Dari zaman ke zaman, manusia senantiasa tergoda untuk memberhalakan kekayaan, uang, dan harta-miliknya serta kedudukannya.
Untuk itulah Tuhan Yesus mengingatkan kita, yaitu: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya”(Mat. 6:19-20). Dari kutipan ayat ini kemudian ditarik suatu kesimpulan bahwa umat percaya dipanggil untuk menolak anugerah kekayaan, sebaliknya mereka dipanggil untuk hidup miskin dan berkekurangan. Dengan demikian andalan utama yang semula kekayaan digeser menjadi kemiskinan. Tepatnya andalan utama umat percaya adalah kemiskinan dan kekurangan. Semakin mereka miskin dan hidup dengan penuh kekurangan menandakan suatu spiritualitas yang mengandalkan Allah. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau dengan paradigma yang demikian, mereka kemudian sering mencurigai atau bersikap sinis dengan sesama yang berhasil dan memperoleh kekayaan. Orang-orang yang berhasil dan menjadi kaya disebut sebagai pengikut Mamon, sedang mereka yang hidup miskin disebut sebagai pengikut Kristus. Tidak mengherankan dengan pola pemahaman yang demikian sebagian umat Kristen sering jatuh dengan sikap yang cenderung mengidealisasikan kondisi kemiskinan dan bersikap malas untuk mencapai suatu prestasi dan kemakmuran. Secara tidak langsung mereka mengimani Allah yang menyukai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Tetapi benarkah Alkitab memiliki pola berpikir yang demikian? Kesia-siaan Hidup
Pengkhotbah mengawali pengajarannya dengan perkataan yang sangat pesimistik terhadap realita kehidupan ini, yaitu: “Segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 1:2). Bila segala sesuatu “sia-sia” belaka, maka segala jerih-payah, perjuangan untuk sukses dan keberhasilan serta kemakmuran juga merupakan sesuatu yang sia-sia. Kata “sia-sia” yang dipakai oleh pengkhotbah berasal dari kata”hebel hebalim” (הבל הבל ) . Yang mana kata “hebel” berarti “nafas”. Kehidupan umat manusia digambarkan seperti “nafas” yang tampak seketika, seperti kita melihat suatu embun saat kita bicara, namun setelah itu lenyap tanpa bekas. Daya hidup yang dimiliki oleh manusia sangatlah fana. Kata “hebel” mengingatkan kita kepada tokoh yang bernama “Habel” yang dibunuh oleh Kain, kakaknya. Hidupnya singkat dan mati secara sia-sia. Karena itu kata “hebel” dipakai untuk menunjuk sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna. Apa yang diusahakan dan diperjuangkan manusia sepanjang hidupnya menghasilkan suatu hal yang sia-sia. Sehingga pengkhotbah kemudian berkata: "Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkb. 1:3). Jikalau jerih payah manusia di bawah matahari hanyalah sesuatu yang sebenarnya tidak berguna, mengapa manusia harus selalu mengulang dengan susah payah? Karena itu di balik kata “hebel” yang berarti “kesia-siaan” juga mengandung kesadaran pengkhotbah, bahwa hidup ini sebagai sesuatu yang absurd.
Pengkhotbah mengawali pengajarannya dengan perkataan yang sangat pesimistik terhadap realita kehidupan ini, yaitu: “Segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 1:2). Bila segala sesuatu “sia-sia” belaka, maka segala jerih-payah, perjuangan untuk sukses dan keberhasilan serta kemakmuran juga merupakan sesuatu yang sia-sia. Kata “sia-sia” yang dipakai oleh pengkhotbah berasal dari kata”hebel hebalim” (הבל הבל ) . Yang mana kata “hebel” berarti “nafas”. Kehidupan umat manusia digambarkan seperti “nafas” yang tampak seketika, seperti kita melihat suatu embun saat kita bicara, namun setelah itu lenyap tanpa bekas. Daya hidup yang dimiliki oleh manusia sangatlah fana. Kata “hebel” mengingatkan kita kepada tokoh yang bernama “Habel” yang dibunuh oleh Kain, kakaknya. Hidupnya singkat dan mati secara sia-sia. Karena itu kata “hebel” dipakai untuk menunjuk sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna. Apa yang diusahakan dan diperjuangkan manusia sepanjang hidupnya menghasilkan suatu hal yang sia-sia. Sehingga pengkhotbah kemudian berkata: "Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkb. 1:3). Jikalau jerih payah manusia di bawah matahari hanyalah sesuatu yang sebenarnya tidak berguna, mengapa manusia harus selalu mengulang dengan susah payah? Karena itu di balik kata “hebel” yang berarti “kesia-siaan” juga mengandung kesadaran pengkhotbah, bahwa hidup ini sebagai sesuatu yang absurd.
Makna kata “absurd” secara harafiah berarti: not reasonable (tidak masuk akal), foolish (bodoh) dan ridiculous (menggelikan). Bentukan kata “absurdus” berasal dari kata Latin “ab-surdus” yang berarti tuli atau bodoh, sehingga definisi “absurd” adalah: “Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe).Lacking order or value (an absurd existence). Absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”. Artinya: absurd merupakan sesuatu yang tidak rasional atau dalam hubungannya dengan kehidupan manusia sebagai sesuatu tanpa arti (dunia yang absurd). Kurang berarti atau tidak bernilai (eksistensi yang absurd). Paham absurdisme merupakan suatu filsafat yang didasari kepada kepercayaan bahwa alam semesta ini tidaklah rasional dan tidak berarti sehingga pencarian makna akan membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam. Dengan menggunakan kata “hebel” pengkhotbah hendak menyadarkan umat bahwa manusia sering harus melakukan pekerjaan yang terus diulang-ulangi tanpa henti. Pengulangan kerja yang tiada henti tersebut seperti gambaran tokoh Sysyphus dalam mitologi Yunani. Sysyphus dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yaitu dia harus mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Bukankah kehidupan umat manusia di bawah matahari seperti gambaran tokoh Sysyphus tersebut? Para buruh dan karyawan harus selalu melakukan pekerjaan sama sepanjang hari selama hidupnya, namun keesokan harinya mereka harus kembali “mengangkat batu” untuk di bawah ke puncak. Lalu tak lama kemudian mereka menjumpai “batu yang telah diangkatnya itu” segera turun ke bawah sehingga mereka harus kembali mendorong dengan susah-payah ke atas, demikian seterusnya.
Bila Sia-Sia, Mengapa Dilakukan?
Absurditas yang dialami oleh pengkhotbah menyebabkan dia menyatakan membenci hidup. Pernyataan pengkhotbah tersebut bertentangan dengan penghayatan umum umat Israel terhadap makna hidup ini. Saat umat Israel sedang bersulang, mereka akan mengatakan: “la hayyim” yang artinya: untuk hidup ini. Dengan demikian, apapun kondisi kehidupan yang seringkali pahit dan sedih tetap dipahami oleh umat Israel sebagai suatu anugerah. Namun kontrasnya justru pengkhotbah menyatakan: “Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkb. 2:17).Pengkhotbah secara mengejutkan menyatakan bahwa dia membenci hidup yang merupakan anugerah dari Allah. Sikapnya yang pesimistis tidak berhenti sampai di sini. Sebab di Pkh. 2:18, pengkhotbah menyatakan: “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku”. Dia tidak hanya membenci hidup tetapi juga setiap usaha atau pekerjaan yang dilakukan dengan berjerih-payah. Mengapa pengkhotbah bersikap demikian? Karena perenungannya terhadap hidup ini menyadarkan pengkhotbah, bahwa berbagai perbuatan baik pada akhirnya hanya akan membawa kepada kesia-siaan seperti usaha menjaring angin. Terhadap sikap dan pernyataan si pengkhotbah tersebut kita juga dapat mengajukan suatu pertanyaan kritis kepada pengkhotbah, yaitu: “apakah pengkhotbah bermaksud mengajak umat atau para pembaca untuk tidak melakukan apapun dan hidup yang bermuram-durja dalam menyikapi kesia-siaan hidup ini?” Memang benar, pengkhotbah menghayati kehidupan ini sebagai suatu absurditas. Tetapi tidak berarti dia menyuruh umat atau para pembaca untuk berpangku-tangan dan menangisi absurditas kehidupan ini. Meminjam gambaran Sysyphus, dapat kita katakan bahwa pengkhotbah justru ingin memberi motivasi setiap umat atau pembaca untuk terus mendorong “batu besar” ke atas puncak gunung walaupun batu besar tersebut nanti akan menggelinding ke bawah. Artinya setiap umat atau pembaca tidak boleh bersikap pasif dan menyerah kalah walaupun mereka menyadari absurditas atau kesia-sia dalam kehidupan ini.
Absurditas yang dialami oleh pengkhotbah menyebabkan dia menyatakan membenci hidup. Pernyataan pengkhotbah tersebut bertentangan dengan penghayatan umum umat Israel terhadap makna hidup ini. Saat umat Israel sedang bersulang, mereka akan mengatakan: “la hayyim” yang artinya: untuk hidup ini. Dengan demikian, apapun kondisi kehidupan yang seringkali pahit dan sedih tetap dipahami oleh umat Israel sebagai suatu anugerah. Namun kontrasnya justru pengkhotbah menyatakan: “Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkb. 2:17).Pengkhotbah secara mengejutkan menyatakan bahwa dia membenci hidup yang merupakan anugerah dari Allah. Sikapnya yang pesimistis tidak berhenti sampai di sini. Sebab di Pkh. 2:18, pengkhotbah menyatakan: “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku”. Dia tidak hanya membenci hidup tetapi juga setiap usaha atau pekerjaan yang dilakukan dengan berjerih-payah. Mengapa pengkhotbah bersikap demikian? Karena perenungannya terhadap hidup ini menyadarkan pengkhotbah, bahwa berbagai perbuatan baik pada akhirnya hanya akan membawa kepada kesia-siaan seperti usaha menjaring angin. Terhadap sikap dan pernyataan si pengkhotbah tersebut kita juga dapat mengajukan suatu pertanyaan kritis kepada pengkhotbah, yaitu: “apakah pengkhotbah bermaksud mengajak umat atau para pembaca untuk tidak melakukan apapun dan hidup yang bermuram-durja dalam menyikapi kesia-siaan hidup ini?” Memang benar, pengkhotbah menghayati kehidupan ini sebagai suatu absurditas. Tetapi tidak berarti dia menyuruh umat atau para pembaca untuk berpangku-tangan dan menangisi absurditas kehidupan ini. Meminjam gambaran Sysyphus, dapat kita katakan bahwa pengkhotbah justru ingin memberi motivasi setiap umat atau pembaca untuk terus mendorong “batu besar” ke atas puncak gunung walaupun batu besar tersebut nanti akan menggelinding ke bawah. Artinya setiap umat atau pembaca tidak boleh bersikap pasif dan menyerah kalah walaupun mereka menyadari absurditas atau kesia-sia dalam kehidupan ini.
Bagi pengkhotbah, realitas hidup yang absurd tidak boleh dijadikan alasan bagi manusia untuk mengabaikan tugas kewajiban dan tanggungjawabnya. Manusia harus selalu mendorong “batu besar” ke puncak kehidupan ini walaupun kemudian mereka harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang berhasil dicapainya itu suatu saat akan hilang tidak berbekas. Dengan demikian, pengkhotbah tidak pernah bermaksud mendorong umat untuk berleha-leha dan membiarkan hidup dalam kekurangan atau kemiskinan. Sebaliknya setiap umat harus mampu mengerahkan seluruh daya, keahlian dankemampuan yang terbaiknya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup ini. Pemahaman si pengkhotbah adalah walaupun dia membenci kehidupan yang merupakan wujud dari anugerah Allah yang harus ditempuh dengan mengerahkan jerih-payahnya yang melahirkan kesia-siaan, maka akan lebih buruk dan celaka lagi jikalau orang tidak mau berjerih-payah. Tepatnya orang yang tidak mau berjerih-payah dan berjuang di tengah-tengah absurditas hidup ini adalah orang-orang yang paling nyata tidak mampu mengucap syukur atas anugerah Allah. Mereka lebih tidak mampu berbahagia. Hidup orang-orang yang demikian akan lebih sia-sia dan tidak berguna. Sebab yang terpenting bukanlah hasilnya, tetapi bagaimana proses dan nilai pengalamannya. Hasil suatu jerih-payah dapat hilang tanpa bekas dan dilupakan orang lain, tetapi pengalaman berjerih-payah merupakan suatu kekayaan yang hanya dialami si pelaku. Seperti seseorang yang berupaya mengerahkan seluruh talenta yang dikaruniakan sehingga menghasilkan suatu keberhasilan dan kekayaan. Mungkin suatu saat piala keberhasilan dan kekayaan yang dia peroleh akan lenyap, tetapi pengalaman mengerahkan dan mengembangkan seluruh talenta merupakan kekayaan pengalaman eksistensial yang memberi makna hidup. Dengan demikian, kekayaan dan kemakmuran pada hakikatnya merupakan efek dari suatu jerih-payah dan perjuangan akan hidup ini. Kekayaan dan kemakmuran bukanlah tujuan hidup yang asasi. Jadi jelaslah bahwa iman Kristen pada hakikatnya tidak pernah bersikap anti terhadap kekayaan dan mengidealisasikan kemiskinan. Sebab kondisi kemiskinan sebagai hasil dari sikap yang tidak mau berjerih-payah merupakan suatu hal yang sangat celaka kalau tidak mau dikatakan sebagai suatu kutuk.
Bukan Anti Kekayaan, Tapi Anti Ketamakan
Mandat Allah kepada manusia sebagai gambar dan rupaNya adalah untuk mengusahakan bumi ini dan segenap isinya. Kedudukan manusia sebagai gambar dan rupa Allah dinyatakan dalam tugas penatalayanannya. Yang mana dasar penatalayanan umat bersumber kepada suatu pengakuan iman bahwa: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1).Dengan demikian prinsip penatalayanan adalah setiap umat percaya dipanggil untuk mengelola harta milik Allah dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan talenta yang dikaruniakan kepadanya. Manakala umat dapat memperoleh kekayaan dan kemakmuran dari penatalayannya, maka kekayaan dan kemakmuran tersebut merupakan berkat Allah. Artinya nilai kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya itu ditempatkan dalam relasi personal dan iman kepada Allah. Kekayaan dan kemakmuran tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kemuliaan Allah. Yang mana sikap yang memuliakan Allah dengan anugerah kekayaan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan dan pemberdayaan kepada sesama yang menderita. Sehingga perbuatan kasih dengan kesediaan menyalurkan sebagian kekayaan pada hakikatnya bukanlah sebagai wujud belas-kasihan, tetapi merupakan wujud keadilan sosial. Karena kekayaan yang dianugerahkan Allah bertujuan untuk kesejahteraan hidup bersama. Jadi jelaslah bahwa iman Kristen tidak pernah bersikap anti kekayaan. Tanpa kekayaan yang diperoleh dari hasil penatalayanan dan suatu jerih-payah melakukan pekerjaan, maka kita tidak pernah mungkin mampu memberi dan menjadi berkat kepada sesama. Sebaliknya saat kita berada dalam situasi miskin karena mengabaikan jerih-payah dan pengembangan talenta, maka hidup kita akan menjadi suatu beban bagi sesama.
Mandat Allah kepada manusia sebagai gambar dan rupaNya adalah untuk mengusahakan bumi ini dan segenap isinya. Kedudukan manusia sebagai gambar dan rupa Allah dinyatakan dalam tugas penatalayanannya. Yang mana dasar penatalayanan umat bersumber kepada suatu pengakuan iman bahwa: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1).Dengan demikian prinsip penatalayanan adalah setiap umat percaya dipanggil untuk mengelola harta milik Allah dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan talenta yang dikaruniakan kepadanya. Manakala umat dapat memperoleh kekayaan dan kemakmuran dari penatalayannya, maka kekayaan dan kemakmuran tersebut merupakan berkat Allah. Artinya nilai kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya itu ditempatkan dalam relasi personal dan iman kepada Allah. Kekayaan dan kemakmuran tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kemuliaan Allah. Yang mana sikap yang memuliakan Allah dengan anugerah kekayaan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan dan pemberdayaan kepada sesama yang menderita. Sehingga perbuatan kasih dengan kesediaan menyalurkan sebagian kekayaan pada hakikatnya bukanlah sebagai wujud belas-kasihan, tetapi merupakan wujud keadilan sosial. Karena kekayaan yang dianugerahkan Allah bertujuan untuk kesejahteraan hidup bersama. Jadi jelaslah bahwa iman Kristen tidak pernah bersikap anti kekayaan. Tanpa kekayaan yang diperoleh dari hasil penatalayanan dan suatu jerih-payah melakukan pekerjaan, maka kita tidak pernah mungkin mampu memberi dan menjadi berkat kepada sesama. Sebaliknya saat kita berada dalam situasi miskin karena mengabaikan jerih-payah dan pengembangan talenta, maka hidup kita akan menjadi suatu beban bagi sesama.
Jika demikian, panggilan setiap umat percaya adalah mereka harus terus berjerih-payah mengangkat “batu besar” ke atas puncak kehidupan dengan mengerahkan seluruh talenta dan karunia Tuhan sedemikian rupa sampai mereka mampu untuk mempersembahkan hidup kita bagi kemuliaan namaNya. Pola spiritualitas yang demikian akan mencegah seseorang untuk berlaku tamak atau serakah. Sebab kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya justru dipersembahkan untuk sesama. Sebaliknya sikap kikir sesungguhnya merupakan suatu sikap yang memberhalakan harta-milik atau kekayaan sedemikian rupa sehingga dia tidak ingin sebagian dari kekayaannya berkurang walaupun dia menyadari bahwa orang lain maupun dirinya sangat memerlukan. Seorang yang kikir menunjukkan suatu sikap yang hanya ingin menambah kekayaan dan kemakmuran dengan mengorbankan orang lain dan juga makna hidupnya. Sehingga dia akan mengerahkan seluruh daya yang dimiliki untuk meraih apa yang dia ingini tanpa mampu membedakan lagi apakah yang dia ingini tersebut bermanfaat dan bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Di Luk. 12:16-20 Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang orang kaya yang tamak dan kikir. Orang kaya tersebut berupaya menimbun kekayaan begitu rupa dengan tujuan untuk menghibur dirinya sendiri. Tetapi akhirnya malam itu juga nyawanya dicabut oleh Allah. Itu sebabnya di Luk. 12:15, Tuhan Yesus memberi nasihat: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." Dalam konteks ini seorang yang kikir dan serakah justru mempraktekkan suatu kesia-siaan dan jerih-payah menjaring angin.
Seorang yang kikir dan tamak umumnya selalu merasa menyesal telah bekerja keras dan orang lain yang tidak pernah bekerja justru menikmati hasil pekerjaannya. Apabila kita tidak hati-hati untuk menafsirkan, maka si pengkhotbah dalam perikop ini dapat dianggap sebagai seorang kikir saat dia mempersoalkan kekayaan yang diwariskan kepada orang lain yang mungkin bukan anaknya sendiri. Tampaknya si pengkhotbah tidak mempunyai anak, sehingga harta kekayaan yang dikumpulkan harus diwariskan kepada orang-orang yang bukan anaknya sendiri. Sebab dalam tradisi umat Israel, orang-tua yang mewariskan kekayaan kepada anak-anaknya justru dipahami sebagai ungkapan kasih. Tetapi benarkah pengkhotbah dengan perkataannya: “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku” (Pkb. 2:18) sebagai suatu bukti bahwa dia seorang yang kikir dan serakah? Problem utamanya adalah bukan karena si pengkhotbah enggan mewariskan atau menyerahkan kekayaan yang telah dicapai dengan jerih-payah, tetapi apakah orang-orang yang menerima warisannya itu adalah orang-orang yang berhikmat. Itu sebabnya dia berkata: “Dan siapakah yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat. Inipun sia-sia” (Pkb. 2:19). Si pengkhotbah enggan mewariskan kekayaannya kepada orang yang tidak berhikmat, karena orang yang tidak berhikmat akan mempergunakan kekayaannya dengan cara yang serakah dan tidak benar di hadapan Allah.
Menjadi Penatalayan Yang Produktif Dan Kritis
Pemahaman iman Kristen dan sikap Tuhan Yesus sendiri jelas tidak memperlihatkan sikap yang anti kekayaan. Karena itu tidak mengherankan jikalau di Luk. 8:3 menyaksikan bagaimana pelayanan dan misi Tuhan Yesus didukung oleh kekayaan dari para wanita yang mengikutiNya. Juga bagaimana sikap Tuhan Yesus yang berempati dengan Zakheus, si pemungut cukai, sehingga membawa suatu pertobatan dari Zakheus dengan mengembalikan beberapa kali lipat harta yang pernah dirampasnya dari sesama. (Luk. 19:1-10). Dengan demikian setiap umat percaya dipanggil untuk menjadi penatalayan Allah yang bertanggungjawab dengan mengerahkan seluruh daya dan talentanya untuk berkembang seoptimal mungkin. Yang mana dasar utama dari penatalayan tersebut akan mampu menghasilkan sesuatu yang bermutu tinggi dan bermanfaat bagi kesejahteraan banyak orang. Dengan demikian nilai produktivitas yang wujud dari penatalayanan umat percaya adalah kualitas, dan bukan kuantitas seperti besarnya jumlah kekayaan yang berhasil ditimbun. Jelaslah bahwa kekayaan dan kemakmuran hanyalah suatu efek atau dampak dari berhasil tercapainya suatu produk yang bermutu. Secara umum dapat dikatakan: semakin kita berjerih-payah dan melakukan penatalayanan dengan hasil yang bermutu tinggi, maka tidaklah mungkin kita hidup berkekurangan secara materi. Hasil dari penatalayanan yang benar di hadapan Allah adalah umat akan selalu dimampukan untuk mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebab dengan sikap yang demikian, umat tidak akan mau untuk terjebak dalam sikap yang boros dengan menghambur-hamburkan berkat Tuhan; sebaliknya umat juga tidak akan mau terjebak dalam sikap kikir yang berupaya menahan berkat Tuhan untuk kesejahteraan sesamanya. Dia selalu mampu mengelola keuangan dan berkat yang dipercayakan Tuhan dengan sikap hemat.
Pemahaman iman Kristen dan sikap Tuhan Yesus sendiri jelas tidak memperlihatkan sikap yang anti kekayaan. Karena itu tidak mengherankan jikalau di Luk. 8:3 menyaksikan bagaimana pelayanan dan misi Tuhan Yesus didukung oleh kekayaan dari para wanita yang mengikutiNya. Juga bagaimana sikap Tuhan Yesus yang berempati dengan Zakheus, si pemungut cukai, sehingga membawa suatu pertobatan dari Zakheus dengan mengembalikan beberapa kali lipat harta yang pernah dirampasnya dari sesama. (Luk. 19:1-10). Dengan demikian setiap umat percaya dipanggil untuk menjadi penatalayan Allah yang bertanggungjawab dengan mengerahkan seluruh daya dan talentanya untuk berkembang seoptimal mungkin. Yang mana dasar utama dari penatalayan tersebut akan mampu menghasilkan sesuatu yang bermutu tinggi dan bermanfaat bagi kesejahteraan banyak orang. Dengan demikian nilai produktivitas yang wujud dari penatalayanan umat percaya adalah kualitas, dan bukan kuantitas seperti besarnya jumlah kekayaan yang berhasil ditimbun. Jelaslah bahwa kekayaan dan kemakmuran hanyalah suatu efek atau dampak dari berhasil tercapainya suatu produk yang bermutu. Secara umum dapat dikatakan: semakin kita berjerih-payah dan melakukan penatalayanan dengan hasil yang bermutu tinggi, maka tidaklah mungkin kita hidup berkekurangan secara materi. Hasil dari penatalayanan yang benar di hadapan Allah adalah umat akan selalu dimampukan untuk mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebab dengan sikap yang demikian, umat tidak akan mau untuk terjebak dalam sikap yang boros dengan menghambur-hamburkan berkat Tuhan; sebaliknya umat juga tidak akan mau terjebak dalam sikap kikir yang berupaya menahan berkat Tuhan untuk kesejahteraan sesamanya. Dia selalu mampu mengelola keuangan dan berkat yang dipercayakan Tuhan dengan sikap hemat.
Dengan memahami prinsip teologis yang demikian, kita dipanggil untuk mampu menyikapi bahaya konsumerisme. Kini berbagai produk yang baru dan serba canggih selalu ditawarkan kepada kita dengan berbagai cara. Apabila kita memposisikan diri sebagai penatalayan yang baik, maka kita harus selalu bersikap kritis dan mampu menentukan skala prioritas dengan ukuran iman. Yang mana tugas penatalayanan tersebut dapat berjalan secara efektif dalam kehidupan kita, jikalau di dalam diri kita terbentuk suatu sistem nilai yang dilandasi oleh spiritualitas iman. Apabila sistem nilai dan andalan utama hidup kita adalah Kristus, maka kita akan selalu mampu mengkritisi setiap godaan dan kecenderungan kita untuk memiliki berbagai hal yang tidak perlu atau tidak bermanfaat. Di Kol. 3:12 rasul Paulus berkata: “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi”. Sistem nilai yang menjadi andalan hidup kita seharusnya terarah kepada perkara-perkara Allah yang suci dan mulia, dan bukan perkara-perkara yang fana dan berdosa. Sehingga kita tidak lagi seperti tokoh dongeng Sysyphus yang terus mendorong batu besar ke puncak, lalu batu besar tersebut jatuh menggelinding lagi. Sebab saat kita melakukan perkara-perkara yang suci dan mulia maka sesungguhnya kita melakukan perkara yang kekal dan tidak akan jatuh menggelinding ke bawah lagi. Apalagi yang kita lakukan adalah karya Kristus dan karya keselamatan Allah, maka tidak ada lagi yang sia-sia dan absurd. Kesia-siaan dan absurditas akan terjadi jikalau ukurannya adalah prestasi dan sikap yang bermegah diri di tengah-tengah dunia yang telah jatuh ke dalam kuasa dosa ini.
Ini berarti semakin kita memiliki spiritualitas yang tinggi, maka kita akan semakin bertanggungjawab dengan pekerjaan yang kita tangani. Spiritualitas yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus seharusnya mampu berintegrasi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materiil. Sebab hal yang materiil dikuduskan oleh bidang rohaniah, dan bidang rohaniah akan memperoleh bentuk atau wujudnya secara materiil. Di dalam inkarnasi Kristus, yang rohani dan duniawi dapat terintegrasi secara utuh. Dengan demikian makna pekerjaan bukan lagi dihayati sebagai suatu kesia-siaan atau absurd sebagaimana dipahami oleh si pengkhotbah, sebaliknya pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mempermuliakan Allah dan Kristus dengan cara mengasihi sesama manusia. Karena itu kiblat umat percaya dalam menghayati makna dan hakikat kerja bukanlah tokoh Sysyphus yang berada dalam situasi absurditas, tetapi diri Kristus. Melalui kematian dan kebangkitanNya, kita dipanggil untuk menguduskan diri dari seluruh kecemaran dunia. Rasul Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Jika kita melakukan setiap pekerjaan dan jerih-payah dengan hal-hal yang kudus, maka kekayaan dan kemakmuran justru menjadi berkat dan media keselamatan dari Allah.
Panggilan
Makna andalan utama dalam hidup ini mencerminkan kualitas rohaniah yang membedakan umat percaya dengan orang-orang dunia. Karakter dari andalan utama setiap orang mencerminkan isi rohaniah dan kepribadian yang bersangkutan. Jika dia cenderung kepada suatu jerih-payah yang hanya menghasilkan suatu yang fana dan kebahagiaan yang temporal, maka andalan utamanya adalah kuasa dunia ini. Sebaliknya jika seseorang secara konsisten melakukan suatu jerih-payah untuk karya keselamatan Allah yang bersifat kekal, maka andalan utama dalam hidupnya adalah Kristus. Selama kita menempatkan Kristus sebagai andalan utama dalam hidup kita secara konsisten, maka yakinlah bahwa kekayaan atau kemakmuran tidak akan pernah mampu membutakan mata-rohani kita. Sebab di dalam Kristus kita akan selalu dimampukan untuk mengkritisi setiap bentuk ketamakan, kesombongan, hawa-nafsu, sikap iri-hati dan penyimpangan etis. Dengan demikian selaku umat percaya, kita tidak akan pernah bersikap anti dan munafik terhadap kekayaan. Bukankah betapa sering kita mendengar suatu khotbah yang mengkritik habis-habisan orang-orang yang kaya, tetapi di bawah mimbar ternyata mereka sangat tergantung kepada pemberian uang dari orang-orang kaya. Di sini kita menghadapi situasi mental dari orang-orang yang terpecah kepribadiannya (split of personality). Mereka tidak mampu menyikapi spiritualitas iman dan anugerah kekayaan secara utuh. Sehingga mereka tidak mampu mengelola dan menyikapi kehidupan ini secara bertanggungjawab.
Makna andalan utama dalam hidup ini mencerminkan kualitas rohaniah yang membedakan umat percaya dengan orang-orang dunia. Karakter dari andalan utama setiap orang mencerminkan isi rohaniah dan kepribadian yang bersangkutan. Jika dia cenderung kepada suatu jerih-payah yang hanya menghasilkan suatu yang fana dan kebahagiaan yang temporal, maka andalan utamanya adalah kuasa dunia ini. Sebaliknya jika seseorang secara konsisten melakukan suatu jerih-payah untuk karya keselamatan Allah yang bersifat kekal, maka andalan utama dalam hidupnya adalah Kristus. Selama kita menempatkan Kristus sebagai andalan utama dalam hidup kita secara konsisten, maka yakinlah bahwa kekayaan atau kemakmuran tidak akan pernah mampu membutakan mata-rohani kita. Sebab di dalam Kristus kita akan selalu dimampukan untuk mengkritisi setiap bentuk ketamakan, kesombongan, hawa-nafsu, sikap iri-hati dan penyimpangan etis. Dengan demikian selaku umat percaya, kita tidak akan pernah bersikap anti dan munafik terhadap kekayaan. Bukankah betapa sering kita mendengar suatu khotbah yang mengkritik habis-habisan orang-orang yang kaya, tetapi di bawah mimbar ternyata mereka sangat tergantung kepada pemberian uang dari orang-orang kaya. Di sini kita menghadapi situasi mental dari orang-orang yang terpecah kepribadiannya (split of personality). Mereka tidak mampu menyikapi spiritualitas iman dan anugerah kekayaan secara utuh. Sehingga mereka tidak mampu mengelola dan menyikapi kehidupan ini secara bertanggungjawab.
Jika demikian, jangan ragu untuk menjadi kaya dan berhasil sejauh yang kita lakukan untuk kesejahteraan bersama. Kerahkan seluruh daya dan talenta yang dikaruniakan Allah sedemikian rupa, sehingga kita mampu menjadi berkat bagi banyak orang. Komitmen iman tersebut harus dipegang kokoh. Karena banyak orang yang pada awalnya berjanji akan menjadi berkat dan menyejahterakan sesama apabila mereka berhasil dan menjadi kaya. Tetapi setelah mereka berhasil dan menjadi kaya, mereka ingkar janji. Mereka kemudian menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya untuk hidup secara duniawi dan berfoya-foya. Selain itu mereka juga mengembangkan sikap tamak dengan berupaya merebut harta milik orang lain dengan cara-cara yang licik. Sikap mental yang demikian bukan hanya akan menghasilkan suatu makna kehidupan yang sia-sia, tetapi juga menempatkan diri seseorang di bawah hukuman Allah. Bila kemudian Allah mencabut nyawanya dan juga membinasakan seluruh harta miliknya, apakah yang dapat dibanggakan lagi? Tuhan Yesus berkata: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (Luk. 12:15). Bagaimanakah sikap saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar