam-idamkan sampai akhirnya kita lupa untuk puas dan menikmati apa yang sudah kita miliki. Itu sebab Agur mengatakan Tuhan, biarlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Kita ingin sesuatu, ingin sekali terhadapnya, akhirnya kita tidak menghargai dan menikmati hal-hal yang sudah kita terima.
Ketiga, simplicity of life mempunyai pengertian banyak hal yang saya perlu dan butuh tetapi saya belajar untuk hidup tidak dikontrol oleh hal itu. Ada orang traveling suka bawa koper yang banyak dan berat. Saya termasuk orang yang tidak suka membawa banyak barang di dalam perjalanan. Kadang saya hanya membawa satu dua potong baju ganti, selebihnya apa yang saya perlu saya beli nanti di tempat tujuan. Point saya ialah: hidup kita ini juga satu perjalan. Kadang-kadang di dalam perjalanan kita harus mengambil sikap, bukan kita tidak perlu itu, tetapi jangan sampai semua yang kita butuh malah menjadi burden, kita bawa sebanyak-banyaknya, akhirnya hidup sdr menjadi tidak ada indahnya.
Simplicity bukan berarti kita tidak perlu apa-apa, tetapi kita menaruh satu kadar yang penting. Baju itu bukan segala-galanya, dia ada, dia tidak ada, dia baru, dia tidak baru, itu tidak akan mengganggu hidup sdr. Itu artinya saya perlu tetapi saya tidak terikat kepadanya. Belajar seperti itu.
Agur meminta kepada Tuhan jangan terlalu kaya dan jangan terlalu miskin, tetapi berikan kepadaku perasaan hidup yang contenment, penuh dengan syukur, selalu berpikir hidup ini adalah anugerah dan berkat Tuhan. Bahagia itu muncul pada waktu kita merasa bahagia itu sesuatu yang tidak layak kita terima. Kalau kita menikah, lihat isteri di sampingmu, apakah sdr merasa being blessed menikah dengan dia? Merasa diberkati dia berada di sisi sdr. Hidup merasa diberkati akan membuat kita bersyukur. Hidup yang contenment itu merupakan hal yang indah dan penting. Bersyukur dan merasa content bukan muncul ketika kita mencapai satu target di dalam hidup kita. Karena kalau itu yang menjadi definisinya kita tidak akan pernah ‘enough’ dalam hidup ini. Orang bilang dia akan content kalau sudah mendapat pekerjaan ini, karier sampai di sini, punya rumah seperti ini, maafkan, saya mengatakan kalau sdr sudah sampai di situ sdr tidak akan enough. Bukan berarti saya melarang sdr punya target dalam hidup ini, itu tidak salah. Tetapi mengatakan kita akan enough kalau sudah sampai kepada target, itu keliru. Saya lebih setuju mendefinisikan enough bukan apa yang saya capai, tetapi apa yang bisa keluar dari hidup saya. Orang yang merasa tidak cukup selalu akan mengatakan, “Wong buat diri sendiri saja belum cukup, buat apa pikir orang lain?” Maka orang yang tidak merasa enough tidak akan pernah berpikir kebutuhan orang lain. Orang yang tidak merasa enough tidak akan pernah bersyukur untuk apa yang sudah dia dapat. Maka dua reaksi ini muncul. Ketika kita enough, kita akan memiliki hati seperti ini: yang ada yang lebih dari diri saya, bagaimana saya bisa menjadi berkat bagi orang lain?
Hidup sederhana, bersyukur akan apa yang saya sudah dapatkan, menaruh satu batasan dalam hidupnya bahwa semua yang diraih dan didapat adalah anugerah Tuhan, itu yang menjadi doa Agur.(kz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar