Minggu, 17 Juli 2011

Kepada siapakah pengabdian kita?

Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (II Tes. 3:10).


Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Seakan-akan ucapan Tuhan Yesus tersebut sekilas mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita mencari secara sungguh-sungguh nafkah atau uang dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji namaNya, sehingga  mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian?  Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?Tanpa Kepedulian Dan EmpatILuk. 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi iman Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. 
Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkanLazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya.  Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan sangat kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita. Bapa Abraham sangat kaya dan diberkati Allah, tetapi dia peduli dengan kedatangan 3 orang asing yang melewati rumahnya (Kej. 18:1- ). Ketiga bapa leluhur Israel tersebut memiliki suatu kualitas rohani tertentu di mana Allah berkenan kepada mereka. Pernyataan ini tidak bermaksud menyatakan bahwa bapa Abraham, Ishak dan Yakub adalah para pribadi yang dengan kualitas rohaninya mampu berkenan kepada Allah. Mereka memiliki kelemahan dan kekurangan tertentu, tetapi Allah melihat bahwa mereka layak untuk menjadi kekasih Allah sehingga berulangkali Allah menyatakan diriNya sebagai: “Allah Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel. 3:6).

Kemurahan Hati Yang Dangkal

Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intensif dengan berfoya-foya. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten 
dia telah mempratekkan untuk mengabdi kepada Mamon. Di kitab Amos, Allah menegur orang-orang kaya yang hidup berfoya-foya tanpa memikirkan keselamatan dan kesejahteraan sesamanya, yaitu: “yang minum anggur dari bokor, dan berurap dengan minyak yang paling baik, tetapi tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf!” (Am. 6:6). Umat Israel menjadi orang-orang yang hedonistis, sehingga mementingkan kenikmatan hidup sedemikian rupa sampai mengabaikan realitas hancurnya keturunan Yusuf.  Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Mata batin orang kaya tersebut menjadi buta dalam merespon secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Mungkin ada orang yang berpendapat, yaitu: “Bukankah orang kaya tersebut cukup bermurah hati dengan membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbangnya?” Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya.
Dalam konteks tersebut kita sering beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Untuk membenarkan situasi kita sering melegitimasi pengajaran tentang “takdir Allah” seakan-akan Allah menentukan seseorang untuk kaya dan menentukan pula seseorang untuk hidup dalam kemiskinan. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Dalam hal ini kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita.  Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi. Sesama yang malang dan tidak berdaya justru dijadikan korban untuk diperdaya dan dieksploitasi. Saya teringat praktek para calo atau makelar dalam peristiwa kedukaan di kalangan orang-orang Tionghoa. Karena orang-orang Tionghoa dibesarkan dalam filosofi “Hau” khususnya berbakti kepada orang-tua, maka filosofi tersebut dimanfaatkan oleh para calo agar anak-anak mereka memberikan peti yang terbaik dan termahal padahal saat itu mereka dalam kondisi miskin. Akibatnya keluarga yang miskin terpaksa berhutang kepada rentenir untuk membeli peti yang mahal agar dapat dianggap sebagai anak yang “U-Hau” (berbakti kepada orang-tua). Para calo atau makelar tersebut memanfaatkan situasi kedukaan untuk memperoleh keuntungan yang besar. Karena mereka tahu, bahwa saat kedukaan seseorang atau keluarga tidak akan mungkin mampu berpikir secara jernih dan rasional. Perhatikan pula nasib para tenaga kerja khususnya para wanita yang pulang setelah bekerja di luar negeri. Kita dapat menyaksikan nasib yang begitu mengenaskan bagaimana mereka dipaksa dan ditipu, sehingga seluruh tabungan mereka habis untuk membayar berbagai macam suap. 
Terlalu Berat Untuk Dilaksanakan?
Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu berat untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk 
memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Luk. 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli  untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk menjadi salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memperoleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi dia beriman kepada Allah dan firmanNya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Allah tidak dipermuliakan melalui harta dan kekayaan yang dimilikinya.
                Jadi secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk. 16:13). Dalam praktek hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian.

                  Ambisi seseorang yang  ingin menjadi kaya secara mendadak, umumnya mereka akan terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah 
menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (I Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita. Walaupun kita perlu menyadari bahwa uang atau kekayaan pada dirinya bersifat netral. Uang dan kekayaan bukanlah jahat atau buruk. Tetapi saat uang dan kekayaan dijadikan tujuan hidup, maka manusia akan menghalalkan segala macam cara untuk memperolehnya. Tepatnya sikap serakah terhadap uang dan kekayaan menyebabkan manusia menyembah Mamon. 

Waspada Terhadap Mamon

Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta 
benda, tetapi sesungguhnya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk memperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. 
Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada illah “harta milik”. Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar  terhadap diri kita, perasaan hampa walau memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam perasaan gelisah serta ketakutan. Penyebabnya karena hati kita telah dirampas dan menjadi milik sang Mamon, sehingga kita tidak memiliki ruang bagi karya Allah yang menyelamatkan. Kita menempatkan diri kita sebagai hamba-hamba Mamon. Itu sebabnya kita tidak mampu memperlakukan sesama sebagai gambar dan citra Allah.

Kerja Keras Untuk Kemuliaan Allah

Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikasi, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh 
rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka juga dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karyaNya, untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Spiritualitas inilah yang harus kita kembangkan dalam menyikapi makna kerja keras untuk kemuliaan Allah. Johannes Calvin mengajarkan bahwa seluruh  dunia adalah biara. Maksud perkataan Calvin tersebut adalah setiap umat percaya dipanggil untuk menerapkan prinsip-prinsip hidup biara seperti: disiplin, dedikasi yang tinggi, hemat, tekun, rajin dan produktif di samping mereka berdoa dan beribadah. Kemudian Max Weber menyebut spiritualitas kerja dari Calvin tersebut sebagai pola hidup asketis yang terarah ke dunia (“inner worldly ascetism”). Artinya setiap umat percaya wajib hidup bertarak dengan menolak pola hidup yang duniawi, dan pada sisi lain mereka sungguh-sungguh bekerja keras sesuai talentanya. Dengan pola hidup atau spiritualitas yang demikian, tidak mengherankan jikalau umat percaya akan berhasil dalam karier namun mampu membuktikan integritas imannya kepada Allah. 
Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Spiritualitas umat percaya inilah yang membedakan mereka dengan pola hidup orang yang fasik atau tidak megenal Allah. Persamaannya adalah mereka sama-sama bekerja keras, hemat, rajin, ulet dan produktif. Tetapi perbedaannya adalah spiritualitas yang mendasarinya. Orang fasik tidak akan mau bertarak untuk menjaga kekudusan dan nilai-nilai etika iman. Sebaliknya mereka lebih cenderung untuk mengabaikan nilai-nilai iman dan etika yang dikehendaki oleh Allah, asalkan mereka dapat memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.  Jadi letak permasalahan yang utama dan prinsipiil bukan masalah umat percaya harus hidup kaya atau miskin; tetapi adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama. Selama kita mengasihi Allah dan sesama dengan bertanggungjawab dan sungguh-sungguh bekerja secara benar sesuai tuntutan iman, maka hal kaya dan miskin tidak lagi menjadi masalah yang utama. Bukankah makna kaya dan miskin dalam kehidupan ini serba relatif? Tetapi iman dan kasih adalah prinsip rohani yang mutlak. 

Panggilan

Kita selaku jemaat seharusnya bersedia disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan  berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi”.  Amin. 

Dibangun diatas dasar yg kokoh


Makna pijakan yang kokoh agar tidak mudah tergoncangkan sebenarnya telah menjadi filosofi dalam sejarah kehidupan manusia. Karena itu filosofi tersebut setua usia manusia seturut dengan proses kesadaran manusia melalui berbagai pengalaman yang pernah terjadi. Berdasarkan pengalaman itu manusia belajar bagaimana harus membangun rumah di atas pondasi yang kokoh agar tidak mudah tergoncangkan oleh angin dan badai. 
Di Mat. 7:24-25, Tuhan Yesus mengilustrasikan sikap orang yang taat kepada firmanNya seperti seorang yang membangun rumah di atas batu: "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu”. Pijakan yang kokoh dan tidak tergoncangkan di mana suatu rumah dibangun akan menimbulkan keselamatan dan keamanan bagi penghuninya. Sebab pijakan yang kokoh dan tidak tergoncangkan selalu siap menghadapi ujian angin dan badai. Itu sebabnya pijakan yang kokoh dan tidak tergoncangkan juga dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menjelaskan bagaimana gereja seharusnya berdiri di tengah-tengah dunia.
                Gereja yang didirikan oleh Kristus pada hakikatnya didirikan di atas batu karang yang kokoh. Kepada Petrus yang mengaku Yesus selaku Messias, Anak Allah yang hidup, Tuhan Yesus berkata: “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya”(Mat.  16:18)Kepada Simon yang disebut Kefas, Tuhan Yesus dalam kasus ini memberi suatu sebutan: “Petrus” yang berasal dari kata “petros” (Πέτρος) yang artinya: batu karang. Lalu kepada Simon si “batu karang” itu Tuhan Yesus akan mendirikan gerejaNya di atas batu karangNya. Kata “batu karang” di sini berasal dari kata: “petra” bentuk feminim (πέτρα). Secara sederhana makna Mat. 16:18, mau menyaksikan bahwa melalui sikap iman dari Simon, Tuhan Yesus telah mengubah jati-dirinya menjadi “petros” (si batu karang) dan lebih dari pada itu Tuhan Yesus akan mendirikan jemaatNya di atas batu karang. Di sini terdapat perbedaan esensial antara “petros” dan “petra”. Arti “petros” lebih menunjuk kepada simbol jati diri yang dianugerahkan Kristus kepada Simon yang telah mengaku percaya, dan arti “petra” lebih menunjuk kepada kondisi yang tidak tergoncangkan karena ditopang oleh Kristus sendiri. Tepatnya gereja tidak berdiri di atas “petros”, tetapi di atas “petra”. Dalam pemahaman teologis itulah gereja seharusnya bersandar kepada batu karang yang tidak tergoncangkan yaitu Kristus, dan bukan kepada “petros” yang mudah digoncangkan sehingga dia akhirnya menyangkal Kristus.
Kristus: Batu Karang Yang Tak Tergerakkan
Bait Allah dan kota Yerusalem berdiri di atas gunung Sion atau gunung Moria, tempat di mana Abraham diperintahkan oleh Allah untuk mempersembahkan Ishak (Kej. 22:2). Di II Taw. 3:1 menyatakan: “Salomo mulai mendirikan rumah TUHAN di 
 Yerusalem di gunung Moria, di mana TUHAN menampakkan diri kepada Daud, ayahnya, di tempat yang ditetapkan Daud, yakni di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu”. Yerusalem dapat berdiri dengan kokoh di atas bukit Moria sebab memiliki pondasi dari batu-batu. Yes. 28:16 menyaksikan: "Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh: Siapa yang percaya, tidak akan gelisah!” Itu sebabnya dalam perjalanan sejarahnya, Yerusalem mampu berdiri dengan kokoh walau berulangkali diserang oleh para musuhnya. Namun perhatian umat Israel sebenarnya tidak semata-mata melihat kekokohan kota Yerusalem karena memiliki batu penjuru yang hebat, tetapi karena Allah sendiri bersemayam di Yerusalem. Mzm. 9:12 berkata: “Bermazmurlah bagi TUHAN, yang bersemayam di Sion, beritakanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa”.  Karena Allah bersemayam di gunung Sion, maka gunung Sion menjadi tempat perlindungan bagi setiap orang yang terinjak dan mengalami kesesakan (Mzm. 9:10). Dengan demikian Yerusalem yang berdiri di bukit Moria menjadi penting dan berarti, karena Allah sendiri bersemayam dan meletakkan dasarnya (Yes. 14:32). Pemahaman teologis inilah yang kemudian dipakai oleh penulis surat Ibrani dalam menempatkan Kristus sebagai tempat yang tidak tergoncangkan. Sebagaimana halnya kota Yerusalem yang berdiri di atas bukit Moria, demikian pula halnya umat percaya yang mau berdiri di dalam Kristus. Mereka tidak akan tergoncangkan sebab berpijak di tempat yang tak tergoncangkan selama-lamanya. Mengutip perkataan Aristoteles, yaitu: “The Unmoved Mover” dalam pengertian baru, sesungguhnya Kristus juga adalah Penggerak yang tak tergerakkan. Kristus yang menggerakkan seluruh ciptaan dan alam semesta ini tetapi Dia sendiri tak tergerakkan. Apabila Kristus sendiri dapat digerakkan atau ditundukkan oleh kuasa dunia ini, maka Dia tidak mungkin mampu menjadi pelindung yang aman dan menyelamatkan bagi setiap orang. Kristus menjadi pelindung yang aman dan Juru-selamat karena Dia adalah sang Firman Allah.
                Namun dalam praktek hidup, umat sering tidak menempatkan Kristus sebagai tempat yang tidak tergoncangkan. Umat lebih memilih para “batu-karang” (petros) yang ditampilkan dalam diri para tokohnya atau orang-orang yang dianggap sangat berjasa dan memiliki pengaruh.  Mereka memang adalah para penggerak yang dipakai oleh Kristus untuk mengembangkan dan menumbuhkan jemaatNya, tetapi mereka sebenarnya hanyalah para penggerak  yang tergerakkan (“moved mover”). Maksudnya mereka memperoleh anugerah dari Tuhan Yesus untuk menggerakkan anggota jemaat atau umat yang belum percaya menerima keselamatan dan kasih-karunia Allah, tetapi mereka tetaplah insan yang serba terbatas dan dipenuhi dengan berbagai kelemahan dan keberdosaan. Kita semua tanpa terkecuali masih mudah “digerakkan” atau dikendalikan oleh berbagai keinginan dan hawa-nafsu duniawi. Bila kita tidak menyadari keterbatasan dan keberdosaan diri kita, maka kita akan menggunakan setiap kesempatan untuk mempermuliakan dan menguntungkan diri mereka pribadi.  Itu sebabnya para penggerak yang tergerakkan ini kadangkala menyalahgunakan otoritas Kristus untuk kepentingan diri dan kelompoknya, sehingga seakan-akan hanya mereka saja yang dipakai oleh Kristus. Sikap mereka yang demikian  pada akhirnya mengaburkan kuasa Kristus yang sesungguhnya sebagai penggerak yang tidak tergerakkan dengan otoritas diri mereka yang hanya sebagai penggerak yang tergerakkan. Sebaliknya bilamana mereka selalu waspada dengan kekurangan dan keberdosaan mereka, maka mereka akan menjadi “penggerak yang tergerakkan” namun diberkati Allah. Pelayanan mereka akan menjadi efektif dan mampu mempermuliakan Kristus. Sebab mereka selaku pelayan Kristus selalu berupaya dengan sekuat tenaga untuk  menghubungkan atau mempertemukan umat dengan Kristus. Tepatnya melalui hidup mereka, mereka dipakai oleh Kristus untuk membawa perjumpaan yang menyelamatkan antara umat dengan Allah. Itu sebabnya melalui hidup mereka, umat dibawa kepada Kristus si batu karang yang tidak tergerakkan dan tidak tergoncangkan.
Kristus: Bukan Allah Yang Menakutkan
Seandainya Kristus tidak berinkarnasi menjadi manusia, maka Allah yang adalah penggerak yang tak tergerakkan atau tak tergoncangkan  tersebut sangatlah mustahil didekati oleh umat manusia. Sebab kekudusan Allah akan menghalangi setiap orang untuk mendekat kepada diriNya. Siapakah yang tahan berdiri di hadapan Allah yang kudus? Surat Ibrani pasal 12:18-21 melukiskan bagaimanakah ketidakmungkinan atau kemustahilan bagi umat untuk berhadapan dengan Allah yang 
 kudus itu. Di Ibr. 12:18-19 menyatakan bagaimana Allah hadir di gunung Sinai, dan gunung Sinai tersebut mengeluarkan api yang menyala-nyala disertai halilintar, awan padat dan angin badai. Semua gejala alam tersebut merupakan respon terhadap kehadiran Allah yang maha dahsyat. Kekudusan dan keagungan Allah memancar melalui semua fenomena alam yang begitu menakutkan dan menggetarkan. Itu sebabnya di Ibr. 12:20 umat tidak tahan menghadapi kehadiran Allah yang dahsyat itu dan mereka tidak sanggup mendengar firmanNya yang menggoncangkan. Bahkan Musa yang diberi anugerah Allah untuk mampu berdiri di hadapanNya , saat itu juga mengalami ketakutan. Ibr. 12:21 menyaksikan bagaimana kondisi yang menakutkan itu termasuk diri Musa, yaitu: “Dan sangat mengerikan pemandangan itu, sehingga Musa berkata: "Aku sangat ketakutan dan sangat gemetar".  Allah yang adalah penggerak yang tak tergoncangkan juga adalah Allah yang kudus dan dahsyat. KehadiranNya mampu menggoncang dan membakar bumi, termasuk  pula langit. Ibr. 12:26 berkata: “Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan bukan hanya bumi saja, melainkan langit juga". Kehadiran Allah yang dahsyat dan mampu menggoncang seluruh alam semesta termasuk bumi dan seisinya, mau menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Pencipta yang menguasai dan menggerakkan seluruh ciptaanNya serta kekudusanNya selalu membakar segala hal yang jahat dan berdosa. Namun di sisi lain, Allah yang adalah penggerak dan tak tergoncangkan serta menghanguskan tersebut akan menjadi Allah yang tidak “empatis” atau jauh dari sikap belas-kasihan. Dia hanya mampu menghukum dan membinasakan, tetapi mengabaikan keselamatan umatNya.  Jika Allah adalah api yang menghanguskan, maka anugerah  keselamatanNya menjadi suatu kemustahilan. Itu sebabnya melalui Kristus, sang Firman Allah berkenan berinkarnasi menjadi manusia sehingga kekudusanNya yang menghanguskan juga menjadi keselamatan yang menyembuhkan.
                Selaku tubuh Kristus, gereja dipanggil untuk memberitakan kekudusan Allah yang menghanguskan kepada dunia ini sekaligus juga gereja dipanggil untuk memberitakan rahmat dan keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus. Umat manusia yang kini terasing oleh belenggu dosa perlu dibawa kepada kekudusan Allah yang menghanguskan sekaligus mempesona karena kuasa kasihNya. Dosa harus dibinasakan, tetapi kehidupan manusia diselamatkan. Kita diingatkan akan pemikiran Rudolf Otto dalam bukunya yang sangat berpengaruh yaitu “Das Heilige” (tahun 1917) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, yaitu: “The Idea of the Holy”  (tahun 1923). Di hadapan kekudusan Allah, umat manusia mengalami suatu misteri akan kedahsyatan Allah yang menggetarkan, dan juga misteri akan keterpesonaan Allah yang begitu agung dan indah. Itu sebabnya kesadaran dan pengalaman akan kekudusan Allah demikian dinyatakan Rudolf Otto dengan: “mysterium tremendum et fascinans”. Manusia dapat mengalami kehadiran Allah sebagai yang suci, menggetarkan dan mempesona. Melalui kehadiran Kristus, kesucian Allah termanifestasi dalam hidupNya yang tanpa cela, kuasa mukjizat dan pengajaranNya yang menggetarkan dan kuasa kasih atau bela-rasaNya yang mempesona. Itu sebabnya melalui Kristus, umat manusia tidak lagi berada dalam situasi kemustahilan untuk berjumpa dengan Allah yang kudus. Sebaliknya melalui Kristus, umat manusia diperkenankan untuk berjumpa dengan Yang Ilahi. Sebab Kristus adalah pengantara perjanjian yang baru. Di Ibr. 12:24 menegaskan: “dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel”.  Sebagai pengantara perjanjian baru, Kristus menjadi satu-satunya penghubung yang menjembatani kondisi keberdosaan umat dengan diri Allah yang menghanguskan. Yang mana darah yang ditumpahkan di bukit Golgota lebih kuat dari pada darah Habel yang menuntut pembalasan. Darah atau hidup Kristus justru menggemakan pengampunan Allah yang tanpa batas kepada umat yang berdosa.
Kristus: Allah yang Berempati dan Peduli
Di Luk. 13:10-17 menyaksikan  Tuhan Yesus yang sedang mengajar pada hari Sabat di salah satu rumah ibadah/sinagoge. Ketika Tuhan Yesus mengajar, Dia melihat seorang perempuan yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya. Luk. 13:12-13 memberi kesaksian demikian, yaitu: “Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: Hai ibu, penyakitmu telah sembuh. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah”.Disaksikan bahwa “ketika” Tuhan Yesus melihat perempuan itu, Dia segera 
memanggil dan menyembuhkan ibu yang sedang sakit bungkuk di punggungnya. Artinya waktu itu Tuhan Yesus sedikitpun tidak menunda-nunda pertolongan kepada ibu yang telah 18 tahun sakit bungkuk di punggungnya.  Jadi saat Tuhan Yesus melihat wanita yang bungkuk itu, Dia segera menyembuhkan wanita tersebut pada hari itu juga, yang kebetulan hari itu adalah Sabat. Di Luk. 13:14 menyaksikan kepala rumah ibadah itu menjadi sangat gusar karena Yesus menyembuhkan wanita itu pada hari Sabat. Kegusaran kepala rumah ibadat tersebut sebenarnya cukup rasional, yaitu apakah wanita yang telah sakit 18 tahun tidak bisa ditunda penyembuhannya  beberapa hari lagi. Bukankah wanita tersebut telah terbiasa dengan sakit bongkoknya selama 18 tahun? Mengapa sepertinya Yesus tidak “sabar” atau menahan diri untuk menyembuhkan wanita tersebut pada hari Sabat? Di Luk. 13:15-16, Tuhan Yesus memberi jawaban, yaitu: "Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?" Orang-orang Farisi dan ahli Taurat  pada zaman itu mempunyai kebiasaan untuk melepaskan hewan peliharaannya mereka pada hari Sabat, tetapi mereka waktu itu melarang Tuhan Yesus melepaskan penderitaan seorang wanita pada hari Sabat. Dengan pola berpikir yang serba legalistis dan dangkal dapat membuat seseorang memiliki anggapan bahwa “hewan peliharaannya” atau harta miliknya lebih penting dan lebih berharga dari pada keselamatan dan kebahagiaan sesamanya. Mereka melupakan bahwa wanita tersebut sama seperti mereka yaitu keturunan Abraham.
                Kepala rumah ibadat itu secara hukum memang telah bertindak benar, karena dia ingin menegakkan kekudusan hari Sabat. Tetapi makna kekudusan hari Sabat ternyata dilepaskan dari konteks nilai keselamatan sesama yang sedang menderita. Padahal kekudusan hari Sabat akan bermakna saat ditempatkan dalam kekudusan Allah yang telah mencipta manusia menurut gambar dan rupaNya. Karena itu harkat  dan nilai manusia diciptakan untuk menjadi kudus. Hukum hari Sabat dikaruniakan Allah untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Karena itu hukum hari Sabat diciptakan untuk membela kemanusiaan manusia, dan bukan untuk merendahkan atau meremehkannya. Di Mark. 2:27, Tuhan Yesus berkata: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat”. Karya Tuhan Yesus yang menyembuhkan wanita yang bongkok selama 18 tahun pada hakikatnya merupakan manifestasi dari tindakan Allah yang memulihkan harkat kemanusiaannya. Karena itu tindakan Tuhan Yesus yang menyembuhkan wanita bongkok pada hari Sabat, bukanlah pelanggaran terhadap kekudusan hari Sabat. Sebaliknya tindakan Tuhan Yesus yang menyembuhkan wanita bongkok tersebut justru telah menempatkan kekudusan hari Sabat di tempat yang paling agung. Karena melalui tindakan penyembuhan itu, Kristus menyatakan secara nyata bahwa Allah itu peduli dan berempati.  Di Yes. 58:13, Allah berfirman: “Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan", dan hari kudus TUHAN "hari yang mulia"; apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong”. Makna kekudusan hari Sabat ditandai oleh sikap tidak egois yang hanya memperhatikan urusan pribadi dan melakukan hal yang sia-sia. Hari Sabat seharusnya menjadi hari yang memancarkan anugerah keselamatan Allah.Setiap umat seharusnya semakin peduli dan berempati saat mereka merayakan hari Sabat, sehingga keselamatan dan pemulihan Allah terwujud nyata.
Kristus: Penyembuh yang Membuka Perspektif Baru
Karya mukjizat yang dilakukan oleh Kristus tidak seluruhnya dilakukan dalam waktu yang sifatnya segera. Dalam kasus Lazarus, Tuhan Yesus sengaja tidak segera menyembuhkan Lazarus yang sedang sakit. Baru setelah 2 hari kemudian, Tuhan Yesus datang menengok dan membangkitkan Lazarus yang telah meninggal. Tetapi di Luk. 13:11-13, menyaksikan bahwa Tuhan Yesus segera menyembuhkan wanita yang bongkok itu. Apa alasan atau motif  utama Tuhan Yesus menyembuhkan wanita yang bongkok selama 18 tahun itu? Seorang yang bongkok akan cenderung melihat segala sesuatu dari sudut 
 pandang yang terbatas. Bila bongkoknya sampai 45 derajat, maka dia hanya mampu melihat tanah atau jalan yang dilewatinya. Dia tidak mampu melihat sesama atau pemandangan yang terjadi di depan mata seperti orang-orang yang tegak tubuhnya. Dengan demikian seorang yang bongkok merupakan simbol dari manusia yang terbelenggu  jangkauan perspektif hidupnya dan dalam kondisi yang tertindas. Mereka tidak mampu menangkap dan menafsirkan realitas kehidupan secara lebih utuh dan luas. Selain itu mereka selalu berada di posisi yang lemah dan tidak berdaya. Luk. 13:13 menyaksikan bagaimana Tuhan Yesus memulihkan: “Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah”.  Wanita yang bongkok itu kemudian mampu berdiri tegak dan berdiri secara normal dengan reaksi memuliakan Allah. Setelah 18 tahun dalam keadaan bongkok, wanita tersebut kini mampu memandang realitas dari sudut pandang yang lebih luas dan utuh. Dia juga tidak lagi berada dalam situasi tertindas, karena dia kini mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesamanya. Pemulihan Kristus tersebut merupakan peristiwa yang membebaskan dia dari penderitaan yang telah menyiksanya salama 18 tahun.
                Selaku gereja Tuhan, kita dipanggil untuk membebaskan sesama dari “kebongkokan spiritualitas”. Tetapi kita sering bersikap seperti kepala rumah ibadat yang mencegah Allah untuk membebaskan sesama yang terbelenggu oleh “kebongkokan rohani”.  Secara tidak sadar kita sering mencegah Allah untuk melakukan pemulihan dalam momen-momen liturgis yang dianggap sakral. Karena itu peristiwa ibadah Minggu, sakramen baptis dan perjamuan kudus, dan hari-hari raya  gerejawi sering dilepaskan dari nilai harkat dan kemanusiaan kita. Kita begitu mementingkan liturgi dan peraturannya tetapi mengabaikan umat yang menjadi pelaku dalam seluruh liturgi tersebut. Itu sebabnya kita sering mengabaikan unsur  yang hakiki, apakah umat yang terlibat dalam seluruh rangkaian liturgi tersebut telah mengalami pemulihan dan pembebasan dari “kebongkokan rohani”. Di lain pihak, umat juga sering memiliki sikap yang sama, yaitu mereka merasa telah benar di hadapan Allah asalkan telah melaksanakan ibadat tanpa mempertimbangkan apakah ibadat tersebut telah membawa perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan pribadinya dengan sesama di sekitarnya. Kondisi “kebongkokan rohani”  secara esensial sangatlah berbahaya. Seorang yang bongkok secara rohani akan menjadi picik dan tidak mampu berpikir luas menurut ukuran Kristus. Mereka mengukur segala sesuatu dari keterbatasan perspektifnya. Dengan sikap yang demikian, mereka tidak akan mampu untuk bersandar kepada Kristus yang tak tergoncangkan. Sebab perspektif yang bongkok akan mendorong seseorang untuk merendahkan atau “membongkokan” harkat orang lain sehingga melumpuhkan daya perspektif sesama untuk melihat keagungan dan kuasa Allah yang tak tergoncangkan. Dengan kata lain, pemulihan dari “kebongkokan rohani” akan memampukan seseorang untuk juga membuka dan memberdayakan sesama dari “kebongkokan rohani”, sehingga mereka bersama-sama mampu berinteraksi dalam kasih dan memuliakan Allah.
Panggilan
Kekuatan jemaat-jemaat Tuhan bukan berdasarkan pada kekuatan organisasi, dana dan sumber dayanya tetapi dari Kristus yang adalah Tuhan yang tak tergoncangkan oleh alam maut. Karena itu gereja Tuhan termasuk Gereja Kristen Indonesia tidak boleh bersandar kepada sistem organisasi, dana dan kepandaian manusia yang berada di dalamnya. Mereka semua 
 rapuh dan mudah tergoncangkan. Gereja Tuhan tidak boleh berpijak di atas “petros” (manusia batu karang), tetapi seharusnya berpijak kepada Kristus, sang “petra” atau Kristus yang adalah batu penjuru yang kekal. Kecenderungan untuk mengkultus-individukan seseorang atau sekelompok orang bukan hanya harus dihindari tetapi secara sengaja harus disingkirkan. Karena itu yang utama dari spiritualitas yang berpijak kepada yang tak tergoncangkan adalah fokus hidup setiap umat tertuju kepada Kristus. Fokus hidup tersebut akan memampukan setiap umat untuk mengalami kehadiran diri Allah yang empatis dan berbela-rasa. Umat juga akan mengalami karya pemulihan Allah yang membebaskan diri mereka dari situasi “kebongkokan spiritualitas”.
            Selain itu kita selaku jemaat Tuhan yang berjuang di tengah-tengah dunia ini juga tidak boleh menyerah ketika kita dihambat untuk melaksanakan karya keselamatan Allah. Sebagaimana Kristus juga dihambat oleh kepala rumah ibadat, maka gereja Tuhan juga akan mengalami penghambatan atau penolakan oleh kuasa dunia ini. Sejauh kita selaku gereja Tuhan sungguh-sungguh konsisten untuk setia kepada panggilan kita menghadirkan karya keselamatan Allah di tengah-tengah kehidupan umat manusia, kita tidak boleh kecil hati atau gentar ketika kita dihambat atau dirintangi. Karena itu kita harus tahu secara persis dan obyektif apakah rintangan atau hambatan tersebut disebabkan oleh pola pendekatan dan pola komunikasi kita yang kurang bijaksana, ataukah memang hambatan tersebut terjadi karena kita konsisten dengan nilai-nilai iman Kristen  yaitu sikap kasih sebagaimana yang telah diajarkan oleh Tuhan Yesus.
                Jika demikian seluruh jemaat kita kini dipanggil untuk senantiasa konsisten dalam memberlakukan kasih dan keadilan dengan membela setiap orang yang tertindas dan lemah tanpa mempedulikan latar-belakang suku, etnis dan agama. Sehingga melalui pelayanan jemaat kita dimampukan untuk membebaskan sesama yang mengalami “kebongkokan rohani” dan membawa setiap orang untuk bersandar kepada Kristus yang tak tergoncangkan. Jika panggilan ini dapat terwujud maka kita dapat menjadi jemaat yang membawa rahmat Allah dan pembebas bagi sesama kita. 

Jumat, 15 Juli 2011

Tak usah ragu menjadi KAYA

Dari zaman ke zaman, manusia senantiasa tergoda untuk memberhalakan kekayaan, uang, dan harta-miliknya serta kedudukannya.
Untuk itulah Tuhan Yesus mengingatkan kita, yaitu: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya”(Mat6:19-20). Dari kutipan ayat ini kemudian ditarik suatu kesimpulan bahwa umat percaya dipanggil untuk menolak anugerah kekayaan, sebaliknya mereka dipanggil untuk hidup miskin dan berkekurangan. Dengan demikian andalan utama yang semula kekayaan digeser menjadi kemiskinan. Tepatnya andalan utama umat percaya adalah kemiskinan dan kekurangan. Semakin mereka miskin dan hidup dengan penuh kekurangan menandakan suatu spiritualitas yang mengandalkan Allah. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau dengan paradigma yang demikian, mereka kemudian sering mencurigai atau bersikap sinis dengan sesama yang berhasil dan memperoleh kekayaan. Orang-orang yang berhasil dan menjadi kaya disebut sebagai pengikut Mamon, sedang mereka yang hidup miskin disebut sebagai pengikut Kristus. Tidak mengherankan dengan pola pemahaman yang demikian sebagian umat Kristen sering jatuh dengan sikap yang cenderung mengidealisasikan kondisi kemiskinan dan bersikap malas untuk mencapai suatu prestasi dan kemakmuran.  Secara tidak langsung mereka mengimani Allah yang menyukai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Tetapi benarkah Alkitab memiliki pola berpikir yang demikian?
 Kesia-siaan Hidup
Pengkhotbah mengawali pengajarannya dengan perkataan yang sangat pesimistik terhadap realita kehidupan ini, yaitu: 
“Segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 1:2).                Bila segala sesuatu “sia-sia” belaka, maka segala jerih-payah, perjuangan untuk sukses dan keberhasilan serta kemakmuran juga merupakan sesuatu yang sia-sia. Kata “sia-sia” yang dipakai oleh pengkhotbah berasal dari kata”hebel hebalim (הבל    הבל ) . Yang mana kata “hebel” berarti “nafas”. Kehidupan umat manusia digambarkan seperti “nafas” yang tampak seketika, seperti kita melihat suatu embun saat kita bicara, namun setelah itu lenyap tanpa bekas. Daya hidup yang dimiliki oleh manusia sangatlah fana. Kata “hebel” mengingatkan kita kepada tokoh yang bernama “Habel” yang dibunuh oleh Kain, kakaknya. Hidupnya singkat dan mati secara sia-sia. Karena itu kata “hebel” dipakai untuk menunjuk sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna. Apa yang diusahakan dan diperjuangkan manusia sepanjang hidupnya menghasilkan suatu hal yang sia-sia. Sehingga pengkhotbah kemudian berkata "Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkb. 1:3).  Jikalau jerih payah manusia di bawah matahari hanyalah sesuatu yang sebenarnya tidak berguna, mengapa manusia harus selalu mengulang dengan susah payah? Karena itu di balik kata “hebel” yang berarti “kesia-siaan” juga mengandung kesadaran pengkhotbah, bahwa hidup ini sebagai sesuatu yang absurd.
                Makna kata “absurd” secara harafiah berarti: not reasonable (tidak masuk akal), foolish (bodoh)  dan ridiculous (menggelikan). Bentukan kata “absurdus” berasal dari kata Latin “ab-surdus” yang berarti tuli atau bodoh, sehingga definisi “absurd” adalah: Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe).Lacking order or value (an absurd existence). Absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”. Artinya: absurd merupakan sesuatu yang tidak rasional atau dalam hubungannya dengan kehidupan manusia sebagai sesuatu tanpa arti (dunia yang absurd). Kurang berarti atau tidak bernilai (eksistensi yang absurd). Paham absurdisme merupakan suatu filsafat yang didasari kepada kepercayaan bahwa alam semesta ini tidaklah rasional dan tidak berarti sehingga pencarian makna akan membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam. Dengan menggunakan kata “hebel” pengkhotbah hendak menyadarkan umat bahwa manusia sering harus melakukan pekerjaan yang terus diulang-ulangi tanpa henti. Pengulangan kerja yang tiada henti tersebut seperti gambaran tokoh Sysyphus dalam mitologi Yunani. Sysyphus dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia, yaitu dia harus mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Bukankah kehidupan umat manusia di bawah matahari seperti gambaran tokoh Sysyphus tersebut? Para buruh dan karyawan harus selalu melakukan pekerjaan sama sepanjang hari selama hidupnya, namun keesokan harinya mereka harus kembali “mengangkat batu” untuk di bawah ke puncak. Lalu tak lama kemudian mereka menjumpai “batu yang telah diangkatnya itu” segera turun ke bawah sehingga mereka harus kembali mendorong dengan susah-payah ke atas, demikian seterusnya.
Bila Sia-Sia, Mengapa Dilakukan?
Absurditas yang dialami oleh pengkhotbah menyebabkan dia menyatakan membenci hidup. Pernyataan pengkhotbah tersebut bertentangan dengan penghayatan umum umat Israel terhadap makna hidup ini. Saat umat Israel sedang bersulang, mereka akan mengatakan: “la hayyim” yang artinya: untuk hidup ini. Dengan demikian, apapun kondisi kehidupan 
yang seringkali pahit dan sedih tetap dipahami oleh umat Israel sebagai suatu anugerah. Namun kontrasnya justru pengkhotbah menyatakan: “Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkb. 2:17).Pengkhotbah secara mengejutkan menyatakan bahwa dia membenci hidup yang merupakan anugerah dari Allah. Sikapnya yang pesimistis tidak berhenti sampai di sini. Sebab di Pkh. 2:18, pengkhotbah menyatakan: “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku”. Dia tidak hanya membenci hidup tetapi juga setiap usaha atau pekerjaan yang dilakukan dengan berjerih-payah. Mengapa pengkhotbah bersikap demikian? Karena perenungannya terhadap hidup ini menyadarkan pengkhotbah, bahwa berbagai perbuatan baik pada akhirnya hanya akan membawa kepada kesia-siaan seperti usaha menjaring angin. Terhadap sikap dan pernyataan si pengkhotbah tersebut kita juga dapat mengajukan suatu pertanyaan kritis kepada pengkhotbah, yaitu: “apakah pengkhotbah bermaksud mengajak umat atau para pembaca untuk tidak melakukan apapun dan hidup yang bermuram-durja dalam menyikapi kesia-siaan hidup ini?” Memang benar, pengkhotbah menghayati kehidupan ini sebagai suatu absurditas. Tetapi tidak berarti dia menyuruh umat atau para pembaca untuk berpangku-tangan dan menangisi absurditas kehidupan ini. Meminjam gambaran Sysyphus, dapat kita katakan bahwa pengkhotbah justru ingin memberi motivasi setiap umat atau pembaca untuk terus mendorong “batu besar” ke atas puncak gunung walaupun batu besar tersebut nanti akan menggelinding ke bawah. Artinya setiap umat atau pembaca tidak boleh bersikap pasif dan menyerah kalah walaupun mereka menyadari absurditas atau kesia-sia dalam kehidupan ini.
                Bagi pengkhotbah, realitas hidup yang absurd tidak boleh dijadikan alasan bagi manusia untuk mengabaikan tugas kewajiban dan tanggungjawabnya. Manusia harus selalu mendorong “batu besar” ke puncak kehidupan ini walaupun kemudian mereka harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang berhasil dicapainya itu suatu saat akan hilang tidak berbekas. Dengan demikian, pengkhotbah tidak pernah bermaksud mendorong umat untuk berleha-leha dan membiarkan hidup dalam kekurangan atau kemiskinan.  Sebaliknya setiap umat harus mampu mengerahkan seluruh daya, keahlian dankemampuan yang terbaiknya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup ini. Pemahaman si pengkhotbah adalah walaupun dia membenci kehidupan yang merupakan wujud dari anugerah Allah yang harus ditempuh dengan mengerahkan jerih-payahnya yang melahirkan kesia-siaan, maka akan lebih buruk dan celaka lagi jikalau orang tidak mau berjerih-payah. Tepatnya orang yang tidak mau berjerih-payah dan berjuang di tengah-tengah absurditas hidup ini adalah orang-orang yang paling nyata tidak mampu mengucap syukur atas anugerah Allah. Mereka lebih tidak mampu berbahagia.  Hidup orang-orang yang demikian akan lebih sia-sia dan tidak berguna. Sebab yang terpenting bukanlah hasilnya, tetapi bagaimana proses dan nilai pengalamannya. Hasil suatu jerih-payah dapat hilang tanpa bekas dan dilupakan orang lain, tetapi pengalaman berjerih-payah merupakan suatu kekayaan yang hanya dialami si pelaku. Seperti seseorang yang berupaya mengerahkan seluruh talenta yang dikaruniakan sehingga menghasilkan suatu keberhasilan dan kekayaan. Mungkin suatu saat piala keberhasilan dan kekayaan yang dia peroleh akan lenyap, tetapi pengalaman mengerahkan dan mengembangkan seluruh talenta merupakan kekayaan pengalaman eksistensial yang memberi makna hidup. Dengan demikian, kekayaan dan kemakmuran pada hakikatnya merupakan efek dari suatu jerih-payah dan perjuangan akan hidup ini. Kekayaan dan kemakmuran bukanlah tujuan hidup yang asasi. Jadi jelaslah bahwa iman Kristen pada hakikatnya tidak pernah bersikap anti terhadap kekayaan dan mengidealisasikan kemiskinan. Sebab kondisi kemiskinan sebagai hasil dari sikap yang tidak mau berjerih-payah merupakan suatu hal yang sangat celaka kalau tidak mau dikatakan sebagai suatu kutuk.
Bukan Anti Kekayaan, Tapi Anti Ketamakan
Mandat Allah kepada manusia sebagai gambar dan rupaNya adalah untuk mengusahakan bumi ini dan segenap isinya. Kedudukan manusia sebagai gambar dan rupa Allah dinyatakan dalam tugas penatalayanannya. Yang mana dasar penatalayanan umat bersumber kepada suatu pengakuan iman bahwa: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, 
dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1).Dengan demikian prinsip penatalayanan adalah setiap umat percaya dipanggil untuk mengelola harta milik Allah dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan talenta yang dikaruniakan kepadanya. Manakala umat dapat memperoleh kekayaan dan kemakmuran dari penatalayannya, maka kekayaan dan kemakmuran tersebut merupakan berkat Allah. Artinya nilai kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya itu ditempatkan dalam relasi personal dan iman kepada Allah. Kekayaan dan kemakmuran tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kemuliaan Allah. Yang mana sikap yang memuliakan Allah dengan anugerah kekayaan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan dan pemberdayaan kepada sesama yang menderita. Sehingga perbuatan kasih dengan kesediaan menyalurkan sebagian kekayaan pada hakikatnya bukanlah sebagai wujud belas-kasihan, tetapi merupakan  wujud keadilan sosial. Karena kekayaan yang dianugerahkan Allah bertujuan untuk kesejahteraan hidup bersama. Jadi jelaslah bahwa iman Kristen tidak pernah bersikap anti kekayaan. Tanpa kekayaan yang diperoleh dari hasil penatalayanan dan suatu jerih-payah melakukan pekerjaan, maka kita tidak pernah mungkin mampu memberi dan menjadi berkat kepada sesama. Sebaliknya saat kita berada dalam situasi miskin karena mengabaikan jerih-payah dan pengembangan talenta, maka hidup kita akan menjadi suatu beban bagi sesama.
                Jika demikian, panggilan setiap umat percaya adalah mereka harus terus berjerih-payah mengangkat “batu besar” ke atas puncak kehidupan dengan mengerahkan seluruh talenta dan karunia Tuhan sedemikian rupa sampai  mereka mampu untuk mempersembahkan hidup kita bagi kemuliaan namaNya. Pola spiritualitas yang demikian akan mencegah seseorang untuk berlaku tamak atau serakah. Sebab kekayaan dan kemakmuran yang diperolehnya justru dipersembahkan untuk sesama. Sebaliknya sikap kikir sesungguhnya merupakan suatu sikap yang memberhalakan harta-milik atau kekayaan sedemikian rupa sehingga dia tidak ingin sebagian dari kekayaannya berkurang walaupun dia menyadari bahwa orang lain maupun dirinya sangat memerlukan. Seorang yang kikir menunjukkan suatu sikap yang hanya ingin menambah kekayaan dan kemakmuran dengan mengorbankan orang lain dan juga makna hidupnya. Sehingga dia akan mengerahkan seluruh daya yang dimiliki untuk meraih apa yang dia ingini tanpa mampu membedakan lagi apakah yang dia ingini tersebut bermanfaat dan bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Di Luk. 12:16-20 Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang orang kaya yang tamak dan kikir. Orang kaya tersebut berupaya menimbun kekayaan begitu rupa dengan tujuan untuk menghibur dirinya sendiri. Tetapi akhirnya malam itu juga nyawanya dicabut oleh Allah. Itu sebabnya di Luk. 12:15, Tuhan Yesus memberi nasihat: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." Dalam konteks ini seorang yang kikir dan serakah justru mempraktekkan suatu kesia-siaan dan jerih-payah menjaring angin.
                Seorang yang kikir dan tamak umumnya selalu merasa menyesal telah bekerja keras dan orang lain yang tidak pernah bekerja justru menikmati hasil pekerjaannya. Apabila kita tidak hati-hati untuk menafsirkan, maka si pengkhotbah dalam perikop ini dapat dianggap sebagai seorang kikir saat dia mempersoalkan kekayaan yang diwariskan kepada orang lain yang mungkin bukan anaknya sendiri.  Tampaknya si pengkhotbah tidak mempunyai anak, sehingga harta kekayaan yang  dikumpulkan harus diwariskan kepada orang-orang yang bukan anaknya sendiri. Sebab dalam tradisi umat Israel, orang-tua yang mewariskan kekayaan kepada anak-anaknya justru dipahami sebagai ungkapan kasih. Tetapi benarkah pengkhotbah dengan perkataannya: “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku” (Pkb. 2:18) sebagai suatu bukti bahwa dia seorang yang kikir dan serakahProblem utamanya adalah bukan karena si pengkhotbah enggan mewariskan atau menyerahkan kekayaan yang telah dicapai dengan jerih-payah, tetapi apakah orang-orang yang menerima warisannya itu adalah orang-orang yang berhikmat. Itu sebabnya dia berkata:  “Dan siapakah yang mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat. Inipun sia-sia” (Pkb. 2:19)Si pengkhotbah enggan mewariskan kekayaannya kepada orang yang tidak berhikmat, karena orang yang tidak berhikmat akan mempergunakan kekayaannya dengan cara yang serakah dan tidak benar di hadapan Allah.  
Menjadi Penatalayan Yang Produktif Dan Kritis
Pemahaman iman Kristen dan sikap Tuhan Yesus sendiri jelas tidak memperlihatkan sikap yang anti kekayaan. Karena itu tidak mengherankan jikalau di Luk. 8:3 menyaksikan bagaimana pelayanan dan misi Tuhan Yesus didukung oleh kekayaan dari para wanita yang mengikutiNya. Juga bagaimana sikap Tuhan Yesus yang berempati dengan Zakheus, si pemungut cukai, sehingga membawa suatu pertobatan dari Zakheus dengan mengembalikan beberapa kali lipat harta yang pernah dirampasnya dari sesama. (Luk. 19:1-10). Dengan demikian setiap umat percaya dipanggil untuk menjadi penatalayan Allah yang bertanggungjawab dengan mengerahkan seluruh daya dan talentanya untuk berkembang seoptimal mungkin. Yang 
mana dasar utama dari penatalayan tersebut akan mampu menghasilkan sesuatu yang bermutu tinggi dan bermanfaat bagi kesejahteraan banyak orang. Dengan demikian nilai produktivitas yang wujud dari penatalayanan umat percaya adalah kualitas, dan bukan kuantitas seperti besarnya jumlah kekayaan yang berhasil ditimbun. Jelaslah bahwa kekayaan dan kemakmuran hanyalah suatu efek atau dampak dari berhasil tercapainya suatu produk yang bermutu. Secara umum dapat dikatakan: semakin kita berjerih-payah dan melakukan penatalayanan dengan hasil yang bermutu tinggi, maka tidaklah mungkin kita hidup berkekurangan secara materi. Hasil dari penatalayanan yang benar di hadapan Allah adalah umat akan selalu dimampukan untuk mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebab dengan sikap yang demikian, umat tidak akan mau untuk terjebak dalam sikap yang boros dengan menghambur-hamburkan berkat Tuhan; sebaliknya umat juga tidak akan mau terjebak dalam sikap kikir yang berupaya menahan berkat Tuhan untuk kesejahteraan sesamanya. Dia selalu mampu mengelola keuangan dan berkat yang dipercayakan Tuhan dengan sikap hemat.
                Dengan memahami prinsip teologis yang demikian, kita dipanggil untuk mampu menyikapi bahaya konsumerisme. Kini berbagai produk yang baru dan serba canggih selalu ditawarkan kepada kita dengan berbagai cara. Apabila kita memposisikan diri sebagai penatalayan yang baik, maka kita harus selalu bersikap kritis dan mampu menentukan skala prioritas dengan ukuran iman.  Yang mana tugas penatalayanan tersebut dapat berjalan secara efektif dalam kehidupan kita, jikalau di dalam diri kita terbentuk suatu sistem nilai yang dilandasi oleh spiritualitas iman. Apabila sistem nilai dan andalan utama hidup kita adalah Kristus, maka kita akan selalu mampu mengkritisi setiap godaan dan kecenderungan kita untuk memiliki berbagai hal yang tidak perlu atau tidak bermanfaat. Di Kol. 3:12 rasul Paulus berkata: “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi”. Sistem nilai yang menjadi andalan hidup kita seharusnya terarah kepada perkara-perkara Allah yang suci dan mulia, dan bukan perkara-perkara yang fana dan berdosa.  Sehingga kita tidak lagi seperti tokoh dongeng Sysyphus yang terus mendorong batu besar ke puncak, lalu batu besar tersebut jatuh menggelinding lagi. Sebab saat kita melakukan perkara-perkara yang suci dan mulia maka sesungguhnya kita melakukan perkara yang kekal dan tidak akan jatuh menggelinding ke bawah lagi. Apalagi yang kita lakukan adalah karya Kristus dan karya keselamatan Allah, maka tidak ada lagi yang sia-sia dan absurd. Kesia-siaan dan absurditas akan terjadi jikalau ukurannya adalah prestasi dan sikap yang bermegah diri di tengah-tengah dunia yang telah jatuh ke dalam kuasa dosa ini.
                Ini berarti semakin kita memiliki spiritualitas yang tinggi, maka kita akan semakin bertanggungjawab dengan pekerjaan yang kita tangani. Spiritualitas yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus seharusnya mampu berintegrasi dengan pekerjaan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materiil. Sebab hal yang materiil dikuduskan oleh bidang rohaniah, dan bidang rohaniah akan memperoleh bentuk atau wujudnya secara materiil. Di dalam inkarnasi Kristus, yang rohani dan duniawi dapat terintegrasi secara utuh. Dengan demikian  makna pekerjaan bukan lagi dihayati sebagai suatu kesia-siaan atau absurd sebagaimana dipahami oleh si pengkhotbah, sebaliknya pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mempermuliakan Allah dan Kristus dengan cara mengasihi sesama manusia. Karena itu kiblat umat percaya dalam menghayati makna dan hakikat kerja bukanlah tokoh Sysyphus yang berada dalam situasi absurditas, tetapi diri Kristus. Melalui kematian dan kebangkitanNya, kita dipanggil untuk menguduskan diri dari seluruh kecemaran dunia. Rasul Paulus berkata: “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol. 3:5). Jika kita melakukan setiap pekerjaan dan jerih-payah dengan hal-hal yang kudus, maka kekayaan dan kemakmuran justru menjadi berkat dan media keselamatan dari Allah.  
Panggilan
Makna andalan utama dalam hidup ini mencerminkan kualitas rohaniah yang membedakan umat percaya dengan orang-orang dunia. Karakter dari andalan utama setiap orang mencerminkan isi rohaniah dan kepribadian yang bersangkutan. Jika dia cenderung kepada suatu jerih-payah yang hanya menghasilkan suatu yang fana dan kebahagiaan yang temporal, maka andalan utamanya adalah kuasa dunia ini. Sebaliknya jika seseorang secara konsisten melakukan suatu 
jerih-payah untuk karya keselamatan Allah yang bersifat kekal, maka andalan utama dalam hidupnya adalah Kristus. Selama kita menempatkan Kristus sebagai andalan utama dalam hidup kita secara konsisten, maka yakinlah bahwa kekayaan atau kemakmuran tidak akan pernah mampu membutakan mata-rohani kita. Sebab di dalam Kristus kita akan selalu dimampukan untuk mengkritisi setiap bentuk ketamakan, kesombongan, hawa-nafsu, sikap iri-hati dan penyimpangan etis. Dengan demikian selaku umat percaya, kita tidak akan pernah bersikap anti dan munafik terhadap kekayaan. Bukankah betapa sering kita mendengar suatu khotbah yang mengkritik habis-habisan orang-orang yang kaya, tetapi di bawah mimbar ternyata mereka sangat tergantung kepada pemberian uang dari orang-orang kaya. Di sini kita menghadapi situasi mental dari orang-orang yang terpecah kepribadiannya (split of personality). Mereka tidak mampu menyikapi spiritualitas iman dan anugerah kekayaan secara utuh. Sehingga mereka tidak mampu mengelola dan menyikapi kehidupan ini secara bertanggungjawab.
                Jika demikian, jangan ragu untuk menjadi kaya dan berhasil sejauh yang kita lakukan untuk kesejahteraan bersama. Kerahkan seluruh daya dan talenta yang dikaruniakan Allah sedemikian rupa, sehingga kita mampu menjadi berkat bagi banyak orang. Komitmen iman tersebut harus dipegang kokoh. Karena banyak orang yang pada awalnya berjanji akan menjadi berkat dan menyejahterakan sesama apabila mereka berhasil dan menjadi kaya. Tetapi setelah mereka berhasil dan menjadi kaya, mereka ingkar janji. Mereka kemudian menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya untuk hidup secara duniawi dan berfoya-foya. Selain itu mereka juga mengembangkan sikap tamak dengan berupaya merebut harta milik orang lain dengan cara-cara yang licik. Sikap mental yang demikian bukan hanya akan menghasilkan suatu makna kehidupan yang sia-sia, tetapi juga menempatkan diri seseorang di bawah hukuman Allah. Bila kemudian Allah mencabut nyawanya dan juga membinasakan seluruh harta miliknya, apakah yang dapat dibanggakan lagi?  Tuhan Yesus berkata: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (Luk. 12:15). Bagaimanakah sikap saudara? Amin.

Sabtu, 09 Juli 2011

Hadapi PERUBAHAN dengan PERUBAHAN

Studi Mazmur 37

Perubahan adalah harapan dan tantangan!
Perubahan bersifat pasti dan tidak tebang pilih. Bagi sebagian orang perubahan adalah harapan yg membawa sukacita namun tidak sedikit orang yg tenggelam dalam kegelisahan karena merasa dipukul oleh proses perubahan. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak. Perubahan adalah fakta yang tidak dapat dihindari dari kehidupan. Semua orang tanpa kecuali akan menghadapi fase perubahan.
Respon kita terhadap perubahan menunjukkan sejauh mana kematangan hubungan kita kepada Allah.

Sukses menghadapi perubahan ditentukan oleh beberapa faktor: 


I. Pembaharuan HATI adalah kekuatan menghadapi PERUBAHAN(ayat.1)
" Jangan marah   karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati   kepada orang yang berbuat curang"  
Realita yg dihadapi orang percaya bukanlah kehidupan yg terus menerus nyaman sesuai harapan. Allah sering kali tidak mengubah keadaan atau orang yg tidak menguntungkan disekitar kita namun Allah justru berhasrat mengubah hati kita lebih dahulu supaya sanggup menghadapi terjadinya segala perubahan.


Rumusan kehidupan kadang berjalan tidak simetris, dimana orang baik seharusnya mendapatkan ganjaran keberhasilan dan kemujuran bukan orang jahat yg mendapatkan kemakmuran. Hal ini memantik persepsi salah tentang ketidak adilan Allah dan iri hati kepada sesama.
Daud dengan tegas bahkan berulang kali memperingatkan:
"jangan marah; jangan iri hati; berhentilah marah ; tinggalkanlah panas hati" karena sikap tersebut hanya membawa kepada kejahatan

Gagasan PENERIMAAN DIRI menjadi kekuatan untuk dapat menguasai diri!
Menerima dengan senang hati segala bentuk perubahan bukan sekedar menyelesaikan aspek psikologis manusia namun juga membenarkan sikap secara teologis.


Penerimaan diri sendiri , keadaan dan orang lain menjadi sangat penting, karena bermula dari titik inilah langkah kita berlanjut dengan benar.  Ironisnya reaksi alami terhadap perubahan keadaan atau orang disekitar kita adalah sikap memberontak, lebih nyata diungkapkan dalam sikap marah dan iri hati.


Apa pentingnya penerimaan diri dalam menghadapi perubahan?


a. Penerimaan diri menunjukkan pengenalan PRIBADI ALLAH (ayat.3-7)
Percayalah kepada TUHAN........bergembiralah karena TUHAN.....serahkanlah hidupmu kepada TUHAN......berdiam dirilah dihadapan TUHAN.....

Menempatkan Tuhan sebagai pribadi yg tidak pernah berhenti bekerja dan tidak pernah berbuat salah dalam pekerjaanNya!.
Kemarahan sebagai tanggapan atas perubahan keadaan, sering kali bermuatan kecurigaan terhadap Allah dengan sangkaan telah bersikap tidak adil kepada mereka yg merasa telah berbuat benar. Faktanya Allah tidak mungkin diam atau telah berbuat kesalahan dalam karyaNya.


b. Penerimaan diri menunjukkan keutamaan nilai KEABADIAN (ayat.2)
"mereka segera lisut   seperti rumput dan layu   seperti tumbuh-tumbuhan hijau"

Perubahan  yg sedang kita hadapi saat ini adalah dinamika kehidupan alami. wajar, biasa saja dan harus terjadi, hanya berlangsung sementara saja. 
Cara penilaian kita yg temporer (sementara, fana) seharusnya diubahkan menjadi cara berpikir yg abadi. Bukan sebatas indah pada hari ini saja namun apakah juga berguna sampai dikeabadian! 


b. Penerimaan diri menunjukkan pentingnya nilai KEBENARAN (ayat.8)
"Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan"
Kehilangan kepercayaan diri akan berdampak pada tidak terkontrolnya penguasaan diri. Dengan sikap tidak puas atau melawan terhadap perubahan, hal itu bukan saja tidak dapat menyelesaikan persoalan justru menciptakan persoalan baru yg lebih menyulitkan diri sendiri.
Perspektif yg harus dibangun adalah menata kembali pola pikir : seberapa lama perubahan itu akan terjadi dan seberapa bernilai benar perubahan tersebut. Jika berorientasi KEKEKALAN dan KEBENARAN itulah perubahan yg sedang dikerjakan Allah dalam diri kita.


II. Pembaharuan IMAN adalah kuasa menuju terjadinya PERUBAHAN (ayat.3-7)


Banyak perkara yg tidak mampu kita kerjakan dengan diri sendiri. Kita tidak sanggup mengubah keadaan sekitar, tidak sanggup mempengaruhi orang lain bahkan tidak sanggup merubah diri sendiri. Sementara segala sesuatu terus berubah yg berdampak pada eksistensi diri kita.
Adakah jalan terbaik untuk menghadapi perubahan?


Daud menyerukan, mengajak dan memerintahkan kita supaya berketetapan iman untuk hanya mempercayakan seluruh dinamika kehidupan pada Tuhan.


aPercayalah kepada TUHAN 
b. Lakukanlah yang baik, 
c. Diamlah di negeri  
d. Berlakulah setia,  
e. Bergembiralah   karena TUHAN 
f.  Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN 
g. Percayalah kepada-Nya 
h. Berdiam  dirilah di hadapan TUHAN 
i. Nantikanlah  Dia 
j. Tetap ikutilah jalanNya


Mengapa Daud sedemikian kuat menyerukan untuk tidak tanggung-tanggung melekatkan diri hanya kepada Allah dengan kekokohan iman?


Karena sudah terbukti dan tidak terbantahkan tidak ada cara lain yg paling menjanjikan kecuali intervensi Allah didalam hidup kita:


1. TUHAN memimpin langkah demi langkah (ayat.23-24)

"TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan   kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak,  sebab  TUHAN menopang   tangannya".
Kemana pada akhirnya kita hidup kita akan dibawa?
Pemazmur memberikan jawaban bahwa sekalipun keadaan dan orang  memberi dampak perubahan namun Allah memastikan jaminan pimpinan sampai pada akhirnya:
Kepastian pimpinan Tuhan yg tidak pernah salah langkah demi langkah walaupun kita sedang menghadapi masa yg sulit atau menurut penilaian manusia adalah tempat yg salah.
Kepastian berjalan bersama dengan Tuhan setiap saat walaupun kita sering tidak menyadari atau bahkan kurang mempercayainya ditopang oleh tangan Tuhanyg selalu siap sedia.

2. TUHAN memelihara dari hari ke-sehari (ayat.25-26)
"Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh belas kasihan  dan memberi pinjaman,  dan anak cucunya menjadi berkat."


Daud menyaksikan kehidupan manusia secara utuh (integral) dalam rangkaian mengikuti rencangan Allah sampai pada garis akhir, bukan menjelaskan kasus per kasus yg dihadapi. Jika secara faktual Allah masih mengijinkan berbagai persoalan mendera orang percaya itu bukan bagaian dari kelalaian Allah yg absen memelihara kita. 
Prinsip teologisnya adalah : 
* Kesetiaan pemeliharaan Allah tidak dapat dan tidak mungkin berubah walaupun diri kita dan keadaan terus berubah.pribadinya 
* Hanya ada satu hal yg tidak pernah berubah, manakala generasi, usia dan kekuatan terus mengalami perubahan. 
Dia adalah pribadi Allah yg selayaknya kita percayai selama-lamanya karena kesetiaanNya, karena kuasaNya dalam mengelola hidup kita tanpa salah.


III. Pembaharuan KETAATAN adalah rahasia yang membawa pada PERUBAHAN (ayat.27-28, 37)
Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik,  maka engkau akan tetap tinggal untuk selama-lamanya; "TUHAN mencintai hukum, dan Ia tidak meninggalkan orang-orang yang dikasihi-Nya. Sampai selama-lamanya mereka akan terpelihara, "

Berulang kali diteriakkan ungkapan: tetap tinggal selama-lamanya, sampai selama-lamanya terpelihara, akan mewarisi negeri, milik pusaka mereka akan tetap selama-lamanya. Gagasan ini menjelaskan bahwa yang dikerjakan Allah bukanlah perubahan semu tetapi perubahan besar, perubahan nyata dan perubahan abadi, suatu bentuk pekerjaan yg sangat berkualitas tinggi.
Survival (bertahan hidup sampai selama-lamanya) bersama dengan Allah menjadi hak hidup mereka yg teguh berpegang pada hukum Tuhan.

Bagaimana perubahan abadi dapat menjadi bagian kita?
 "TUHAN mencintai hukum"
Tuhan selalu bekerja diatas dasar firmanNya sendiri, ini adalah jalan Allah untuk dapat menyatakan karyaNya. Kesediaan kita dalam mentaati firmanNya bukan menjadi katalisator (mempercepat) tetapi menjadi mekanisme kerja baku yg tidak dapat ditawar. Ketaatan pada firman Allah menjadi cara satu-satunya untuk menempatkan Allah dapat bekerja didalam diri kita.
Allah akan mengubahkan masa depan, Allah akan membuat survive dan Allah selalu bersama  jika kita terus hidup selaras dengan firmanNya.
Dari mana dimulainya perubahan yg bernilai benar dan abadi , dimulai dari kesediaan kita berjalan menurut firman Allah. Langkah ini jauh lebih mendasar dari kebutuhan pemahaman psikologis , mengatur strategi atau memperbesar kapasitas kerja supaya dapat meraih sukses masa depan.
Rahasia perubahan masa depan jelas dimulai dari KESELARASAN HIDUP didalam ALLAH.
Sejauh mana ketaatan kita dalam melakukan firman Allah itu berbanding lurus dengan intervensi Allah dalam melakukan perubahan masa depan kita.
Semakin cepat karakter pribadi berubah seturut firmanNya, semakin banyak perkara ajaib yg Allah kerjakan menjadi hak kita. Semakin lama kita menunda ketaatan pada firmanNya maka akan menambah daftar panjang kegagalan dan penantian kosong yg menyengsarakan.
Allah merindukan semua orang yg percaya kepadaNya mendapatkan pancaran kasih setia dan kuasaNya. 
Selamat mengalami perubahan bersama dengan Allah.

Tuhan Yesus memberkati.