Minggu, 17 Juli 2011

Kepada siapakah pengabdian kita?

Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (II Tes. 3:10).


Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Seakan-akan ucapan Tuhan Yesus tersebut sekilas mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita mencari secara sungguh-sungguh nafkah atau uang dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji namaNya, sehingga  mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian?  Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?Tanpa Kepedulian Dan EmpatILuk. 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi iman Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. 
Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkanLazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya.  Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan sangat kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita. Bapa Abraham sangat kaya dan diberkati Allah, tetapi dia peduli dengan kedatangan 3 orang asing yang melewati rumahnya (Kej. 18:1- ). Ketiga bapa leluhur Israel tersebut memiliki suatu kualitas rohani tertentu di mana Allah berkenan kepada mereka. Pernyataan ini tidak bermaksud menyatakan bahwa bapa Abraham, Ishak dan Yakub adalah para pribadi yang dengan kualitas rohaninya mampu berkenan kepada Allah. Mereka memiliki kelemahan dan kekurangan tertentu, tetapi Allah melihat bahwa mereka layak untuk menjadi kekasih Allah sehingga berulangkali Allah menyatakan diriNya sebagai: “Allah Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel. 3:6).

Kemurahan Hati Yang Dangkal

Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intensif dengan berfoya-foya. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten 
dia telah mempratekkan untuk mengabdi kepada Mamon. Di kitab Amos, Allah menegur orang-orang kaya yang hidup berfoya-foya tanpa memikirkan keselamatan dan kesejahteraan sesamanya, yaitu: “yang minum anggur dari bokor, dan berurap dengan minyak yang paling baik, tetapi tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf!” (Am. 6:6). Umat Israel menjadi orang-orang yang hedonistis, sehingga mementingkan kenikmatan hidup sedemikian rupa sampai mengabaikan realitas hancurnya keturunan Yusuf.  Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Mata batin orang kaya tersebut menjadi buta dalam merespon secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Mungkin ada orang yang berpendapat, yaitu: “Bukankah orang kaya tersebut cukup bermurah hati dengan membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbangnya?” Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya.
Dalam konteks tersebut kita sering beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Untuk membenarkan situasi kita sering melegitimasi pengajaran tentang “takdir Allah” seakan-akan Allah menentukan seseorang untuk kaya dan menentukan pula seseorang untuk hidup dalam kemiskinan. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Dalam hal ini kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita.  Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi. Sesama yang malang dan tidak berdaya justru dijadikan korban untuk diperdaya dan dieksploitasi. Saya teringat praktek para calo atau makelar dalam peristiwa kedukaan di kalangan orang-orang Tionghoa. Karena orang-orang Tionghoa dibesarkan dalam filosofi “Hau” khususnya berbakti kepada orang-tua, maka filosofi tersebut dimanfaatkan oleh para calo agar anak-anak mereka memberikan peti yang terbaik dan termahal padahal saat itu mereka dalam kondisi miskin. Akibatnya keluarga yang miskin terpaksa berhutang kepada rentenir untuk membeli peti yang mahal agar dapat dianggap sebagai anak yang “U-Hau” (berbakti kepada orang-tua). Para calo atau makelar tersebut memanfaatkan situasi kedukaan untuk memperoleh keuntungan yang besar. Karena mereka tahu, bahwa saat kedukaan seseorang atau keluarga tidak akan mungkin mampu berpikir secara jernih dan rasional. Perhatikan pula nasib para tenaga kerja khususnya para wanita yang pulang setelah bekerja di luar negeri. Kita dapat menyaksikan nasib yang begitu mengenaskan bagaimana mereka dipaksa dan ditipu, sehingga seluruh tabungan mereka habis untuk membayar berbagai macam suap. 
Terlalu Berat Untuk Dilaksanakan?
Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu berat untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk 
memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli  untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk menjadi salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memperoleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi dia beriman kepada Allah dan firmanNya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Allah tidak dipermuliakan melalui harta dan kekayaan yang dimilikinya.
                Jadi secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk. 16:13). Dalam praktek hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian.

                  Ambisi seseorang yang  ingin menjadi kaya secara mendadak, umumnya mereka akan terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah 
menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (I Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita. Walaupun kita perlu menyadari bahwa uang atau kekayaan pada dirinya bersifat netral. Uang dan kekayaan bukanlah jahat atau buruk. Tetapi saat uang dan kekayaan dijadikan tujuan hidup, maka manusia akan menghalalkan segala macam cara untuk memperolehnya. Tepatnya sikap serakah terhadap uang dan kekayaan menyebabkan manusia menyembah Mamon. 

Waspada Terhadap Mamon

Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta 
benda, tetapi sesungguhnya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk memperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. 
Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada illah “harta milik”. Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar  terhadap diri kita, perasaan hampa walau memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam perasaan gelisah serta ketakutan. Penyebabnya karena hati kita telah dirampas dan menjadi milik sang Mamon, sehingga kita tidak memiliki ruang bagi karya Allah yang menyelamatkan. Kita menempatkan diri kita sebagai hamba-hamba Mamon. Itu sebabnya kita tidak mampu memperlakukan sesama sebagai gambar dan citra Allah.

Kerja Keras Untuk Kemuliaan Allah

Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikasi, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh 
rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka juga dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karyaNya, untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Spiritualitas inilah yang harus kita kembangkan dalam menyikapi makna kerja keras untuk kemuliaan Allah. Johannes Calvin mengajarkan bahwa seluruh  dunia adalah biara. Maksud perkataan Calvin tersebut adalah setiap umat percaya dipanggil untuk menerapkan prinsip-prinsip hidup biara seperti: disiplin, dedikasi yang tinggi, hemat, tekun, rajin dan produktif di samping mereka berdoa dan beribadah. Kemudian Max Weber menyebut spiritualitas kerja dari Calvin tersebut sebagai pola hidup asketis yang terarah ke dunia (“inner worldly ascetism”). Artinya setiap umat percaya wajib hidup bertarak dengan menolak pola hidup yang duniawi, dan pada sisi lain mereka sungguh-sungguh bekerja keras sesuai talentanya. Dengan pola hidup atau spiritualitas yang demikian, tidak mengherankan jikalau umat percaya akan berhasil dalam karier namun mampu membuktikan integritas imannya kepada Allah. 
Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Spiritualitas umat percaya inilah yang membedakan mereka dengan pola hidup orang yang fasik atau tidak megenal Allah. Persamaannya adalah mereka sama-sama bekerja keras, hemat, rajin, ulet dan produktif. Tetapi perbedaannya adalah spiritualitas yang mendasarinya. Orang fasik tidak akan mau bertarak untuk menjaga kekudusan dan nilai-nilai etika iman. Sebaliknya mereka lebih cenderung untuk mengabaikan nilai-nilai iman dan etika yang dikehendaki oleh Allah, asalkan mereka dapat memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.  Jadi letak permasalahan yang utama dan prinsipiil bukan masalah umat percaya harus hidup kaya atau miskin; tetapi adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama. Selama kita mengasihi Allah dan sesama dengan bertanggungjawab dan sungguh-sungguh bekerja secara benar sesuai tuntutan iman, maka hal kaya dan miskin tidak lagi menjadi masalah yang utama. Bukankah makna kaya dan miskin dalam kehidupan ini serba relatif? Tetapi iman dan kasih adalah prinsip rohani yang mutlak. 

Panggilan

Kita selaku jemaat seharusnya bersedia disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan  berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi”.  Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar